Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH FARMAKOLOGI

Uji Preklinik

Disusun oleh :
Kelompok 3 - Farmakologi C
Anggita Febrianauli 1706974284
Anisa Dwityamirta 1706974302
Damayanti 1706974340
Edria Rasendriya 1706078592
Karina Zulkifli 1706974486
Lola Miftahul Fidini 1706974492
Maisan Munjiyah 1706974504
Shafira Nurrrahmi 1706974580
Yoga Amarta 1706034691

Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia
2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1

1.3 Tujuan ............................................................................................................. 1

BAB II ISI ......................................................................................................................... 2

2.1 Proses Pengembangan Obat Baru ................................................................... 2

2.2 Perlunya Uji Keamanan pada Hewan ............................................................. 7

2.3 Uji yang Dilakukan Untuk Mengetahui Keamanan Obat (Uji Toksisitas) ..... 8

2.3.1 Uji Toksisitas In Vitro ........................................................................... 9


2.3.2 Uji Toksisitas In Vivo............................................................................ 9
2.3.2.1 Uji Toksisitas Umum ......................................................................... 9
2.3.2.2 Uji Toksisitas Khusus ...................................................................... 12

2.4 Metode Pengujian Keamanan Suatu Obat..................................................... 13


2.4.1 Ketentuan-Ketentuan Umum pada Uji Toksisitas .............................. 13

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... xli

ii
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Suatu penemuan dan pengembangan obat bertujuan untuk menyejahterakan
kesehatan manusia. Dalam pengembangannya sangat perlu pemastian bahwa obat
yang akan beredar itu harus terjamin keamanan dan khasiatnya pada manusia.
Sebelum dapat diujikan ke manusia, obat yang berada dalam tahap pengembangan itu
terlebih dahulu perlu melalui uji preklinis baik secara in vitro maupun in vivo pada
hewan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pengembangan obat baru? Jelaskan tahapan yang harus
dilakukan! (tahapan uji in vivo dan klinis)
2. Mengapa perlu dilakukan uji keamanan pada hewan? Jelaskan alasannya
3. Uji apa saja yang dilakukan untuk mengetahui keamanan suatu obat? Jelaskan!
4. Jelaskan bagaimana metode pengujian keamanan suatu obat! Jelaskan dengan
menggunakan literature yang VALID!

1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pengembangan obat baru dan tahapan apa saja yang
dibutuhkan untuk melakukannya.
2. Mengetahui perbedaan antara tahapan yang dilakukan dalam uji pre-klinis dan
klinis.
3. Mengetahui alasan penggunaan hewan uji dalam uji keamanan.
4. Mengetahui jenis-jenis uji kemanan.
5. Mengetahui metode apa saja yang dapat dilakukan dalam uji keamanan.

1
Bab II
ISI

2.1 Proses Pengembangan Obat Baru


a. Penemuan Obat
Seorang peneliti dapat menemukan obat melalui beberapa hal. Pertama,
adanya wawasan baru mengenai suatu proses penyakit sehingga peneliti merancang
obat yang dapat menhentikan efek dari penyakit tersebut. Kedua, banyak
dilakukannya pengujian pada senyawa-senyawa kimia yang menyebabkan
ditemukannya efek yang menguntungkan dalam melawan penyakit. Ketiga,
pengobatan yang sudah ada memiliki efek yang tak terduga sehingga dibutuhkan
penemuan alternatif atau pengobatan pengganti. Terakhir, adanya teknologi baru yang
memberikam cara-cara baru untuk menargetkan suatu situs target obat spesifik atau
untuk memanipulasi gen.
Penemuan obat merupakan proses pengidentifikasian senyawa untuk
menemukan agen farmakologis aktif yang berpotensi sebagai obat. Senyawa yang
didapatkan dari tahap ini disebut hit. Terdapat dua pendekatan untuk identifikasi hit:
1. Compound-centered
Senyawa diidentifikasi terlebih dahulu dan dieksplorasi profil
biologisya. Apabila memiliki aktivitas biologis, senyawa tersebut akan
disempurnakan dan dikembangkan untuk menjadi obat.
2. Target-centered
Pengidentifikasian hit dimulai dengan mengidentifikasi terlebih dahulu
sesuatu yang diduga dapat menjadi target obat. Setelah itu, dilakukan
pencarian senyawa yang dapat berinteraksi dengannya.
Apabila disimpulkan, proses penemuan obat berawa dari sintesis obat. Sintesis
obat dapat dilakukan dari produk biologis seperti tumbuhan, jaringan hewan, kultur
mikroba, sel manusia, dan teknologi gen atau dari modifikasi senyawa kimia.
Kemudian senyawa yang didapatkan dari hasil sintesis ini harus melalui proses drug
screening, di mana senyawa yang berpotensi sebagai obat itu akan dilihat aspek
farmakologisnya, mekanisme aksinya, dan lain-lain. Tujuan dari screening ini yaitu
untuk mengetahui modifikasi apa yang perlu dilakukan agar senyawa obat tersebut
dapat mencapai hasil yang diinginkan. Proses screening ini akan menghasilkan

2
sebuah lead compund, yaitu kandidat obat yang diperkirakan akan berhasil dan akan
dilanjutkan ke tahap uji pre-klinik dan uji klinik.
b. Uji Pre-klinik
Uji pre-klinik adalah pengujian senyawa obat secara in vitro dan in vivo pada
hewan uji untuk melihat keamanan serta efektivitas calon obat sebelum dapat diuji
pada manusia. Uji pre-klinik ini menguji aspek farmakokinetika, farmakodinamika,
dan toksisitas. Pengujian ini terbagi menjadi dua, yaitu tahap in vitro dan tahap in
vivo.
1. In vitro
Tahap ini merupakan pengujian di luar tubuh hewan dengan
menggunakan sel, jaringan, organ kultur, atau komponen biologis seperti
protein di atas cawan petri. Uji ini memungkinkan kontrol dan pemantauan
yang ketat serta memberikan bukti dan wawasan mekanistik atau wawasan
yang sesuai dengan prosedur dan aturan baku. Pada pengujian ini, dapat terjadi
perbedaan perilaku antara sel yang berada di cawan petri dengan sel sel yang
berada di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan di dalam tubuh sel akan
berinteraksi dengan jutaan sel lainnya, sementara di cawan petri tidak.
2. In vivo
Tahap ini merupakan pengujian dengan menggunakan hewan uji secara
keseluruhan. Pada uji ini, pengontrolan cenderung lebih sulit dan senyawa bisa
berbeda perilaku dengan yang ada di uji in vitro. Hal ini dikarenakan tubuh
hewan jauh lebih kompleks daripada kultur di cawan petri. Pemilihan hewan
disesuaikan dengan jenis pengujian dan beberapa kriteria seperti fisiologi
spesifik spesies, kesamaan dengan organ target, jalut metabolisme, biaya,
peraturan, dan pertimbangan etis. Hewan yang bisa digunakan adalah hewan
pengerat dan nonpengerat. Tikus biasa digunakan untuk uji ini karena genom
tikus dan manusia sangat mirip.

c. Uji Klinik
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya
uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering
timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Bila uji klinik tidak dilakukan
maka dapat terjadi malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum
3
seperti pernah terjadi dengan talidomid (1959-1962). Setiap obat yang ditemukan
melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa khasiatnya benar-
benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia. Uji klinik terdiri
dari 4 fase, yang terdiri dari tiga fase sebelum pemasaran (fase 1, 2, dan 3) dan satu
fase (fase 4) pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Uji klinik melibatkan
manusia sebagai subjeknya, jadi manusia yang menjadi subjek (pasien) harus
diberitahu tentang status penyelidikan obat serta risiko yang mungkin akan terjadi.
Mereka memiliki hak untuk menolak atau menyetujui untuk berpartisipasi dan
menerima obat yang akan diuji. Peraturan-peraturan ini didasarkan pada prinsip-
prinsip etika yang ditetapkan dalam Deklarasi Helsinki (1966). Di Indonesia,
peraturan tentang tata laksana uji klinik tertuang pada keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 02002/SK/KBPOM.

1. Uji klinik fase 1


Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak
menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang diberikan
pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan
efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada hewan, dosis
berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai
diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan.
Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan
hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih
spesifik. Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan
farmakokinetikanya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini
digunakan untuk meningkatkan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya.
Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga
diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses
farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan maka
dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan tersebut.

4
Uji klinik fase 1 ini dilaksanakan secara terbuka (nonblind/open)
dimana subjek (manusia) dan peneliti tahu apa yang sedang diberikan. artinya
tanpa pembanding dan tidak tersamar. Fase ini biasanya dilakukan di pusat
penelitian yang memiliki sarana yang cukup lengkap oleh ahli farmakologi
klinis yang terlatih khusus. Total jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara
20-100 orang sehat. Namun, jika obat yang diuji memiliki efek toksisitas yang
signifikan seperti obat kanker dan AIDS maka, subjek yang digunakan adalah
subjek yang memiliki penyakit tersebut.

2. Uji klinik fase 2


Jumlah subjek yang di uji pada fase ini antara 100-200 penderita.
Tujuannya adalah untuk membuktikan konsep yang telah ada yang diperoleh
pada uji fase 1 dan uji secara in vitro. Fase ini dapat menggunakan metode
buta tunggal (single-blind). Single-blind yaitu metode dimana subjek tidak
tahu apa yang sedang diberikan, dengan pemberian placebo inert atau obat
yang telah terstandar dan obat aktif uji sebagai kontrol positifnya.
Adanya pemberian placebo kepada kelompok subjek bertujuan untuk
membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, selain pemberian placebo pilihan
lain yang bisa diterapkan pada metode single-blind adalah dengan cara
pemberian obat yang telah terstandar.
Pada fase 2 ini tercakup juga penelitian dosis efek untuk menentukan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut
mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Fase ini biasanya
dilakunan di klinik khusus seperti rumah sakit universitas

3. Uji klinik fase 3


Obat dievaluasi dalam jumlah yang jauh lebih besar dari subjek
penderita, untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-benar berkhasiat
dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standar.
Menggunakan informasi yang dikumpulkan dalam fase 1 dan 2, percobaan
fase 3 dirancang untuk meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh efek
plasebo, variabel penyakit, dll. Oleh karena itu, teknik double-blind dan
crossover sering digunakan.Teknik double-blind adalah teknik dimana subjek
dan peneliti tidak tahu identitas obat yang sedang diberikan, yang mengetahui
5
identitas obat tersebut adalah kelompok khusus yang terdiri oleh dokter,
apoteker, dan perawat. Identitas/label obat akan dibuka setelah semua
rangkaian uji selesai. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan bias peneliti.
Sedangkan pada teknik crossover subjek dapat berperan sebagai kontrol bagi
dirinya sendiri dan subjek yang dibutuhkan bisa lebiih sedikit daripada teknik
paralel. Uji klinik fase 3 dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak
terseleksi ketat. sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan
sehari-hari dimasyarakat. Fase bisa sulit untuk dirancang dan dilaksanakan
karena biayanya yang disebabkan oleh jumlah subjek yang terlibat dan massa
data yang harus dikumpulkan dan dianalisis. Bila hasil uji klinik fase 3
menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat
diizinkan untuk dipasarkan. Jika timbul masalah, misalnya, toksisitas yang
tidak terduga tetapi serius, uji klinik tambahan diperlukan dan proses
persetujuan dapat diperpanjang hingga beberapa tahun. Dalam kasus di mana
kebutuhan obat (misalnya, kemoterapi kanker), proses pengujian praklinis dan
klinis dan tinjauan FDA mungkin dipercepat. Jumlah penderita yang
diikutsertakan pada fase 3 antara 1000-6000 penderita.

4. Uji klinik fase 4


Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena
merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini
tidak tidak terikat pada protokol penelitian; tidak ada ketentuan tentang
pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada fase
ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.
Penelitian fase 4 merupakan survei epidemiologi menyangkut efek
samping maupun efektifitas obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek
samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat
bertahun-tahun lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat
atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah
penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan
berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain. Uji Fase 4 dapat juga berupa uji
klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap
6
morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat
ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek
samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi
yang lain, tanpa melalui uji fase 1. Hal seperti ini terjadi pada golongan
salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan anti piretik. Efek
urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan. Hipoglikemik oral juga
ditemukan dengan cara serupa.
Kasus sebenarnya yang terjadi di masyarakat yaitu, suatu obat akan di
teliti atau diperiksa lebih lanjut bila terdapat keluhan oleh masyarakat yang
ditujukan untuk produsen obat. Suatu obat dapat kehilangan hak patennya atau
dicabut izin edarnya bila ternyata terdapat zat yang tidak sesuai yang bisa
membahayakan masyarakat. Di Indonesia yang berperan penting pada fase 4
ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2.2 Perlunya Uji Keamanan pada Hewan

Tujuan uji keamanan pada hewan diperlukan karena beberapa hal


berikut :
1. Hewan memiliki ciri-ciri yang sama dengan manusia.
2. Apabila obat tersebut diuji pada hewan maka dapat diprediksi juga
efeknya kepada manusia.
3. Memprediksi efek toksik spesifik yang perlu dimonitor pada uji
klinik
Hasil uji keamanan pada hewan tidak dapat digunakan secara mutlak
untuk membuktikan keamanan suatu sediaan pada manusia, namun uji ini
dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relative dan membantu
identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia.

2.3 Uji yang Dilakukan Untuk Mengetahui Keamanan Obat (Uji Toksisitas)

7
Uji Toksisitas Obat

Uji Toksisitas In Vitro Uji Toksisitas In Vivo

Uji Toksisitas Umum Uji Toksisitas Khusus


1) Akut 1) Uji Teratogenik
2) Subkronis 2) Uji Karsinogenik
3) Kronis 3) Uji Mutagenik
4) Uji Sensitasi Kulit
5) Uji Iritasi Mata

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan
yang akan digunakan sebagai obat. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat
memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat/bahan pada hewan coba atau
bahan biologi lainnya sebelum zat/bahan tersebut digunakan di klinik. Sedangkan uji aktivitas
(khasiat) obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji yang
dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metodologi dan parameter yang ditentukan
berdasarkan tujuan penggunaan bahan uji yang akan dipakai di klinik.
Dalam penelitian obat, baik bahan obat yang berbasis bahan alam maupun bahan
kimia yang akan dikembangkan sebagai obat baru harus melalui tahapan penelitian
berdasarkan prosedur pengujian yang telah disepakati WHO yaitu melalui Uji praklinik dan
uji klinik. Uji praklinik adalah suatu uji yang dilakukan pada hewan coba dengan tujuan
untuk menentukan keamanan dan khasiat suatu bahan uji secara ilmiah sebelum dilakukan uji

8
klinik. Sedangkan uji klinik adalah suatu uji yang dilaksakan pada manusia yang meliputi 4
tahapan fase uji, yang dilaksanakan pada orang sehat dan orang sakit yang disesuaikan
dengan tujuan penggunaan bahan uji untuk dipakai di klinik, termasuk uji monitoring efek
samping obat (MESO).

2.3.1 Uji Toksisitas In Vitro

Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian yakni uji toksisitas in vitro
(suatu uji yang dilaksanakan diluar tubuh hewan coba) dan uji toksisitas in vivo (di dalam
tubuh hewan coba). Uji toksisitas in vitro adalah suatu uji untuk menentukan tingkat
ketoksikan suatu bahan yang di uji menggunakan media biakan bahan biologi tertentu yang
merupakan subjek dari pengujian. Pada umumnya uji toksisitas in vitro hanya untuk obat
terbatas saja, sebagai contoh uji obat antiinfeksi (antibiotik) menggunakan kultur media
bakteri penyebab penyakit, obat antivirus menggunakan kultur jaringan untuk
perkembangbiakan virus tertentu, obat antikanker menggunakan kultur jaringan sel kanker
(sel myeloma) atau sel normal (fibrobalas) dan anthelmintik (obat cacing) menggunakan
kultur/media cacing dapat tumbuh dan berkembang, demikian pula terhadap obat antijamur.
Informasi yang diperoleh dari hasil uji toksisitas in vitro adalah mengetahui besarnya
konsentrasi bahan uji yang dapat membunuh 50% (lethal concentration 50% = LC50) dari
bahan biologi yang di kultur atau di benihkan, disamping juga dapat menentukan aktivitas
suatu bahan uji dalam menghambat atau membunuh penyebab penyakit secara in vitro.
Sedangkan untuk mengetahui keamanan bahan uji yang telah lolos melalui uji toksisitas in
vitro, masih dilakukan tahapan uji toksisitas in vivo sebelum pelaksanaan uji lebih lanjut.

2.3.2 Uji Toksisitas In Vivo

Uji toksisitas in vivo adalah suatu uji toksisitas yang dilakukan pada hewan coba,
dengan tujuan untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu zat/bahan terhadap perubahan
fungsi fisiologis maupun perubahan yang bersifat patologis pada organ vital dalam kurun
waktu tertentu. Uji toksisitas in vivo meliputi uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus.
Berdasarkan lama waktu terjadinya efek toksik maka uji toksisitas umum dibagi atas tiga
bagian yakni uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis dan uji toksisitas kronis, sedangkan
uji toksisitas khusus meliputi uji teratogenik, uji kasinogenik dan uji mutagenik.

2.3.2.1 Uji Toksisitas Umum


1. Uji Toksisitas Akut

9
Uji toksisitas akut adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu
zat/bahan yang dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 24 jam, dengan dosis tunggal
atau dosis berulang. Tujuan dilakukan uji toksisitas akut adalah disamping untuk menentukan
bahaya pemaparan suatu bahan secara akut, juga untuk menentukan batas keamanan (margin
of safety) suatu bahan dengan menentukan dosis yang menyebabkan kematian 50% pada
hewan coba (lethal dose 50% = LD50). Rute pemberian dalam pelaksanaan uji toksisitas akut
pada hewan coba dilakukan dengan 2 cara yakni (1) Cara pemberian yang di sarankan untuk
dipakai di klinik, (2) Cara pemberian intravena, jika memungkinkan, hal ini dimaksudkan
untuk meyakinkan bila terjadi pemaparan bahan uji secara sistemik. Hewan coba yang
dipakai sedikitnya dua spesies mamalia, termasuk spesies nonroden jika memungkinkan,
serta dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Untuk bahan uji yang mempunyai daya toksisitas
rendah dimulai dengan dosis maksimum yang tidak menimbulkan efek toksik.

Tabel 1. Kriteria tingkat ketoksikan suatu bahan berdasarkan LD50 pada hewan coba
Derajat Ketoksikan LD50
Luar biasa toksik ≤ 1 mg/kb.bb.
Sangat toksik 1-50 mg/kb.bb.
Cukup toksik 50-500 mg/kb.bb.
Sedikit toksik 500-5000 mg/kb.bb.
Praktis tidak toksik 5000-15000 mg/kb.bb.
Tidak berbahaya ≥15000 mg/kb.bb.

Pengamatan terhadap hewan coba dilakukan dalam jangka waktu 24 jam setelah
pemberian bahan uji terhadap timbulnya gejala keracunan seperti kejang, diare, vomit, sesak
nafas dan lainnya, jumlah kematian, mula kerja obat, lama kerja obat serta perubahan fungsi
organ vital tubuh hewan coba. Terhadap hewan coba yang masih hidup dilakukan
pengamatan sampai maksimal 14 hari.

2. Uji Toksisitas Subkronis

Uji Toksisitas Subkronis Oral

Uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji
tertentu, selama kurang dari tiga bulan atau tidak lebih dari 10% total umur hewan.
Prinsipnya adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada

10
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari.
Hewan yang telah mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode
rigor mortis (kaku) segera diotopsi, dan organ serta jaringan diamati.
Uji toksisitas subkronis oral ini mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:
1. Mengetahui ada tidaknya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut.
2. Mengetahui kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara
berulang dalam jangka waktu tertentu.

Pada uji toksisitas subkronis oral ini, ada beberapa hal yang perlu diamati, yaitu:
1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur
paling tidak tujuh hari sekali.
3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.
4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.
5. Pemeriksaan biokimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba.
6. Analisis urin paling tidak sekali.
7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba
Uji Toksisitas Subkronis Dermal
Merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan melalui rute dermal pada hewan
uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip uji
toksisitas subkronis dermal ini ialah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap
hari yang dipaparkan melalui kulit pada beberapa kelompok hewan uji. Dan selama waktu
pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan keadaan
toksisitasnya. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati
periode rigor mortis (kaku) segera diautopsi, organ dan jaringan diamati secara
makropatologi dan histopatologi. Uji ini memiliki beberapa tujuan yaitu:
1. Mendeteksi efek toksik zat yang belum terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal
2. Mendeteksi efek toksik setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara berulang
dalam jangka waktu tertentu
3. Mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah pemaparan sediaan
uji melalui kulit secara berulang dalam jangka waktu tertentu.

3. Uji Toksisitas Kronis Oral

11
Uji toksisitas kronis oral adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan
dosis berulang pada hewan uji tertentu, sampai seluruh umur hewan uji. Pemberian sediaan
uji diberikan tidak kurang dari 12 bulan. Uji ini memiliki kesamaan prinsip dengan uji
subkronis oral, yaitu pemberian sediaan uji dengan tingkat dosis berbeda yang diberikan
kepada beberapa kelompok hewan uji (satu kelompok hewan uji diberikan satu tingkat dosis)
selama 28 dan/atau 90 hari. Uji toksisitas kronis oral ini mempunyai beberapa tujuan,
diantara lain:
1. Untuk mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang
selama waktu yang panjang
2. Menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik.

Adapun terdapat beberapa hal yang perlu diamati dalam uji toksisitas kronis oral,
yaitu:
1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur
paling tidak tujuh hari sekali.
3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.
4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.
5. Pemeriksaan biokimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba.
6. Analisis urin paling tidak sekali.
7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba.

2.3.2.2 Uji Toksisitas Khusus

1. Uji Teratogenisitas

Uji teratogenisitas merupakan Uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya


abnormalitas fetus karena pemberian sediaan uji selama masa pembentukan fetus.
Abnormalitas yang dimaksud meliputi bagian luar (morfologi), jaringan lunak dan kerangka
fetus. Prinsip dari uji ini ialah dengan memberikan beberapa tingkat dosis pada beberapa
kelompok hewan bunting selama paling sedikit masa organogenesis dari kebuntingan, satu
dosis per kelompok. Satu hari sebelum waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan
dilakukan evaluasi terhadap fetus.

2. Uji Mutagenik

12
Uji mutagenik adalah uji berefek pada kestabilan genetika dan mutasi pada
pengkulturan sel di bakteri atau mamalia.Pada uji mutagenik, ada beberapa tes yang
digunakan.Tes yang digunakan pada uji ini adalah dominant lethal test dan tes patogenitas
pada tikus.

3. Uji Karsinogenik

Uji karsinogenik dilakukan dalam 2 tahun dan dilakukan dalam 2 spesies. Dapat
digunakan ketika obat ingin digunakan pada tubuh untuk jangka waktu yang panjang untuk
menentukan patalogi pada tingkat jaringan. Parameter yang diamati pada uji karsinogenik ini
adalah terbentuknya neoplasma.

4. Uji Sensitasi Kulit

Uji sensitasi kulit adalah uji yang dilakukan untuk identifikasi zat yang berpotensi
menyebabkan sensitasi kulit. Prinsip uji ini adalah dengan menginduksi hewan uji dengan
dan tanpa FCA (Freund’s Complete Adjuvant) secara injeksi intradermal dan topikal untuk
membentuk respon imun lalu dengan melakukan Uji Tantang (Challenge test). Tingkat reaksi
atau sensitasi kulit dinilai dari skala Magnusson dan Kligman.

5. Uji Iritasi Mata


Uji ini dilakukan pada hewan (kelinci albino) untuk mendeteksi efek toksik setelah
pemaparan sediaan uji pada mata.Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis
tunggal dipaparkan ke salah satu mata pada beberapa hewan uji kontrol (mata hewan uji yang
tidak diberi perlakuan). Derajat iritasi mata dilihat dari ada tidaknya cedera pada konjungtiva,
korne dan iris pada interval waktu tertentu.

2.4 Metode Pengujian Keamanan Suatu Obat


2.4.1 KETENTUAN-KETENTUAN UMUM PADA UJI TOKSISITAS

A. SEDIAAN UJI
Sifat zat yang diuji menentukan hasil dari uji toksisitas. Oleh karena itu dibutuhkan
beberapa informasi terkait sediaan uji tersebut sebelum dilakukan uji toksisitas.

13
Informasi yang Dibutuhkan

Sediaan Uji Zat Kimia Sediaan Uji Simplisia Tanaman Obat

Identitas bahan Nama latin dan nama daerah tanaman

Sifat fisiko- kimia Deskripsi daerah penanaman

Kemurnian Bagian tanaman yang digunakan

Kadar cemaran Pemerian simplisia

Cara pembuatan dan penanganan


simplisia

Kandungan kimia simplisia

B. PENYIAPAN SEDIAAN UJI


Sediaan uji dapat dibuat dengan bermacam-macam cara, sesuai dengan sifat sediaan
uji dan cara pemberiannya. Sediaan uji dapat berupa:
1. Formulasi dalam media cair
a. Jika sediaan uji larut dalam air, sediaan uji harus dibuat dalam bentuk
larutan dalam air.
b. Bila sediaan uji tidak larut dalam air, sediaan uji dibuat dalam bentuk
suspensi.
c. Bila tidak dapat dilakukan dengan cara – cara tersebut diatas, sediaan uji
dilarutkan dalam minyak yang tidak toksik, misalnya minyak zaitun atau
minyak jagung.
2. Campuran pada makanan
Pada uji toksisitas dengan pemberian berulang seperti pada uji toksisitas
subkronis, dengan pertimbangan kepraktisan, sediaan uji dapat diberikan
dengan mencampur dalam makanan atau minuman hewan uji.
3. Sediaan uji simplisia tanaman obat

14
Sediaan uji simplisia tanaman obat dibuat seperti penggunaan pada
manusia atau cara lain yang sesuai, misalnya penyarian dengan etanol.
Penyarian menggunakan air dapat dilakukan dengan cara diseduh, direbus
atau dengan cara penyarian yang lain selama dapat menjamin tersarinya
kandungan simplisia secara sempurna.

C. DOSIS UJI
Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan yang
lazim pada manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap
yang mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia
sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atau sampai
batas dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada hewan uji.

D. KELOMPOK KONTROL
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi pelarut/pembawa
sediaan uji dan digunakan juga kelompok kontrol tanpa perlakuan tergantung dari
jenis uji toksisitas.

E. CARA PEMBERIAN SEDIAAN UJI


Pada dasarnya pemberian sediaan uji harus sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparan yang diterapkan pada manusia misalnya peroral (PO), topikal, injeksi
intravena (IV), injeksi intraperitoneal (IP), injeksi subkutan (SK), injeksi intrakutan
(IK), inhalasi, melalui rektal dll.

F. HEWAN UJI

G. KONDISI RUANGAN DAN PEMELIHARAAN HEWAN UJI


Ruangan yang digunakan untuk percobaan hendaknya memenuhi persyaratan
suhu (22° ± 3° C), kelembaban (30–70%), penerangan (12 jam terang 12 jam gelap)
dan kebisingan yang sesuai dengan kebutuhan hidup hewan uji.

Hewan diberi pakan yang sesuai standar laboratorium dan dipelihara dalam
kandang yang terbuat dari material yang kedap air, kuat dan mudah dibersihkan. Luas

15
area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For Animals Used In
Biomedical Research (2008) sebagai berikut :

Hewan Uji Berat Hewan Uji Luas Alas Kandang Tinggi

Mencit 15 - 25 g 77,4 cm2 12,7 cm

Tikus 100 - 200 g 148,4 cm2 17,8 cm

Kelinci 2 - 4 kg 270 cm2 40,64 cm

Marmut 300 - 350 g 387 cm2 17,18 cm

H. CARA MENGORBANKAN HEWAN UJI


Ada beberapa cara mengorbankan hewan uji pada uji toksisitas. Pada
prinsipnya, hewan uji dikorbankan sesuai dengan kaidah-kaidah cara dan teknik
pengorbanan hewan sesuai dengan ethical clearence deklarasi Helsinki serta tidak
mempengaruhi hasil uji toksisitas.
1. Eutanasi
Sebelum hewan uji dikorbankan, dilakukan anestesi terlebih dahulu.
Hewan dipegang secara hati-hati tanpa menimbulkan rasa takut, lalu hewan di
korbankan dengan salah satu teknik mengorbankan hewan di suatu tempat
terpisah dan dijaga agar tidak ada hewan hidup di sekitarnya.

2. Teknik mengorbankan hewan uji ada beberapa cara antara lain :


a. Cara dislokasi leher untuk hewan kecil
b. Cara anestesi secara inhalasi atau penyuntikan
c. Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis atau arteri karotis

I. CARA PENANDAAN HEWAN UJI


Penandaan hewan uji dilakukan dengan cara memberikan larutan asam pikrat
10% dalam alkohol. Penandaan biasanya dilakukan seperti pada Gambar 1 dan Tabel
2.

16
J. CARA MEMEGANG (HANDLING) HEWAN UJI
Pemegangan hewan uji secara benar sangat diperlukan saat pemberian sediaan
uji dengan cara oral, Pemengangan yang salah dapat berakibat fatal, seperti kematian
hewan uji dan kecelakaan kerja. Cara pemeganan hewan uji yang benar dapat dilihat
pada Gambar 2,3, dan 4

Gambar 2. Cara memegang mencit pada pemberian sediaan uji secara oral

17
Gambar 3. Cara memegang tikus pada pemberian sediaan uji secara oral

Gambar 4. Cara memegang kelinci

K. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada uji toksisitas dianalisis dengan metode analisis yang
sesuai.

L. PELAPORAN
Setiap data atau informasi yang diperoleh harus dicatat serta didokumentasikan
secara rinci dan sistematis.

M. ETHICAL CLEARANCE
Pada setiap pengujian yang menggunakan sampel dari hewan perlu dibuat
ethical clearance dari komisi etik.

PEDOMAN UJI

A. TOKSISITAS AKUT ORAL


1. Metode Konvensional
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih atau mencit. Syarat hewan
uji adalah sehat, umur 5-6 minggu untuk mencit, 8-12 minggu untuk tikus. Sekurang-
kurangnya 3 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor dengan jenis
kelamin sama (jantan atau betina). Jika digunakan hewan uji berkelamin betina, maka
hewan uji tersebut harus nullipara dan tidak sedang bunting.
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis terendah adalah dosis
tertinggi yang sama sekali tidak menimbulkan kematian, sedangkan dosis tertinggi

18
adalah dosis terendah yang menimbulkan kematian 100 %. Dengan interval dosis
yang mampu menghasilkan rentang toksisitas dan angka kematian. Dari data ini akan
diperoleh suatu kurva dosis-respon yang dapat digunakan untuk menghitung nilai
LD50.
Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak menimbulkan kematian,
maka uji tidak perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis bahan uji yang lebih
tinggi. Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya
aquadestilata, minyak nabati) sesuai dengan dosis yang dikehendaki.
Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian
(konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan(konsentrasi tetap). Jumlah cairan
maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Sediaan uji
dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak
nabati).
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan
selama 14-18 jam, mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan).
Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji diberikan
dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat
diberikan beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24
jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam
untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka
pakan boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode pemberian
sediaan uji tersebut.
Pengamatan dilakukan tiap hari selama sekurang-kurangnya 14 hari terhadap
system kardiovaskuler, pernafasan, somatomotor, kulit dan bulu, kejang, salivasi,
diare, letargi, lemah, tidur dan koma. Pengamatan meliputi waktu timbul dan
hilangnya gejala toksik serta saat terjadinya kematian. Hewan uji yang sekarat
dikorbankan dan dimasukkan dalam perhitungan sebagai hewan yang mati. Hewan
ditimbang sedikitnya 2 kali dalam 1 minggu.
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas
dalam bentuk tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan
yang mati karena sekarat (keadaan moribound).
19
2. Fixed Dose Method
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih atau mencit. Umumnya
digunakan tikus betina karena sedikit lebih sensitive dibandingkan tikus jantan. berat
badan, namun bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat
badan. Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian
(konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji
utama. Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50,
300 dan 2000 mg/kg BB. Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam
pada setiap dosis dan semua hewan harus diamati sekurangkurangnya selama 14 hari.
Bila kematian terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga nilai cutt-off LD50 adalah 5
mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus tanpa perlu
melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur
tambahan.
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi
kematian pada uji pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan
pada waktu terjadinya gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya
sampai diketahui apakah hewan masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4).
Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji
dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah.
Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis awal dan uji
selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor hewan uji untuk
tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1 ekor hewan dari uji
pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval waktu antara dosis uji ditentukan
oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji pada tahap
dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut
bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari,
namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan dengan
animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan
bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi manusia,
hewan atau lingkungan.

20
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit
pertama setelah pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24
jam pertama dan sehari sekali setelah itu selama 14 hari. Hal- hal yang harus diamati
dalam periode observasi adalah:
a. Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan
sediaan uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan
harus dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang
dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus
dinekropsi.
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas
dalam bentuk tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan
yang mati karena dikorbankan; waktu kematian masing-masing hewan; gambaran
dampak toksik dan waktu dampak toksik; waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan
penemuan nekropsi.

B. TOKSISITAS SUBKRONIS ORAL PADA RODENSIA


Pada uji subkronis oral ini, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap
hari pada kelompok hewan uji. Hewan uji tersebut harus diamati setiap hari untuk
menentukan adanya toksisitas. Apabila terdapat hewan uji yang mati di tengah
percobaan ini, maka hewan uji tersebut harus segera diotopsi sebelum mulai kaku.
Pada akhir percobaan, semua hewan uji yang telah dipapaprkan sediaan uji diotopsi
dan diperiksa secara makropatologi, hemaologi, biokimia klinis dan histologi. Tujuan
dari uji subkronis oral untuk mengetahui adanya toksisitas yang tidak terdeteksi pada
uji akut oral dan diberi secara berulang, dosis yang dipakai sediaan uji agar tidak
menimbulkan toksik serta mengetahui adanya efek reversibilitas jika terjadi toksisitas.
Uji toksisitas subkronis oral ter bagi menjadi dua, yaitu :
a) Uji Toksisitas Subkronis Singkat Oral 28 hari pada Rodensia, yaitu untuk
mengetahui sediaan uji tersebut aman dipakai sekali atau secara berulang.

21
b) Uji Toksisitas Subkronis Oral 90 hari pada Rodensia, yaitu untuk menguji
toksisitas sediaan uji yang diberikan secara berulang dalam waktu 1 – 4 minggu.
Uji toksisitas subkronis oral pada rodensia diawali dengan tahap menyiapkan hewan
uji. Hewan uji yang dipakai adalah tikus putih atau mencit yang telah berumur 6-8
minggu dan dalam kondisi yang sehat. Hewan uji yang digunakan untuk uji toksisitas
subkronis singkat oral 28 hari dibagi kelompok berdasarkan tingkatan dosis yang
ingin diuji. Masing-masing dari kelompok dosis terdiri dari 5 ekor hewan betina dan 5
ekor hewan jantan. Sedangkan untuk uji toksisitas subkronis oral 90 hari, setiap
kelompok terdiri dari 10 ekor betina dan 10 ekor jantan. Selanjutnya, jika terjadi
keakutan atau efek toksik yang kronis, maka dibutuhkan 2 kelompok satelit
(kelompok kontrol dan kelompok dosis tinggi) yang terdiri dari 5 ekor hewan betina
dan 5 ekor hewan jantan pada masing-masing kelompok. Kelompok satelit ini akan
diamati pada 14 hari (pada uji subkronis oral 28 hari) atau 28 hari (pada uji subkronis
oral 90 hari) setelah masa uji. Hewan-hewan uji ini harus diaklimatisasikan di
laboratorium selama kurang lebih 7 hari. Dosis sediaan uji dibagi menjadi tiga
tingakatan, yaitu dosis paling tinggi, dosis menengah dan dosis rendah. Dosis sediaan
uji yang paling tinggi harus menimbulkan efek toksik, namun tidak sampai
menimbulkan kematian atau gejala toksisitas yang berat, dosis sediaan uji menengah
menimbulkan gejala toksik yang ringan dan dosis sediaan uji rendah tidak menibulkan
gejala toksik. Jika pada dosis 1000 mg/kg berat badan, maka dosis tidak perlu
ditingkatkan dan dapat dikatakan bahwa sediaan uji telah lulus uji subkronis oral.
Sebelum dipaparkan pada hewan uji, sediaan uji perlu dilarutkan dengan bahan
pembawa yang sesuai dan diberikan sesuai dengan cara pemberian pada manusia.
Pada masa percobaan, hewan uji juga dimonitoring berat badan dn makan setiap hari.
Setalah akhir percobaan, darah hewan uji diambil untuk dilakukan pemeriksaan secara
hematologi dan biokimia klinis. Hewan uji dikorbankan dan dibedah untuk
pemeriksaan makropatologi dan histoptologi. Hasil dari pengujian ini dievaluasi dan
dibuat laporan hasil pengujian.

C. TOKSISITAS KRONIS ORAL RODENSIA


Prosedur :
Hewan Uji dan Jumlah
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley
atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Syarat hewan uji
22
adalah sehat, umur 4-5 minggu, dan sebelum percobaan dimulai,
hewandiaklimatisasidiruangpercobaanselamalebihkurang7hari.. Masing-masing
kelompok dosis menggunakan hewan minimal 40 ekor yang terdiri dari 20 ekor jantan
dan 20 ekor betina untuk setiap kelompok dosis, 20 ekor hewan yang terdiri dari 10
ekor jantan dan 10 ekor betina diotopsi pada bulan ke-6 (kelompok ad interim).

Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis yang berbeda, 1 kelompok
kontrol dan kelompok ad-interim (semua dosis dan kelompok kontrol)untuk
setiapjeniskelamin.Tingkatdosisyangpalingtinggiharusmenunjukkanefek toksik tetapi
tidak menimbulkan insiden fatal; tingkat dosis
menengahmenunjukkantingkatanpengaruhtoksik;sedangkantingkatdosisyangpaling
rendah tidak menimbulkan gejala toksikNOAEL.

Batas Uji

Bila pada dosis 1000 mg/kg berat badan tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perlu dinaikkanlagi.

Penyiapan Sediaan Uji

Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya


aquadestilata, minyak nabati)sampai dengan dosis yang dikehendaki.

Cara Pemberian dan Volume Pemberian

Pada dasarnya cara pemberian sediaan uji harus disesuaikan dengan cara
pemberianataupemaparanyangditerapkanpadamanusia,biasanyadiberikan secara
oral dengan volume pemberian 1 mL sediaan uji per 100 g berat badan hewan.

Waktu Pemberian Sediaan Uji

Sediaan uji diberikan setiap hari selama tidak kurang dari 12 bulan.

Pengamatan

Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang berupa


perubahan kulit, bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi, perubahan cara

23
jalan, tingkah laku yang aneh (misalnya berjalan mundur), kejang dilakukan setiap
hari selama 12 bulan.

Monitoring Berat Badan dan Konsumsi Makanan

Hewan ditimbang setiap hari untuk menentukan volume sediaan uji yang
akan diberikan.

Pengambilan Darah

Darah diambil menggunakan alat suntik steril dan selalu dijaga agar tidak
terkena air (untuk menghindari terjadinya hemolisis). Setelah hewan dianestesi
dengan eter darah diambil dari vena jugularis secara perlahan-lahan menggunakan
alat suntik steril sebanyak 3–5 mL, satu alat suntik digunakan untuk satu hewan.
Sebanyak 0,5 mL darah dimasukkan kedalam tabung mikrosentrifus yang telah
diisi antikoagulan (EDTA) sebanyak 10 µL untuk pemeriksaan hematologi,
sebanyak 0,5 mL darah untuk pembuatan apusan darah. Sisanya dimasukkan
kedalam tabung pemusing/tabung sentrifus dan didiamkan pada suhu kamar selama
10 menit, kemudian dipindahkan ke dalam tangas es tidak boleh kurang dari 20
menit dan segera dipusingkan/disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000
rpm. Selanjutnya serum dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku (-200C) untuk
pemeriksaan biokimiaklinis.

Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi meliputi: konsentrasi hemoglobin, jumlah eritrosit,


jumlah leukosit, diferensial leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit),
perhitungan tetapan darah yaitu: MCV, MCH, MCHC dan penetapan deferensial
leukosit.

Pemeriksaan Biokimia Klinis

Pemeriksaan biokomia klinis menurut OECD (2001) meliputi: natrium,


kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, total-protein,
albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase, gamma glutamil trans-
peptidase, LDH, asam empedu. Sedangkan menurut WHO (2000) pemeriksaan
biokimia klinis meliputi: fungsi hati (GOT, GPT, gamma GT) dan fungsi ginjal
(nitrogen urea, kreatinin, total-bilirubin). Parameter utama minimal yang harus

24
diperiksa adalah glukosa, total- kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin,
GOT, dan GPT.

Pengamatan Makropatologi

Hewan yang telah dikorbankan harus segera diotopsi dan dilakukan


pengamatan secara makropatologi secara seksama untuk setiap organ.

Penimbangan Organ

Organ yang akan ditimbang (bobot absolut) harus dikeringkan terlebih


dahulu dengan kertas penyerap, kemudian segera ditimbang, sedangkan yang
dianalisis adalah bobo trelatif, yaitu bobot organ absolut dibagi bobot badan.

Pemeriksaan Histopatologi

Organ yang diperiksa secara histopatologi meliputi: otak, pituitari, tiroid,


timus, paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa, adrenal, pankreas, testis, vesikula
seminalis, kantong kemih, indung telur, uterus, epididimis, usus, limfo nodus,
saraf tepi, lambung, tulang dada, tulang paha, sumsum tulang belakang atau
sekurang-kurangnya 5 organ utama yaitu hati, limpa, jantung, ginjal, paru dan
ditambah organ sasaran yang diketahui secara spesifik. Organ-organ kecil seperti
pituitari, tiroid, adrenal yang tidak memungkinkan untuk dibuat preparat
histopatologi dapat diabaikan. Setiap organ dan jaringan yang sudah dipisahkan
segera dimasukkan dalam larutan dapar formaldehida 10% dan dibuat preparat
histopatologi kemudian diperiksa dibawahmikroskop.

Evaluasi Hasil
Kajian yang dilakukan antara lain: evaluasi hubungan dosis dan efek yang
terjadi untuk semua kelompok yaitu terjadinya efek toksik dan derajat toksisitas, yang
meliputi perubahan berat badan, gejala klinis, parameter hematologi, biokimia klinis,
makropatologi dan histopatologi, organ sasaran, kematian dan efek umum lain atau
efek yang spesifik.

D. TERATOGENISITAS
Uji teratogenisitas dapat menggunakan tikus, mencit, marmot, dan kelinci
sebagai hewan percobaan. Kriteria hewan yang digunakan adalah betina perawan,

25
sehat, umur 12 minggu untuk tikus, 8 minggu untuk mencit, dan 5-6 bulan untuk
kelinci. Hewan uji yang digunakan harus seragam species, galur, sumber, berat, dan
umurnya. Hewan betina dikawinkan dengan hewan jantan yang dihindari perkawinan
antara saudara kandung. Pengujian teratogenisitas menggunakan sekurang-kurangnya
3 kelompok uji dan 1 kelompok kontrol yang tiap kelompoknya terdiri dari minimal
20 ekor induk bunting untuk tikus, mencit, dan marmot, sedangkan 12 ekor induk
bunting untuk kelinci.
Pemilihan bahan pembawa sediaan uji harus mempertimbangkan pengaruhnya
terhadap ADME dari sediaan uji dan tidak mempunyai efek terhadap alat reproduksi.
Sediaan uji umumnya diberikan secara oral. Sebelum pemberian sediaan uji harus
dilakukan uji pendahuluan untuk menetapkan dosis uji.Dosis yang digunakan adalah
dosis tinggi, dosis tengah, dan dosis rendah. Kelompok kontrol diperlakukan sama
dengan kelompok uji dengan bahan pembawa. Bila sampai dosis 1000 mg/kg berat
badan tidak memberikan efek toksik atau teratogenik pada embrio, maka dosis tidak
perlu dinaikan lagi. Bila dosis tinggi pada penelitian pendahuluan menunjukkan efek
toksik pada induk, tetapi tidak menunjukkan efek pada embrio, maka pengujian
menggunakan dosis yang lebih tinggi tidak diperlukan.
Pelaksanaan uji:
a. Sebelum pengujian dimulai, hewan diaklamatisasi dalam ruang percobaan
selama tidak kurang dari 1 minggu.Hewan yang proestrus dikawinkan dengan
menyatukan 3 ekor tikus betina dengan 2 ekor tikus jantan dalam satu
kandang, dan keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan.
b. Hewan betina yang terbukti telah kawin dipelihara dalam kandang individual,
pengamatan klinis terhadap induk dilakukan paling sedikit satu kali sehari
pada saat yang kurang lebih sama.
c. Sehari sebelum pemberian sediaan uji, induk (yang terbukti kawin)
dikelompokkan secara acak. Sediaan uji diberikan pada induk selama masa
organogenesis dan selama itu hewan diamati dua kali sehari dengan jarak 6
jam. Pengamatan dilakukan terhadap adanya kematian, kadaan sekarat,
perubahan tingkah laku, dan gejala-gejala toksisitas. Berat badan ditimbang
pada hari ke-0, selama pemberian sediaan uji, dan sebelum diotopsi. Hewan
yang mati selama pengujian harus segera dibedah.
d. Pada hari ke 18-29, induk dibedah dan diperiksa secara makroskopik terhadap
adanya perubahan struktur dan patologis, dihitung corpora lutea-nya. Uterus
26
dipindahkan dan isinya diperiksa. Pemeriksaan meliputi berat badan dan jenis
kelamin fetus, adanya malformasi (jenis, jumlah dan persentase) pada fetus
hidup, kematian embrio (saat, keadaan, jumlah dan persentase).
Data yang diperoleh dirangkum dalam bentuk tabel yang memperlihatkan data
setiap kelompok uji. Data menunjukan jumlah hewan pada awal pengujian; persentase
kebuntingan; jumlah induk yang memperlihatkan gejala toksisitas, deskripsi gejala
toksisitas yang diamati, waktu dan lama terjadinya gejala toksisitas; jumlah dan
persentase fetus hidup; kematian embrio; jenis, jumlah, variasi dan persentase
malformasi bagian luar; kerangka dan jaringan lunak dari fetus hidup.

