Anda di halaman 1dari 29

STEP 7 UJI PRE KLINIK

Uji preklinik

1. Definisi dari uji preklinik ?

Preclinical trial - a laboratory test of a new drug or a new medical device,


usually done on animal subjects, to see if the hoped-for treatment really
works and if it is safe to test on humans.
2. (PEER.tamu.edu)
Definisi:Uji Praklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi/ pengembangan/ penelitian praklinik/
non-klinik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau
pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu
mengevaluasi keselamatan produk baru.

Ada banyak produk yang menjalani uji praklinik. Beberapa produk yang
paling umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan medis,
kosmetik, dan solusi terapi gen. Penting untuk dicatat bahwa obat juga
melalui banyak serangkaian pengujian lainnya ketika menjalani uji praklinik.

Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji praklinik


sangat bermanfaat untuk mendeteksi untuk mencegah produk berbahaya
dan beracun agar tidak memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui
penelitian ini, peneliti dapat mempercepat penemuan obat dan meringkas
proses pengembangan obat.

Kebanyakan uji praklinik melibatkan penggunaan hewan. Binatang seperti


tikus, ayam, monyet, dan kelinci percobaan (guinea pig) biasanya digunakan
dalam uji praklinik. Para peneliti menguji produk pada hewan dan
kemudian mengamati efeknya pada kesehatan hewan. Produk hanya lulus
uji praklinik jika tidak memengaruhi hewan dengan cara yang berbahaya.
Pengujian pada manusia hanya disetujui jika produk tidak memiliki efek
berbahaya yang teramati pada hewan

3. Sebutkan dan jelaskan macam2 uji preklinik?


UJI PRA-KLINIK
Uji Farmakologi
Uji Farmakokinetika
Uji Toksisitas
Uji Pra-Klinik dirancang dengan pertimbangan :
Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan pada manusia.
Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju.
Efek obat menurut dugaan pada manusia.
Menimbulkan IND ( Investigasional New Drug )
In vitro :
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia

 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit


 Murah dan cepat

Yg dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker
dari hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada
jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat
cacing; pada virus utk obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan
contoh obat asma bronkodilator diuji pada otot polos trachea marmot; pada
jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.

In vivo :
 Terletak di dalam tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama
(kuliah bu atina)

Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar
atau teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis
obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies,
jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus
dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia
merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.

Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan
kondisi yg diinginkan. Contohnya :

- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD
bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak
banyak shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.

- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan
yakni dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi
jika sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena
tikus akan dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu,
sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus krn
hewan akan diletakkan di hot plate.

- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya


banyak kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan
adanya keterbatasan subyek uji

- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa


dirangsang utk muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain
hanya muntah sekali.

- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn


system kardiovaskulernya paling mirip dg manusia

- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di


bawah kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan
kaki tikus sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk

- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu


duburnya setelah disuntik pyrogen

- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam
(ayam makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg
terjadi dg biokimiawi di keluarga burung.

- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di
dalam air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.

- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.


- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau
paru-paru tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena

Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang


menghasilkan 50% efek maksimum.
Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya
menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in
vitro, karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal,
hewan-hewan yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama,
usia yang sama, dan jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang
sama pula (Malole dan Pramono 1989).

Setelah diketahui khasiatnya, obat harus aman. Maka diuji


TOKSIKOLOGI. Minimal obat harus menunjukkan keamanan secara akut,
sub kronik dan kronik=uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas kuncinya adalah
menemukan DOSIS TOKSIK, maka hanya bias dilakukan pada hewan utuh,
kecuali utk uji toksisitas spesifik spt mutagenic, kanker, kulit, dll

UJI TOKSISITAS

Macam uji toksisitas

1. Uji toksisitas umum/ Tak khas

§ Dosis tunggal : uji toksisitas akut

§ Dosis berulang:
§ Sub-akut

§ Sub-kronis

§ Kronis

(uji reversibilitas)

2. Uji Toksisitas Khusus / Khas

§ Reproduksi, karsinogenik, mutagenik, investigative

Uji Toksisitas Akut

Pengertian:

Uji toksisitas merupakan uji keamanan pra-klinis untuk penapisan spectrum


efek toksik. Penelitian ini dirancang untuk menentukan dosis letal median
(LD50) toksikan. Uji toksisitas ini dengan menggunakan hewan roden dan
non roden. Pengujian ini dapat menunjukan organ sasaran yang mungkin
dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang
dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama.

