Anda di halaman 1dari 20

BAGAIMANA MERANCANG DESAIN PENELITIAN IN VITRO DAN IN VIVO?

STEP 1
1. cell cycle arrest
cell cycle (siklus sel), arrest (berhenti)
merupakan proses pembelahan sel yang berhenti

2. uji in vivo
in (dalam) vivo( makhluk hidup)
uji yang dilakukan dalam makhluk hidup

3. uji in vitro
in (dalam) vitro (kaca)
uji yang dilakukan diluar makhluk hidup

STEP 2
1. apakah perbedaan(kelebihan, kekurangan, dan contoh masing uji,definisi) uji
in vivo dan in vitro?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi uji in vivo dan in vitro?
3. Bagaimana tahapan uji in vivo dan in vitro?
4. Apa saja desain penelitian untuk uji in vivo dan in vitro?
5. Bagaimana memilih desain penelitian?
6. Bagaimana cara pemilihan subjek uji?
7. Bagaimana cara memilih parameter yang akan diukur?
8. Bagaimana pengujian dari uji eksperimen?

STEP 3

1. apakah perbedaan(kelebihan, kekurangan, dan contoh masing uji) uji in vivo


dan in vitro?
In vivo In vitro
definisi Didalam tubuh makhluk Diluarmakhluk
hidup (mencit) hidup(cawan petri)
kelebihan lebih spesifik(kurang Lebih sedikit samplenya,
spesifikbanyak yang lebih spesifik
berpengaruh)
kekurangan Lebih mahal,Lebih Biaya murah
banyak membutuhkan
sample
Ex. Uji farmakologi Ex. Meneliti DNA
Tindakan lebih
invasif(efek yang
ditumbulkan seberapa
jauh), bisa
mengendalikan
lingkungan, lebih aman.
Fisiologi hewan lebih ke Hasil tidak semua bisa
manusia (Harus diterapkan, karena hasil
menyamakan dari galur bisa berbeda.
dan spesies)

Uji markisa kuning untuk menghambat pertumbuhan sel kanker


In vivoMenyiapkan seltikus/ mencit dibuat mengalami kanker
payudara(sample tidak bisa dibandingkan, waktu lebih lama, proses lebih
panjang shg biaya lebih banyak)
In vitro biakan sel kanker (kultur sel,waktu lebih cepat/hitungan hari
sampai minggu)
Rentan waktu untuk menjadi sel kanker
Waktu 1 tahun lebihtetapi tidak semua bisa menjadi sel kanker

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi uji in vivo dan in vitro?


In vivo
Internal
- Hewan uji(jenis kelamis: betina, galur, usia, luas permukaan dari hewan uji)
eksternal
- faktor lingkungan(suplay oksigen, suasana kandang, kelmbapan, suhu)
- ketrampilan peneliti
in vitro
- sterilitas cawan petri dan lingkungannyaberpengaruh terhadap
keberhasilan penelitian
- ketrampilan peneliti

3. Bagaimana tahapan uji in vivo dan in vitro?


- Bioassaymetode yang digunakan untuk memperkirakan potensi suatu
reaksi dari suatu obat
- Bisa mengukur dari efek samping
Tahapan
- Virtual screeningbisa menseleksi dari target obatnya, lebih menggunakan
komputasi(lebih cepat, dan hemat uang), sudah mengetahui zat yang
terkandung.
- Primary bioassayuji yang dapat diaplikasikan ke banyak sample, diambil
langsung dari subjeknya, lebih cepat. Ex: in vitro
- Secondary bioassay biaya mahal dan lambat, uji lebih spesifik. Ex:in vivo
- Preklinikterdiri dari uji toksisitas, dan aktivitas
- klinial lebih ke manusia, terdiri dari 4 fase
karakteristik primary bioassay
- predictive potensial bisa diprediksi secara langsung dan tidak
langsung(berikan contoh)
- efek farmakologi
- tidak boleh bias
- bisa memberikan hasil yang diinginkan
- cost effective biaya sesuai

