Anda di halaman 1dari 9

Tanggal Praktikum : 23 September 2019

Dosen Pembimbing : drh. Aulia Andi M,


M.Si.
Kelompok : 4 / Sore RP. Isotop
Praktikum

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI VETERINER


Penentuan Dosis Letal 50 ( LD-50)

Kelompok 4 :

Desi Puspita Sari (B04160049)


Muhammad Ihsan (B04160056)
Vivi Sulastri (B04160061)
Ilham Maulidandi (B04160065)
Intan Pradika Putri (B04160069)

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN
Latar belakang
Keamanan suatu obat ditentukan dengan penghitungan dosis lethal 50
(LD50) dan dosis efektif 50 (ED50). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis suatu obat
yang dapat berpengaruh terhadap 50% dari jumlah hewan yang diuji, sedangkan,
dosis lethal 50 (LD50) adalah, dosis suatu obat atau bahan kimia yang dapat
menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji. Makin besar
jarak antara LD50 dengan ED50, berarti obat tersebut lebih aman dibandingkan
dengan obat lain yang jarak antara ED50 dan LD50 lebih kecil. Jarak antara
keduanya dinamakan “Margin of Safety” atau batas keamanan , sedangkan
perbandingannya (LD50:ED50) dinamakan indeks terapi. Semakin besar indeks
terapi suatu obat, berarti obat terseebut semakin aman.
LD50 (lethal dose 50%) dihitung untuk menentukan daya toksisitas atau
dosis letal suatu obat. Metoda penentuan LD50 yang sering digunakan adalah
metoda Thomson dan Weil (1952). Hal ini dikarenakan metoda Thomson dan Weil
tidak memerlukan hewan percobaan yang terlalu banyak dan mempunyai tingkat
kepercayaan atau “confidence level ” yang cukup tinggi.
Nilai LD50 dari suatu obat bukan suatu konstanta biologis karena banyak
sekali faktor-faktor yang mempengaruhi nilainya. Beberapa faktor yang
mempengaruhinya adalah: spesies hewan, faktor endogen, diet, cara pemberian,
temperatur, dan musim. Hewan dengan spesies, strain atau galur yang berbeda akan
memberikan nilai LD50 yang berbeda. Umur, berat badan, jenis kelamin, dan
kesehatan hewan juga akan mempengaruhi LD50. Komposisi pakan dan difisiensi
salah satu zat makanan tertentu dapat berpengaruh pada nilai LD50 dari berbagai
obat. Rute pemberian secara intravena akan memberikan nilai LD50 yang berbeda
dengan rute subkutan atau per oral. Selain itu juga, pada obat-obat tertentu
temperatur sangat berpengaruh misalnya Amfetamin menunjukkan toksisitas yang
lebih tinggi pada temperatur yang lebih tinggi pula.
Nilai LD50 yang didapat hanya menunjukkan dosis yang menyebabkan
kematian pada 50% hewan percobaan. Untuk melengkapi data toksisitasnya, maka
untuk suatu obat, penting untuk diamati perubahan-perubahan yang terjadi pada
dosis sub-letal. Pemeriksaan ini sebaiknya meliputi pemeriksaan fisiologis,
biokimia, patologis, histopatologis dan lain-lain, sehingga memberikan informasi
yang lebih luas mengenai toksisitas yang dapat ditimbulkan oleh obat tersebut.

Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah dapat menguasai salah satu metoda yang dapat
dipakai untuk menentukan LD50 secara akut, dapat menjelaskan berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi nilai LD50 dari salah satu obat atau racun, dan dapat
mengetahui manfaat penentuan LD50 dari suatu obat atau racun.

Tinjauan Pustaka
Pengujian toksisitas bertujuan untuk mengetahui keamanan zat-zat yang
digunakan dalam terapi. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu uji toksisitas akut, uji toksisitas jangka pendek (subakut), dan uji
toksisitas jangka panjang (kronis). Pengujian LD50 merupakan pengujian toksisitas
akut. Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak
satu kali atau bebeapa kali dalam jangka waktu 24 jam. Uji toksisitas subkronis
dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang, setiap hari atau lima kali
seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan
untuk tikus dan 1 atau 2 bulan untuk anjing. Uji toksisitas kronis mencakup
pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hidup hewan.
Uji toksisitas akut terutama bertujuan untuk mencari efek toksik, sedangkan uji
toksisitas kronis bertujuan untuk menguji kaamanan obat (Harmita 2006).
Letal Dosis 50% (LD50) adalah dosis suatu zat berhasiat yang mematikan
satu kelompok hewan percobaan 50% dari jumlah hewan yang digunakan.
Sedangkan efektif dosis 50% (ED50) adalah dosis suatu zat berkhasiat yang
menunjukkan efek yang diinginkan pada 50% dari jumlah hewan yang digunakan
(Schmitz G 2003). LD50 secara statistik menyatakan bahwa dosis ini akan
membunuh binatang-binatang dengan sensitivitas yang rata-rata hampir sama. LD50
merupakan hasil dari suatu pengujian dan bukan hasil pengukuran kuantitatif. LD50
bukan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari suati=u laboratorium ke laboratorium
lainnya, bahkan laboratorium yang sama bisa berbeda hasilnya tiap kali pengujian.
Oleh karena itu kondisi-kondisi pada pengujian harus dicatat(Kamaludin MT
2004).
Indeks terapeutik (TI) adalah perkiraan batas keamanan obat dengan
mengukur rasio dosis terapeutik efektif pada 50% hewan percobaan (ED50) dan
dosis letal pada 50% hewan percobaan (LD50) (Kee 1993). TI dapat dirumuskan
sebagai:
LD50
TI= ED50

Semakin dekat rasio suatu obat dengan angka 1, semakin besar bahaya
toksisitasnya. Indeks terapeutik ini berhubungan erat dengan batas keamanan
(margin of savety).

Gambar 1. Hubungan indeks terapeutik dengan batas keamanan obat (Sumber: Kee
1993).
Obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang
sempit. Dosis obat yang terdapat dalam serum perlu dipantau karena sempitnya
jarak keamanan antara dosis efektif dengan dosis letal. Obat-obat dengan indeks
terapeutik yang tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu
berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma tidak perlu
dimonitor secara rutin (Kee 1993).
Gambar 2. Margin of savety obat yang memiliki IT rendah (A) dan Margin of savety
obat yang memiliki IT tinggi (B). (Sumber: Kee 1993)
Caffeine adalah suatu obat stimulasi yang bersifat psikoaktif dari golongan
xanthine-alkaloid yang berwarna putih. Caffeine dimetabolisme di hati oleh
sitokrom P450 oksidasemenjadi tiga metabolit, yaitu paraxanthine, theobromine
dan theophyline. Obat ini dapat menembus sawar otak dan mempengaruhi
pembuluh darah di otak, sehingga badan dan otak “tidak bisa tidur”, menyebabkan
pelepasan adrenalin ke tubuh dan membuat sel-sel selau aktif dan terjaga. Obat ini
juga memanipulasi pelepasa dopamine di otak dan membuat perasaan menjadi
tenang dan “melayang”.
Penambahan caffeine terus menerus akan memblokade kerja adenosine
karena molekul caffeine yang mirip dengan adenosine dan menempati reseptor
adenosine (hormone ini melambatkan kerja syaraf menjelang waktu istirahat). Gejal
overdosis caffeine tidak seperti obat stimulansia yang lain. Dimulai dari tingkat
yang paling rendah adalah halusinasi, disorientasi dan disinhibisi. Pada dosis yang
lebih tinggi lagi akan menyebabkan rhabdomyolisis (kerusakan dari jaringan otot).
Striknin merupakan stimulan sistem syaraf pusat (SSP). Obat ini
merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Sifat khas
lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat
oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Striknin
bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga
bertindak sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yang
lebih tinggi di SSP (Louisa 2007).
Medula oblongota hanya dipengaruhi oleh striknin pada dosis yang
menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi
perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor.
Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin (Louisa
2007).
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.
Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya
terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi
(opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur.
Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi
otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.
Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat
gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang
hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat, yang
terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma (Louisa,
Dewoto 2007).

METODE
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum adalah timbangan hewan,
spuid, 16 ekor katak (dibagi dalam empat kelompok), dan bahan uji berupa uji
xenobiotika (striknin, caffeine dan kardiazol).

Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 23 September 2019 di Ruang
Praktikum Isotop Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor pada pukul 14.30-17.00
WIB.

Prosedur Praktikum
Katak ditimbang dan tiap kelompok disuntikan secara subkutan (saccus
limphaticus). Setiap kelompok akan menguji LD50 dari bahan uji dengan dosis
yang ditentukan dimana:

 Kelompok 1, menguji LD50 pada dosis terendah


 Kelompok 2, menguji LD50 pada dosis 2x lipat dosis terendah
 Kelompok 3, menguji LD50 pada dosis 4x lipat dosis terendah
 Kelompok 4, menguji LD50 pada dosis 8x lipat dosis terendah
Dosis yang diberikan merupakan suatu dosis kelipatan biometrik. Kematian
yang terjadi dalam 3 jam dicatat dan perhitungan LD50 dilakukan berdasarkan
rumus berikut:
Log LD50 = log Dα + d (f+1)_
Untuk mengetahui kisaran LD50 dugunakan rumus: log LD50 ± 2 d. Df
Keterangan: Dα = dosis terkecil yang digunakan
d = logaritma kelipatan
f = faktor pada tabel (n=4, k=3, n= jumlah mencit/kelompok)
k = jumlah kelompok mencit – 1
df = dicari pada tabel n=4, k=3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5


Katak ke Katak ke Katak ke Katak ke Katak ke
1= 0.30 ml 1= 0.66 ml 1= 1.2 ml 1= 1.6 ml 1= 0.23 ml
2= 0.33 ml 2= 0.39 ml 2= 1 ml 2= 2.4 ml 2= 0.24 ml
3= 0.24 ml 3= 0.50 ml 3= 1 ml 3= 2.2 ml 3= 0.29 ml
4= 0.29 ml 4= 0.29 ml 4= 12 ml 4= 2.3 ml 4= 0.22 ml

Dosis Jumlah tikus yang mati (ekor)


100 mg/kg BB 0
200 mg/kg BB 2
400 mg/kg BB 4
800 mg/kg BB 4

r= 0.244
αF= 0.28868 (lihat tabel)
Dα = 100 (dosis terkecil)
d = log 2 (kelipatan dosis
= 0.301
Log LD50 = log Dα + d (f+1)
= log 100 + 0.301(0+1)
= 2+ 0.301
= 2.301
LD50 = antilog 2.301
=199.98
= 200 mg/kg BB
Rentang LD50 = antilog (log LD50 ± 2 .d. df)
= antilog (log 200 ± 2 x 0.301x 0.28868)
= antilog ( 2.301 ± 0.173)
= antilog 2.474 = 297.85
= antilog 2.128 = 134.27

Uji toksisitas akut merupakan salah satu uji yang dirancang untuk
menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat
setelah pemberiannya dalam dosis tertentu. Data kuantitatif yang diperoleh dari uji
toksisitas akut ini disebut LD50 (lethal dose 50). Berdasarkan LD50, suatu senyawa
dapat digolongkan sebagai bahan yang sangat toksik (extremely toxic) hingga bahan
praktis tidak toksik (practically non toxic) (Makiyah 2017). Percobaan ini
dilakukan untuk menentukan LD50 obat cardiazol. Cardiazol adalah obat yang
dipakai pada sistem peredaran darah dan stimulan pernapasan. Namun pada dosis
tinggi cardiazol dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian(Brunton et al.
2006). Penentuan LD50 senyawa cardiazol dilakukan pada katak dengan beberapa
dosis dimulai dari dosis 100mg/kgBB, 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 800
mg/kgBB. Menurut Ahmad dan Dhawan (1969), pada dosis 100 mg/kgBB
cardiazol mampu menyebabkan konvulsi klonik pada mencit.

Hasil percobaan Pada dosis 100 mg/kgBB tidak terdapat katak yang mati.
Pada dosis 200 mg/kgBB terdapat 2 katak yang mati dari 4 katak yang diuji coba.
Dan pada dosis 400mg/kgBB dan dosis 800 mg/kgBB masing-masing terdapat 4
ekor katak yang mati dari 4 ekor katak yang diinjeksikan cardiazol. Hasil
perhitungan didapat LD50 senyawa cardiazol adalah 200 mg/kgBB dengan rentang
LD50 mulai dari 134,27 mg/kgBB hingga 297,85 mg/kgBB. Penggolongan
senyawa dengan LD50 yaitu: LD50 kurang dari 1mg/kgB termasuk dalam kelas
luar biasa toksik; LD50 antara 1-50 mg/kgB termasuk sangat toksik; 500-5000
mg/kgB termasuk dalam kelas sedikt toksik; 5000-15000 termasuk praktis tidak
toksik; dan LD50 lebih dari 15000 termasuk relatif kurang berbahaya. Karena
Cardiazol memiliki LD50 200 mg/kgB, sehingga termasuk dalam kelas cukup
toksik (Loomis 1987).
SIMPULAN
Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun
yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single doseatau campuran. Dosis efektif
50% adalah dosis suatu obat yang dapat berpengaruh terhadap 50% dari jumlah
hewan yang diuji, sedangkan, dosis lethal 50% adalah, dosis suatu obat atau bahan
kimia yang dapat menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan
percobaan. Semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut. Begitu pula
sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad A, Dhawan BN. 1969. Metrazol test for rapid screening of anticolvisant.
Jap. J. Pharmac. 19: 472-474.

Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. 2006. Goodman & Gillman's The
Pharmacological Basis of Theurapeutics. New York(UK): McGraw Hill.

Loomis TA. 1987. Essential of Toxicology. Philadelpia(UK): Lea & Febiger.

Makiyah A, Tresnayanti S. 2017. Uji Toksisitas akut yang diukur dengan penentuan
LD50 ekstrak etanol umbi iles-iles (Amorphophallus variabilis Bl.) pada
tikus putih strain wistar. MKB. 49(3): 145-155.

Harmita, Radji M. Uji Toksisitas. Di dalam: Manurung J, editor. 2006. Buku Ajar
Analisis Hayati, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Kamaludin MT, Munaf S. Penelitian, Pengembangan, dan Penilaian Obat. Di
dalam: Raharjo R, editor. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Kee JL, Hayes RH. 1993. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan.
Anugerah P, penerjemah: Asih Y, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. 2003. Farmakologi dan Toksikologi, Edisi 3.
Setiadi L, penerjemah: Sigit JI, Hanif A, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai