LBM3
STEP1
STEP2
1. Apasaja yang harus dipertimbangkan dalam subyek uji dan metodeuji, parameter
yangdiukur, dan analisisnya?
2. Apa saja model pengujian pada eksperimen farmakologi?
3. Kelebihan dan kekurangan dari uji farmakologi invivo dan invitro?
4. Cara untuk menganalisis untuk uji analisis invivo dan invitro?
5. Contoh uji invitro dan in vivo?
6. Faktor yang mempengaruhi hasil penelitian?
7. Sebutkan tahapan /langkah2 dari uji invivo dan invitro?
STEP3
1. Apasaja yang harus dipertimbangkan dalam subyek uji dan metode uji, parameter
yang diukur, dan analisisnya?
Pemilihan hewan uji
- Hewan disesuaikan dengan penelitian
- Ukuran hewannya
- Jenis sampelnya
- Kualitas sampelnya (steril/terkontaminasi)
- Jumlah sample yang akan diambil.
- Frekuensi sampel ( eritrositnya, biar tdk syok)
- Status kesehatan hewan coba.
- Pengalaman peneliti.
Metode uji
- Menggunakan metode BST = untuk mengetahui bahan berbahan toksik /
tidak
- Dikatakan
parameternya
- harus jelas, sesuai dengan penelitian awal.
2. Apa saja model pengujian pada eksperimen farmakologi?
Invivo = ditubuh hewan utuh, sample banyak, mahal lama, dalam lingkungan
yg terkendali ( spasies, kelamin, usia)
In vitro = diluar tubuh hewan disel yang terisolasi, dilakukan dalam tabung
uji, sample tdk bnayak, murah, cepat, lebih cocok mengamati subyek hidup.
In silico = upaya yang dilakukan untuk menemukan obat baru, dgn skriening
maya.
Besarnya energi ikatan,(ligan dengan protein yang menghasilakna rangkaian
efek)
In situ = sma dng in vivo dengan hewan utuh, diamati hanya di organ tertentu.
Lebih ke ususnya, digunakan untuk melihat absorbsi obat.
Bioassay = mengukur dampak dari zat organisme hidup dan sangant penting
dalam pengembanga obat baru.
Invitro :
Kelebihan = mudah diteliti, lebih fokus pada organ, lebih murah, kondisi
lingkunagn sel mudah dikontrol dan dimodifikasi
Ditunjukan bagannya
TOKSISITAS FARMAKOLOGI
INVITRO IN VIVO
LANGKAH,
IDENTIFIKASI,
STEP 7
1. Apasaja yang harus dipertimbangkan dalam subyek uji dan metode uji, parameter
yang diukur, dan analisisnya?
Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai
berikut:
Berat badan lebih kecil dari 1 kg
Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
Mudah dipegang dan dikendalikan
Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
Lama hidup relative singkat
Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press)
Berbagai hewan kecil memiliki karakteristik tertentu yang relatif serupa dengan
manusia, sementara hewan lainnya mempunyai kesamaan dengan aspek fisiologis
metabolis manusia.
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan
prinsip 3 R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction,dan refinement.
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan
secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau
biakan jaringan. Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti
hewan percobaan dengan memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan
dari ordo lebih rendah) dan absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel,
jaringan, atau program komputer).
Antiinflamasi
(http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24139/1/MIGI%20FEBRI%2
0ARINI-fkik.pdf)
In vitro:
1. Uji aktivitas antiaskaris (anticacing)
2. Uji antifungi
3. Uji antikalkuli
4. Uji efek mukolitik
5. Uji farmakodinamik dg organ terisolir
6. Uji toksisitas in vitro
- metode Brain Shrimp Test (BST)
- metode Sitotoksisitas
dengan rumus:
(http://journal.unair.ac.id/filerPDF/06%20vol%207%20april%202008%20(48-54).pdf)
Antifungi
UJI AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG RAMBUTAN (Nephelium
lappaceum L.) TERHADAP JAMUR Candida Albicans SECARA IN VITRO
Pengujian Aktivitas Antijamur
a. Media dasar PDA dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras.
b. Pada permukaan lapisan dasar diletakkan 6 pencadang dan diatur sedemikian rupa
sehingga terdapat daerah yang baik untuk mengamati zona hambat yang terjadi.
c. PDA yang mengandung suspensi jamur uji dituang ke dalam cawan petri di sekeliling
pencadang.
d. Dikeluarkan pencadang dari cawan petri sehingga terbentuk sumur yang akan
digunakan untuk larutan uji, larutan kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
e. Diteteskan larutan uji ekstrak sampel kering etanol, ekstrak sampel basah etanol,
larutan kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
f. Dilakukan pengulangan secara triplo dengan cara yang sama.
g. Diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37 C selama 1x24 jam.
h. Diamati zona hambat yang terjadi di sekitar sumuran kemudian diukur diameter zona
hambat secara horizontal dan vertikal dengan menggunakan penggaris berskala.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=123510&val=5543)
Organ Terisolasi
EFEK EKSTRAK DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L) TERHADAP RELAKSASI OTOT
POLOS TERPISAH TRAKEA MARMUT (Cavia porcellus)
METODOLOGI
Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan coba marmut jantan (n=5).