4. Apa saja desain penelitian untuk uji in vivo dan in vitro?


Uji tunggal variabel
- pre eksperimental tidak ada kontrol dan cara memilih subjek uji tidak
random
o one shoot case studysatu grup beri perlakuan dan diamati
o one group prepost testada pre dan post test, tidak ada kontrol,
dan tidak random
o intack group desain

- eksperimental
true experimenpemilihan subjek dirandom. solomon , four group desin,
prepost(sebelum perlakuan cek dulu disemua kelompok, baru
beriperlakuan dan cek lagi diakhir)

- quasi

berikan contohnya dan design penelitian yang sesuai

sitotoksik(melihat kematian)post test only group design


prepostanti hipertensi, TD awal sebelum diberi ekstrak setelah diberi
ekstrak, cek TD sesudahnya(butuh data awal).
Skenario
Invivo:efek buah markisa thd kanker payudara(lihat dengan preparat),
lihat kematiannyapost test
In vitro post test only

5. Bagaimana cara pemilihan subjek uji?


6. Bagaimana cara memilih parameter yang akan diukur?
7. Bagaimana pengujian dari uji eksperimen?

STEP 4
UJI PREKILINIK

DESIGN PENELITIAN TUJUAN PENELITIAN

TAHAPAN
PENELITIAN(BIOASSAY)

IN VITRO IN VIVO

FAKTOR2
KRITERIA
KELEBIHAN KEKURANGAN
STEP 7

1. apakah perbedaan(kelebihan, kekurangan, dan contoh masing uji) uji in vivo


dan in vitro?
In vivo :
 Terletak di dalam tubuh manusia  digunakan hewan utuh dan kondisi hidup
(baik sadar atau teranestesi)
 dalam lingkungan yang terkendali
 Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas
harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat
badan (mempengaruhi dosis)
 harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan
non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia
merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.

o kekurangan
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama

Contoh :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD
bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak
shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.

- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni
dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika
sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus
akan dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu, sementara
kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus krn hewan akan
diletakkan di hot plate.

- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya


banyak kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan
adanya keterbatasan subyek uji

- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang


utk muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah
sekali.

- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn


system kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di
bawah kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan
kaki tikus sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk

- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya


setelah disuntik pyrogen

- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam
(ayam makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg
terjadi dg biokimiawi di keluarga burung.

- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di
dalam air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.

- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.

- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau
paru-paru tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena

Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang


menghasilkan 50% efek maksimum.
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

In vitro :
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan
terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
 Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel
eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini
cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel,
protein , dan / atau biomolekul
 tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti
dapat fokus pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari
sistem kekebalan tubuh ( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang
mengenali dan mengikat antigen asing akan tetap sangat jelas jika tidak
untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk mengisolasi protein ,
mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka , mempelajari
fisik sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi bagaimana
interaksi mereka menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen
lain dari sistem kekebalan tubuh
Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis - bermasalah spesies .
Metode baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ yang tersedia
untuk memotong hidup , pengujian lintas-spesies

kekurangan :
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ;
karena kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam
organisme, ini dapat mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi
yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil eksperimen
tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in vivo.
- Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda
secara signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang
menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh
studi vivo.

Contohnya termasuk:

- Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat


mengakibatkan enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim
dalam siklus Krebs mungkin tampak memiliki tata-nama, salah.
- DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
- Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi
protein lain dan ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro,
kondisi kurang bergerombol dan tidak membantu.
-

Kelebihan
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
 Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo untuk
menyimpulkan tindakan mekanisme biologis. Dengan variabel yang lebih
sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang
umumnya lebih jelas.
 in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada
subjek hidup

Contoh :
- uji pada mikroba jika antibiotic;
- pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker;
- pada plasmodium utk obat anti malaria;
- pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis;
- pada cacing utk obat cacing;
- pada virus utk obat antivirus;
- pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator
diuji pada otot polos trachea marmot;
- pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.

http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-
in-vivo-in-vitro-dan-ex-vivo/

Uji markisa kuning untuk menghambat pertumbuhan sel kanker

Rentan waktu untuk menjadi sel kanker

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi uji in vivo dan in vitro?


