Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Uji Klinik

Uji klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusiadisertai


adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek
klinik,farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap
reaksiyang tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme
danekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk
yangditeliti.(BPOM, 2014)

ASAS UJI KLINIK

Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus dilakukan sesuai


dengan prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam versi saat ini dari Deklarasi
Helsinki. Tiga prinsip dasar etika didefinisikan oleh revisi dari International Ethical
Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects yang dikeluarkan oleh
Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS). (WHO, 1995)

Uji Klinik Pra- Pemasaran

Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding (Uncontrolledtrial).
Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan manfaat klinik,menentukan
dosis yang dapat menimbulkan efek tersebut serta untuk Uji Klinik TahapLanjut
merupakan uji klinik yang definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyakdan
dilakukan dengan persyaratan-persyaratan metodologi dan monitoring yang
ketat(exploratory trial).Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding dapat berupa
placebo atau obat standar (baku) yang sudah diketahui secara
pasti. Uji klinik dapatdilakukan disalah satu pusat penelitian (mono centre) atau di
beberapa pusat penelitian (multi centre). (Menkes, 1996)

TAHAPAN FASE UJI KLINIK

Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya
diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik. (Katzung, 1989) Pada dasarnya uji
klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek sampingyang sering timbul
pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dariuji fase I sampai fase
IV.(Gunawan, 2005)

a. Fase I
b. Fase II
c. Fase III
d. Fase IV

 Fase I

Fase I adalah uji coba pertama dari bahan aktif baru atau formulasi baru yang dilakukan
pada manusia, dan biasanya sering dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuannya
adalah untuk membentuk suatu evaluasi awal mulai dari keamanan,kerangka awal
farmakokinetik, dan jika memungkinkan profil farmakodinamik dari bahan aktif pada
manusia.(WHO, 1995)

Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi
(maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak
dapat diterima. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan
ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan
secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah
subyek bervariasi antara 20-50orang (Gunawan, 2005)

Uji Klinik Pasca-Pemasaran

Uji klinik tahap pemantauan merupakan survailan efek samping yang langka(rare, side
effects) yang baru muncul setelah pemberian jangka panjang yang tidakmungkin
terkendali pada fase-fase uji klinik sebelum pemasaran. Sistem survailan iniseyogyanya
merupakan bagian dari system Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Nasional.
Disamping itu, Uji Klinik Tahap Phemantauan dilakukan untuk melihatmanfat obat pada
keadaan yang sesungguhnya dalam klinik, pada populasi penderitayang khusus
misalnya anak-anak, orang lanjut usia dan lain-lain.(Menkes, 1992)

Uji Klinik Terdiri atas

1. Uji Klinik Prapemasaran


Uji Klinik Prapemasaran adalah Uji Klinik yang menggunakan Produk Uji yang belum
memiliki izin edar di Indonesia, termasuk Uji Klinik dengan Produk Uji yang telah
memiliki izin edar untuk mengetahui indikasi/posologi baru.
2. Uji Klinik Pascapemasaran.
Uji Klinik Pascapemasaran adalah Uji Klinik yang menggunakan Produk Uji yang
sudah melalui Uji Klinik Prapemasaran dan telah memiliki izin edar di Indonesia,
untuk mendapatkan data keamanan dan/atau untuk konfirmasi khasiat/manfaat yang
telah e disetujui (BPOM RI, 2014)
Rancangan Penelitian

Tahap 1 (Tahun pertama, 2010) uji klinis fase satu untuk jamu temulawak dalam bentuk sediaan kapsul
dan instan. Pada uji klinis fase 1 ini untuk pertama kalinya obat yang diujikan diberikan pada manusia
(sukarelawan) sehat, baik untuk melihat efek farmakologi maupun efek samping. Dengan melakukan uji
klinis fase 1 ini akan diperoleh informasi mengenai dosis, frekuensi, cara dan berapa lama suatu jamu
harus diberikan pada pasien agar diperoleh efek terapetik yang optimal dengan risiko efek samping yang
sekecil-kecilnya. Informasi yang diperoleh pada uji ini diperlukan sebagai dasar untuk melakukan uji
klinis berikutnya (fase 2).

Subyek penelitian Tahap 1

subyek penelitian untuk tahap 1 adalah:

- Orang dewasa laki-laki dan perempuan sehat dengan SGOT dan SGPT normal

- Usia antara 20 - 60 th

- Subyek dibagi 2 kelompok (kelompok 1, temulawak kapsul; kelompok 2, temulawak instan)

- Tiap kelompok terdiri dari subkelompok laki-laki dan perempuan masing-masing sekitar 20 orang

. Cara dan Analisis

- Sebelum perlakuan seluruh subyek diperiksa darah dan urin rutin

- Semua subyek diberi perlakuan dengan minum jamu temulawak 2 x sehari 1 kapsul/ sachet.

- Setelah perlakuan selama dua minggu, semua subyek diperiksa darah dan urin rutin

- Setelah perlakuan selama empat minggu, semua subyek diperiksa darah dan urin rutin Darah yang
diperiksa: Hb, SGOT, SGPT, Leucocyt Urin yang diperiksa: urea, kreatinin Pemeriksaan dilakukan di
laboratorium klinik Parahita di Yogyakarta

A. Hasil Uji Klinis Tahap 1

Penelitian uji klinis tahap satu untuk jamu temulawak dalam bentuk sediaan kapsul dan instan diujikan
pada manusia (sukarelawan) sehat, untuk melihat efek farmakologik maupun efek samping. Pada
penelitian ini telah dikumpulkan sebanyak 82 sukarelawan pria dan wanita dengan rentang usia antara
20 – 60 tahun. Namun setelah melalui tahap pemeriksaan yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak
53 sukarelawan. Sebanyak 53 sukarelawan tersebut selanjutnya diminta untuk meminum jamu
temulawak instan atau kapsul dua kali sehari selama satu bulan. Pemeriksaan kesehatan terhadap
sukarelawan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada awal perlakuan, dua minggu setelah perlakuan, dan
empat minggu setelah perlakuan. Dalam setiap kali pemeriksaan dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh
dokter (dr. Priyo sudibyo, M.kes., Sp.S) dan pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan darah meliputi
kadar SGPT, SGOT, ureum darah, creatinin, cholesterol total, dan kadar trigliserida. Pemeriksaan urin
meliputi data makroskopis urin dan mikroskopis urin. Makroskopis urin meliputi warna, kekeruhan,
berat jenis, pH, leukosit, nitrit, protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, dan darah. Mikroskopis
urin meliputi eritrosit, leukosit, epitel, mucus, hablur/Kristal, silinder Hyalin, silinder granula, silinder
ephitel, silinder leukosit, dan silinder eritrosit. Selain data tersebut dalam setiap kali pemeriksaan juga
diamati/diukur berat badan, nadi, tensi darah, kebiasaan buang air besar, serta kemungkinan adanya
ambeien. Dari data yang diperoleh menunjukkan tidak adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan
oleh minum jamu temulawak instan dan kapsul. Dari data hasil wawancara terungkap juga bahwa 80%
sukarelawan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Beberapa diantaranya juga menunjukkan terjadi
kenaikan berat badan, meskipun tidak signifikan.

Uji statistik untuk mengetahui pengaruh penggunaan jamu temulawak instan dan kapsul
terhadap kadar SGPT dan SGOT dilakukan secara statistik ANAVA ABC dengan hasil analisis sebagai
berikut:

a. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT
pada sukarelawan sehat wanita dan pria

b. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT
pada sukarelawan sehat wanita dengan usia di atas 30 tahun dan di bawah 30 tahun

c. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT
pada sukarelawan sehat pria dengan usia di atas 30 tahun dan di bawah 30 tahun

d. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT
sukarelawan sehat secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2014.Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

BPOM. 2014.Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik.Peraturan Kepala BPOM Nomor 9


Tahan 2014. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Gunawan, S. G. , Setiabudy R., Nafrialdi, Elysabeth (Editor). 2005.Farmakologi dan


Terapi Edisi 5.Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI: Jakarta.
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta

WHO. 1995.Guidelines for Good Clinical Practice (GCP) for Trials on Pharmaceutical
Products.World Health Organization. Manila.

WHO. 1995.Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on


pharmaceutical products. WHO Technical Report Series, No. 850, 1995, Annex
3. World HealthOrganization.

Anda mungkin juga menyukai