E. SENSITISASI KULIT
Hewan yang digunakan untuk uji adalah marmut albino (guinea pig) dewasa muda
dan sehat, berat 300 – 500 g, jantan dan atau betina dan jika menggunakan hewan uji
betina harus nulliparous dan tidak bunting. Jumlah hewan uji tidak kurang dari 10
ekor tiap kelompok perlakuan dan 5 ekor kelompok kontrol.
Setelah itu dapat dilakukan penentuan dosis uji. Dosis sediaan uji yang
digunakan untuk induksi hendaknya dapat ditoleransi secara sistemik dan dosis
tertinggi dapat menyebabkan iritasi kulit ringan sampai sedang. Sedangkan untuk uji
tantang, dosis tertinggi hendaknya tidak menyebabkan iritasi. Dosis yang tepat untuk
uji ditentukan dengan uji pendahuluan menggunakan FCA pada 2 - 3 ekor hewan.
Penyiapan sediaan uji dibuat secara aseptis.
a. Sampel padat
Lembaran, sediaan uji dipotong dengan ukuran 2,5 x 2,5 cm dengan ketebalan tidak
lebih dari 0,5 cm. Padat (solid), sediaan uji dibuat serbuk, kemudian dibasahi hingga
berbentuk pasta dengan air atau pelarut non iritan yang sesuai.
b. Sampel cair
Sediaan tidak perlu diencerkan, tetapi apabila diperlukan sampel dapat diencerkan
dengan pelarut non iritan yang sesuai.
Sebelum pengujian dimulai, hewan uji diaklimatisasi di ruang percobaan
kurang lebih selama 5 hari dan hewan dikelompokkan secara acak. Hewan (marmut)
dicukur bulunya 24 jam sebelum pengujian dimulai, untuk induksi intradermal dan

27
topikal, pada daerah tengkuk (intrascapular region) ± 4 x 6 cm dan untuk uji tantang
dicukur pada daerah punggung (flank) ± 5 x 5 cm.
Uji pendahuluan bertujuan untuk menentukan dosis sediaan uji yang akan
digunakan pada uji utama. Uji pendahuluan menggunakan 2- 3 ekor hewan.
a. Induksi intradermal (hari ke 0): 0.1 ml campuran FCA 50 % disuntikan dibagian
tengkuk masing-masing marmot.
b. Induksi topikal: berbagai konsentrasi sampel diaplikasikan pada daerah tengkuk
marmut, bahan uji (berat 0,5 g atau 0,5 ml) ditaruh diatas kertas saring (2 x 4 cm) lalu
ditempelkan diatas kulit yang telah dicukur selanjutnya ditutup dengan occlusive
dressing, kemudian diperban dengan elastic bandage. Setelah 24 jam perban dibuka dan
diamati. Untuk induksi topikal pada uji utama dipilih konsentrasi tertinggi yang
tidak/sedikit menyebabkan eritema (skor 0 - 1), tapi tidak menimbulkan pengaruh buruk
pada hewan. Sedang untuk uji tantang (challenge) dipilih konsentrasi tertinggi yang tidak
memberikan eritema (skor 0).
Setelah dilakukan uji pendahuluan. beberapa data yang telah didapat
digunakan untuk melajutkan pengujain pada tahap uji utama, yaitu:
1. Fase Induksi Intradermal (hari ke 0)
Pada daerah A dan C 0.1 ml campuran *FCA 50% (FCA/NaCl 1:1 v/v) disuntikan.
Sedangkan pada daerah B 0.1 ml sediaan uji dengan konsentrasi sesuai hasil uji
pendahuluan.
2. Fase Induksi Topikal (hari ke 7)
Pada hari percobaan dioleskan 0,5 g untuk sediaan pasta dan 0,5 ml sediaan cair
dengan dosis yang didapat dari hasil uji pendahuluan pada kertas saring ukuran 8 cm2
(2 x 4 cm), kemudian kertas tersebut ditempelkan pada tengkuk masing-masing
marmut sehingga menutupi tempat penyuntikan intradermal dan ditutup dengan
occlusive dressing selanjutnya dibalut dengan elastic bandage, setelah 48 jam dibuka
dan diamati. Apabila tidak memperlihatkan iritasi, maka induksi topikal diulang dan
24 jam sebelumnya bagian tengkuk diolesi dengan 0,5 mL dodesilsulfat natrium 10 %
dan ditutup dengan occlusive dressing kemudian dibalut dengan elastic bandage,
setelah 48 jam, dibuka dan diamati. Hal yang sama dilakukan terhadap kontrol, tetapi
sampel diganti dengan pelarut.
Uji Tantang dilakukan 14 hari setelah induksi topikal terhadap seluruh
kelompok uji, yang 24 jam sebelumnya dicukur di bagian punggung. Pemaparan
sediaan uji tidak boleh pada tempat induksi topikal (tengkuk), sediaan uji dipaparkan
28
secara topikal pada daerah C di punggung marmot, kemudian ditutup dengan
occlusive dressing dan dibalut dengan elastic bandage. Hal yang sama dilakukan
terhadap kontrol. Uji tantang perlu dilakukan pada kelompok kontrol untuk
memastikan bahwa reaksi yang terjadi benar reaksi sensitisasi dan bukan reaksi iritasi.
Setelah 24 jam, occlusive dressing dan elastic bandage dibuka, diamati dan dicatat
adanya edema dan eritema pada jam ke 24, 48 dan 72.
Reaksi kulit diuraikan dan kategorikan terhadap eritema dan udema menurut
skala Magnusson dan Kligman. Selain itu berat badan hewan uji sebelum dan setelah
pengujian harus didata. Menurut Magnusson and Kligman bila hasil uji
sensitisasi mempunyai skor ≥ 1 maka dikategorikan sebagai
sediaan yang bersifat sensitisers. Jika respon meragukan,
maka untuk mengkonfirmasi hasil tersebut dianjurkan untuk
mengulang uji tantang (rechallenge) yang dilakukan 1 sampai 2 minggu
setelah uji tantang yang pertama.
Sensitivitas dan realibilitas dari teknik pengujian yang digunakan dikaji ulang
setiap 6 bulan menggunakan sediaan uji yang telah diketahui bersifat sensitiser ringan
sampai sedang seperti hexylcinnamic aldehyde, mercapto benzothiazole dan
benzocain.

F. IRITASI MATA
Sediaan uji dalam dosis tunggal dipaparkan kedalam salah satu mata pada beberapa
hewan uji dan mata yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat
iritasi/korosi dievaluasi dengan pemberian skor terhadap cedera pada konjungtiva,
kornea, dan iris pada interval waktu tertentu. Efek lain termasuk efek sistemik juga
dievaluasi. Hewan uji yang menunjukkan tanda-tanda penderitaan dan kesakitan yang
parah dapat dikorbankan sesuai dengan prosedur pembunuhan hewan uji. Uji iritasi
mata ini digunakan untuk mengetahui adanya bahaya yang timbul dari sediaan uji
setelah dipaparkan. Uji ini tidak perlu dilakukan jika :
· Bahan uji sudah dapat diprediksi bersifat korosif
berdasarkan struktur kimia atau sifat fisiko kimia, misalnya
asam (pH ≤ 2) atau basa kuat (pH ≥ 11,5).
· Bahan uji telah terbukti bersifat korosif atau iritan kuat pada uji iritasi kulit.

29
· Terdapat data dari studi lain yang relevan dan dapat dipercaya yang menunjukan
bahan uji akan menimbulkan iritasi serupa bila diuji pada mata.
Tahap awal adalah penyiapan hewan. Hewan yang digunakan pada uji iritasi mata
adalah kelinci albino dengan mata yang sehat. Kelinci albino dipilih untuk digunakan
dalam uji ini karena kelinci memiliki pupil yang jelas dan sensitivitas yang tinggi,
serta penanganan yang mudah. Hewan uji ditempatkan pada kandang individual dan
diaklimatisasi di laboratorium selama 5 hari. Minimal 24 jam sebelum pengujian,
kedu mata dari hewan uji diperiksa.
Sediaan uji yang berbentuk cairan tidak diperbolehkan untuk langsung disemprot ke
mata hewan uji. Sediaan uji harus dikeluarkan terlebih dahulu dan ditempatkan pada
wadah. Untuk sediaan uji yang berbentuk padat harus digerus dan dilarutkan terlebih
dahulu. Jika sediaan uji berbentuk aerosol yang bertekanan tinggi, maka tidak perlu
dikeluarkan dari wadah aslinya dan disemprotkan langsung ke mata hewan uji dengan
menahan kedua kelopak mata hewan uji selama 1 detik.
Sediaan uji dipaparkan dengan ditetes menggunakan spuit dan diarahkan pada
kantung konjungtiva. Setelah pemaparan, mata hewan uji tidak boleh dicuci sebelum
24 jam. Jika sediaan uji diprediksi iritan maka dicoba terlebih dahulu terhadap hewan
tambahan untuk mengetahui efektivitas pencucian.
Pada tahap awal, dilakukan uji pendahuluan dengan memaparkan sediaan uji pada
satu ekor hewan uji. Jika hewan uji tersebut menunjukan geajala iritasi, maka uji ini
harus dihentikan. Selain itu, dapat pula memberikan anestesi lokal kepada hewan uji
selanjutnya. Tetapi, perlu diperhatikan dalam menentukan jenis, konsentrasi, dan
dosis dari zat anestesi lokal untuk menjamin bahwa perbedaan reaksi yang terjadi
bukan karena anestesi lokal.
Apabila hewan uji lolos pada uji pendahuluan, maka dilakuakn uji konfirmasi dengan
menggunakan minimal 2 hewan uji. Hal ini untuk memastikan bahwa sediaan uji
benar-benar aman. Pertama, sediaan uji dipaparkan pada 1 hewan uji terlebih dahulu.
Jika hewan uji tersebut tidak menunjukan gejala iritasi, maka uji dilanjutkan pada
hewan kedua. Tetapi, jika hewan uji tersebut menunjukan gejala iritasi, maka uji
konfirmasi ini harus dihentikan.
Setelah dilakukan pemaparan, hewan uji diamati pada jam 1, 24, 48 dan 72 setelah
pemberian sediaan uji. Apabila sama sekali tidak menunjukkan iritasi mata maka uji
boleh dihentikan pada hari ke-3. Hewan uji dengan cidera mata ringan hingga sedang
harus diobservasi untuk melihat reversibilitasnya. Observasi ini dilakukan pada hari
30
ke-7, 14 dan 21, apabila efek reversibel terjadi sebelum hari ke-21 maka uji boleh
dihentikan. Hewan uji dengan luka parah dan menunjukkan gejala-gejala sakit harus
segera dikorbankan. Berikut adalah ciri-ciri hewan uji dengan luka parah.
a) Terjadinya pelubangan kornea atau penanahan pada kornea termasuk staphyloma
b) Perdarahan pada mata
c) Opasitas kornea tingkat 4 yang bertahan selama 48 jam
d) Hilangnya reflek terhadap cahaya (respon iridial tingkat 2) yang bertahan
selama 72 jam
e) Penanahan pada membran konjungtiva
f) Nekrosis membran konjungtiva
g) Pengelupasan membran niktitans
Setelah pengamatan dilakukan penilaian reaksi sediaan uji terhadap mata dan
pencatatan skor sesuai dengan tabel berikut.

G. IRITASI AKUT DERMAL


Prosedur :
a. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino jantan atau betina yang sehat dan
dewasa, berat sekitar 2 kg. Sebelum pengujian dimulai, hewan uji diaklimatisasi di
ruang percobaan kurang lebih selama 5 hari dan hewan ditempatkan pada kandang
individual (1 kandang untuk1ekor). Sekurang-kurangnya 24 jam sebelum
pengujian, bulu hewan harus dicukur pada daerah punggung seluas lebih kurang 10
x 15 cm atau tidak kurang 10% dari permukaan tubuh untuk tempat pemaparan
sediaan uji.

b. Dosis Uji
Dosis yang digunakan untuk sediaan uji cair adalah sebanyak 0,5 mL dan untuk
sediaan uji padat atau semi padat sebanyak 0,5 g.

c. Cara Pemberian Sediaan Uji

31
Sediaan uji dipaparkan di area kulit seluas ± 6 (2 x 3 ) cm2 dengan lokasi pemaparan
kemudian lokasi pemaparan ditutup dengan kasa dan di plester dengan plester yang
bersifat non-iritan untuk memastikan interaksi yang baik antara sediaan uji dengan
kulit.

d. Tahapan Uji
i. Bila sediaan uji diduga bersifat mengiritasi/korosif
Uji dilakukan dengan menggunakan 1 hewan uji, dan menggunakan
pendekatan sebagai berikut ini. Dibuat tiga tempelan (patch) untuk tiga pemaparan,
tempelan ke-1 dibuka setelah 3 menit, jika tidak terlihat reaksikulit yang serius maka
tempelan ke-2 dibuka setelah 1 jam, jika pemaparan tidak mengakibatkan iritasi yang
parah, maka tempelan ke-3 dibuka pada jam ke-4, dan ditentukan gradasi cedera kulit.
Jika efek korosif tampak setelah 3 menit atau 1 jam, maka uji dihentikan dan semua
tempelan dilepas. Pengamatan dilanjutkan selama 14 hari kecuali jika korosi terjadi
pada awal pengujian. Tetapi jika tidak terlihat efek korosif setelah pemaparan selama
4 jam, maka pengujian dilanjutkan dengan menambah 2 hewan tambahan yang
masing-masing dipaparkan selama 4 jam.

ii. Bila sediaan uji diduga tidak bersifat mengiritasi/korosif

Digunakan 3 hewan uji, masing-masing dibuat 1 tempelan dengan periode


pemaparan selama 4 jam. Residu sediaan uji segera dihilangkan menggunakan air
atau pelarut lain setelah pemaparan 4 jam.

32
e. Periode Pengamatan

Jangka waktu pengamatan harus mencukupi untuk mengevaluasi seluruh pengaruh


reversibilitas yang teramati. Akan tetapi pengujian harus diakhiri saat hewan
menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang parah. Untuk menentukan reversibilitas,
hewan harus diamati tidak kurang dari 14 hari setelah tempelan dibuka. Jika
reversibilitas terlihat sebelum 14 hari, maka pengujian harus dihentikan saat itu
juga.

f. Pengamatan Klinis dan Penilaian Reaksi Kulit

Semua hewan uji harus diamati ada atau tidaknya eritema dan udema, penilaian
respon dilakukan pada jam ke 1, 24, 48, dan 72 setelah pembukaan tempelan
(untuk sediaan uji yang tidak bersifat korosif/iritan). Jika kerusakan kulit tidak
dapat diidentifikasi sebagai iritasi atau korosi pada jam ke 72, pengamatan dapat
dilanjutkan sampai hari ke-14 untuk menentukan reversibilitas. Selain pengamatan
terhadap iritasi, efek toksik setempat (local toxic effect), seperti defatting of skin
dan pengaruh toksisitas lainnya dan berat badan harus dijelaskan dan dicatat.
Pemeriksaan histopatologi perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan respon yang
meragukan.

Luka kulit yang bersifat reversibel harus diperhitungkan di dalam evaluasi respon
iritan. Jika terlihat respon seperti alopecia (area terbatas),
hiperkeratosis,hiperplasia, dan scaling yang bertahan sampai akhir dari
pengamatan selama 14 hari, maka sediaan uji tersebut dimasukkan ke dalam
kategori zat yang bersifat iritan. Disamping gambaran iritasi kulit, efek toksik lain
yang disebabkan oleh bahan uji juga diamati dan dicatat.

33
g. Analisis Data

Hasil pengamatan dirangkum dalam bentuk tabel yang memperlihat


keadaan secara individual, memuat skor iritasi untuk eritema dan udema tiap
hewan pada jam ke-1, 24, 48, dan 72 setelah tempelan dibuka.

h. Evaluasi Hasil

Skor iritasi kulit yang harus dievaluasi adalah terhadap tingkat keparahan
luka, ada atau tidaknya reversibilitas. Skor individu tidak mewakili standar absolut
untuk sifat iritan dari sediaan uji. Dilakukan evaluasi efek-efek lain dari sediaan
uji, skor individual harus dilihat sebagai nilai referensi. Skor iritasi (Indeks Iritasi
Primer) sediaan uji adalah kombinasi dari seluruh observasi dari pengujian. Indeks
Iritasi Primer dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

H. IRITASI MUKOSA VAGINA


Uji iritasi vagina adalah suatu uji yang digunakan untukmenguji sediaan uji
yang kontak langsung dengan jaringan vagina dan tidak dapat diuji dengan cara lain.
Prinsip uji ini adalah sediaan uji dibuat ekstrak dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak
zaitun selanjutnya dipaparkan ke dalam lapisan mukosa hewan uji selama tidak
kurang dari 5 kali pemaparan dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam.Setelah
selesai pemaparan, hewan uji dikorbankan lalu diambil jaringanmukosa vaginanya
untuk dievaluasi secara hispatoologi. Tujuan uji ini adalah untuk mengevaluasi
keamanan dari alat-alat kesehatan yang kontak dengan mukosa vagina. Namun, uji ini

34
tidak diperlukan apabila bahan uji terbukti bersifat korosif atau iritan kuat pada uji
iritasi kulit.
Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino betina yang sehat dan dewasa
dengan galur yang sama, bobot sekitar 2 kg, jumlah hewan tidak kurang dari 6 ekor (3
ekor untuk diuji, 3 ekor untuk kontrol). Hewan uji diaklimatisasi terlebih dahulu
selama kurang lebih 5 hari di ruang percobaan dan dilakukan pemeriksaan pada
lapisan mukosa vagina terhadap adanya kelainan, seperti pembengkakan atau infeksi,
iritasi, dan luka. Hewan dalam kondisi siklus estrus tidak boleh digunakan dalam
pengujian.
Sediaan uji dibuat dengan cara aseptis, bahan uji yang berbentuk:
● Bubuk: dilarutkan dalam pelarut inert,
● Carian: langsung diaplikasikan atau diencerkan dengan pelarut inert,
● Film, pipa/tabung, lempeng dan elastomer: diekstraksi dengan menggunakan
larutan naCl fisiologis.
Lapisan mukosa hewan uji dipaparkan dengan 1 mL sediaan uji menggunakan
kateter atau spuit injeksi dengan sonde tumpul. Dilakukan 5 kali pemaparan dengan
selang antar pemaparan 24 jam. Hal yang sama dilakukan terhadap hewan kontrol
menggunakan media ekstraksi. Jika hewan uji mengeluarkan urin, maka pemberian
larutan uji diulang 10 menit kemudian.
Pada 24 jam setelah pemaparan sediaan uji yang ke 1,2,3,4, dan 5 diamati
jaringan vaginal untuk melihat adanya eritema, eksudat, dan udema. Bila ditemukan
dengan keadaan yang parah, maka hewan langsung dikorbankan lalu diperiksa secara
mikroskopik. Bila ditemukan dalam kondisi yang parah, uji dapat dilanjutkan sampai
hari ke 5. Kondisi hewan uji selama pengujian dicatat.
Kelinci dikorbankan dengan cara diinjeksi pada dosis letal menggunakan
sodium pentobarbital 24 setelah dosis akhir diberikan. Kemudian vagina kelinci
diambil dan diperiksa terhadap kongesti vaskuler, tanda-tanda iritasi umum dan luka
pada epitel. Lalu dibuat preparat hispatologinya untuk dievaluasi secara mikroskopik,
dinilai pengaruh iritasi dengan menggunakan pedoman sebagai berikut.

35
Indeks Iritasi dari hasil penilaian mikroskopis dihitung dan dikalisifikasikan
berdasarkan panduan sebagai berikut.

Indeks iritasi dihitung dengan rumus berikut:

I. TOKSISITAS AKUT DERMAL

36
Uji toksisitas akut dermal diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
dalam waktu singkat dalam sekali pemberian melalui rute dermal. Prinsip uji ini
adalah beberapa kelompok hewan uji dengan satu jenis kelamin dipapar dengan
sediaan uji dengan dosis berdasarkan uji pendahuluan. Hewan yang sekarat atau
menunjukkan gejala toksisitas berat datanya dianggap sebagai hewan mati. Pengujian
dilanjutkan sampai ditemukan dosis yang menyebabkan toksisitas yang nyata atau
tidak lebih dari 1 ekor hewan yang mati.
Hewan uji yang dapat digunakan adalah tikus putih, kelinci albino, dan marmut
albino yang dewasa muda dan sehat. Berat badan untuk tikus putih adalah 200-300 g;
kelinci albino 2,0-3,0 kg; dan marmut albino 350-450 g; dengan variasi berat badan
tidak lebih dari 20% dari rata-rata bobot badan. Masing-masing kelompok dosis
menggunakan hewan dengan jenis kelamin yang sama.
Sebelum pengujian dimulai, hewan uji diaklimatisasi di ruang percobaan kurang
lebih selama 5 hari. Hewan ditempatkan pada kandang individual. Bulu hewan
dicukur seperti pada uji iritasi akut dermal, yang dilakukan pada 24 jam sebelum
pemberian sediaan uji. Ketika mencukur, hindari luka atau pengelupasan pada kulit
karena dapat menyebabkan kenaikan/penurunan permeabilitas kulit. Pengulangan
pencukuran dilakukan dalam jangka waktu satu minggu.
Bahan uji diberikan secara merata pada 10% dari seluruh permukaan tubuh
dengan tipis dan merata. Untuk menjaga sediaan uji tetap menempel pada kulit, area
pemaparan ditutup dengan kasa berpori dan dibalut dengan perban elastis serta plester
yang tidak mengiritasi selama 24 jam. Setelah selesai periode pemaparan, sisa bahan
uji yang masih menempel pada kulit dihilangkan dengan air atau pelarut yang sesuai.
Uji utama dari uji toksisitas akut dermal dilakukan seperti uji pertama pada uji
toksisitas akut oral menggunakan fixed dose method.
Pengamatan dilakukan selama tidak kurang dari 14 hari. Namun, lamanya
pengamatan tersebut dapat diperpanjang sesuai reaksi yang timbul akibat pemaparan
sediaan uji. Penilaian klinis dilakukan secara individual terhadap adanya perubahan
pada bulu, mata, membran mukosa, sistem pernafasan, sistem peredaran darah, sistem
saraf otonom, sistem saraf pusat,a ktivitas somamotor, dan pola tingkah laku. Adanya
gejala toksisitas yang lain juga dicatat seteliti mungkin. Terhadap berat badan harus
dilakukan penimbangan sebelum diberi perlakuan dan selama seminggu setelahnya,
serta pada saat hewan sekarat. Pada akhir pengujian. hewan yang bertahan hidup
dicatat berat badannya sebelum dikorbankan. Pemeriksaan secara mikroskopik
37
dilakukan terhadap organ yang menunjukkan adanya perubahan secara makro. Data
masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk
tabel yang menunjukkan dosis yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan
gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena
sekarat. Lalu data tersebut dianalisis dengan metode statistik yang sesuai.

J. TOKSISITAS SUBKRONIS DERMAL


Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan melalui rute dermal pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi
tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip uji ini adalah sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari yang dipaparkan melalui kulit pada
beberapa kelompok hewan uji.
Uji toksisitas subkronis dermal terbagi menjadi dua jenis, yaitu;
a. Uji Toksisitas Subkronis Singkat Dermal 28 hari
Uji toksisitas subkronis dermal 28 hari digunakan untuk menguji sediaan
uji yang penggunaannya apakah dalam bentuk sekali pakai atau berulang dalam
waktu kurang dari satu minggu.
Kelompok dosis menggunakan hewan minimal 10, yang terdiri dari 5 ekor
jantan dan 5 ekor betina untuk setiap kelompok dosis, dan betina yang
digunakan harus belum pernah beranak dan tidak sedang bunting. Bila
diperlukan kelompok ad enterim, jumlah hewan ditambahkan sesuai dengan
jumlah yang akan dikorbankan. Selain itu, pada kelompok dosis tinggi dibuat
kelompok satelit minimal 10 ekor hewan yang terdiri dari 5 jantan dan 5 betina.
Sediaan uji diberikan setiap hari selama 7 hari atau minimal 5 hari dalam 1
minggu selama 28 hari.Pengamatan pada kelompok satelit dilakukan selama 14
hari setelah pemberian sediaan uji.

b. Uji Toksisitas Subkronis Dermal 90 hari


Uji toksisitas subkronis dermal 90 hari digunakan untuk menguji sediaan uji
yang penggunaannya secara klinis berulang dalam waktu 1-4 minggu.
Kelompok dosis menggunakan hewan minimal 20, yang terdiri dari 10
ekor jantan dan 10 ekor betina untuk setiap kelompok dosis, dan betina yang
digunakan harus belum pernah beranak dan tidak sedang bunting. Selain itu,
38
pada kelompok dosis tinggi dibuat kelompok satelit minimal 20 ekor hewan
yang terdiri dari 10 jantan dan 10 betina. Sediaan uji diberikan setiap hari
selama 7 hari atau minimal 5 hari dalam 1 minggu selama 90 hari.Pengamatan
pada kelompok satelit dilakukan selama 28 hari setelah pemberian sediaan uji.

Hewan yang digunakan dalam uji ini adalah tikus putih, kelinci albino marmut
albino. Syarat hewan uji adalah sehat, berat badan untuk tikus putih 200-300 g, kelinci
albino 2,0-3,0 kg, dan marmut albino 350-450 g. Sebelum pengujian, hewan uji
dialkimatisasi di ruang percobaan kurang lebih selama 5 hari. Hewan ditempatkan
pada andang individual. Hewan uji dicukur seperti pada uji toksisitas akut dermal.
Sediaan uji yang berupa cairan tidak perlu dilarutkan, sedangkan sediaan uji
yang berbentuk padat harus dihaluskan dan dibahasi dengan air atau zat pembawa
yang sesuai. Sediaan uji dipaparkan seperti pada uji toksisitas akut dermal. Bila pada
dosis 1000 mg/kg berat badan tidak dihasilkan efek toksik, dosis tidak perlu dinaikkan
lagi, meskipun dosis yang diharapkan untuk manusia belum tercapai.
Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap terjadinya gejala-gejala toksik dan
gejala klinis yang berupa perubahan kulit, bulu ,mata, membran mukosa, sekresi,
eksresi, perubahan jalan, tingkah laku yang aneh, kejang, memutilasi dirinya sendiri.
Gejala tersebut dicatat saat mulai terjadi, tingkat keparahan dan waktu sembuhnya.
Hewan yang hampir mati sebaiknya dipindahkan kemudian dikorbankan, dan waktu
kematian dicatat, bila memungkinkan diotopsi. Selanjutnya dilakukan pengamatan
secara makropatologi pada setiap organ maupun jaringan, serta dilakukan
pemeriksaan hematologi, biokimia klinis, dan histopatologi. Pada akhir pengujian,
semua hewan uji yang hidup baik pada kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan harus dikorbankan dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan.

39
Bab III
Kesimpulan

Pengembangan suatu obat dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu sintesis dan
screening molekul, uji praklinik, dan uji klinik pada manusia. Uji pre-klinik adalah pengujian
senyawa obat secara in vitro dan in vivo pada hewan uji untuk melihat keamanan serta
efektivitas calon obat sebelum dapat diuji pada manusia. Uji pre-klinik ini menguji aspek
farmakokinetika, farmakodinamika, dan toksisitas. Uji praklinik dilakukan menggunakan sel
atau jaringan suatu organ tertentu untuk menentukan uji toksisitas dan uji khasiat. Sesuatu
dikatakan aman dalam uji praklinik harus tetap dilanjutkan uji klinik pada manusia.
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya
diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Uji klinik terdiri dari 4 fase, yang
terdiri dari tiga fase sebelum pemasaran (fase 1, 2, dan 3) dan satu fase (fase 4) pengamatan
terhadap obat yang telah dipasarkan.
Walaupun demikian, untuk mengamati, mempelajari, dan menyimpulkan seluruh
kejadian pada mahluk hidup secara utuh diperlukan hewan percobaan karena hewan
percobaan mempunyai nilai pada setiap bagian tubuh dan terdapat interaksi antara bagian
tubuh tersebut. Uji keamanan obat pada hewan dapat berupa uji toksisitas akut, uji toksisitas
subkronis, uji toksisitas kronis, uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji iritasi.

40
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. (n.d.). Basic and Clinical Pharmacology (12th). 2015. McGraw-Hill
Education : United States.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2014
Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo

Meles, D. K. 2010. Peran Uji Praklinik dalam Bidang Farmakologi. [Online] Available
at: http://repository.unair.ac.id/40108/1/gdlhub-gdl-grey-2016-melesdewak-40588-
pg.04-16-p.pdfhttps://www.fda.gov/ForPatients/Approvals/Drugs/default.htm

Honek, J. (2017). Preclinical research in drug Correspondence to :, 26(4), 5–8.

Brunton, L. L., Chabner, B. A., & Knollmann, B. C. (2011). Goodman and Gilman’s
The

Pharmacological Basis of Therapeutics. Goodman and Gilman’s The Pharmacological

Basis of Therapeutics.

xli

Anda mungkin juga menyukai