Faktor yang mempengaruhi hasil uji
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan
diantaranya:
1. Faktor internal
Meliputi variasi biologik, yaitu usia (berpengaruh pada dosis yang harus
diberikan) dan jenis kelamin (ada obat-obat yang lebih peka untuk
jantan dan untuk betina). Kemudian ras dan sifat genetic, faktor-faktor
tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang akan di jadikan
percobaan karena akan memepengaruhi hasil dari percobaan
disebabkan oleh pengaruh dosis dan cairan tubuh hewan tersebut
sehingga hasil dari pengamatan akan berbeda-beda, sehingga
memepengaruhi efek farmakologinya. Selain itu, status kesehatan dan
nutrisi, bobot tubuh serta luas permukaan tubuh akan berpengaruh
pada dosis yang harus diberikan.

2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan
kandang, suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam
penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu,
kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ
untuk percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil
percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan
yang sudah biasa di beri obat maka akan terlihat lebih rilex dan santai
berbeda dengan hewan percobaan yang masih baru dan masih asing
makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita membutuhkan
penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan percobaan
sebelum melakukan percobaan.

3. Bagaimana tahapan uji in vivo dan in vitro?


Broad Categories of Bioassays
 Virtual Screenings
 Primary Bioassays
 Secondary Bioassays
 Preclinical Trials
 Clinical Trials
Virtual Screenings
 Target Selection
 Data Mining (Chemical space of over 1060 conceivable compounds)
 Screening of Libraries of Compounds Virtually
 lead optimization
 Prediction of Structure-Activity Relationships

Primary “Bioassay/Assays” Screenings


 Non- physiological Assays
 Biochemical or Mechanism-Based Assays
 In Vitro Assays
 Microorganism-based bioassays
 Cell-based Bioassays
 Tissue-based Bioassays

In Vitro Bioassays
 In Vitro: In experimental situation outside the organisms. Biological or
chemical work done in the test tube( in vitro is Latin for “in glass”) rather than
in living systems
 Examples include antifungal, antibacterial, organ-based assays, cellular
assays, etc

Examples of In Vitro Bioassay


 Activity Assays
o DPPH assay
o Xanthine oxidase inhibition assays
o Superoxide scavenging assay
o Antiglycation assay
 Bioassays (cell-based)
o DNA Level
o Protein Level
o RNA Level
o Immunology assay
 Toxicity Assays
o MTT assay
o Cancer cell line assays

Examples of Primary Assays


 Antioxidant Assays
 Enzyme Inhibition Assays
 Cytotoxicty Bioassays
 Anti-cancer Bioassays (Cancer Cell Lines)
 Brine Shrimp Lethality Bioassays
 In Vitro Antiparasitic Bioassays
 Anti-bacterial Bioassays
 Antifungal Bioassays
 Insecticidal Bioassays
 Phytotoxicity Bioassays
 Etc.

Salient Features of Primary Bioassay Screenings


 Predictive Potential
 General in nature
 Tolerant of impurities
 Unbiased
 High-throughput
 Reproducible
 Fast
 Cost-effective
 Compatible with DMSO

Secondary Bioassays
 In Vivo Bioassays
 Animal-based Assays/Preclinical Studies

In Vivo Screenings or Pharmacological Screenings


 In Vivo: Test performed in a living system such as antidiabetic assays, CNS
assays, antihypertensive assays, etc.

Examples of In Vivo Bioassays


 Animal Toxicity
o Acute toxicity
o Chronic toxicity
 Animals Study
o Animal model with induced disease
o Animal model with induced injury
 Pre-Clinical Trials
 Clinical Trials

3.b.1. PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat
menggunakan metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis
dapat ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji pendahuluan
sebagai dosis yang dapat menimbulkan gejala toksisitas ringan tetapi tidak
menimbulkan efek toksik yang berat atau kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga
mencapai dosis yang menimbulkan efek toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1
kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya
kematian pada dosis yang lebih rendah.
3.b.2. PROSEDUR
3.b.2.1. Penyiapan Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau
Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya
digunakan tikus betina karena sedikit lebih sensitif dibandingkan tikus jantan.
Namun bila bahan uji (menurut literatur) secara toksikologi atau toksikokinetik
menunjukkan bahwa tikus jantan lebih sensitif, maka jenis kelamin jantan harus
digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka diperlukan
alasan yang kuat. Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-
tiap hewan, dan dilakukan aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi
perlakuan.
3.b.2.2. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata,
minyak nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk
suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi
yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan apabila menggunakan pelarut non
aqueous maka karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
3.b.2.3. Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama
14-18 jam, namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air
minum boleh diberikan). Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan
sediaan uji. Sediaan uji diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali
pemberian, sediaan uji dapat diberikan beberapa kali dalam jangka waktu
pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan
boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila
sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh diberikan setelah perlakuan
tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut. Volume cairan
maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada rodensia,
jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun bila pelarutnya
air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan
uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan
tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan
dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
3.b.2.4. Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama.
Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300
dan 2000 mg/kg BB sebagai dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik
(Lampiran 1, 2). Pemeriksaan menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila
benar-benardiperlukan. Diperlukan informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in
vivo dan in vitro dari zat-zat yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur.
Jika informasi tersebut tidak ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg
BB. Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada setiap dosis dan
semua hewan harus diamati sekurang-kurangnya selama 14 hari. Bila kematian
terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga nilai cutt-off LD50 adalah 5mg/kg BB (masuk
kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan tanpa perlu melakukan uji
utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur tambahan
dapat dilakukan sbb: Pada hewan uji kedua diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan
kedua ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi dan percobaan dihentikan. Jika
hewan ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB secara berurutan
dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya. Interval waktu pemberian antara satu
hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar dapat dilakukan penilaian apakah
hewan tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika dihitung dari
awal merupakan kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji dihentikan
dan tidak diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran 2, maka
bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan berlaku klasifikasi pada
dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau Kategori 2 jika
hanya ada 1 kematian).
3.b.2.5. Uji Utama
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian
pada uji pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada
waktu terjadinya gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya
sampai diketahui apakah hewan masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4).
Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil: menghentikan uji, melanjutkan
uji dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji dengan dosis yang lebih
rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis
awal dan uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor
hewan uji untuk tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1
ekor hewan dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval waktu
antara dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan
pemberian bahan uji pada tahap dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh
petunjuk bahwa hewan uji tersebut bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval
waktu peralihan selama 3-4 hari, namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak
meragukan. Sehubungan dengan animal welfare, bila akan menggunakan dosis
diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan
kepentingan untuk melindungi manusia, hewan atau lingkungan.
3.b.2.6. Uji Batas
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan
pada uji utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis
2000 mg/kg, maka tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.
3.b.2.7. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama
setelah pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam
pertama dan sehari sekali setelah itu selama 14 hari. Namun durasi pengamatan
dapat bervariasi dan diperpanjang tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset
serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul dan hilangnya gejala toksisitas
(khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik yang tertunda) harus dicatat
secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas
secara terus-menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata,
membran mukosa dan juga sistem pernafasan, sistem syaraf otonom, sistem syaraf
pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan
pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam
kondisi sekarat dan hewan yang menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak
menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau ditemukan mati,
waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode
observasi adalah:
a. Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan
sediaan uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan
harus dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang
dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan)
harus dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji.
Pemeriksaan mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara
gross patologi pada hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah
pemberian dosis awal dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna.
3.b.2.8. Pengumpulan dan Analisis Data
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam
bentuk tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan
yang mati karena dikorbankan; waktu kematian masing-masing hewan; gambaran
dampak toksik dan waktu dampak toksik; waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan
penemuan nekropsi.
(PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI TOKSISITAS NONKLINIK
SECARA IN VIVO, http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=816)

4. Apa saja desain penelitian untuk uji in vivo dan in vitro?


Menurut Prof. Dr. Sugiyono dalam bukunya “Metode Penelitian Pendidikan”
tahun 2010, beliau membagi desain penelitian ekperimen kedalam 3 bentuk
yakni pre-experimental design, true experimental design, dan quasy
experimental design.

