Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN MATA KULIAH PENYAKIT VIRAL:

Canine Distemper

Oleh Kelompok 2
Anggota kelompok:
1. Fadhil Arifwal (B04160060) .......
2. Vivi Sulastri (B04160060) .......
3. Inke Maria Bangalino (B04160062) .......
4. Kirana Rahmada Savitri (B04160063) .......
5. Muhammad Azka Mubarok (B04160064) .......
6. Ilham Maulidandi Rahmandika (B04160065) .......
7. Nada Nursaffana Ramadhani (B04160067) .......
8. Sabrun Jamil (B04160068) .......

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DAN KESEHATAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
1. AGEN PENYAKIT (MORFOLOGI, SIFAT, INANG)

Canine Distemper Virus adalah penyakit pada anjing yang disebabkan oleh
virus RNA rantai tunggal yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae dan genus
Morbilivirus. Infeksi virus ini sering disertai oleh infeksi sekunder oleh kuman
Staphylococcus, streptococcus, brucella bronchiseptica dan kuman salmonella,
inilah yang kadang-kadang sebagai penyebab kematian. Canine Distemper Virus
(CDV) adalah penyakit viral infeksius yang berpotensi menyerang pada seluruh
bagian tubuh hewan seperti anjing, serigala, rubah, racoons, sigung (skunks), dan
ferrets / musang ( Dharmojono 2001). Virus ini erat kaitannya dengan virus
penyebab penyakit campak (measles) pada manusia, rinderpest pada sapi dan
distemper pada hewan lainnya. Canine Distemper Virus tidak dapat bertahan hidup
lama di luar tubuh inang dan virus ini sangat peka atau rentan terhadap pemanasan,
cahaya, deterjen, dan kondisi asam.

Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka ragam. Virus
menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam beberapa jam
pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak infektivitas
virus (Fenner dkk, 1993) Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya.
Diameternya antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of
helical symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus
distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan
L) pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein
lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi protein
hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya
(Dharmojono, 2001).

Virus tahan selama 3 hari pada suhu 100°C. Virus juga tahan terhadap asam,
desinfektan (deterjen dan alkohol) dan pelarut lemak ( eter, kloroform) atau proses
cair beku (freezing dan thawing). Virus peka terhadap clorox dengan pengenceran
1:30. Virus stabil pada pH 3-9 dan suhu 56°C. Virus menjadi inaktif dalam
formalin, beta propiolakton (BPL) dan binary ethylenimine (BEI). Virus dalam tinja
ini tahan selama 1 - 2 minggu setelah infeksi. Virus yang terdapat dalam tinja tetap
hidup pada suhu kamar dan bersifat menular selama 6 bulan. Canine parvovirus
dapat mengaglutinasi sel darah merah babi pada pH di bawah 6,8 dan berbagai jenis
kera seperti African green Manual Penyakit Hewan Mamalia 43 monkey, modgus
monkey dan crab eating macaque. Tidak mengaglutinasi sel darah merah sapi,
kambing, domba, anjing, ayam, kalkun, marmot, tikus dan hamster serta darah
orang golongan O. 2. Spesies rentan Semua jenis atau ras anjing (ras dan lokal)
peka terhadap penyakit

Semua jenis atau ras anjing (ras dan lokal) peka terhadap penyakit ini.
Dalam praktek, kasus paling banyak terjadi pada anjing ras. Anjing-anjing liar
dilaporkan juga terserang seperti wolves (Speothos venaticus), racoon (Nyctereutes
procyonoides, procyon lotor), dan coyotes (Canis latrans). Anjing penderita PPA
kebanyakan fatal terutama kelompok umur muda, umur kurang dari 6 bulan.
Penyakit dapat bersifat sporadik atau endemik. Tingkat morbiditas dan mortalitas
tinggi. Anjing yang berumur muda antara 12 minggu terserang PPA memiliki
tingkat morbiditas 50 - 100% dan mortalitas sampai 50%, sedangkan anjing dewasa
tidak lebih dari 1 %.

Gambar 1. Struktur parvovirus anjing.