Beda Antara Jenis Uji Toksisitas Umum

Sifat pemberian

Sifat pemberian: dosis tunggal

Tujuan utama:

§ potensi toksisitas akut (kuantitatif)


§ menilai berbagai gejala toksik yang timbul (kualitatif)

§ adanya efek toksik yang khas (kualitatif)

§ mode of death (kualitatif)

Jargon Uji Toksisitas

§ Median Lethal Dose (LD50)

§ Median Toxic Dose (TD50)

§ Besaran statistik → dosis tunggal suatu senyawa diperkirakan →


kematian/efek toksik 50% hewan uji

§ Metode:

a. grafik Lithfield & Wilcoxon

b. kertas grafik probit logaritma Miller dan Tainter

c. rerata bergerak

§ No Effect Dose

§ Minimum Lethal Dose

Tata Laksana Uji Toksisitas Akut

≥2 jenis hewan, saran: >4 (roden+non)


Jantan dan betina, satu galur, dewasa sehat, variasi bobot ≤10%
≥4 kelompok +
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

4. Indicator (cara penilaian) uji masing- masing uji preklinik (uji


farmakodinamik dan uji toksisitas )sesuai system organ yang terkena ?
5. Langkah-langkah uji pre klinik ?
Uji farmakologi
Uji toksisitas
6. Criteria obat tradisional untuk uji preklinik ?

Syarat :
@didasarkan pada penyakit yang sering atau memiliki tingkat morbiditas
tinggi
@turun temurun dipercaya berkhasiat untuk penyakit tertentu
@merupakan obat pada penyakit yg jarang atau bahkan belum ada obatnya
contohnya kanker dan aids

Hewan coba

7. sebutkan kriteria hewan coba?

A. Definisi Hewan Coba


Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala
penelitian atau pengamatan laboratorik. Animal model atau hewan model
adalah objek hewan sebagai imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain),
yang digunakan untuk menyelidiki fenomena biologis atau patobiologis (Hau &
Hoosier Jr., 2003).
B. Klasifikasi Animal Model
Exploratory (penyelidikan) : untuk memahami mekanisme biologis, apakah
termasuk mekanisme dasar yang normal atau mekanisme yang berhubungan
dengan fungsi biologis yang abnormal.
Explanatory (penjelasan) : untuk memahami lebih banyak masalah biologis
yang kompleks.
Predictive (perkiraan) : bertujuan untuk menentukan dan mengukur akibat dari
perlakuan, apakah sebagai cara untuk pengobatan penyakit atau untuk
memperkirakan tingkat toksisitas suatu senyawa kimia yang diberikan.
C. Syarat Hewan Coba
Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari
mikroorganisme patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh
hewan sangat mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian,
sehingga dari segi ilmiah hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh
karenanya, berdasarkan tingkatan kontaminasi mikroorganisme patogen,
hewan percobaan digolongkan menjadi hewan percobaan konvensional,
specified pathogen free (SPF) dan gnotobiotic.
Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal ini
ada hubungannya dengan persyaratan pertama.
Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat suseptibilitas
hewan terhadap penyakit.
Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat
genetiknya.

Dari keadaan tersebut di atas, timbul beberapa dilema dalam hal penyediaan
hewan percobaan, misalnya penyakit, lingkungan, seleksi dan pengelolaan
(Sulaksono, 1987).

REFERENSI:
Hau, J., & Hoosier Jr., G. L. (2003). Handbook of Laboratory Animal Science
Second Edition. Boca Raton: CRC Press.
Sulaksono, M. E. (1987). Dilema Pada Hewan Percobaan Untuk Pemeriksaan
Produk Biologis. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.C.

Menggunakan hewan utuh


(Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek
Samping. Jakarta: Elex Media Komputindo)

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria


sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup
banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press)

Kesehatan hewan è bebas dari penyakit

Disesuaikan dengan tujuan penelitian


Kebutuhan bahan makanan di sesuaikan berat badan
BB disesuaikan dengan rancangan penelitian
(Bersahabat dengan hewan coba UGM)

Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan


hewan uji, pemberian perlakuan, pengamatan dan pelaporan.
1. Pemilihan Hewan Uji.
Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
1. species dan strain hewan yang akan digunakan,
2. usia,
3. jenis kelamin dan
4. jumlahnya.
 Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci.
Untuk unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan
teknik laboratorium yang ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak
binatang telah membuka kemungkinan penggunaan hanya organ,
jaringan atau sel saja menggantikan hewan uji (kultur organ atau kultur
sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting terutama dalam
upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di Indonesa
hewan uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu
tulisan ini selanjutnya akan membicarakan pengujian dengan
menggunakan hewan uji tersebut.
 Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk
jantan dipilih pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan
dikawinkan di malam hari dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3
betina dalam satu kandang. Jika keesokan harinya ditemukan adanya
sumbat vagina (vaginal plug) atau adanya sperma di vagina yang
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu
pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan
sebagai hari ke nol kebuntingan.
 Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina
bunting untuk tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan
biasanya terdiri atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka
jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80 ekor.
2. Pemberian Perlakuan.
 Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan
sebaiknya tidak > 1000 mg/kg berat badan per hari dengan pemberian
per oral atau subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan
dengan besaran paparan yang mungkin diterima dari lingkungan.
 Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok
dosis berikutnya ditata dengan interval sama di bawah dosis tertinggi
tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol).
 Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum
digunakan adalah apabila agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka
kepada kelompok kontrol diberikan pelarut saja dengan cara pemberian
yang persis sama dengan cara pemberian pada kelompok perlakuan.
Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang sudah dikenali
memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk
menilai kepekaan strain yang digunakan.
 Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah pemberian per oral
(pencekokan). Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus,
seperti inhalasi, subkutan, intraperitoneal atau intramuskuler.
Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu adalah kemiripannya
dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam tubuh.
 Durasi perlakuan disesuaikan dengan tujuan pengujian. Untuk pengujian
toksisitas perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa
kebuntingan. Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada
titik waktu spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia
terhadap perkembangan organ tertentu.
 Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam
beberapa hari saja, yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga
hari ke 15).
3. Pengamatan.
 Meskipun pengujian ini disebut uji tokskologi perkembangan ruang
lingkup pengamatan tidaklah terbatas pada embrio yang sedang
berkembang itu saja melainkan juga mencakup beberapa bagian
pengamatan terhadap induk.
 Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal
khusus seperti adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat
badan ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan selain
sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga digunakan untuk
menentukan jumlah pemberian perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan
coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya
dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke-20/21; mencit hari
ke-19). Betina tidak dibiarkan sampai melahirkan karena jika itu terjadi ia
akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah caesar
dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area
bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka
dan organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang
bersama-sama dengan embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus
ditempatkan di dalam cairan fisiologis, lalu dibelah dan embrionya
dilepas.
 Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang berkembang
penuh dan merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang
berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak
merespon sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang
menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi mengalami autolisis
digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late
resorption); implantasi yang tidak menunjukkan adanya karakteristik
fetus digolongkan pada fetus yang mengalami resorpsi dini (early
resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea
dihitung. Jumlah corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah
implantasi karena corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi
dan berubah menjadi badan hormonal yang berperan dalam
mempertahankan kebuntingan. Kehilangan sebelum implantasi dapat
dihitung berdasarkan selisih antara jumlah corpora lutea dengan jumlah
implantasi.
 Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral.
Kelenjar timus diamati ukuran, warna dan adanya tanda-tanda
hemoragi. Pulmo diamati ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian
juga hepar diamati ukuran, warna, tekstur dan jumlah lobusnya.
Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang curvatura besar dan
permukaan mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna
dan kelainan yang mungkin terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah
untuk mengamati struktur internalnya. Tiap-tiap kelainan dicatat dan
sedapat mungkin didokumentasikan dengan fotografi dan jaringan yang
mengalami kelainan tersebut difiksasi dengan formalin atau larutan
Bouin dan diproses melalui metode parafin untuk pembuatan sediaan
bagi pengamatan histologis.
 Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan.
Penimbangan hendaknya dilakukan ketika fetus masih segar (segera
setelah uterus dibuka, sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi
dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama diperhatikan bentuk dan
ukuran kepala serta adanya tanda-tanda gangguan penutupan (closure
defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2
nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran,
betuk dan adanya gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk
mengamati dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit mulut
(cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah
ada closure defect, dan dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada
tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah rotasi / fleksi bahu,
siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5
belakang) dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau
adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati keberadaan, ukuran dan
pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan
anus dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak
tersebut sangat dekat pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya
kira-kira setengah bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi
dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa hari dieviserasi dan dikuliti.
Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian fetus diwarnai dengan
Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan dalam
gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen
tulang (merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan
rangka meliputi adanya hambatan atau percepatan penulangan, kelainan
bentuk dan jumlah komponen rangka. Rangka diamati mulai dari
cranium, sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis, tulang-
tulang tungkai dan terutama jemari. Jumlah komponen tulang telapak
dan jemari yang telah mengalami penulangan dihitung. Kelainan struktur
komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan osifikasi,
penambahan atau pengurangan jumlah costae, centrum vertebra
berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi vertebra,
tungkai pekuk dan lain-lain

 Efek herbal apa saja yang ditimbulkan pada hewan coba ?