1. Pre-experimental design
Desain ini dikatakan sebagai pre-experimental design karena belum
merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel
luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen.
Rancangan ini berguna untuk mendapatkan informasi awal terhadap
pertanyaan yang ada dalam penelitian. Bentuk Pre-
Experimental Designs ini ada beberapa macam antara lain :

a. One – Shoot Case Study (Studi Kasus Satu Tembakan)


Dimana dalam desain penelitian ini terdapat suatu kelompok diberi
treatment (perlakuan) dan selanjutnya diobservasi hasilnya (treatment
adalah sebagai variabel independen dan hasil adalah sebagai variabel
dependen). Dalam eksperimen ini subjek disajikan dengan beberapa jenis
perlakuan lalu diukur hasilnya.

b. One – Group Pretest-Posttest Design (Satu Kelompok Prates-Postes)


Kalau pada desain “a” tidak ada pretest, maka pada desain ini
terdapat pretest sebelum diberi perlakuan. Dengan demikian hasil perlakuan
dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan
sebelum diberi perlakuan.
c. Intact-Group Comparison
Pada desain ini terdapat satu kelompok yang digunakan untuk
penelitian, tetapi dibagi dua yaitu; setengah kelompok untuk eksperimen
(yang diberi perlakuan) dan setengah untuk kelompok kontrol (yang tidak
diberi perlakuan).

2. True Experimental Design


Dikatakan true experimental (eksperimen yang sebenarnya/betul-
betul) karena dalam desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar
yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal
(kualitas pelaksanaan rancangan penelitian) dapat menjadi tinggi. Ciri utama
dari true experimental adalah bahwa, sampel yang digunakan untuk
eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol diambil secara random (acak)
dari populasi tertentu. Jadi cirinya adalah adanya kelompok kontrol dan
sampel yang dipilih secara random. Desain true experimental terbagi atas :

a. Posstest-Only Control Design


Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih
secara random (R). Kelompok pertama diberi perlakuan (X) dan kelompok lain
tidak. Kelompok yang diberi perlakuan disebut kelompok eksperimen dan
kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok kontrol.

b. Pretest-Posttest Control Group Design.


Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara
acak/random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal
adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

c. The Solomon Four-Group Design.


Dalam desain ini, dimana salah satu dari empat kelompok dipilih
secara random. Dua kelompok diberi pratest dan dua kelompok tidak.
Kemudian satu dari kelompok pratest dan satu dari kelompok nonpratest
diberi perlakuan eksperimen, setelah itu keempat kelompok ini diberi
posttest.

3. Quasi Experimental Design


Bentuk desain eksperimen ini merupakan pengembangan dari true
experimental design, yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai
kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk
mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen. Walaupun demikian, desain ini lebih baik dari pre-experimental
design. Quasi Experimental Design digunakan karena pada kenyataannya sulit
medapatkan kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian.
Dalam suatu kegiatan administrasi atau manajemen misalnya, sering
tidak mungkin menggunakan sebagian para karyawannya untuk eksperimen
dan sebagian tidak. Sebagian menggunakan prosedur kerja baru yang lain
tidak. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan
kelompok kontrol dalam penelitian, maka dikembangkan desain Quasi
Experimental. Desain eksperimen model ini diantarnya sebagai berikut:
a. Time Series Design
Dalam desain ini kelompok yang digunakan untuk penelitian tidak
dapat dipilih secara random. Sebelum diberi perlakuan, kelompok diberi
pretest sampai empat kali dengan maksud untuk mengetahui kestabilan dan
kejelasan keadaan kelompok sebelum diberi perlakuan. Bila hasil pretest
selama empat kali ternyata nilainya berbeda-beda, berarti kelompok tersebut
keadaannya labil, tidak menentu, dan tidak konsisten. Setelah kestabilan
keadaan kelompok dapay diketahui dengan jelas, maka baru diberi
treatment/perlakuan. Desain penelitian ini hanya menggunakan satu
kelompok saja, sehingga tidak memerlukan kelompok kontrol.
b. Nonequivalent Control Group Design
Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design,
hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak
dipilih secara random. Dalam desain ini, baik kelompok eksperimental
maupun kelompok kontrol dibandingkan, kendati kelompok tersebut dipilih
dan ditempatkan tanpa melalui random. Dua kelompok yang ada diberi
pretes, kemudian diberikan perlakuan, dan terakhir diberikan postes.

c. Conterbalanced Design
Desain ini semua kelompok menerima semua perlakuan, hanya dalam
urutan perlakuan yang berbeda-beda, dan dilakukan secara random.

4. Factorial Design
• Desain Faktorial selalu melibatkan dua atau lebih variabel bebas (sekurang-
kurangnya satu yang dimanipulasi). Desain faktorial secara mendasar
menghasilkan ketelitian desain true-eksperimental dan membolehkan
penyelidikan terhadap dua atau lebih variabel, secara individual dan dalam
interaksi satu sama lain. Tujuan dari desain ini adalah untuk menentukan
apakah efek suatu variabel eksperimental dapat digeneralisasikan lewat
semua level dari suatu variabel kontrol atau apakah efek suatu variabel
eksperimen tersebut khusus untuk level khusus dari variabel kontrol, selain
itu juga dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan yang tidak dapat
dilakukan oleh desain eksperimental variabel tunggal.

• Sugiyono, Dr. 2010. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,


Penerbit Alfabeta
5. Bagaimana cara pemilihan subjek uji?
Pemilihan subjek uji
- Hewan disesuaikan dengan penelitian
- Ukuran hewan
- Jenis sampel
- Kualitas sampel
- Jumlah sample yang akan diambil.
- Frekuensi sampel yang akan diambil
- Status kesehatan hewan coba
- Pengalaman peneliti

Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek
Samping. Jakarta: Elex Media Komputindo

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria


sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press
Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan
hewan uji, pemberian perlakuan, pengamatan dan pelaporan.
1. Pemilihan Hewan Uji.
Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia,
c. jenis kelamin dan
d. jumlahnya.
 Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci.
Untuk unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan
teknik laboratorium yang ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak
binatang telah membuka kemungkinan penggunaan hanya organ,
jaringan atau sel saja menggantikan hewan uji (kultur organ atau kultur
sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting terutama dalam
upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di Indonesa
hewan uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu
tulisan ini selanjutnya akan membicarakan pengujian dengan
menggunakan hewan uji tersebut.
 Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk jantan
dipilih pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan
di malam hari dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3 betina dalam
satu kandang. Jika keesokan harinya ditemukan adanya sumbat vagina
(vaginal plug) atau adanya sperma di vagina yang dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu pertanda perkawinan
sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan sebagai hari ke nol
kebuntingan.
 Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina
bunting untuk tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan
biasanya terdiri atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka
jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80 ekor.
2. Pemberian Perlakuan.
 Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan sebaiknya
tidak > 1000 mg/kg berat badan per hari dengan pemberian per oral atau
subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan dengan besaran
paparan yang mungkin diterima dari lingkungan.
 Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok
dosis berikutnya ditata dengan interval sama di bawah dosis tertinggi tadi
(misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol).
 Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum
digunakan adalah apabila agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka
kepada kelompok kontrol diberikan pelarut saja dengan cara pemberian
yang persis sama dengan cara pemberian pada kelompok perlakuan.
Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang sudah dikenali
memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk
menilai kepekaan strain yang digunakan.
 Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah pemberian per oral
(pencekokan). Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus,
seperti inhalasi, subkutan, intraperitoneal atau intramuskuler.
Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu adalah kemiripannya
dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam tubuh.
 Durasi perlakuan disesuaikan dengan tujuan pengujian. Untuk pengujian
toksisitas perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa
kebuntingan. Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada titik
waktu spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia terhadap
perkembangan organ tertentu.
 Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam
beberapa hari saja, yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga
hari ke 15).
3. Pengamatan.
 Meskipun pengujian ini disebut uji tokskologi perkembangan ruang
lingkup pengamatan tidaklah terbatas pada embrio yang sedang
berkembang itu saja melainkan juga mencakup beberapa bagian
pengamatan terhadap induk.
 Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal
khusus seperti adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat
badan ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan selain
sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga digunakan untuk
menentukan jumlah pemberian perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan
coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya
dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke-20/21; mencit hari
ke-19). Betina tidak dibiarkan sampai melahirkan karena jika itu terjadi ia
akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah caesar
dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area
bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka
dan organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang bersama-
sama dengan embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus ditempatkan di
dalam cairan fisiologis, lalu dibelah dan embrionya dilepas.
 Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang berkembang
penuh dan merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang
berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak
merespon sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang
menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi mengalami autolisis
digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late
resorption); implantasi yang tidak menunjukkan adanya karakteristik fetus
digolongkan pada fetus yang mengalami resorpsi dini (early resorption).
Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea dihitung. Jumlah
corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah implantasi karena
corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah
menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan
kebuntingan. Kehilangan sebelum implantasi dapat dihitung berdasarkan
selisih antara jumlah corpora lutea dengan jumlah implantasi.
 Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral. Kelenjar
timus diamati ukuran, warna dan adanya tanda-tanda hemoragi. Pulmo
diamati ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian juga hepar diamati
ukuran, warna, tekstur dan jumlah lobusnya. Lambung dibuka dengan
sayatan sepanjang curvatura besar dan permukaan mukosalnya diamati.
Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna dan kelainan yang mungkin terlihat
dari luar, dan selanjutnya dibelah untuk mengamati struktur internalnya.
Tiap-tiap kelainan dicatat dan sedapat mungkin didokumentasikan
dengan fotografi dan jaringan yang mengalami kelainan tersebut difiksasi
dengan formalin atau larutan Bouin dan diproses melalui metode parafin
untuk pembuatan sediaan bagi pengamatan histologis.
 Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan.
Penimbangan hendaknya dilakukan ketika fetus masih segar (segera
setelah uterus dibuka, sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi
dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama diperhatikan bentuk dan
ukuran kepala serta adanya tanda-tanda gangguan penutupan (closure
defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2
nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran,
betuk dan adanya gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk
mengamati dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit mulut
(cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah
ada closure defect, dan dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada
tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah rotasi / fleksi bahu,
siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5
belakang) dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau
adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati keberadaan, ukuran dan
pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan
anus dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak
tersebut sangat dekat pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya
kira-kira setengah bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi
dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa hari dieviserasi dan dikuliti.
Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian fetus diwarnai dengan
Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan dalam
gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen
tulang (merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan
rangka meliputi adanya hambatan atau percepatan penulangan, kelainan
bentuk dan jumlah komponen rangka. Rangka diamati mulai dari cranium,
sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis, tulang-tulang
tungkai dan terutama jemari. Jumlah komponen tulang telapak dan
jemari yang telah mengalami penulangan dihitung. Kelainan struktur
komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan osifikasi,
penambahan atau pengurangan jumlah costae, centrum vertebra
berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi vertebra,
tungkai pekuk dan lain-lain

Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II%2
0Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4

6. Bagaimana cara memilih parameter yang akan diukur?


7. Bagaimana pengujian dari uji eksperimen?

Anda mungkin juga menyukai