Percobaan dilakukan dengan metoda organ terpisah yaitu menggunakan rantai cincin
trakea yang dimasukkan ke dalam organ bathdan dihubungkan dengan rekorder
macLab. Selama percobaan rantai cicin trakea di dalam organbath direndam cairan
fisiologis Kreb”s yang selalu diganti setiap 15 menit, temperatur dipertahankan 35-37 C
dan terus menerus dialiri gas karbogen (9). Daun ciplukan (Physalis minima L) dibuat
ekstrak dengan menggunakan etanol. Untuk melihat respon relaksasi dari pemberian
ekstrak daun ciplukan, dilakukan stimulasi kontraksi otot polos trakea terlebih
duludengan menggunakan histamin 10-5 M (9,10), jika sudah terjadi kontraksi yang
stabil, kemudian baru ditambahkan ekstrak daunciplukan secara kumulatif dengan dosis
0,3 %, 0,5 %, 0,7 % dan diamati respon relaksasi otot polos trakea dari penurunan kurva
yang terekam di komputer mac lab dan dapat diukur besar kontraksi dan relaksasi
dalam satuan mv. Ekstrak daun ciplukan diberikan secara kumulatif berdasar penelitian
pendahuluan yang didapatkan hasil bahwa efek relaksasi ekstrak daun ciplukan bertahan
lama dan baru hilang responsnya setelah dilakukan pencucian. Data yang diperoleh
adalah besar kontraksi dari otot polos trakea setelah pemberian histamin (kontrol) dan
penurunan kontraksi (relaksasi) otot polos trakea setelah pemberian ekstrak daun
ciplukan (perlakuan). Besar kontraksi yang terekam pada komputer maclab
menggunakan satuan mili volt Data yang didapatkan dianalisis dengan uji anova, dan uji
korelasi regresi.
(http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/237/229)
Mukolitik
SKRINING KOMPONEN KIMIA DAN UJI AKTIVITAS MUKOLITIK EKSTRAK RIMPANG
BANGLE (Zingiber purpureum Roxb.) TERHADAP MUKOSA USUS SAPI SECARA IN VITRO
Pembuatan Larutan Stok Ekstrak Uji
Larutan stok ekstrak uji dibuat dari ekstrak uji yang ditimbang sesuai kadar yang di-
inginkan (1 % b/v dan 0,5 % b/v) dan dibasahi dengan tween 80 hingga konsentrasi
tween 80 dalam larutan mencapai 1% dengan cara mela-rutkan tween sebanyak 1 g
dengan 100 ml akua-dest, lalu diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam ekstrak uji dan
dihomogenkan hingga terbentuk dispersi ekstrak.
Larutan Stok Kontrol Positif dan Kontrol Negatif
Larutan stok kontrol positif yang diguna-kan asetilsistein 50 mg/ml dengan tween 80
hingga konsentrasi tween 80 dalam larutan mencapai 1 %, sedangkan kontrol negatif
adalah mukus sapi dalam larutan dapar fosfat pH 7.
Penyiapan Mukus
Mukus didapatkan dari mukosa usus sapi yang dicuci dengan air mengalir sampai bersih,
kemudian dibelah dan dikerok. Mukus ditampung pada gelas kimia. Mukus yang
didapatkan berwarna putih kecoklatan sampai putih kekuningan.
3.b.1. PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat menggunakan
metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis dapat ditambah hingga 5000
mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji pendahuluan sebagai dosis yang dapat menimbulkan
gejala toksisitas ringan tetapi tidak menimbulkan efek toksik yang berat atau kematian. Prosedur ini
dilanjutkan hingga mencapai dosis yang menimbulkan efek toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1
kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya kematian pada
dosis yang lebih rendah.
3.b.2. PROSEDUR
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar) atau mencit
(strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena sedikit lebih
sensitif dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut literatur) secara toksikologi atau
toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan lebih sensitif, maka jenis kelamin jantan harus
digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka diperlukan alasan yang kuat.
Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-tiap hewan, dan dilakukan
aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi perlakuan.
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak nabati).
Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih
dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan apabila
menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus
diketahui.
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama 14-18 jam,
namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan).
Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji diberikan dalam dosis
tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk diberikan dosis
dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan beberapa kali dalam jangka waktu
pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan
kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa
kali, maka pakan boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode pemberian
sediaan uji tersebut. Volume cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan
uji. Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun bila
pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan uji
diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan
uji berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan
(konsentrasi tetap).
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama. Dosis awal
pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg BB sebagai
dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2). Pemeriksaan menggunakan
dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-benardiperlukan. Diperlukan informasi tambahan yaitu
data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-zat yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan
struktur. Jika informasi tersebut tidak ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg BB.
Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada setiap dosis dan semua hewan harus
diamati sekurang-kurangnya selama 14 hari. Bila kematian terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga
nilai cutt-off LD50 adalah 5mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan
tanpa perlu melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur
tambahan dapat dilakukan sbb: Pada hewan uji kedua diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan kedua
ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi dan percobaan dihentikan. Jika hewan ini hidup, maka
pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB secara berurutan dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya.
Interval waktu pemberian antara satu hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar dapat
dilakukan penilaian apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika
dihitung dari awal merupakan kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji dihentikan
dan tidak diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran 2, maka bahan uji masuk
kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan berlaku klasifikasi pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika
ada 2 atau lebih kematian atau Kategori 2 jika hanya ada 1 kematian).
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian pada uji
pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu terjadinya gejala
toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan masih
bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil:
menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji dengan dosis
yang lebih rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis awal dan
uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor hewan uji untuk tiap
tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1 ekor hewan dari uji pendahuluan dan
4 ekor hewan tambahan. Interval waktu antara dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya
toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji pada tahap dosis berikutnya harus ditunda sampai
diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval waktu
peralihan selama 3-4 hari, namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan.
Sehubungan dengan animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg,
dipertimbangkan bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi
manusia, hewan atau lingkungan.
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada uji utama
hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000 mg/kg, maka tidak perlu
diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.
3.b.2.7. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama setelah
pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam pertama dan sehari sekali
setelah itu selama 14 hari. Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang
tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul dan
hilangnya gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik yang tertunda)
harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas secara terus-
menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata, membran mukosa dan juga
sistem pernafasan, sistem syaraf otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah
laku. Selain itu, perlu juga pengamatan pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur
dan koma. Hewan dalam kondisi sekarat dan hewan yang menunjukkan gejala nyeri yang berat atau
tampak menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau ditemukan mati, waktu
kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode observasi adalah:
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan uji dan
sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada akhir
penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus dinekropsi.
Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan mikroskopik dari
organ yang menunjukkan adanya perubahan secara gross patologi pada hewan yang bertahan hidup
selama 24 jam atau lebih setelah pemberian dosis awal dapat dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang berguna.
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk tabel yang
menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala toksisitas; jumlah
hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena dikorbankan; waktu kematian masing-
masing hewan; gambaran dampak toksik dan waktu dampak toksik; waktu terjadinya reaksi
kesembuhan; dan penemuan nekropsi.
(PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7
TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI TOKSISITAS NONKLINIK SECARA IN VIVO,
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=816)
In vivo :
Terletak di dalam tubuh manusia digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik
sadar atau teranestesi)
dalam lingkungan yang terkendali
Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus
dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis)
harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan
perpaduan antara rodent dan non rodent.
kekurangan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-
vitro-dan-ex-vivo/)
kekurangan :
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena
kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini
dapat mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam
organisme hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan
in vitro, bertentangan dengan in vivo.
- Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara
signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh
karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
Contohnya termasuk:
- Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat
mengakibatkan enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus
Krebs mungkin tampak memiliki tata-nama, salah.
- DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
- Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein
lain dan ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang
bergerombol dan tidak membantu.
-
Kelebihan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat
Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo untuk menyimpulkan
tindakan mekanisme biologis. Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual
diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang umumnya lebih jelas.
in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup
Contoh :
- uji pada mikroba jika antibiotic;
- pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker;
- pada plasmodium utk obat anti malaria;
- pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis;
- pada cacing utk obat cacing;
- pada virus utk obat antivirus;
- pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji
pada otot polos trachea marmot;
- pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-
vitro-dan-ex-vivo/)
Kelebihan:
Kekurangan:
https://www.roswellpark.edu/sites/default/files/uploads/page/583-foster41911.pdf
Relatively inexpensive
(http://www.bbemg.be/en/elf-emf-and-health/study-methods/info-invitro-studies.html)
2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang,
suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan
tempat hidup seperti suhu, kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta
penempatan hewan), pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau
organ untuk percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan,
dan mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan yang sudah biasa di beri obat
maka akan terlihat lebih rilex dan santai berbeda dengan hewan percobaan yang masih
baru dan masih asing makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita
membutuhkan penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan percobaan
sebelum melakukan percobaan.