Anda di halaman 1dari 43

PERTEMUAN 7

PENGEMBANGAN OBAT: UJI PREKLINIK DAN UJI KLINIK

I. Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari pembelajaran ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan dan menerapkan
pengembang obat dengan uji preklinik dan uji klinik, uji toksisitas, uji khasiat, serta
farmakovigilans dan monitoring penggunaan obat.

II. Uraian Materi


1. Uji Pra Klinik
1.1. Definisi
Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in
vivo maupun in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji
praklinis hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan jika ada petunjuk bahwa uji praklinik
dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas yang kompeten
(Kementerian Kesehatan, 2000).
Uji pra klinik bisa disebut juga studi/ pengembangan/ penelitian praklinik/ non-
klinik, yaitu tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada manusia.
Uji pra klinik dilakukan dengan menggunakan senyawa yang baru ditemukan (hasil
isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu harus diuji dengan serangkaian uji farmakologi
pada hewan. Sebelum obat baru ini dapat dicobakan pada manusia dibutuhkan waktu
beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan
efek toksiknya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya uji pra klinik pada pengembangan obat baru adalah :
a. Memprediksi efek farmakologi obat terhadap manusia
b. Memprediksi efek toksikologi obat terhadap manusia
c. Memprediksi efek farmakokinetika obat terhadap manusia
d. Skrining awal untuk penentuan dosis dan formulasi obat
1.3. Prinsip
Dalam pelaksanan uji pra klinik harus membuat dan menyesuaikan protokol dengan
prinsip standar yang berlaku secara ilmiah dan etik penelitian kesehatan (World Medical
Association Declaration of Helsinki, 2008)
a. Respect
Menghormati hak dan martabat makhluk hidup, kebebasan memilih dan
berkeinginan, serta bertanggung jawab terhadap dirinya, termasuk di dalamnya hewan
coba.
b. Beneficiary
Bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat yang didapatkan harus lebih
besar dibandingkan dengan risiko yang diterima.
c. Justice
Bersikap adil dalam memanfaatkan hewan percobaan. Contoh sikap tidak adil, antara
lain hewan disuntik/ dibedah berulang untuk menghemat jumlah hewan, memakai
obat euthanasia yang menimbulkan rasa nyeri karena harga yang lebih murah.

2. Ethical Clearence Terkait Hewan Coba


2.1. Definisi
Ethical Clearance (EC) atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang
diberikan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) untuk riset yang melibatkan
makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah
memenuhi persyaratan tertentu. Dilain pihak, persetujuan dari Komisi Ethical Clearance
dalam suatu penelitian sangat diperlukan dalam publikasi jurnal ilmiah nasional ataupun
international.
Penelitian yang membutuhkan Ethical Clearance (EC) pada dasarnya adalah
seluruh penelitian/riset yang menggunakan makhluk hidup sebagai subyek penelitian, baik
penelitian yang melakukan pengambilan spesimen ataupun yang tidak melakukan
pengambilan spesimen. Penelitian/riset yang dimaksud adalah penelitian biomedik yang
mencakup riset pada farmasetik, alat biologik serta penelitian epidemiologik, sosial dan
psikososial (Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan UNAIR).
2.2. Fungsi
a. Bagi subjek penelitian
• Untuk kepastian perlindungan hak
b. Bagi peneliti
• Menghindari pelanggaran etik
• Publikasi ilmiah di jurnal internasional
• Pencairan dana penelitian
2.3. Prinsip
a. Replacement
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah
diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk
menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain
seperti sel atau biakan jaringan. Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif
(mengganti hewan perco-baan dengan memakai organ/jaringan hewan dari rumah
potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan absolut (mengganti hewan percobaan
dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer).
b. Reduction
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung
menggunakan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan
yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu
adalah semakin sedikit kelompok penelitian, semakin banyak jumlah hewan yang
diperlukan, serta sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain
statistik yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih.
c. Refinement
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane),
memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi
perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai
akhir penelitian.
(Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan Depkes RI, 2006)
2.4. Prosedur Pengajuan
2.4.1. Pemberian Ethical Clearance
Penelitian yang membutuhkan Ethical Clearance berupa :
a. Semua penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, juga
hewan serta bahan biologik tersimpan (BBT)
b. Penelitian dalam bidang farmasetik, radiofarmasi, tanaman obat, rekam medis,
perilaku sosial, psikososial, dan penelitian sejenisnya di bidang sosial dan alam.
3. Hewan Uji Pra Klinik
3.1. Etika Penanganan Hewan Coba
Pengujian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang manusiawi
terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom) :
1. Freedom from Hunger and Thirst
Bebas dari rasa lapar dan haus dengan memberikan akses makanan dan air minum
yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk
kesehatannya. Makanan dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan melalui
analisa proximate makanan, analisis mutu air minum, dan uji kontaminasi secara
berkala. Analisis pakan hewan untuk mendapatkan komposisi pakan, menggunakan
metode standar (Ridwan, 2013).
2. Freedom from Discomfort
Bebas dari rasa tidak nyaman disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai
dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus
cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk
kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri (Ridwan,
2013).
3. Freedom from Injury, Pain, and Diseases
Bebas dari rasa nyeri, trauma, dan penyakit dengan menjalankan program
kesehatan, pencegahan, dan peman-tauan, serta pengobatan tehadap hewan percobaan
jika diperlukan. Penyakit dapat diobati dengan catatan tidak mengganggu penelitian
yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan dengan memilih prosedur yang
memini-malisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan menggunakan
analgesia dan anesthesia ketika diperlukan. Euthanasia dilakukan dengan metode yang
manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan
penderitaan hewan coba (Ridwan, 2013).
4. Freedom from Fear and Distress
Bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang ,dengan menciptakan lingkungan
yang dapat mencegah stress, misalnya memberikan masa adaptasi/aklimatisasi, mem-
berikan latihan prosedur penelitian untuk hewan. Semua prosedur dilakukan oleh
tenaga yang kompeten, terlatih, dan berpengalaman dalam merawat/memperlakukan
hewan percobaan untuk meminimalisasi stres (Ridwan, 2013).
5. Express Natural Behaviour
Bebas mengekspresikan tingkah laku alami dengan memberikan ruang dan fasilitas
yang sesuai dengan kehidupan biologi dan tingkah laku spesies hewan percobaan. Hal
tersebut dilakukan dengan memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi spesies yang
bersifat sosial), termasuk kontak sosial dengan peneliti; menempatkan hewan dalam
kandang secara individual, berpasangan atau berkelompok; memberikan kesempatan
dan kebebasan untuk berlari dan bermain (Ridwan, 2013).
3.2. Kriteria Hewan Uji
Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji harus dipertimbangkan
berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia,
kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan percobaan.
Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas,
sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus sehat;
asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan
hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.
Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria hewan uji yang digunakan dalam uji toksisitas (PerKBPOM RI, 2014)
No Jenis Hewan Bobot Minimal Rentang Umur
1 Mencit 20 g 6 – 8 minggu
2 Tikus 120 g 6 – 8 minggu
3 Marmut 250 g 4 – 5 minggu
4 Kelinci 1800 g 8 – 9 bulan
3.3. Kondisi Ruangan dan Pemeliharaan Hewan Uji
Ruangan yang digunakan untuk percobaan hendaknya memenuhi persyaratan suhu,
kelembaban, cahaya dan kebisingan yang sesuai dengan kebutuhan hidup hewan uji, yaitu
suhu ruangan diatur menjadi 22° ± 3° C, dengan kelembaban relatif 30–70%, dan
penerangan 12 jam terang 12 jam gelap. Ruangan harus selalu dijaga kebersihannya.
Hewan diberi pakan yang sesuai standar laboratorium dan diberikan tanpa batas (ad
libitum).
Hewan dipelihara dalam kandang yang terbuat dari material yang kedap air, kuat dan
mudah dibersihkan, ruang pemeliharaan bebas dari kebisingan.
Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For Animals Used
In Biomedical Research (2008) sebagai berikut:
a. Mencit (berat 15 – 25 g) : luas alas kandang 77,4 cm2, tinggi 12,7 cm
b. Tikus (berat 100 – 200 g) : luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm
c. Kelinci (berat 2 – 4 kg) : luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm
d. Marmut (berat 300 – 350 g) : luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm.
(PerKBPOM RI, 2014)
3.4. Cara Mengorbankan Hewan Uji
Ada beberapa cara mengorbankan hewan uji pada uji toksisitas; pada prinsipnya hewan
uji dikorbankan sesuai dengan kaidah-kaidah cara dan teknik pengorbanan hewan sesuai
dengan ethical clearence deklarasi Helsinki serta tidak mempengaruhi hasil uji toksisitas.
a. Eutanasi
Sebelum hewan uji dikorbankan, dilakukan anestesi terlebih dahulu. Hewan dipegang
secara hati-hati tanpa menimbulkan rasa takut, lalu hewan di korbankan dengan salah
satu teknik mengorbankan hewan di suatu tempat terpisah dan dijaga agar tidak ada
hewan hidup di sekitarnya.
b. Teknik mengorbankan hewan uji ada beberapa cara antara lain :
1) Cara dislokasi leher untuk hewan kecil seperti mencit, tikus.
2) Cara anestesi secara inhalasi atau penyuntikan.
3) Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis atau arteri karotis.
(PerKBPOM RI, 2014)
3.5. Cara Penandaan Hewan Uji
Penandaan hewan uji dilakukan dengan cara memberikan larutan asam pikrat 10%
dalam alkohol. Penandaan dilakukan dengan tujuan membedakan antara hewan satu
dengan yang lainnya. Penandaan biasanya dilakukan seperti pada Gambar 1 dan Tabel 2.
/

Tabel 2. Tempat Penandaan Hewan Uji (PerKBPOM RI, 2014)


No Hewan Tanda Tempat
1 A Kepala
2 B Punggung
3 C Ekor
4 A dan B Kepala dan punggung
5 A dan C Kepala dan ekor
6 B dan C Punggung dan ekor
7 A, B dan C Kepala, punggung dan ekor
8 D Kaki kanan depan
9 E Kaki kiri depan
10 F Kaki kanan belakang
11 G Kaki kiri belakang
12 - Tidak diberi tanda apapun

3.6. Cara Memegang (Handling) Hewan Uji


Cara memegang hewan uji jenis rodensia berbeda antara tikus dan mencit pada saat
pemberian sediaan uji secara oral. Pemegangan yang benar sangat diperlukan sewaktu
pemberian sediaan uji, karena pemegangan yang salah dapat berakibat fatal. Cara
pemegangan yang salah dapat menyebabkan antara lain: sediaan uji yang diberikan tidak
dapat masuk kedalam lambung tetapi masuk kedalam paru-paru, sehingga mengakibatkan
kematian hewan uji. Disisi lain, pemegangan yang salah juga dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan kerja seperti tergigit oleh hewan. Cara pemegangan hewan yang
benar dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4.
(PerKBPOM RI, 2014)
4. Macam Uji Pra Klinik
4.1. Uji Toksisitas
4.1.1. Definisi
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu
sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat
memberikan petunjun adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek
toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (PerKBPOM, 2014).
4.1.2. Ketentuan Umum
A. Sediaan Uji
Hasil uji toksisitas sangat tergantung pada sifat zat yang diuji. Sediaan uji
untuk uji toksisitas berupa zat yang dapat larut atau tersuspensi dalam air atau
dapat larut dalam minyak, yang dapat berasal dari tanaman, hewan maupun
hasil sintesis organik (PerKBPOM RI, 2014).
1. Sediaan uji yang berupa zat kimia memerlukan informasi berikut:
a. Identitas bahan
b. Sifat fisiko- kimia
c. Kemurnian
d. Kadar cemaran
2. Sediaan uji yang berupa simplisia tanaman obat memerlukan informasi
berikut:
a. Nama latin dan nama daerah tanaman
b. Deskripsi daerah penanaman
c. Bagian tanaman yang digunakan
d. Pemerian simplisia
e. Cara pembuatan dan penanganan simplisia
f. Kandungan kimia simplisia
B. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dapat dibuat dengan bermacam-macam cara, sesuai dengan sifat
sediaan uji dan cara pemberiannya. Sediaan uji dapat berupa:
1. Formulasi dalam media cair
a. Jika sediaan uji larut dalam air, sediaan uji harus dibuat dalam bentuk
larutan dalam air.
b. Bila sediaan uji tidak larut dalam air, sediaan uji dibuat dalam bentuk
suspensi menggunakan gom arab 3 - 5%, CMC (carboxy methyl
celullose) 0,3 – 1,0% atau dengan zat pensuspensi lain yang inert secara
farmakologi.
c. Bila tidak dapat dilakukan dengan cara – cara tersebut diatas, sediaan uji
dilarutkan dalam minyak yang tidak toksik, misalnya minyak zaitun atau
minyak jagung.
2. Campuran pada makanan
Pada uji toksisitas dengan pemberian berulang seperti pada uji
toksisitas subkronis, dengan pertimbangan kepraktisan, sediaan uji dapat
diberikan dengan mencampur dalam makanan atau minuman hewan uji.
Dosis yang diberikan harus tetap, berdasarkan berat badan dan perhitungan
jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari.
3. Sediaan uji simplisia tanaman obat
Pembuatan sediaan uji simplisia tanaman obat dibuat seperti
penggunaan pada manusia atau cara lain yang sesuai, misalnya penyarian
dengan etanol. Penyarian menggunakan air dapat dilakukan dengan cara
diseduh, direbus atau dengan cara penyarian yang lain selama dapat
menjamin tersarinya kandungan simplisia secara sempurna. Pada
pemekatan untuk mencapai dosis yang diinginkan, maka suhu pemanasan
tidak boleh menyebabkan berkurangnya kandungan zat berkhasiat.
Simplisia yang mengandung minyak atsiri, penyiapan dan pemekatan
sediaan uji dilakukan dalam wadah tertutup dan dilakukan penyaringan
setelah dingin. Penyarian dengan menggunakan etanol dapat dilakukan
dengan cara dingin, misalnya maserasi, perkolasi, atau dengan cara panas
misalnya direbus, disoksletasi, direfluks dan selanjutnya disaring kemudian
diuapkan untuk menghilangkan etanol dan sisa penguapan dilarutkan dalam
air dan disuspensikan menggunakan tragakan 1-2%, CMC 1-2% (sesuai
kebutuhan), atau bahan pensuspensi lain yang sesuai.
C. Dosis Uji
Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan yang
lazim pada manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian yang
mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia
sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atau sampai
batas dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada hewan uji.
D. Kelompok Kontrol
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi
pelarut/pembawa sediaan uji dan digunakan juga kelompok kontrol tanpa
perlakuan tergantung dari jenis uji toksisitas.
E. Cara Pemberian Sediaan Uji
Pada dasarnya pemberian sediaan uji harus sesuai dengan cara pemberian
atau pemaparan yang diterapkan pada manusia misalnya peroral (PO), topikal,
injeksi intravena (IV), injeksi intraperitoneal (IP), injeksi subkutan (SK), injeksi
intrakutan (IK), inhalasi, melalui rektal dll.
F. Analisis Data dan Pelaporan
Data yang diperoleh pada uji toksisitas dianalisis dengan metode statistik
yang sesuai. Setiap data atau informasi yang diperoleh harus dicatat serta
didokumentasikan secara rinci dan sistematik. Data yang dicantumkan di dalam
laporan harus sesuai dengan cara yang telah ditetapkan di dalam masing-masing
pedoman uji (PerKBPOM RI, 2014).
4.1.3. Pedoman Uji
A. Toksisitas Akut Oral/Toksisitas Jangka Pendek
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan
secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam
waktu 24 jam.
Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat
dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per
kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan
kematian. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas.
Tujuan uji toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik
suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi
bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal
yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas
selanjutnya, memperoleh nilai LD50 suatu bahan/sediaan, serta penentuan
penggolongan bahan/ sediaan dan pelabelan.
Penentuan kategori toksisitas akut untuk obat, obat tradisional, dan bahan
pangan menurut Hodge dan Sterner (1995) sebagai berikut:

3
Sedangkan untuk kategori bahan kimia seperti pestisida menurut Thirteenth
Addendum to The OECD Guidelines for The Testing of Chemicals (2001)

(PerKBPOM, 2014)
• Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai
untuk uji utama. Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari
tingkatan fixed dose: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg BB sebagai dosis yang
diharapkan dapat menimbulkan efek toksik. Pemeriksaan menggunakan
dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-bena diperlukan. Diperlukan
informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-
zat yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi
tersebut tidak ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg BB.
Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada setiap dosis
dan semua hewan harus diamati sekurang-kurangnya selama 14 hari
(PerKBPOM, 2014).
Tabel 5. Bagan Uji Pendahuluan Starting Dose 50 dan 200 mg/kgBB

• Uji Utama Metode Fixed Dose (PerKBPOM, 2014)


a. Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague
Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-
lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena sedikit lebih sensitif
dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut literatur)
secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan
lebih sensitif, maka jenis kelamin jantan harus digunakan untuk uji.
Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka diperlukan alasan
yang kuat.
Kriteria hewan uji meliputi:
Ø Hewan sehat dan dewasa
Ø Hewan betina harus yang belum pernah beranak dan tidak sedang
bunting.
Ø Pada permulaan uji, setiap hewan harus berumur 8-12 minggu
dengan variasi berat badan tidak boleh melebihi 20% dari rata-rata
berat badan.
Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-tiap
hewan, dan dilakukan aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum
diberi perlakuan.
b. Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis terendah
adalah dosis tertinggi yang sama sekali tidak menimbulkan kematian,
sedangkan dosis tertinggi adalah dosis terendah yang menimbulkan
kematian 100 %. Rasio dosis uji yang digunakan dari interval 2-4 dan
harus linier.
c. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya
aquadestilata, minyak nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji,
pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan
dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak
jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka
karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
d. Pemberian Sediaan Uji dan Volume Pemberian
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus
dipuasakan selama 14-18 jam, namun air minum boleh diberikan;
mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan). Setelah
dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji
diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada
keadaan yang tidak memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu
kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan beberapa kali dalam jangka
waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan
perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus
dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka
pakan boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode
pemberian sediaan uji tersebut.
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran
hewan uji. Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100
g
e. Pengamatan
Pengamatan dilakukan tiap hari selama sekurang-kurangnya 14 hari
terhadap sistem kardiovaskuler, pernafasan, somatomotor, kulit dan
bulu, mukosa, mata dsb. Perhatian khusus diberikan akan adanya
tremor, kejang, salivasi, diare, letargi, lemah, tidur dan koma.
Pengamatan meliputi waktu timbul dan hilangnya gejala toksik serta
saat terjadinya kematian. Hewan uji yang sekarat dikorbankan dan
dimasukkan dalam perhitungan sebagai hewan yang mati. Hewan
ditimbang sedikitnya 2 kali dalam 1 minggu.
f. Batas Uji
Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak menimbulkan
kematian, maka uji tidak perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis
bahan uji yang lebih tinggi.
g. Analisis Data
Nilai LD50 dihitung dengan metode Thompson & Weil, Litchfield &
Wilcoxon, Miller & Tainter, regresi linear/probit atau metode statistik
lainnya. Semua hewan yang mati, baik yang mati dengan sendirinya atau
yang mati dalam keadaan moribound digabungkan jumlahnya untuk
penghitungan nilai LD50.
B. Uji Toksisitas Subkronis 28 Hari
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan
satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan
kelompok satelit untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat
reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap
hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode
pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera
diotopsi,dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan
histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang
masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi
pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan
hematologi, biokimia klinis dan histopatologi.
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek
toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL); dan mempelajari adanya
efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut.
• Prosedur Uji Toksisitas Subkronis Oral (PerKBPOM, 2014) :
a. Jumlah Hewan Coba
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague
Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-
lainnya). Syarat hewan uji adalah sehat, umur 6-8 minggu. Masing-
masing kelompok dosis menggunakan hewan minimal 10 ekor yang
terdiri dari 5 ekor hewan jantan dan 5 ekor hewan betina untuk setiap
kelompok dosis. Selain itu jika perlu dapat disediakan juga 2 kelompok
tambahan (grup satelit) minimal 10 hewan per kelompok yang terdiri dari
5 ekor hewan jantan dan 5 ekor hewan betina untuk kelompok kontrol dan
kelompok dosis tinggi. Pengamatan reversibilitas pada kelompok satelit
dilakukan selama 14 hari setelah akhir pemberian sediaan uji. Sebelum
percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi di ruang percobaan selama lebih
kurang 7 hari. Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa
sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan
variasi berat badan tidak lebih 20% dari rata-rata berat badan.
b. Dosis Uji
Dosis yang digunakan umumnya didasarkan pada hasil yang didapat pada
uji toksisitas akut yaitu LD50 sebagai dosis awal (Harmita, 2008).
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis yang berbeda,
kelompok kontrol dan 2 kelompok satelit (kelompok dosis tinggi dan
kelompok kontrol). Dosis sediaan uji yang paling tinggi harus
menimbulkan efek toksik tetapi tidak menimbulkan kematian atau gejala
toksisitas yang berat; dosis menengah menimbulkan gejala toksik yang
lebih ringan sedangkan dosis yang paling rendah tidak menimbulkan
gejala toksik (NOAEL).
c. Waktu Pemberian Sediaan Uji
Sediaan uji diberikan setiap hari atau minimal 5 hari dalam 1 minggu
selama 28 hari.
d. Cara Pemberiaan dan Volume Pemberian
Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/ 100 g
berat badan, namun bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga
2 mL/ 100 g berat badan. Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan
cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada
larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan
apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas
cairan pembawa sudah harus diketahui
e. Batas Uji
Bila pada dosis 1000 mg/kg berat badan tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perlu dinaikkan lagi.
f. Pengamatan
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang
berupa perubahan kulit, bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi,
perubahan cara jalan, tingkah laku yang aneh (misalnya berjalan mundur),
kejang dsb, dilakukan setiap hari selama 28 hari. Sedangkan untuk
kelompok satellit pengamatan dilanjutkan selama 14 hari kemudian untuk
mendeteksi proses penyembuhan kembali dari pengaruh toksik.
Pengamatan yang dilakukan antara lain :
• Monitoring berat badan dan konsumsi makanan yang dilakukan
setiap seminggu dua kali
• Pemeriksaan hematologi berupa konsentrasi hemoglobin, jumlah
eritrosit (RBC/Red Blood Cell), jumlah leukosit (WBC/White Blood
Cell), diferensial leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit),
perhitungan tetapan darah yaitu: MCV (Mean Corpuscular Volume),
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration) dan penetapan deferensial leukosit.
• Pemeriksaan Biokimia berupa fungsi hati (GOT, GPT, Gamma GT)
dan fungsi ginjal (nitrogen urea, kreatinin, total-bilirubin). Parameter
utama minimal yang harus diperiksa adalah nitrogen urea, kreatinin,
GOT dan GPT.
• Pemeriksaan Histopatologi 5 organ utama yaitu hati, limpa,
jantung,ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang diketahui
berupa otot lurik
g. Analisa data
Evaluasi hubungan dosis dan efek yang terjadi untuk semua
kelompok yaitu terjadinya efek toksik dan derajat toksisitas, yang
meliputi perubahan berat badan, gejala klinis, parameter hematologi,
biokimia klinis, makropatologi dan histopatologi, organ sasaran, kematian
dan efek umum lain atau efek yang spesifik.
C. Uji Toksisitas Kronis Oral
Uji toksisitas kronis adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas
subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan.
Tujuan dari uji toksisitas kronis adalah untuk mengetahui profil efek toksik
setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang,
untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL).
(PerKBPOM, 2014).
• Prosedur Uji Toksisitas Kronis Oral (PerKBPOM, 2014)
a. Lama Percobaan
Tidak kurang dari 12 bulan.
b. Hewan Coba
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague
Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-
lainnya). Syarat hewan uji adalah sehat, umur 6-8 minggu. Masing-
masing kelompok dosis menggunakan hewan minimal 10 ekor yang
terdiri dari 5 ekor hewan jantan dan 5 ekor hewan betina untuk setiap
kelompok dosis. Selain itu jika perlu dapat disediakan juga 2 kelompok
tambahan (grup satelit) minimal 10 hewan per kelompok yang terdiri
dari 5 ekor hewan jantan dan 5 ekor hewan betina untuk kelompok
kontrol dan kelompok dosis tinggi. Pengamatan reversibilitas pada
kelompok satelit dilakukan selama 14 hari setelah akhir pemberian
sediaan uji. Sebelum percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi di ruang
percobaan selama lebih kurang 7 hari. Hewan dikelompokkan secara
acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk
semua kelompok dengan variasi berat badan tidak lebih 20% dari rata-
rata berat badan.
c. Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis yang berbeda. 1
kelompok kontrol dan kelompok ad-interim (semua dosis dan kelompok
kontrol) untuk setiap jenis kelamin. Tingkat dosis yang paling tinggi
harus menunjukkan efek toksik tetapi tidak menimbulkan insiden fatal;
tingkat dosis menengah menunjukkan tingkatan pengaruh toksik;
sedangkan tingkat dosis yang paling rendah tidak menimbulkan gejala
toksik NOAEL.
d. Rute Pemberian
Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui1 mL/ 100 g berat
badan, namun bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2
mL/ 100 g berat badan. Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan
cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada
larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan
apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas
cairan pembawa sudah harus diketahui
e. Batas Uji
Bila pada dosis 1000 mg/kg berat badan tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perlu dinaikkan lagi.
f. Waktu pemberian
Sediaan uji diberikan setiap hari atau minimal 5 hari dalam 1 minggu
selama tidak kurang dari 12 bulan.
g. Pengamatan
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang
berupa perubahan kulit, bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi,
perubahan cara jalan, tingkah laku yang aneh (misalnya berjalan
mundur), kejang dsb, dilakukan setiap hari selama 28 hari. Sedangkan
untuk kelompok satelit pengamatan dilanjutkan selama 14 hari
kemudian untuk mendeteksi proses penyembuhan kembali dari
pengaruh toksik. Pengamatan yang dilakukan antara lain
• Monitoring berat badan dan konsumsi makanan yang dilakukan
setiap seminggu dua kali
• Pemeriksaan hematologi berupa konsentrasi hemoglobin, jumlah
eritrosit (RBC/Red Blood Cell), jumlah leukosit (WBC/White Blood
Cell), diferensial leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit),
perhitungan tetapan darah yaitu: MCV (Mean Corpuscular Volume),
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration) dan penetapan deferensial leukosit.
• Pemeriksaan Biokimia berupa fungsi hati (GOT, GPT, Gamma GT)
dan fungsi ginjal (nitrogen urea, kreatinin, total-bilirubin). Parameter
utama minimal yang harus diperiksa adalah nitrogen urea, kreatinin,
GOT dan GPT.
• Pemeriksaan Histopatologi 5 organ utama yaitu hati, limpa, jantung,
ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang diketahui berupa otot
lurik.
• Analisa data :Evaluasi hubungan dosis dan efek yang terjadi untuk
semua kelompok yaitu terjadinya efek toksik dan derajat toksisitas,
yang meliputi perubahan berat badan, gejala klinis, parameter
hematologi,biokimia klinis, makropatologi dan histopatologi, organ
sasaran, kematian dan efek umum lain atau efek yang spesifik.
h. Evaluasi Hasil
Evaluasi hubungan dosis dan efek yang terjadi yaitu terjadinya efek
toksik dan derajat toksisitas, yang meliputi perubahan berat badan,
gejala klinis, parameter hematologi, biokimia klinis, makropatologi dan
histopatologi, organ sasaran, kematian dan efek umum lain atau efek
yang spesifik.
D. Uji Teratogenisitas
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi
adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian sediaan uji selama
masa pembentukan organ fetus (masa organogenesis). Informasi tersebut
meliputi abnormalitas bagian luar fetus (morfologi), jaringan lunak serta
kerangka fetus.
Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis pada beberapa kelompok hewan bunting selama paling sedikit
masa organogenesis dari kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu hari
sebelum waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan
evaluasi terhadap fetus (PerKBPOM, 2014).
E. Uji Sensitisasi Kulit
Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk mengidentifikasi suatu zat
yang berpotensi menyebabkan sensitisasi kulit. Prinsip uji sensitisasi kulit
adalah hewan uji diinduksi dengan dan tanpa Freund’s Complete Adjuvant
(FCA) secara injeksi intradermal dan topikal untuk membentuk respon imun,
kemudian dilakukan uji tantang (challenge test). Tingkat dan derajat reaksi kulit
dinilai berdasarkan skala Magnusson dan Kligman (PerKBPOM, 2014).
F. Uji Iritasi Mata
Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada mata.
Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal dipaparkan
kedalam salah satu mata pada beberapa hewan uji dan mata yang tidak diberi
perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat iritasi/korosi dievaluasi dengan
pemberian skor terhadap cedera pada konjungtiva, kornea, dan iris pada interval
waktu tertentu.
Tujuan uji iritasi mata adalah untuk memperoleh informasi adanya
kemungkinan bahaya yang timbul pada saat sediaan uji terpapar pada mata dan
membran mukosa mata (PerKBPOM, 2014).
G. Uji Iritasi Akut Dermal
Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal
selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan
sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit yang
tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada
interval waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan
sediaan uji dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14
hari. Tujuan uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi
pada kulit serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila
terpapar pada kulit (PerKBPOM, 2014).
H. Uji Iritasi Mukosa Vagina
Uji iritasi mukosa vagina adalah suatu uji yang digunakan untuk menguji
sediaan uji yang kontak langsung dengan jaringan vagina dan tidak dapat diuji
dengan cara lain.
Prinsip uji iritasi mukosa vagina adalah sediaan uji dibuat ekstrak dalam
larutan NaCl 0,9% atau minyak zaitun dan selanjutnya ekstrak dipaparkan
kedalam lapisan mukosa vagina hewan uji selama tidak kurang dari 5 kali
pemaparan dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam. Selama pemaparan,
jaringan mukosa vagina diamati dan diberi skor terhadap kemungkinan adanya
eritema, eksudat dan udema. Setelah selesai pemaparan hewan uji dikorbankan
dan diambil jaringan mukosa vaginanya untuk dievaluasi secara histopatologi.
Tujuan uji iritasi mukosa vagina adalah untuk mengevaluasi keamanan dari
alat-alat kesehatan yang kontak dengan mukosa vagina (PerKBPOM, 2014).
I. Uji Toksisitas Akut Dermal
Uji toksisitas akut dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji
dalam sekali pemberian melalui rute dermal.
Prinsip uji toksisitas akut dermal adalah beberapa kelompok hewan uji
menggunakan satu jenis kelamin dipapar dengan sediaan uji dengan dosis
tertentu, dosis awal dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya
dipilih dosis yang memberikan gejala toksisitas tetapi yang tidak menyebabkan
gejala toksik berat atau kematian.
Tujuan uji toksisitas akut dermal adalah untuk mendeteksi toksisitas
intrinsik suatu zat, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat
melalui kulit secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis dan merancang uji toksisitas
selanjutnya serta untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat, penentuan
penggolongan zat, menetapkan informasi pada label dan informasi absorbsi
pada kulit (PerKBPOM, 2014).
J. Uji Toksisitas Subkronis Dermal
Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi
efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang
yang diberikan melalui rute dermal pada hewan uji selama sebagian umur
hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Prinsip uji toksisitas subkronis dermal adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari yang dipaparkan melalui kulit pada beberapa
kelompok hewan uji. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati
setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama
periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku)
segera diotopsi, organ dan jaringan diamati secara makropatologi dan
histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang
masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi
pada setiap organ maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan hematologi,
biokimia klinis, histopatologi.
Tujuan uji toksisitas subkronis dermal adalah untuk mendeteksi efek toksik
zat yang belum terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal, mendeteksi efek
toksik setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara berulang dalam jangka
waktu tertentu, mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas
setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara berulang jangka waktu
tertentu (PerKBPOM, 2014).
4.1.4. Contoh Desain Uji
(Naini, 2004)

Mencit diaklimatisasi selama 1 minggu, sebelum digunakan untuk uji dipuasakan


selama kurang lebih 14-18 jam,

Hewan coba dibagi menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri 10 ekor jantan dan betina.
(Strain Sprague Dawley atau Wistar)

Ditimbang masing-masing bobot hewan coba

Diberi inducer berupa 0,75 ml Castor Oil pada hewan coba kecuali untuk Kontrol (-)

Diberi perlakuan untuk masing-masing kelompok hewan uji secara peroral

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


Ekstrak dengan Ekstrak dengan Ekstrak dengan Ekstrak dengan
Dosis 1,25 g/kg dosis 2,5 g/kg dosis 5,0 g/kg dosis 10,0 g/kg
BB BB BB BB

Kelompok 5
Kelompok 6
Ekstrak dengan
Kontrol (-)
dosis 21,0 g/kg
CMC-Na 0,5%
BB

4 jam
Dilakukan pengamatan tanda keracunan (pernapasan, tingkah laku, dan pergerakan)

Amati selama 24 jam dalam 7-14 hari


Olah data menggunakan metode Chi-Square

4.2. Uji Farmakologi


4.2.1. Uji Farmakokinetik
a. Definisi
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari tentang
kinetik absorbsi, distribusi, dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme) obat
(Shargel, 2012).
b. Proses Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Gunawan, 2009).
2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik
kejaringan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi
tergantung beberapa faktor:
• Aliran darah
• Permeabilitas kapiler
• Ikatan protein
3. Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar
tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
• Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
• Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan bisa
dimetabolisme lanjutan.
4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian
besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat
dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan
taraktusintestinal.
4.2.2. Uji Farmakodinamik
Istilah farmakodinamik merujuk pada hubungan antara konsentrasi obat
pada site aksi atau reseptor dan respon farmakologis, termasuk efek biokimia dan
fisiologis yang memepengaruhi interaksi obat dengan reseptor (Shargel, 2012).
Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas pengaruh
farmakologik pada berbagai sistem biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan
pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo (Menkes RI, 1992).

5. Konversi Dosis Pemakaian


Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan yang lazim pada
manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap yang mencakup dosis yang
setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia sampai mencapai dosis yang
dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atau sampai batas dosis tertinggi yang masih dapat
diberikan pada hewan uji (PerKBPOM, 2014).
Tabel 6. Konversi Dosis Obat

Dicari Mencit Tikus Marmu Kelinci Kucing Kera Anjin Manusia


Diketahui 20 g 200 g t 1,5 kg 1,5 kg 4 kg g 70 kg
400 g 12 kg
Mencit 1,0 7,0 12,23 27,80 29,7 64,10 124,20 387,9
20 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,20 9,20 17,80 56,0
200 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,40 5,20 10,20 31,50
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,40 4,50 14,20
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,20 4,10 13,0
1,5 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,43 0,1 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,l0 0,22 1,24 0,52 1,0 3,10
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg

(Laurence & Bacharach, 1964)

5. Uji Klinik
5.1 Konsep Dasar Uji Klinik
Uji Klinik adalah salah satu jenis penelitian eksperimen, terencana yang mengikut sertakan
subjek manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subjek penelitian.
Kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di analisis. Pada dasarnya Uji Klinik
memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia
akibat pemberian suatu intervensi. Intervensi dapat berupa obat, vaksin, obat tradisional, alat
kesehatan dan lainnya yang dinamakan sebagai produk uji.
Informasi yang dihasilkan dari Uji Klinik sangat diperlukan, mengingat dalam pengobatan,
para klinisi perlu informasi yang valid dan kredibel untuk dasar pemilihan secara objektif terhadap
tindakan yang diberikan. Sementara informasi yang datang dari manufaktur umumnya lebih
banyak bersifat sepihak, karena mempertimbangkan segi pemasaran dan bisnis.
Konsep dasar Uji Klinik merupakan landasan umum yang perlu diketahui bila akan
melakukan Uji Klinik terutama mengenai Uji Klinik obat, fitofarmaka, vaksin dan alat kesehatan.
Tujuan bab ini memberikan gambaran tahapan Uji Klinik untuk obat, fitofarmaka, vaksin, dan alat
kesehatan. Disamping itu juga memberikan informasi mengenai saintifikasi jamu, lingkup produk
uji, monitoring dan evaluasi serta regulasi yang terkait dengan pelaksanaan Uji Klinik.

5.2 Produk Uji


Produk uji adalah suatu bahan atau alat yang akan diuji sesuai kaidah ilmiah, etik dan
regulasi yang berlaku untuk pembuktian keamanan dan manfaat sehingga dapat digunakan pada
manusia. Jenis produk uji dapat berupa:
1. Obat adalah obat jadi, termasuk produk biologi, merupakan bahan atau paduan bahan yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
2. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan Uji Klinik. Bahan baku dan produk
jadinya telah distandarisasi.
3. Suplemen Kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat
gizi, memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan, mempunyai nilai
gizi dan/atau efek fisiologis, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral,
asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat dikombinasi dengan
tumbuhan.
4. Vaksin adalah sediaan biologis yang dapat meningkatkan kekebalan terhadap penyakit
tertentu. Vaksin biasanya mengandung agen yang menyerupai mikro organisme penyebab
penyakit, dan sering dibuat dari bentuk mikroba yang lemah atau terbunuh, racunnya atau
salah satu protein permukaannya.
5. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan
6. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar
tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh
pada kondisi baik.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
8. Metode adalah cara yang digunakan untuk pencegahan (tehnik cuci tangan sesuai SOP,
reflexi) dan pengobatan (contoh: radioterapi, elektromagnetik, teknik pembedahan).

Produk uji yang akan dilakukan pada Uji Klinik harus memiliki data keamanan awal dan
persyaratan mutu sesuai dengan tahapan Uji Kliniknya. Jika diperlukan pemasukan produk uji ke
wilayah Indonesia, harus mendapat persetujuan Kepala BPOM untuk produk obat dan makanan,
atau Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) untuk alat kesehatan. Pengajuan
pemasukan produk uji dilakukan secara tertulis bersamaan dengan pengajuan pelaksanaan Uji
Klinik.

5.3 Uji Klinik


Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai
adanya intervensi Produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik
dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan,
dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk
memastikan keamanan dan/atau efektivitas produk yang diteliti. Menggunakan manusia sehat atau
sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat bagi
masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat digunakan pada
masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektivitas dan keamanannya.

5.3.1 Uji Klinik Obat


Berdasarkan tujuan Uji Klinik obat dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu 1) Fase 1 meneliti
keamanan serta toleransi pengobatan; 2) Fase II menilai sistem atau dosis pengobatan yang paling
efektif; 3) Fase III melakukan evaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan
pengobatan yang telah ada (pengobatan standar). Fase ini merupakan fase yang banyak dilakukan
dalam Uji Klinik; dan 4) Fase IV melakukan evaluasi obat baru yang telah banyak dipakai
dimasyarakat dalam jangka waktu yang relatif lama (minimal 5 tahun). Fase ini penting karena
kemungkinan diperoleh efek samping obat yang timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini
disebut juga sebagai uji klinik paska pemasaran.
1. Uji Klinik fase I
Pada fase ini pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Hal yang
diteliti adalah keamanan obat pada sukarelawan sehat. Tujuan pada fase ini adalah menentukan
besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis
oral yang diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x No Observed Adverse Effect Level
(NOAEL) dari hewan coba yang paling sensitif terhadap produk ujinya. Penentuan dosis untuk Uji
Klinik pada fase ini sumber datanya dirujuk dari brosur penelitian. Berdasarkan dari data yang
diperoleh pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan bertahap atau dengan kelipatan dua sampai
diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan. Untuk mencari efek
toksik yang mungkin terjadi, dilakukan pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu
pemeriksaan lain yang lebih spesifik. Pada fase ini juga dievaluasi toleransi, sifat
farmakodinamika, farmakokinetika pada subjek yang diberi obat yang diujikan. Jumlah subjek
pada fase ini bervariasi antara 20 - 100 orang, 5,7-10 dengan harapan akan didapatkan standard
deviattion (SD) yang tidak terlalu besar. Bila SD sangat lebar maka dibutuhkan sampel yang lebih
besar lagi.
Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk menentukan pemilihan dosis pada
penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba
sehingga diketahui pada species hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetika
seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan maka dilakukan penelitian toksisitas jangka
panjang pada hewan tersebut.
Pada pengujian obat baru, Uji Klinik fase I untuk obat yang toksik atau obat kanker tidak
dilakukan pada orang sehat, tapi pada penderita kanker atau pasien penderita penyakit sesuai
dengan obat yang akan diujikan. Pada fase ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi klinik,
dan dokter yang kompeten sesuai dengan produk yang diuji (misalnya cardiologist, oncologist).
Informasi yang diperoleh dari Uji Klinik fase I ini diperlukan sebagai dasar untuk melakukan Uji
Klinik fase berikutnya.

2. Uji Klinik fase II


Pada Uji Klinik fase II obat diujikan pada kelompok yang lebih besar (100 - 300
orang/subjek) 5,9,10 untuk menilai bagaimana obat tersebut bekerja dan menilai keamanannya.
Pada fase II perlu pengawasan yang ketat. Umumnya fase II ini dibagi dalam 2 tahap yaitu: IIA
dan IIB. Pada fase IIA tanpa pembanding, sedangkan pada fase IIB perlu pembanding. Pada fase
IIA dirancang untuk menilai dosis yang diperlukan atau berapa dosis obat harus diberikan,
sedangkan pada fase IIB dirancang untuk menilai efikasi atau menilai kemampuan obat tersebut
bekerja sesuai dosis yang diresepkan. Pada pengembangan obat baru, kegagalan umumnya terjadi
pada fase II ini, yaitu didapatkan obat bekerja tidak sesuai seperti yang direncanakan atau
ditemukan efek toksik. Pada fase II ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi klinik, dan
dokter spesialis yang terkait dengan penyakit yang diderita responden/pasien.
3. Uji Klinik fase III
Pada Uji Klinik fase III dlakukan evaluasi secara keseluruhan dari pengobatan yang
dilakukan dan dirancang untuk membandingkan efikasi dari pengobatan baru dengan pengobatan
standar. Jadi fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-benar berkhasiat
(sama dengan Uji Klinik fase IIB) yaitu dengan membandingkannya dengan obat standar yang
sudah terbukti kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau dengan placebo (kontrol negatif). Uji
Klinik fase III ini dilakukan secara acak dan terkontrol pada kelompok pasien yang besar
jumlahnya (300 - 3000 orang) dan dibandingkan untuk waktu yang lama, serta merupakan uji yang
sulit untuk merancang dan melaksanakannya, terutama pada pengobatan penyakit kronik. Jumlah
sampel yang dibutuhkan pada fase ini dapat dilakukan dengan penghitungan statistik sesuai tujuan
Uji Klinik.

4. Uji Klinik fase IV (farmakovigilans/pharmacovigilance)


Uji Klinik fase IV dikenal juga “post marketing surveillance” atau Uji Klinik paska
pemasaran (farmakovigilans), karena uji ini dilakukan sebagai pengamatan terhadap obat yang
telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Penelitian pada fase IV
merupakan survei epidemiologi menyangkut efek samping maupun efektivitas obat. Pada Uji
Klinik fase ini dapat menjaring efek samping yang belum terdeteksi pada fase III, sehingga pada
fase IV ini dapat melihat terjadinya efek samping yang timbul setelah pemakaian jangka panjang.
Pada fase IV dapat diamati : 1) Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul
setelah pemakaian obat bertahun–tahun lamanya; 2) Efektivitas obat pada penderita berpenyakit
berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali
dalam jangka panjang; dan 3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain. Uji
fase IV dapat juga berupa Uji Klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek
obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
Tahapan Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik berdasarkan Keputusan dari Peraturan
Kepala BPOM RI No. 21 tahun 2015 meliputi tahap pertama dilakukan evaluasi dokumen,
kemudian pada tahap kedua Uji Klinik Prapemasaran dan tahap ketiga Uji Klinik Pascapemasaran.
5.3.2 Uji Klinik Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan Uji Praklinik. Bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Bahan
baku sediaan uji fitofarmaka adalah ekstrak yang sudah terstandar. Ekstrak adalah sediaan pekat
yang diperoleh dengan mengekstraksi simplisia nabati/hewani menggunakan pelarut yang sesuai.
Kemudian semua/hampir semua pelarut diuapkan dan massa/serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Tidak berbeda dengan obat modern, fitofarmaka juga dapat dimanfaatkan dalam upaya
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif. Pada dasarnya Uji Klinik fitofarmaka dan Uji
Klinik obat konvensional harus menerapkan prinsip Cara Uji Klinik Yang Baik (CUKB) yang
telah dijelaskan diatas1, tidak ada perbedaan pesyaratan bagi kedua uji tersebut. Uji Klinik
fitofarmaka dapat dilakukan pada :
1. Ramuan empiris
2. Ramuan non-empiris.
Ramuan empiris adalah ramuan bentuk tunggal ataupun campuran berbasis kearifan lokal
dan asli Indonesia yang telah digunakan secara turun-temurun dan terdokumentasi dalam pustaka
ramuan empiris. Ramuan empiris dapat dibuktikan melalui kajian etnobotani/etnomedisin oleh ahli
antropologi dan dituliskan dalam publikasi ilmiah. Ramuan empiris dapat juga diperoleh melalui
studi etnografi, survei masyarakat, observasi dengan penerapan kaidah klinik terhadap praktik
penyehat tradisional (Hattra) terpilih atau kajian atas catatan pengobatan Hattra, dan studi
epidemiologi lainnya, misalnya Riset Tanaman Obat dan Jamu (RISTOJA).
Ramuan non empiris adalah yang tidak terdokumentasi atau bersifat verbal (dari mulut ke
mulut/tersimpan pada diri seseorang) atau ramuan dengan data hasil penelitian klinik terbaru,
menggunakan pendekatan kedokteran modern (evidence based medicine). Ketentuan lain yang
harus dipenuhi pada bahan penyusun ramuan, cara pembuatan, bentuk sediaan, indikasi dan cara
penggunaan dan rasionalitas ramuan empiris, dapat dilihat pada Buku Pedoman Ramuan Empiris.
Dengan mempertimbangkan karakteristik fitofarmaka berbeda dengan obat konvensional
dan Uji Klinik harus memenuhi prinsip-prinsip CUKB, maka perlu memodifikasi Uji Klinik obat
konvensional untuk sediaan fitofarmaka. Hal yang mendasar, bahwa kandungan dalam fitofarmaka
tidak sebagai senyawa aktif tunggal sehingga sulit dijelaskan mekanisme kerja dan profil
farmakokinetik. Oleh sebab itu protokol Uji Klinik fitofarmaka harus diajukan kepada Badan POM
untuk mendapatkan Clinical Trial Approval dan dilaksanakan dengan Pengawasan Badan POM.
Pada prinsipnya tahapan Uji Klinik fitofarmaka sama dengan Uji Klinik obat. Uji Klinik
fitofarmaka yang berasal dari ramuan empiris , dilakukan melalui Uji Pra klinik dan dilanjutkan
langsung dengan Uji Klinik fase II. Hal ini berdasarkan bukti empiris penggunaan turun menurun
di masyarakat yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa ramuan empiris aman digunakan.
Sementara Uji Klinik fitofarmaka ramuan non-empiris, dilakukan melalui Uji Klinik fase I, dan
dilanjutkan pada Uji Klinik fase II. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, dalam Uji Klinik
fitofarmaka yaitu :
a. Interaksi antara fitofarmaka dan obat konvensional
b. Penerapan randomisasi, ketersamaran dan hal-hal yang mempengaruhi.
c. Antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama pengobatan berjalan terkait dengan sifat
dasar fitofarmaka.
d. Setiap desain Uji Klinik fitofarmaka akan berimplikasi pada tingkatan pembuktian (level
of evidence).
e. Informasi tentang sediaan fitofarmaka: cara penyiapan sediaan baik dari simplisia atau
ekstrak, posologi atau regimen pengobatan yang digunakan harus dibuat tertulis dalam
bentuk brosur penelitian (investigator brochure).
f. Persiapan sediaan uji harus oleh apoteker independen, sesuai prinsip cara pembuatan obat
tradisional yang baik (CPOTB), dengan prosedur operasional baku tertulis untuk
menjamin mutu tiap batch, termasuk dalam pengemasan, pelabelan dan pengkodean
produk yang diteliti.
g. Keamanan dan khasiat bahan uji sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakunya
termasuk yang digunakan sebagai sediaan Uji Klinik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi mutu bahan baku, diklasifikasikan sebagai internal (genetik) dan eksternal
(lingkungan) antara lain metoda koleksi, budidaya, panen, pasca panen, transportasi dan
penyimpanan. Faktorfaktor tersebut merupakan parameter fisika dan kimia, sebagaimana
yang tercantum pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI).
5.3.3 Uji Klinik Vaksin
Uji Klinik vaksin seperti halnya Uji Klinik obat, pengujian untuk keamanan, imunogenisitas,
dan tolerabilitas. Pada Uji Praklinik memanfaatkan hewan coba, dan pada 3 fase Uji Klinik
mengikutsertakan subjek manusia. Pemantauan kejadian yang tidak diinginkan merupakan
komponen keamanan utama dari Uji Klinik vaksin prapemasaran. Pemantauan reaksi vaksin
terhadap kejadian tidak diinginkan (KTD) pascapemasaran dilakukan pada fase 4 atau survailans
pasca pemasaran.

5.3.4 Uji Klinik Alat Kesehatan


Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
Cara Uji Klinik alat kesehatan yang baik yang disebut CUKAKB adalah standar untuk
desain, pelaksanaan, pencapaian, pemantauan, audit, perekaman, analisis, dan pelaporan. Uji
Klinik ini memberikan jaminan bahwa data dan hasil yang dilaporkan akurat dan terpercaya, serta
hak, integritas, dan kerahasiaan subjek dilindungi. Uji Klinik alat kesehatan adalah penelitian pada
subjek manusia dengan metode intervensi yang dilakukan untuk menilai keamanan, kemanfaatan,
dan efektifitas atau kinerja alat kesehatan. Sebelum melakukan Uji Klinik pada manusia, harus
dilakukan Uji Praklinik. Uji Praklinik dapat dilakukan secara in-vivo maupun in-vitro pada hewan
uji atau cell line. Uji Praklinik dapat berupa uji biokompatibilitas yang terdiri dari uji toksisitas,
uji sensitivitas, uji sitotoksisitas, uji karsinogenitas, uji hemakompatibilitas, uji mutagenitas, uji
sensititasi, dan uji iritasi.
Tabel 7. Penggolongan Uji Klinik Alat kesehatan
Kelas Uji Klinik Contoh Produk
Kelas A Tidak Perban
Kelas B Tidak Jarum suntik
Kelas C Tertentu Implan ortopedi
Kelas D Harus/wajib Stent jantung, pace-
maker
Kategori Produk Uji yang digunakan untuk uji klinik:
Kategori I: Produk yang diuji baru, dimana belum pernah dilakukan Uji Klinik sebelumnya.
Kategori II: Produk yang diuji pada tahapan Uji Klinik Prapemasaran (fase pilot, pivotal atau post
approval study) masih berlangsung.
Kategori III: Produk yang diuji sudah mendapat izin edar di Indonesia dan akan dilakukan Uji
Klinik untuk indikasi baru dan cara penggunaan baru.
Kategori IV: Produk yang sudah mendapat izin edar di Indonesia dan akan dilakukan Uji Klinik
untuk melihat aspek manfaat/keamanan lebih lanjut.
Kategori V: Lainnya.
Catatan: Kategori tersebut di atas bukan merupakan fase-fase dalam Uji Klinik, tetapi hanya untuk
menggambarkan status Produk Uji
Untuk Uji Klinik alat kesehatan terutama alat kesehatan kelas C tidak tepat jika
mengikutsertakan subjek sehat. Tahap awal Uji Klinik alat kesehatan dinamakan “pilot”. Pada
tahap “pilot” mengikutsertakan subjek dengan penyakit atau kondisi yang sedang dipelajari dengan
besar sampel yang lebih kecil daripada Uji Klinik alat kesehatan tahap kedua yang dinamakan
“pivotal”. Besar total subjek yang diikutsertakan untuk Uji Klinik keamanan dan keefektifan alat
kesehatan yaitu 100 – 200 subjek. Tahap selanjutnya Uji Klinik alat kesehatan dilakukan Uji Klinik
paska pemasaran.
Dalam mendesain studi, pertimbangan statistik sebaiknya secara prospektif ditentukan dan
didasarkan pada prinsip dan metodologi ilmiah. Kehati-hatian harus diambil dalam
mengembangkan rencana statistik dan termasuk hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
1. Endpoint yang terkait secara klinik
2. Tingkat, kekuatan signifikansi statistik
3. Justifikasi ukuran sampel
4. Metodologi analisis (termasuk sensitivitas dan analisis poolability).
Desain sebaiknya menjamin bahwa evaluasi statistik yang bersumber dari uji merefleksikan
suatu pemahaman lengkap, keluaran yang signifikan secara klinik. Diskusi dengan pihak regulator
yang berwenang diperlukan apabila ada keraguan terhadap rencana desain Uji Klinik yang
diusulkan. Secara umum tahapan Uji Klinik untuk semua produk uji memiliki kesamaan.
Mengingat Uji Klinik alat kesehatan tidak dimungkinkan dilakukan mengikutsertakan subjek
sehat, sehingga pada alkes digunakan istilah yang berbeda. Perbedaan tahap uji antara obat,
fitofarmaka, alkes dan vaksin seperti tabel berikut.
Tabel 8. Perbedaan Tahap Uji Klinik antara Obat Fitofarmaka, Alat Kesehatan dan
Vaksin
Obat dan Fitofarmaka Alat Kesehatan Vaksin
Fase 1 Pilot Fase 1
- Menguji keamanan dan - Menguji keamanan dan - Menguji keamanan dan
toleransi kinerja immunogenicity kandidat
- Jumlah subjek - Jumlah subjek, populasi vaksin
penelitian 20-100 orang kecil 10-30 penderita - Jumlah subjek penelitian 10
sehat - Menentukan keamanan dan -100 orang sehat
- Menentukan dosis dan informasi kinerja - Menentukan tolerability
kejadian tidak diinginkan vaksin
(KTD)
- Khusus untuk fitofarmaka
yang berasal dari
nonempiris
Fase 2 Pivotal Fase 2
- Menguji Keamanan dan - Menguji efektivitas dan - Memonitor keamanan, efek
efektivitas Keamanan samping potensial, respon
- Jumlah subjek, populasi - Jumlah subjek, populasi imun, dan menentukan
terbatas 50-200 orang lebih besar 150-300 dosis optimum dan waktu
penderita penderita pemberian
- Mengkonfirmasi dosis dan - Menentukan efektivitas dan - Jumlah subjek uji 100-
kejadian tidak diinginkan KTD 1.000 orang
(KTD)
Fase 3 Fase 3
- Menguji Keamanan dan - Mengetahui efektivitas
efektivitas klinis dalam pencegahan
- Jumlah subjek, populasi penyakit dan menyediakan
besar 100-1.000 orang informasi keamanan lebih
penderita lanjut
- Menentukan interaksi obat- - Jumlah subjek uji 1.000-
obat dan KTD 10.000 pada populasi
heterogen dan waktu
observasi yang lebih
panjang
Fase 4 Paska pemasaran Fase 4
- Studi post aproval - Mengumpulkan data pada - Surveilans paska pemasaran
- Mengumpulkan data jangka pemakaian jangka panjang - Mengumpulkan data reaksi
panjang dan KTD dan KTD paska pemasaran vaksin yang tidak biasa dan
langka
5.4 Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Uji Klinik menggunakan prinsip CUKB. Inspeksi CUKB dapat dilaksanakan
sebelum, pada saat, dan/atau setelah Uji Klinik dilaksanakan. Dalam melaksanakan fungsi
monitoring dan evaluasi, Kepala BPOM dapat memerintahkan pihak sponsor Uji Klinik untuk
menangguhkan atau menghentikan Uji Klinik yang sedang berjalan bila terjadi masalah dalam hal
keamanan klinik, setelah berkonsultasi dengan Tim Ahli Uji Klinik Nasional. Peneliti utama wajib
melaporkan Uji Klinik untuk kejadian yang tidak diinginkan serius (KTDS) dan efek samping
produk yang serius kepada pihak sponsor dan Komisi Etik. Pelaporan paling lambat 24 jam sejak
kejadian pertama diketahui dan pelaporan berikutnya sampai rangkaian kejadian berakhir.
Selanjutnya sponsor wajib melaporkan efek samping Produk yang serius kepada Kepala BPOM/
Ditjen Farmalkes, paling lambat 15 hari kalender terhitung sejak pertama kali kejadian diketahui.
Jika terjadi perubahan dokumen, Peneliti utama wajib melaporkan dan mendapatkan persetujuan
dari sponsor, Komisi Ilmiah, Komisi Etik, dan regulator (BPOM/ Ditjen Farmalkes).

5.5 Regulasi Uji Klinik


5.5.1 Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 2009 tentang Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan
Berbahaya.
4. Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing.
5. Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 63 tahun 2017 tentang Cara Uji
Klinik Alat Kesehatan Yang Baik.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 66 tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Registri Penelitian Klinik.
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/MENKES/SK/X/2002 tentang Persetujuan
Penelitian Kesehatan terhadap Manusia.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1031/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 657/MENKES/PER/VIII/2009
tentang Pengiriman dan Penggunaan Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan
Informasinya.
11. Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia nomor 8 Tahun 2012
tentang Daftar Bidang Penelitian Berisiko Tinggi dan Berbahaya dan Instansi Pemerintah
yang Berwenang Memberikan Ijin Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya.
12. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 21 tahun
2015 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik

5.5.2 Regulator
Uji Klinik merupakan bagian dari penelitian dan pengembangan kesehatan. Penelitian dan
pengembangan kesehatan harus memperhatikan asas perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif,
dan norma-norma agama. Oleh karena itu penelitian dan pengembangan yang mengikutsertakan
manusia sebagai subjek dan memanfaatkan hewan coba sebagai subjek harus sesuai dengan kaidah
etika penelitian dan pengembangan. Semua protokol penelitian yang mengikutsertakan subjek
manusia atau hewan coba harus diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK). Protokol
penelitian yang bisa diajukan untuk proses telaah etik adalah penelitian yang belum dimulai
pelaksanaannya. Masa berlaku surat persetujuan etik penelitian kesehatan selama 1 tahun terhitung
sejak tanggal dikeluarkan. Jika penelitian masih berlanjut, maka dilakukan pengajuan ulang untuk
telaah kaji etik.
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan, lembaga penelitian dan pengembangan atau lembaga
lainnya yang mengirimkan, membawa dan atau menggunakan spesimen klinik, materi biologik
dan/atau muatan informasinya dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
kesehatan, pelayanan kesehatan, pendidikan serta kepentingan lainnya ke luar negeri atau
sebaliknya, harus dilengkapi dengan Perjanjian Alih Material (MTA) dan dokumen pendukung
lainnya yang relevan.
Mengirimkan, membawa dan atau menggunakan spesimen klinik, materi biologik dan/atau
muatan informasinya ke luar negeri atau sebaliknya, dari keadaan dan/atau penyakit infeksi yang
mempunyai potensi disalahgunakan sebagai senjata biologi atau bahan senjata biologi; universal
nilai komersial atau menghasilkan devisa negara yang bermakna sebagai produk
kedokteran/kesehatan; dapat menimbulkan dampak kepedulian kesehatan dan kedaruratan
kesehatan masyarakat di tingkat nasional maupun internasional termasuk di dalamnya pandemik
dan potensi pandemik. elain harus dilengkapi dengan Perjanjian Alih Material juga harus
mendapatkan izin dari Kepala Badan Litbangkes atas nama Menteri. Kesehatan Republik
Indonesia.
Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan/atau Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
yang Berisiko Tinggi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang karena sifat dan/atau konsentrasinya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat membahayakan, mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya. Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya hanya dapat dilakukan atas dasar
izin tertulis dari Kepala Badan Litbangkes atas nama Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kegiatan penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan
pengembangan asing, badan usaha asing, dan orang asing di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilakukan atas dasar izin tertulis dari Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi
(Ristek Dikti) Republik Indonesia.
Penelitian yang dilakukan di lembaga, satuan kerja, dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan
milik Kementerian Kesehatan yang menyelenggarakan fungsi penelitian bidang kesehatan, wajib
melakukan registri. Registri penelitian klinik dilakukan di satuan kerja di Badan Litbangkes.26
Pelaksanaan Uji Klinik pra-pemasaran Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika dan Pangan Olahan, sebelum dimulai wajib mendapatkan persetujuan Kepala BPOM
Republik Indonesia. Sedangkan untuk Uji Klinik paska-pemasaran Obat, Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika dan Pangan Olahan, sebelum dimulai wajib menyampaikan
notifikasi kepada Kepala BPOM Republik Indonesia. Pengajuan persetujuan atau notifikasi
tersebut tidak ditujukan untuk penelitian dalam rangka pendidikan.
Pelaksanaan Uji Klinik pra-pemasaran Alat Kesehatan, sebelum dimulai wajib mendapatkan
persetujuan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alkes (Farmalkes) Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Uji Klinik paska pemasaran Alat Kesehatan, sebelum dimulai wajib
menyampaikan notifikasi kepada Direktur Jenderal Farmalkes, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Pengajuan persetujuan atau notifikasi tersebut tidak ditujukan untuk penelitian dalam
rangka pendidikan.

III. Tugas
-

IV. Referensi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta
: Balitbankes-IT.
Bertram, G. alih bahasa Brahm U. dkk. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12. Jakarta:
EGC.
BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2014. Pengawas Obat dan
Makanan Indonesia Republik Indonesia.
Gunawan, Gan Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen RI. 2006. Pedoman Nasional Etik
Penelitian Kesehatan Suplemen II Etik Penggunaan Hewan Coba. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Meles, Dewa Ketut. 2010. Peran Uji Praklinik dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Perpustakaan Universitas Airlangga.
Ridwan, Endi. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta
: Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo.
Shargel, Leon. alih bahasa Fasich, Budi Suprapti. 2012. Biofarmasetika dan Farmakonkinetika
Terapan. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
World Medical Association Declaration of Helsinki. 2008. Recommendation Guiding Physicians
in Biomedical Research Involving Human Subject; Juni 1964; Helsinki, Finlandia; Amanded
by 59th WMA. Seoul : WMA General Assembly.

Anda mungkin juga menyukai