Anda di halaman 1dari 22

KAJIAN STUDI KLINIS PADA PRODUK HERBAL

Disusun Oleh:

Kelompok 7 (B1-2018)

1. Winda Rohmawati (18020200010)


2. Elda Susanti (18020200015)
3. Wahyu Putri Utami (180202000--)
4. Putra Syarifuddin A.A (18020200064)
5. Widya Putri Purnamasari (18020201096)

STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA

SIDOARJO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusunan buku fitofarmasi yang
berjudul ‘‘Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal’’ dapat selesai
tepat pada waktunya.

Penyusunan buku fitofarmasi ini diajukan sebagai syarat


menyelesaikan tugas mata kuliah Fitofarmasi. Dalam penyusunan buku
fitofarmasi ini penulis banyak mendapat bimbingan dan petunjuk dari
berbagai pihak. Oleh karena itu , penulis mengucapkan terimakasih
kepada Ibu : apt. Arista Wahyu Ningsih, S.Farm., M.Farm.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan praktikum


fitokimia ini masih belum sempurna, maka saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan laporan praktikum
fitokimia selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga laporan
praktikum fitokimia ini bermanfaat.

Sidoarjo, 20 April 2021

Penulis

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................3

BAB 1

STUDI KLINIS PADA PRODUK HERBAL.................................4

1.1 STUDY PRAKLINIS PADA PRODUK HERBAL............................4


1.2 STUDY KLINIS PADA PRODUK HERBAL..................................6
1.3 TAHAPAN UJI KLINIS RANCANGAN UJI KLINIK FASE I............9
1.4 TAHAPAN UJI KLINIS RANCANGAN UJI KLINIK FASE II.........12
1.5 TAHAPAN UJI KLINIS RANCANGAN UJI KLINIK FASE III.......14
1.6 TAHAPAN UJI KLINIS RANCANGAN UJI KLINIK FASE IV.......16

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................20

BIODATA......................................................................................21
Bab 1

Studi Klinis pada Produk Herbal

Penulis : Kelompok 7

1.1 Study Praklinis pada produk herbal

Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau


uji non-klinik,atau uji efek farmakologik, adalah tahap
penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu
mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru. Produk yang
umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan
medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Informasi yang
diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji praklinik sangat
bermanfaat untuk mendeteksi serta mencegah produk
berbahaya dan beracun agar tidak merugikan lingkungan dan
masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mempercepat
penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Pengujian pada manusia hanya disetujui jika produk obat tidak
memiliki efek berbahaya pada hewan coba pada uji praklinik
(Rahmatini, 2015)
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
5

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon


obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efek farmakologis,
profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya
yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat
pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada
hewan. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu
seperti mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau
beberapa uji menggunakan primata. (Rahmatini, 2015)
Penelitian dengan hewan dapat diketahui apakah obat
aman atau menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi: Toksisitas akut atau kronis, kerusakan genetik
(genotoksisitas, mutagenisitas), pertumbuhan tumor
(onkogenisitas atau karsinogenisitas) atau teratogenisitas.
Penelitian pada hewan juga dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan
menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan
bentukbentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
(Rahmatini, 2015)
6 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

Uji praklinik selain memakai hewan, telah


dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan
khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan
mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk
menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji
dapat dilakukan secara in vitro. (Rahmatini, 2015)
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada
hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil
yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa
yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in
vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan
dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada
manusia (uji klinik). (Rahmatini, 2015)

1.2 Study klinis pada produk herbal.

Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan


mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya intervensi
produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik,
farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau
mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau
mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas
produk yang diteliti. (Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
7

Obat herbal yang akan diuji klinik memerlukan adanya


data uji toksisitas dan minimal diperlukan data LD50.
Fase uji lengkap dalam rangka pembuktian khasiat
produk dimulai dari fase uji nonklinik hingga fase I, II, III dan
IV pada manusia. Uji nonklinik dan uji fase I, II, III dan IV
pada manusia memiliki fungsi masing-masing yang harus
diperhatikan dan dipenuhi, karenanya harus dilaksanakan
secara berurutan. Untuk itu perlu diperhatikan data-data yang
ada pada uji fase-fase sebelumnya. (Pengawas, Dan and
Indonesia, 2014)
Dalam hal diperlukan data keamanan lebih lanjut
dan/atau untuk konfirmasi efikasi yang telah disetujui, dapat
dilakukan melalui uji fase IV dengan ketentuan bahwa telah
dilakukan uji klinik pra-pemasaran sebelumnya dan telah
mendapat izin edar di Indonesia. (Pengawas, Dan and
Indonesia, 2014)
Obat herbal dengan penggunaan sesuai dengan riwayat
tradisional di Indonesia maka tahapan uji klinik fase I dapat
dipertimbangkan untuk tidak dilakukan. (Pengawas, Dan and
Indonesia, 2014)
Studi penentuan dosis (dose ranging study) dalam
tahapan uji klinik merupakan hal penting yang harus dilakukan.
Studi penentuan dosis tersebut, dimaksudkan untuk dapat
8 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

menentukan dosis efektif yang kemudian konsisten diberikan


pada fase-fase selanjutnya dalam uji klinik maupun setelah
kemudian dapat diedarkan. Bila telah ada konversi yang pasti
dari dosis efektif pada hewan coba kepada manusia, studi
penentuan dosis dapat tidak dilakukan. Studi penentuan dosis
dilakukan sebelum fase III uji klinik dengan memperhatikan
hasil uji LD50, serta uji toksisitas dan farmakodinamik pada
hewan coba. (Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
Uji klinik obat herbal dapat dilakukan dengan
menggunakan pembanding atau tanpa menggunakan
pembanding berdasarkan justifikasi, dengan beberapa pilihan
desain yang dapat digunakan, seperti single atau double blind.
(Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
 Single blind Peneliti mengetahui isi dari produk uji yang
digunakan, sementara subjek peserta uji klinik tidak
mengetahui;
 Double blind Peneliti serta subjek peserta uji klinik tidak
mengetahui isi dari produk uji yang digunakan.
. Penggunaan desain single dan double blind, perlu
diperhatikan bila dalam hal tertentu produk uji memiliki
kespesifikan tertentu sehingga akan mengaburkan maksud dari
digunakannya desain tersebut, seperti dari aroma yang khas
atau hal lainnya. (Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
9

Pemilihan pembanding yang digunakan harus memiliki


justifikasi ilmiah. Kelompok pembanding diperlukan untuk
mengontrol variabel-variabel perancu, sehingga hasil akhir uji
merupakan efek obat herbal yang diuji. Sebagai pembanding
digunakan produk yang merupakan pilihan untuk kondisi dalam
uji klinik dimaksud serta sudah terdaftar. (Pengawas, Dan and
Indonesia, 2014)

1.3 Tahapan uji klinis Rancangan uji klinik Fase I

Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk


pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti disini ialah
keamanan obat, bukan efetifitasnya dan dilakukan pada
sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah menentukan besarnya
dosis tungal yang dapat diterima, artinya yang tidak
menimbulkan efek samping serius. Di samping itu, juga untuk
mengetahui bagaimana proses metabolisme dan bioavailability
obat tersebut pada manusia. Hal yang harus diketahui misalnya
adalah dimana absorbsinya dan berapa kecepatannya,
bagaimana metabolismenya, ke mana distribusinya, lewat
ekskresinya dan berapa kecepatannya.(Siswosudarmo, 2016).
Dengan demikian pada uji coba klinis fase I yang penting
adalah keamanan (safety) suatu obat baru dan bukan keampu
10 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

hannya (efficacy) atau kemanjuran (effectiveness)


(Siswosudarmo, 2016).
Akan dilakukan Pengujian pada sukarelawan sehat untuk
mengetahui keamanan OHT (Obat Herbal Terstandar) pada
manusia dan untuk mengetahui rentang dosis aman serta
profil farmakokinetiknya. Jadi pengujian ini lebih focus pada
keamanan obat terkait.Pada uji klinik fase I ini menggunakan 20-
30 orang sukarelawan sehat. Sediaan OHT diberikan pada rentang
dosis terapi dan ditentukan keamanan dan profil
farmakokinetiknya yang meliputi tmax, Cmax, t1/2 dan AUC
(Muti’ah, Griana and Andhiarto, 2015).
Dosis oral (lewat mulut) yang diberikan pertama kali
pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang
diperoleh pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-
sedikit atau dengan kelipatan dua sampai diperoleh efek
farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan.
Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan
pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu
pemeriksaan lain yang lebih spesifik (Jawi, 2014).
Pada fase ini diteliti Juga sifat farmakodinamika dan
farmakokinetikanya pada manusia. Hasil penelitian
farmakokinetika ini digunakan untuk meningkatkan pemilihan
dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
11

dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga


diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami
proses farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini
dapat ditemukan maka dilakukan penelitian toksisitas jangka
panjang pada hewan tersebut. (‘Metlit BAB VI.pdf’, no date),
(Jawi, 2014).
Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara terbuka, artinya
tanpa pembandingan dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil
subjek dengan pengamatan intensif oleh orang-orang ahli
dibidangnya, dan dikerjakan di tempat yang saranannya cukup
lengkap (Jawi, 2014).
Dosis tersebut dinaikan2 kali lipat secara pelan-pelan
sampai terjadi efek farmakologis atau terjadi efek yang tidak
diinginkan(Rahmatini, 2010). Jika obat yang hendak diuji
memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi
kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang
berkaitanlah yang digunakan pada fase I (Jawi, 2014).
Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah
manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda
secara signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas
rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini
“terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang
diberikan selama percobaan.
12 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini


Pengukuran farmakokinetik (penyerapan, waktu paruh, dan
metabolisme) biasanya dilakukan pada fase I. Hasil studi fase I
(khususnya farmakokinetik) dapat dibandingkan dengan studi
pada hewan mana yang paling mirip untuk melakukan uji
toksisitas kronis pada hewan tersebut (Siswosudarmo, 2016).

1.4 Tahapan uji klinis Rancangan uji klinik Fase II

Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya


pada sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati
dengan calon obat. Tujuannya ialah melihat apakah efek
farmakologik yang tampak pad fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang ahli
dalam masing-masing bidang yang terlibat. Mereka harusikut
berperan dalam membuat protokol penelitian yang harus dinilai
terlebih dulu oleh oenitia kode etik lokal. Protokol penelitian
harus diikuti dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, dan
setiap penderita harus dimonitor dengan intensif
(Siswosudarmo, 2016).
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan
secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif.
Pada tahap ini biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang
definitif mengenai efek obat yang bersangkutan karena terdapat
berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
13

perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek placebo, dan


lain-lain (Jawi, 2014).
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu
dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya
dengan placebo, atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi
syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standart yang telah
dikenal. Ini dilakukan pada fase II atau awal fase III, tergantung
dari siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring
penderitanya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif
in, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan
secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik acak tersamar
ganda berdamping (Rahmatini, 2015).
Pada fase II ini mencakup juga penelitian dosis-efek
untuk menentukan dosis optimal yang akan digunakan
selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi
obat, terutama metabolismenya (Rahmatini, 2015).
Pada uji klinik fase 2 maka calon obat diuji pada pasien
tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati.
Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik (Jawi,
2014).
Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih
luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II
14 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus misal rumah


sakit pendidikan. Fase II dapat dipisahkan menjadi fase IIA dan
IIB.Fase IIA khusus untuk menentukan dosis dan IIB untuk
menentukan efikasi dari obat (Jawi, 2014).

1.5 Tahapan uji klinis Rancangan uji klinik Fase III

Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikasn bahwa


suatu obat baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian
pada akhir fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya
dibandingkan dengan obat standart. Penelitian ini sekaligus
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: (Pengawas,
Dan and Indonesia, 2014)
1. Efeknya bila digunakan secra luas dan dibearikan oleh para
dokter yang kurang ahli
2. Efek samping lain yang belum terlihat pda fase II
3. Dampak penggunaannya pada penderita yang tidak
diselesksi secara ketat.

Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita


yng tidak terdeteksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang
tidak terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam
oenggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini
biasanya pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama
tapi dosis berbeda, obat standart dengan dosis ekuiefektif, atau obat
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
15

lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif.


Pengujian ini dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
(Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)

Bila hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru
ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk
dipasarkan.

Uji klinik fase 3, melibatkan kelompok besar pasien


(mencapai ribuan, 300-3000 orang pasien), biasanya multicenter.
Pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya
dengan obat pembanding yang sudah diketahui (Jawi, 2014).

Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul


harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang
sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya
harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.)
yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas.

Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-


kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan
keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk
diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan
nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter (Jawi,
2014).
16 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh


badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug
Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh
MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di
negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the
Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration).(Siswosudarmo, 2016)

1.6 Tahapan uji klinis Rancangan uji klinik Fase IV

Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance


karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah
dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan
obat di masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak terikat pda
protokol penelitian, tidak ada ketentuan tentang pemilihan
penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada
fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.
(Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
Penelitian fase IV merupakan survei epidemiologi
menyangkut efek samping meupun efektifitas obat. Pada fase
IV ini dapat diamati: (Pengawas, Dan and Indonesia, 2014)
1. Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul
setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
17

2. Efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau


berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau
setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan
3. Masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-
lain.

Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik jangka panjang


dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas
dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.

Jika pengembang obat memiliki bukti dari tes awal dan


penelitian praklinis dan klinis bahwa obat yang aman dan efektif
untuk digunakan, perusahaan dapat mengajukan permohonan untuk
memasarkan obat. Tim Review FDA secara menyeluruh
memeriksa semua data yang disampaikan pada obat dan membuat
keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya. Untuk obat-
obatan penyakit langka tertentu memiliki program persetujuan
dipercepat (Yulina, 2017).

Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas,


dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul
sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di
klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui fase I. Meskipun uji
klinis memberikan informasi penting tentang efikasi dan keamanan
18 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

obat, adalah mustahil untuk memiliki informasi yang lengkap


tentang keamanan obat pada saat persetujuan. Meskipun langkah-
langkah yang ketat dalam proses pengembangan obat,tetap
memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, gambaran yang benar dari
keamanan produk ini benar-benar berkembang selama bulan dan
bahkan bertahun-tahun yang membentuk seumur hidup produk di
pasar. Tim peninjau FDA menerima laporan masalah dengan resep
dan obat over-the-counter, dan dapat memutuskan untuk
menambahkan/ memperingatkan untuk dosis atau penggunaan
informasi, serta langkah-langkah lain untuk masalah yang lebih
serius (Yulina, 2017).

Uji klinik ini dilakukan setelah obat dipasarkan, sehingga


disebut juga studi pasca pemasaran (post marketing surveillance)
yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia
dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat
nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan obat.

Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih


memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan,
sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang
dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat
antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan
kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
19

yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari
25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan
tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada
pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau
tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita
hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon
suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak
hati (Siswosudarmo, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Jawi, I. M. (2014) ‘Peran Prosedur Uji Praklinik dan Uji Klinik Dalam
Pemanfaatan Obat Herbal’, Universitas Airlangga, p. 4.

‘Metlit BAB VI.pdf’ (no date).

Muti’ah, R., Griana, T. P. and Andhiarto, Y. (2015)


‘PENGEMBANGAN PRODUK FITOFARMAKA DARI FRAKSI
ETIL ASETAT DAUN WIDURI (Calotropis gigantea) SEBAGAI
OBAT KANKER PAYUDARA’. Available at: http://repository.uin-
malang.ac.id/2059/2/2059.pdf.

Pengawas, B., Dan, O. and Indonesia, R. (2014) ‘Badan pengawas obat


dan makanan republik indonesia’, 2014.

Rahmatini, R. (2015) ‘Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji


Klinik)’, Majalah Kedokteran Andalas, 34(1), p. 31. doi:
10.22338/mka.v34.i1.p31-38.2010.

Siswosudarmo, H. R. (2016) ‘Uji Klinik Secara Random (UKR)’, p. 58.


Available at: http://obgin-ugm.com/wp-content/uploads/2017/01/RCT-
Rev-Sep-2016.pdf.

Yulina, I. K. (2017) ‘Back to Nature: Kemajuan atau Kemunduran’,


Mangifera Edu, 2(1), pp. 20–31. doi: 10.31943/mangiferaedu.v2i1.15.
Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal
21

BIODATA

Putra Syarifuddin Andi Azril.


Lahir di lamongan, 09 Januari 2001,
islam, alamat ds Pancur brak dsn
pandan Pancur, Kec deket, Kab
lamongan. Kuliah di Stikes Anwar
Medika, hobby olahraga.
Bermimpilah semaumu. Tapi jangan
lupa bangun
Elda Susanti , lahir di Pamekasan
pada tanggal 26 November 2000.
Islam, Jl. Raya Pakong Pamekasan,
Madura. Kuliah di STIKES Rumah
Sakit Anwar Medika, hobby baca,
olahraga.  Hidup bukanlah masalah
yang harus dipecahkan, tetapi
kenyataan yang harus dialami

Winda Rohmawati, Lahir di


Rembang, 13 mei 2000, islam,
jl.semawut, balongbendo, Sidoarjo.
Jawa Timur. Kuliah di Stikes anwar
medika, hobby olahraga. Tidak
penting seberapa lambat anda
melaju, selagi anda tidak berhenti.
22 Kajian Studi Klinis pada Produk Herbal

Widya Putri Purnamasari, Lahir


di Mojokerto, 16 Juli 2000, islam,
dsn Klanting ds Pulorejo kec
Dawarblandonh kab Mojokerto,
Kuliah di Stikes Anwar Medika,
Hobby Menari. Jangan tuntut
tuhanmu karena tertundanya
keinginanmu tapi tuntutlah dirimu
karena menunda perintahmu pada
tuhanmu, terus melangkah dan
yakinlah!!!
Wahyu Putri Utami, Lumajang, 23
juli 1999. Stikes Anwar Medika.
Bermusik. Desa labruk kidul kec.
Sumbersuko Kab. Lumajang.
Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo
ngasorake.

Anda mungkin juga menyukai