2. TRANSMISI
Canine Distemper Virus ditularkan melalui udara/ aerosol ( air borne disease ),
dimana droplet yang mengandung partikel virus distemper tersebut berasal dari
saluran pernafasan ( mulai dari rongga hidung, pharynx dan paru-paru ) atau sekresi
nasal dari hewan penderita distemper. Selain itu CDV juga dapat ditularkan melalui
air liur/ saliva dan urin hewan yang menderita distemper, lalu virus tersebut masuk
dan bereplikasi dan menyebar di dalam tubuh ( Legendre 2005 ). Anjing yang
umumnya terinfeksi adalah anjing yang tidak divaksinasi, tidak memperolek
kolostrum dari induk yang sudah memiliki imunitas, pemberian vaksin yang tidak
tepat, imunosupresi, dan sejarah interaksi dengan hewan yang terinfeksi ( Nelson
& Couto 1998 ).

3. PATOGENESA

Setelah hewan terpapar Canine Distemper Virus, virus akan menginfeksi


dan bereplikasi di makrofag. Perkembangan virus distemper dalam tubuh hewan
sangat tergantung dari kondisi hewan yang terinfeksi. Apabila hewan telah
memiliki kekebalan, maka hewan tersebut akan menjadi subklinis dan sel yang
telah terinfeksi akan lisis atau terjadi neutralisasi virus. Apabila respon imun gagal,
maka akan menyebabkan timbulnya gejala klinis pada hewan dan gejala klinis akan
lebih parah lagi apabila menginfeksi hewan dengan immunitas rendah, bahkan
dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 2 – 4 minggu setelah infeksi. Hal ini
disebabkan karena penyakit ini menyerang semua jaringan limfatik, permukaan
epitel saluran respirasi, saluran pencernaan dan saluran kencing serta kelenjar
endokrin dan eksokrin. Hewan dengan immunitas yang rendah akan menyebabkan
virus dapat menyerang berbagai jaringan tambahan seperti kulit, sistem saraf pusat
(SSP) dan kelenjar. Hewan yang dapat bertahan dari gejala awal akan tetap
mempertahankan virus di jaringan dan cenderung untuk kemudian
menggembangkan gejala klinis penyakit susunan saraf pusat (SSP).

Virus akan disebarkan (shedding) 14 hari setelah infeksi, bahkan pada


anjing dengan infeksi subklinis. Penyebaran virus ini dalam tubuh melalui jaringan
limfatik (viremia) menuju traktus respiratorius, gastrointestinal, urogenital dan
terakhir pada susunan saraf pusat (SSP). Perjalanan penyakit mulai terlihat setelah
6 hari post infeksi, dimana akan terdapat nasal dan ocular discharge, hewan akan
terlihat depresi dan anoreksia. Kemudian infeksi akan menyebar ke traktus
gastrointestinal dan/atau traktus respiratorius. Infeksi tersebut juga dapat diikuti
dengan infeksi bakteri. Infeksi akan berlanjut pada susunan saraf pusat, namun tidak
selamanya infeksi ini diawali dengan infeksi sistemik. Patogenesis penyakit saraf
akibat infeksi Canine Distemper Virus bersifat kompleks. Infeksi Canine Distemper
Virus pada anjing yang masih sangat muda atau menderita immunosuppressed akan
mengakibatkan terjadinya akut encephalitis, dimana berkaitan dengan kerusakan
langsung oleh virus. Sedangkan kronik encephalitis terjadi sebagai konsekuensi
dari respon inflamasi (peradangan) terhadap antigen virus di sel sistem saraf pusat
(SSP) dengan aktivasi makrofag dan pengeluaran mediator cytotoxic yang berperan
dalam perusakan dan demielinisasi dari sel susunan saraf pusat ( Ettinger dan
Feldman 2004).