LD50 : menyatakan dosis obat yang dapat menyebabkan kematian
pada 50% hewan percobaan
ED50 : menyatakan dosis obat yang dapat timbulkan efek (ex :kejang-
kejang) pada 50% hewan percobaan.

Cara pemilihan
Mencit

Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi
terhadap toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang
paling sesuai untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan
memperoleh darah dalam jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan
hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat
badannya dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang,
dikendalikan atau dapt diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.

Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki :


berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25
cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan
tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodensia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak
lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga
mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung,
dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus
menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh.
Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah
dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang
biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu (Malole dan Pramono 1989) :
 galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya
lebih panjang dari badannya,
 galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan
 galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna
hitam pada kepala dan tubuh bagian depan.
Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis
kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan
jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat
berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan
memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit
dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner
1983).

Anjing

Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi. Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara
dibutuhkan 4 minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-
hewan lain, terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang
menyerupai manusia. Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat
observasi penting terutama bila neurophaty perifer merupakan manifestasi
toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan untuk uji fertilitas
karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press) dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4

8. Klasifikasi hewan coba beserta alasan ?rodent dan non rodent

Uji pre klinik Uji klinik

Uji coba dengan hewan Uji coba dengan manusia


Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam
skala penelitian atau pengamatan laboratorik.

Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di


bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif zoologi.

Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga


sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang
umum digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut,
kelinci, hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan
simpanse (Malole dan Pramono 1989).

Pada uji farmakologi suatu sediaan dilakukan uji pra klinis dan uji klinik
dimana uji praklinik dilakukan pada hewan coba seperti :
 Mencit(Mus musculus),
 Tikus(RatusNovergikus),
 Kelinci(Oryctogalus Cuniculus),
 Marmot(Carvia Parcellus)

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4

Hewan pengerat adalah salah satu ordo dari binatang menyusui. Bahasa Latinnya
Rodentia. Ada sekitar 2000 sampai 3000 spesies binatang pengerat yang
ditemukan di semua benua kecuali Antarktika. Hewan pengerat memiliki gigi
depan yang selalu tumbuh dan harus diasah dengan menggerigiti sesuatu.

Hewan pengerat telah digunakan manusia sebagai hewan percobaan, diambil


kulitnya, untuk makanan, dan juga untuk mendeteksi ranjau.

A. Klasifikasi Binatang pengerat


Binatang ppengerat dapat diklasifikasikan menjadi dua, rodent domestic
dan rodent liar.

1. Binatang pengerat domestic

Rodent domestic merupakan binatang pengerat yang kehidupannya


berhubungan dengan kehidupan manusia dan sering menimbulkan
masalah besar bagi kesehatan masyarakat.Berikut beberapa contoh
spesies yang termasuk dalam kategori ini.

a. Tikus Loteng atau roof rat (Rattus rattus)

Tikus ini memiliki pergarakan yang terbatas.Tikus ini pemanjat


yang baik dan terutama hidup diatap – atap rumah.Dibeberapa
tempat tikus ini membuat lubang-lubang persembunyian.Tikus ini
juga dapat hidup didalam kapal.
b. Tikus Nowergia (Rattus norwegicus)

Tikus ini termasuk dalam golongan hewan semidomestik dan


sering ditemukan di pait, saluran air kotor, maupun dirumah.
c. Tikus rumah (Mus musculus)

Tikus hitam (Rattus rattus) ditemukan di Eropa, penyebarannya


meluas sampai abad ke-11, dan berkurang sstelah kedatangan
tikus Norwegia.

Rattus rattus mempunyai 3 subspesies, yaitu :

1. Rattus rattus alesandrinus( tikus alex atau tikus abu )


2. Rattus rattus frugirorus ( tikus buah atau tikus pohon)
3. Rattus rattus rattus( tikus hitam ).
Ketiga subspecies ini umumnya menyerupai tikus loteng. Namun, karena
warnanya bervariasi dari hitam, cokllat, sampai abu-abu, agak sulit
untutersebut. Tikus loteng lebih suka makan padi-padian dan makanan yang
dibuat dari beras. Jika tidak ada padi-padian, tikus itu akan mencari makanan
lain.

2. Binatang pengerat liar


Berikut beberapa spesies dari golongan rodent liar yang paling
banyak ditemukan.
a. Tatera indica, merupakan hospes reser;vior alami dari penyakit
sampar.
b. Bandicota bangalensis varisus
c. Bandicota indica
d. Millarida meltada
e. Millarida gleadowi
f. Mus booduga.
Dr. Budiman, Chandra. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Cetakan I. EGC :
Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Hewan_pengerat

Anda mungkin juga menyukai