Gambar 2. Struktur Pathogenesis Canine Distemper

4. GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang terlihat pada penyakit ini bervariasi. Gejala klinis yang paling
umum adalah lesu, nafsu makan menurun, mata belekan, dan sertai adanya muntah
dan diare pada distemper yang menyerang saluran pencernaan atau pilek dan batuk
pada distemper yang menyerang saluran pernafasan. Anjing yang terkena distemper
akan tampak lesu, kurus, mata belekan dan anoreksia. Gejala umum yang teramati
oleh pemilik antara lain depresi,kelemahan,eksudat dari mata dan
hidung,batuk,muntah,atau diare,namun pada infeksi yang sudah parah dapat
teramati gangguan saraf seperti kejang atau ataksia (Côté 2011).
Gambar 3. Aniing yang terkena distemper (tampak lesu, kurus,
mata belekan dan anoreksia)

Simtom lainya yang muncul ialah adannya konjungtivitis. Hewan juga


mengalami demam. Apabila berlanjut maka kulit akan mengalami eritrema dan
pustule terutama di abdomen, daerah inguinal dahi dan moncong. Terdapat juga
penebalan pada telapak kaki. Infeksi pada saluran pencernaan menyebabkan hewan
mengalami diare yang dapat berupa mukus atau darah. Kehilangan cairan pada
kondisi diare dapat menyebabkan adanya dehidrasi yang dapat memicu terjadinya
shock hipovolemik. Hasil penelitian dari Erawan et al. (2009) menyebutkan bahwa
gejala klinis yang ditemukan pada semua kasus distemper anjing adalah batuk,
diare, pustula pada kulit abdomen, dan gejala saraf berupa depresi, tremor otot atau
ataksia. Sedangkan gejala lain yang ditemukan adalah demam (69,5%), leleran mata
(52,4%), leleran hidung (51,4%), muntah (38,1%), dan hiperkeratosis pada telapak
kaki hanya ditemukan pada 4,8% kasus. Pada pemeriksaan distemper yang
dilakukan di kota Denpasar gejala klinis yang digunakan sebagai acuan diagnosis
penyakit distemper oleh dokter hewan praktek adalah nafsu makan menurun,
demam, leleran mukopurulen pada mata dan hidung, batuk, muntah, diare, pustula
pada kulit abdomen, dan gejala saraf (Erawan et al. 2009)
Gambar 4. Aniing yang terkena distemper (adanya discharge dari
hidung)

Gambar 5. Aniing yang terkena distemper akut


(konjungtivitis,rhinitis, dan dermatitis pada kulit wajah)

Gambar 6. Aniing yang terkena distemper mengalami hiperkeratosis


pada telapak kaki
5. PATOLOGI ANATOMI

Pada beberapa kasus anjing yang terinfeksi penyakit distemper,


perubahan dapat terjadi di berbagai organ yang diikuti dengan adanya eksudat pada
organ tempat virus distemper berpredisposisi, misalnya pada saluran cerna,
terutama usus halus, radang kataral hingga mukopurulen sering ditemukan. Tidak
jarang peradangan dengan kandungan eksudat yang sama juga dapat ditemukan
pada saluran pernafasan. (Kardena et al 2011).Kelainan patologis baik secara
anatomi maupun histologi pada anjing yang mati akibat terinfeksi CDV dapat
ditemukan terutama pada organ pernapasan (Natania 2012)
Secara mikroskopis, paru-paru dari hewan yang terinfeksi akan tampak
mengalami peradangan. Pneumonia interstitialis akan teramati pada paru-paru yang
diikuti dengan banyak infiltrasi sel-sel radang. Bila berlangsung kronis, reaksi
peradangan akan meluas sampai ke bagian alveoli. Apabila terjadi infeksi sekunder
terutama terinfeksi oleh bakteri pyogenes, peradangan dengan eksudat purulen
dapat juga terjadi pada organ ini. (Kardena et al 2011). Organ paru-paru pada anjing
yang terkena distemper akan tampak adanya perubahan warna, ukuran organ dan
konsistensinya. Organ paru-paru yang mengalami distemper akan terlihat lebih
merah dari normalnya bahkan ada beberapa organ yang ditemukan beraspek lebih
pucat dan kehitaman. Perubahan warna menjadi lebih merah disebabkan oleh reaksi
peradangan yang terjadi pada organ tersebut. Perubahan warna yang beraspek pucat
atau bahkan kehitaman dapat pula terjadi pada suatu organ, tidak terkecuali paru-
paru. Perubahan ini dapat terjadi karena sel-sel atau jaringan pada suatu organ telah
mengalami nekrosis. Nekrosis yang terjadi pada tingkat sel dari organ paru tanpa
diikuti dengan hemoragi dapat menyebabkan aspek perubahan warna jaringan
menjadi lebih pucat. Sebaliknya, apabila kematian sel / jaringan yang disertai
dengan adanya perdarahan, maka perubahan warna organ dapat teramati menjadi
lebih gelap. . (Kardena et al 2011)
Ukuran paru-paru anjing yang terkena distemper cenderung menjadi lebih
besar dengan konsistensi yang bervariasi dari yang kenyal hingga mengeras. Hal
ini juga dapat disebabkan oleh karena reaksi peradangan yang terjadi pada organ
tersebut. Secara patologi anatomi organ paru-paru tampak lebih besar akibat
kapiler-kapiler yang ada pada organ paru-paru mengalami vaso-dilatasi untuk
mengaktivasi sel-sel radang dalam rangka bermigrasi ke daerah interstitial untuk
melakukan fungsinya, baik melakukan fagositosis atau sebagai agen
chemoattractan untuk menarik sel-sel radang yang lain ke daerah yang mengalami
peradangan (Kardena et al 2011).

6. DEFERENSIASI DIAGNOSA
Canine distemper virus (CDV)
Gejala klinis CDV :

 Demam
 Depresi
 Mukosa hidung kering
 Nafsu makan turun, sehingga hewan jadi lemah
 Muntah, akibatnya terjadi dehidrasi
 Konsistensi feses lunak dan encer berwarna kuning kehijauan kadang
disertai darah
 Suhu tubuh turun
 Pada anak anjing yang terinfeksi terkadang ditemukan gangguan pernafasan
yang ditandai dengan leleran hidung yang bersifat mukopurulen 3 hari
setelah sakit

Kebanyakan dari CDV (Canine Distemper Virus) bersifat subklinis atau dengan
kata lain bergabung dengan gejala dari infeksi saluran pernafasan atas yang
ditangani tanpa dilakukan terapi lanjutan, salah satu contohnya akibat
infeksi Bordetella bronchiseptica (Headley dan Grace 2000).

Diagnosa banding dari distemper anjing yaitu rabies, pneumonia yang


disebabkan infeksi Bordetella bronchiseptica, idiopatik epilepsi, hipoglikemia,
trauma sistem saraf pusat dan gagal ginjal (Schaer 2003). Rabies merupakan
penyakit yang menyerang saraf yang sering dikelirukan dengan diagnosa penyakit
distemper tahap akhir dimana virus telah menginfeksi sistem saraf pusat (Subronto
2006).
Gejala rabies pada anjing
 Perubahan temperamen yang masih ringan
 Hewan mencari tempat yang gelap dan sejuk
 Menyendiri
 Refleks kornea berkurang
 Pupil melebar
 Mengacuhkan tuannya
 Sangat peka terhadap situasi sekitar
 Mudah terkejut dan cepat berontak
 Kenaikan suhu tubuh
 Garang
 Hipersalivasi
 Dalam keadaan tenang, hewan cenderung terlihat lelah dan tampak
ketakutan
 Takut melihat sinar
 Kesulitan menelan
 Suara parau
 Sempoyongan
 Lumpuh
 Akhirnya, mati.

Gejala pneumonia pada anjing bergabung dengan gejala dari infeksi saluran
pernafasan atas yang ditangani tanpa dilakukan terapi lanjutan, salah satu
contohnya akibat infeksi Bordetella bronchiseptica (headley dan Grace 2000).
Idiopatik epilepsi adalah istilah untuk penyakit epilepsi/ayan yang belum jelas atau
belum terungkap penyebabnya.

Hipoglikemia pada anjing :

Gejalanya :

 Hilangnya nafsu makan


 Sangat lesu
 Ketidakmampuan koordinasi
 Gemetar
 Otot yang berkedut
 Lemah
 Kejang-kejang
 Sikap yang tidak seperti biasanya
 Pupil mata yang melebar
 Kebutaan
 Pingsan atau koma
Trauma sistem saraf pusat jelas terlihat sama dengan gejala pada rabies yang
juga menyerang sistem saraf pusat pada anjing.

Gagal ginjal pada anjing gejalanya :

 hewan banyak minum (polidipsi)


 banyak urinasi (poliuri)
 kurus (anorexia)
 muntah, akibatnya tubuh jadi hewan jadi melemah dan mengalami
penurunan berat badan
 susah berjalan
 nafas jelek
 ulcer pada mulut
 anemia, sehingga menyebabkan anjing jadi murung dan mudah lelah serta
nafas sering terengah-engah.

7. PENCEGAHAN KONTROL DAN PENGENDLIAN


Infeksi sekunder oleh bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotic
berspektrum luas, sedangkan untuk gejala diare dan muntah dapat diberikan
antideiare, antiemetic, infus cairan elektrolit untuk mengatasi dehidrasi
(Côté 2011). Anjing akan terlihat normal selama 2 sampai 3 minggu dengan
pemberian antibiotic hingga munculnya penyakit pada otak dan sumsum tulang
belakang jika mengalami kerusakan saraf. Pemberian antikonvulsi dapat dilakukan
untuk mengurangi kejang. Perawatan, pemberian pakan yang berkualitas baik dan
disukai, serta lingkungan yang bebas stress akan membantu meningktkan selera
makan dan menjadi sehat. Penanganan yang dapat dilakukan sangat terbatas,
sehingga vaksinasi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan.
Vaksinasi untuk mencegah distemper mulai diberikan saat anak anjing disapih. Jika
indukanya sudah divaksinasi atau sebuh dari distemper, maka antibody terhadap
distemper akan diberikan kepada anaknya di dalam susu (Legendre 2005).

DAFTAR PUSTAKA :

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. 2014. Mengenali Penyakit Anjing Gila
(Rabies). http://bali.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/51-info-
aktual/431-mengenali-penyakit-anjing-gila-rabies. Diakses pada 1 April
2019.
Côté E.2011.Clinical Veterinary Advisor:Dogs and Cats 2nd
Edition.USA:Mosby,Inc.

Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka


Popular Obor, Jakarta, hal 16-20.

Erawan IGMK, Suartha IN, Batan IW, Budiari ES, Mustikawati D. 2009. Analisis
Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar. Jurnal
veteriner . 10(3).
Ettinger SJ, Feldman EC. Textbook of Veterinary Internal Medicine. Volume I.
Edisi ke-6. 2004. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.

Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy,F. A, Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O.,
1995, Virologi Veteriner, Edisi kedua, Academic Press, inc., Harcourt Brace
Jovanovich, Publishers, San Diego New York Boston London Sidney
Tokyo Toronto, hal 516-519.

Headley SA, Graca DL. 2000. Canine distemper: epidemiological finding of 250
cases. Brazilian J Vet Res Anim Sci. 37
Kardena IM, Winaya IBO, Berata IK. 2011. Gambaran patologi paru-paru pada
anjing lokal bali MMMyang terinfeksi penyakit distemper. Buletin
Veteriner Udayana. 3 (1) : 17-24.
Legendre AM. 2005. Ettinger and Feldman Textbook of Veterinary Inte
rnal Medicine.London: Elsevier Inc.

Mazzaferro EM. 2010. Small Animals Emergency and Critical Care. USA : Wiley-
Blackwell.
Natania M. 2012. Kejadian penyakit distemper dan parvo pada anjing melalui
pendekatan MMMklinis,studi di Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian
Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut MMMPertanian Bogor.
Nelson RW and Couto CG. 1998. Small Animal Internal Medicine Second Editio.
Philadelphia: Mosby Aharcourt Health Sciences Company.

Schaer M. 2003. Clinical Medicine of The Dog and Cat. London(UK): Manson
Publising.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta(ID): Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai