Anda di halaman 1dari 64

HERBARIUM

Keladi Tikus
Typhonium flagelliforme

Sistematika Tumbuhan Obat

Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Araceae
Subfamili : Aroideae
Suku : Areae
Genus : Typhonium
Spesies : Typhonium flagelliforme

Keterangan :

a) Bangun daun : bangun anak panah


b) Tepi daun : rata
c) Tulang daun : menyirip
d) Ujung daun : meruncing
e) Permukaan helaian daun : licin,berlapis lilin
f) Pangkal daun : runcing
http://www.blogcatalog.com/blogs/kumpulan-jurnal-jurnal-
farmasi.html

2008/12/10

Kumpulan Jurnal Farmakologi Dasar


CARA-CARA PENANGANAN/ PERLAKUAN, PENANDAAN HEWAN PERCOBAAN DAN
RUTE PEMBERIAN OBAT

I. Pendahuluan
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak
puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional
bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah
adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang
menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan
percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset
lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan
demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya
menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian
biomedis.
Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan pula bila penelitian
lain misalnya tentang aspek fisiologis, patologis, dan penyakit pada manusia,
nutrisi, virus, penelitian perilaku dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan
percobaan sebagai modelnya dengan segala persyaratan tertentu.
Berdasarkan referensi data yang diperoleh dari National Institute of Health
Primate Research centers, 1978, syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan
yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi
pada hewan percobaan tersebut mirip atau banyak kesamaannya dengan proses
yang terjadi pada manusia. Di samping itu mudah didapat , mudah dikembang-
biakkan dan relatip murah harganya. Secara terperinci peranan hewan percobaan
berorientasi kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium.
(Edhie sulaksono, 1992)

Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular atau ekstravaskular. Cara
intravaskular yaitu obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan
ke seluruh tubuh seperti pemberian intravena (suntikan atau infus). Berarti
pemberian obat tidak perlu menglami fase pertama untuk memberikan efek,
yaitu fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam plasma atau darah selanjutnya
ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi atau eliminasi
obat dari tubuh. Sedangkan cara ekstravaskular yaitu obat harus diabsorpsi
dahulu sebelum masuk ke peredaran sistemik seperti pemberian intramuskular,
subkutan, intradermal, dan peritoneal. Syarat untuk absorpsi adalah obat harus
terbebaskan terlebih dahulu dari bentuk sediannya dan bukan hanya tergantung
pada faktor fisikokimia obat, tetapi juga pada faktor lingkungan bagian tubuh
tempat obat diserap atau diabsorpsi. Kemudian, faktor-faktor teknik pembuatan
(farmakoteknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk
sediaannya ke dalam cairan tubuh.
(Stefanus Lukas, 2006)

II. Tujuan Percobaan


- Untuk mengetahui bagaimana cara-cara menangani/ memperlakukan hewan
percobaan,
- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan
percobaan,
- Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang
ditimbulkan,
- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute pemberian,
- Untuk mengetahui efek dari Luminal Na terhadap hewan percobaan

III. Prinsip Percobaan


- Cara memegang hewan percoabaan adalah berbeda-beda. Hal ini ditentukan
oleh sifat hewan tersebut, keadaan fisiknya (besar atau kecil), serta tujuannya.
Kesalahan dalam prosedurnya akan menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit
pada hewan, sehingga menyulitkan dalam penyuntikan.
- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan
intraperitoneal ), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan
duration of action dari suatu obat. Onset of action pada pemberian intraperitonial
akan lebih cepat dicapai dibandingkan dengan melalui oral.

IV. Tinjauan Pustaka


Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang
dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang
farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi
dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model
hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip
hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan
"model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium
baik medis maupun non medis secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan
teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari
makin meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan
baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah
salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain
belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan
percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang
benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini.
Pengelolaan Hewan Percobaan
Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan pada:
1.Kondisi bangunan
Persyaratan ini sangat menentukan kondisi hewan percobaan, karena
bentuk,ukuran serta bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical
environment bagi hewan percobaan. Bangunan harus dirancang sedemikian rupa
sehingga hewan dapat hidup dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat
menghasilkan peredaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap dengan
insect proof screen (kawat nyamuk).
2.Sanitasi
Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya
sistem sanitasi yang baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas
desinfektan, misalnya dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi
desinfektan (lysol 35%) atau disebut dengan Foot baths. Sanitasi kandang atau
peralatan lainnya dilakukan dengan teratur. Di samping itu bagi tenaga pengelola
perlu mengenakan lab jas (Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya
seperti masker dan sebagainya. Peralatan sanitasi lainnya seperti halnya
autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan fasilitas shower dan toilet bila
perlu diusahakan ada.
3. Tersedianya makanan
Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang
cukup. Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab,
diusahakan bebas dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan
adanya ini dapat merupakan petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan
dan sebagai usaha pencegahannya adalah makanan ditempatkan dalam kantong-
kantong plastik yang waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob (dengan
menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk makanan bila perlu
diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk silinder) dengan
diameter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungannya adalah dapat
disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa habis termakan
(dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap
makanan yang dimakan lebih mudah.
4. Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak
terlalu tinggi kandungan mineralnya serta bersih.
5. Sirkulasi udara
Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih
bila dipasang exhaust fan.
6. Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi
hewan Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung
oleh penerangan dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan
terhambatnya proses reproduksi.
7. Kelembaban dan temperatur ruangan
Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi
masing-masing hewan percobaan adalah sebagai berikut:
8. Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi
penyakit baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha
pencegahan tidak diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan
(lebih-lebih bila hewannya adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ
Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun.
9. Training/kursus bagi personil
Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih
dan berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan
percobaan dapat melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali
adanya kursus baik tenaga administrasi maupun tenaga teknis.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pd
f/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html)

Cara Pemberian Obat (Rote of Drug Administration)


Cara pemberian obat adalah satu-satunya pengetahuan asli milik farmakologi.
Perbedaan cara pemberian sangat penting dalam penentuan efek yang
diharapkan. Ada obat yang hanya berkhasiat apabila disuntikkan dan tidak
memberikan efek bila diminum. Karena itu cara pemberian obat ditentukan oleh :
Jenis obat
Kondisi penderita (sadar, tidak sadar, koperatif, dan sebagainya)
kondisi penyakit (perlu efek segera atau tidak).
Aplikasi Lokal
Efek lokal diperoleh dengan membubuhkan obat pada kulit atau mukosa, dan
dalam beberapa hal dengan penyuntikan di daerah atau rongga tertentu. Obat
yang larut dalam air tidak diserap oleh kulit utuh. Obat yang dilarutkan dalam
minyak dapat diserap oleh kulit, dan bila penyerapan cukup besar, akan terjadi
efek sistemik bahkan keracunan. Kulit yang tidak utuh memperbesar penyerapan
dan perlu mendapat perhatian.
Pada umumnya, obat mudah diserap dari mukosa mata, hidung, tenggorokan,
bawah lidah, rektum, saluran pernafasan dan saluran kemih kelamin. Karena itu
perlu disadari, bahwa pemberian lokal dapat menimbulkan efek sistemik sampai
keracunan.
Pemberian sistemik
Pemberian obat melalui mulut disebut per oral atau per os merupakan cara
pemberian yang paling banyak dilakukan. Keuntungan cara per os adalah murah,
mudah, enak dan menyenangkan serta paling aman karena lebih mudah
ditolong. Pertolongan yang diberikan ketika keracuanan akut timbul adalah
dengan merangsang muntah, bilas lambung, pemberian penawar dan pemberian
pencahar untuk mengurangi penyerapan. Pertolongan demikian dapat dilakuka,
karenaa penyerapan obat per os memerlukan waktu yang relative lama.
Kerugiannya adalah tidak mungkin diberikan jika penderita tidak sadar, muntah-
muntah, sebagian obat memberikan rasa mual dan nyeri lambung atau dirusak
oleh asam lambung. Selain itu, isi lambung juga mempengaruhi keteraturan atau
kecepatan penyerapan obat. Adakalanya cara per oral juga digunakan pada obat
yang berefek lokal pada saluran cerna seperti laksan (pencahar), digestan,
antacid non-sistemik dan sebagainya.
(Mulkam Y.L., Rizali H.N., 1993)

Cara Pemberian Obat Parenteral


Cara pemberian obat prenteral adalah sebagai berikut :
1. Subkutan atau di bawah kulit (s.c.), yaitu disuntikkan ke dalam tubuh melalui
bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit;
volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml. Sediaan harus memenuhi krtiteria
tertentu, seperti berikut : Larutan sebaiknya isotonis dan iso hidris; Larutan yang
sangat menyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan
absorpsi zat aktif tidak optimal; Onset of action obat berupa larutan dalam air
lebih cepat daripada sediaan suspensi; Determinan kecepatan absorbsi ialah total
luas permukaan tempat terjadinya penyerapan; Absorpsi obat dapat diperlambat
dengan menambahkan adrenalin ( cukup 1 :100.000-200.000) yang
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal, sehingga difusi obat tertahan
diperlambat. Contoh injeksi Lidocaine Adrenalin untuk cabut gigi. Sebaliknya,
absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyluronidase, yaitu suatu
enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menyebabkan
penyebaran dipecepat. Bila ada infeksi, maka bahaya lebih besar daripada
penyuntikan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan
mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.
2. intramuskular (i.m.), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha. Syarat-sayrat yang harus dipenuhi sediaan adalah sebagai
berikut : Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi
pembawa minyak atau air; Larutan sebaiknya isotonis; Onset bervariasi
tergantung besar kecilnya partikel; Sediaan dapat berupa larutan, emulsi atau
suspensi; Zat aktif bekerja lambat (preparat devo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan; Volume sediaan umumnya 2 ml sampai
20 ml dapat disuntikkan ke dalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil
disuntikkan ke dalam otot-otot lain. Contohnya adalah penicillin G 3.000.000
unit, injeksi antitetanus 10.000 atau 20.000 unit, injeksi vitamin B kompleks.
3. Intravena (i.v.), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Syaratnya adalah
sebagai berikut : Larutan dalam volume kecil (dibawah 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris;
Tidak ada fase absorpsi, Obat langsung masuk ke dalam vena; Onset of action
segera; Obat bekerja paling efisien; Bioavaibilitas 100%; Obat harus dalam
larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran
partikel eritrosit; Sedian suspensi tidak dianjurkan; Larutan hipertonis
disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh; Zat
aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa
seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol; Sediaan yang diberikan umumnya
sediaan sejati; Adanya partikel dapat menyebabkan emboli; Pada pemberian
dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen. Contohnya,
injeksi ampicilin 500 mg, 1 gram, infuse Sodium chloride 0,9 % 25 ml, 50 ml,
500 ml.

4. Cara pemberian Parenteral lainnya :


a. Intraspinal, yaitu disntukkan ke dalam sumsum tulang belakang. Syaratnya :
larutan harus isotonis dan isohidris, bila digunakan sebagai anestesi larutan
harus hipertonis. Contoh sediaannya yaitu injeksi Xylocain heavy 0,5% 2 ml
(Buvicaine HCl).
b. Peritonial, yaitu kateter dimasukkan ke dalm rongga perut dengan operasi
untuk tempat memasukkan cairan steril CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialisis). Syaratnya yaitu : larutan harus hipertonis; zat aktif harus diabsorpsi
dengan cepat; volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter); Infeksi
mudah terjadi karena pemakaian yang terus menerus dan penanganan yang
tidak steril; Biasa sebagai cuci darah dengan cara CAPD. Contohh sediaannya
infuse dianeal 1,5% atau 2,5% 2 liter.
c. Intraartikular, yaitu disuntikkan ke dalam sendi. Syaratnya yaitu larutan harus
isotonis dan isohidris. Contoh sediaan injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
d. Intradermal, yaitu disuntikkan ke dalam kulit. Syarat-syarat sediaan ini yaitu :
Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris; Volume yang disuntikkan kecil, antara
0,1 hingga 0,2 ml; Biasa sebagai diagnostik Mantoux tes atau tes alergi.
Contohnya yaitu tes alergi antibiotik 1 ml, injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
(Stefanus Lukas, 2006)

Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Penyerapan Obat


Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral terteral tertentu, seperti melalui intradermal,
intramuskular, subkutan dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat
yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui
intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral, tidak melibatkan proses
penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi
reseptor (receptor cite). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi melalui
hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan
akan mempengaruhi aktivitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
1. Penyerapan Obat Melalui Saluran Cerna
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu mengalami proses penyerapan
pada saluran cerna. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan
obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara
pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat,
yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat.
Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, emulsi, serbuk, dan larutan, proses
penyerapannya memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan
hayatinya mungkin juga belainan. Ukuran partikel bentuk sediaan juga
mempengaruhi penyerapan obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan
yang bersinggungan dengan pelarut makin besar, sehingga kecepatan melarut
obat makin besar. Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti
bahan pengisi, pelican, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat
mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh
terhadap kecepatan penyerapan obat.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal
atau polimorf, kelarutan dalam lemak/ air dan derajad ionisasi juga
mempengaruhi proses penyerapan obat. Contoh : Penisilin V dalam bentuk
garam K lebih mudah melarut dibanding penisilin V bentuk basa, Novobiosin
bentuk amorf lebih cepat melarut disbanding bentuk kristal.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara
lain adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung,
gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan
lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada
tempat penyerapan.
d. Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain
adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.
(Siswandono, 1995)

Absorosi, Distribusi dan Ekskresi Obat


Kebanyakan obat diberikan secara oral, sehingga obat harus lewat melalui
dinding usus untuk dapat memasuki aliran darah. Proses absorpsi ini dipengaruhi
oleh banyak faktor, tetapi biasanya sebanding dengan kelarutan obat di dalam
lemak. Sehingga, absorpsi obat yang tak terionkan adalah disangga karena obat
adalah jauh lebih mudah larut dalam lipid daripada yang terionkan (BH+) dan
dikelilingi oleh kulit molekul air. Obat yang diabsorpsi sebagian besar pada usus
halus karena permukaannya luas. Ini terjadi untuk obat yang bersifat asam
lemah (misalnya aspirin), yang tidak terionkan dalam HCl pada lambung. Obat
diabsorpsi dari saluran pencernaan memasuki gerbang sirkulasi dan secara
ekstensif ada yang dimetabolisme karena melewati hati (melewati metabolisme
pertama).
Obat-obat yang cukup larut di dalam lemak siap diabsorpsi secara oral dan
dengan cepat didistribusikan seluruhnya oleh air kompartmen badan. Banyak
obat yang bebas berikatan dengan albumin plasma, dan bentuk kesetimbangan
diantara ikatan protein dan obat bebas dalam plasma. Obat yang berikatan
dengan protein plasma yang terkurung dalam system vaskular dan tidak dapat
menimbulkan efek farmakologi.
Distribusi didalam tubuh terjadi ketika jangkauan obat di dalam tubuh. Kemudian
menembus jaringan untuk memberkan aksi.
Waktu paruh (t1/2), adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai
konsentrasi separuh dari konsentrasi awalnya. Ekskresi renal akhirnya
bertanggung jawab untuk eliminasi obat paling banyak. Obat ada yang terdapat
dalam filtrate glumerulus, namun obat yang larut dalm lipid akan dibsorpsi
kembali pada tubulus renal secara difusi pasif.
(Michael J. Neal, 2002)

Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaanya dapat dibagi :


Adstringen, Adsorben, Analeptik, Analgetik-antipiretik, analgetik-narkotik,
Anestetik, Hipnotif-sedatif dan lain-lain.
Sedative hipnotif merupakan Obat yang digunakan agar dapat tidur. Bila
diberikan dalam dosis yang lebih rendah pada siang hari untuk menenangkan,
maka dinamakan sedativ (pereda).
a. Tidur tenang (slow-wave, NREM), cirinya denyut jantung, tekanan darah dan
pernafasan teratur, otot kendor tanpa gerakan otot muka atau mata.
b. Tidur REM atau paradoksal (Rapid-eye-movement), disini otak memperlihatkan
aktivitas listrik sama dalam keadaan bangun dan aktif disertai gerakan mata
yang cepat. Jantung, tekanan darah dan pernafasan turun naik, aliran darah
keotak bertambah, penis mengeras, terjadi mimpi. Tidur normal adalah : 6-8 jam
dimulai tidur tenang selama 1 jam. Contoh obat-obatnya yaitu barbitalum,
Methaqualonum, pentobarbitalum, phenobarbitalum, dan nitrazepamum.
Turunan barbiturat merupakan sedative yang banyak digunakan secara luas
sebelum ditemukannya turuna Benzodiazepim. Turunan barbiturat bekerja
sebagai penekan pada aksis serebrospinal dan menekan aktifitas saraf, otot
rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan barbiturat dapat menghasilkan
derajat depresi yang berbeda yaitu sedasi, hipnotik atau anastesi, tergantung
pada struktur senyawa/ dosis dan cara pemberian.
Turunan barbiturat bekerja menekan transmisi sinoptik pada sistem pengaktivan
retikula diotak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel sehingga
mengurangi rangsang sel postsinapsis dan menyebabkan deaktivasi kortex
cerebial.
Berdasarkan masa kerjanya turunan barbiturat dibagi dalam 4 kelompok :
a. Turunan barbiturat dengan kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contoh : Barbital, mefobarbital, metabarbital
b. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh : Siklobarbital, heptabarbital, heksetal, Phenobarbital dan sekobarbital
(sekonal).
c. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (kurang dari 0,5 jam).
Contoh : Tiopental, tiamital.
Fenobarbital Na (Nembutal)
Fenobarbital Na adalah turunan barbiturate dengan masa kerja pendek,
digunakan sebgai hipnotik dan sedative diberikan secara oral atau intravena.
Kadar dalam darah tertinggi obat dicapai dalam satu jam setelah pemberian obat
dengan waktu paruh plasma 15-48 jam.
(Widodo, 1993)
Pemberian obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan
oleh klien, obat diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan dipipi
bagian dalam (buccal) serta ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat
secara oral juga dapat dilakukan melalui selang nasogastrik (NGT).
Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan
paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan
dengan efek samping yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan
cara pemberian yang lain.
Bila klien dilakukan gastricsuction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas
lambung, pemberian obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang
lain. Namun, beberapa dokter kadang tetap menginstruksikan pemberian obat
melalui NGT dengan menghentikan sementara proses bilas lambung, caranya
adalah dengan menutup selang NGT minimal selama 30 menit setelah diberikan
obat melalui NGT.
Pemberian obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau
infuse. Dapat diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC), intramuscular
(IM) / jaringan intralesional, intravena (IV) / sirkulasi intra-arterial, intraspinal
atau melalui ruang intra-artikular.(www.unsoed.ac.id)

Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup
setiap manusia yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari
mulai bagaimana obat itu diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi
dan akhirnya harus ada yang diekskresikan.

Absorpsi Obat Dalam Tubuh


Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,
menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses. Pada klinik pemberian obat
yang terpenting harus mencapai bioavaibilitas yang menggambarkan kecepatan
dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai
sirkulasi sistemik.
Hal ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang diabsorpsi
dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan
dimetabolisme oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada
lintasan pertamanya melalui organ- organ tersebut.
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat pada
pemberian oral, antara lain :
Faktor Obat
Sifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas terhadap enzim
pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus, dan bagaimana formulasi obat
seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/ bubuk dll.
Faktor Penderita
Bagaimana pH saluran cerna, fungsi empedu, kecepatan pengosongan lambung
dari mulai motilitas usus, adanya sisa makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik
sampai dengan stress yang dialami pasien.
Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
Adanya makanan, perubahan pH saluran cerna, perubahan motilitas saluran
cerna, perubahan perfusi saluran cerna atau adanya gangguan pada fungsi
normal mukosa usus.(nardinurses.files.wordpress.com)

V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- stopwatch
- alat suntik 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml

5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan


Penandaan Hewan
- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan
berpaut pada kawat kasa kandang
- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya
Persiapan Hewan
- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut
pada kawat kasa kandang
- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri
- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu
dapat dipegang dengan sempurna
- mencit siap untuk disuntik
Cara Pemberian Obat
Intraperitoneal
Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
- diamati efek yang terjadi
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-
lahan
- diamati efek obat yang terjadi
Peroral
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit
- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan
langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus
- Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet


Mencit 1. Penandaan Hewan

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa dari kandang
Ditandai ekornya dengan spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
Hasil

2. Persiapan Hewan
Mencit

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa di kandang
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit
dapat dipegang dengan sempurna
Hasil

3. Cara Pemberian Obat


a. Per Oral

Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan
dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
b. Intra Peritoneal
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik Percobaan dan Pembhasan
6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 22,7 g
Mencit II (intraperitonial)
berat badan = 20,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III (intraperitonial)
berat badan = 19,0 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit IV
berat badan = 20,6 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V (oral)
berat badan = 20,8 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

6.2. Data Percobaan


No.
PERLAKUAN
WAKTU (MENIT)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1.
Kontrol aquadest 1%, intraperitonial
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
2.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, Intraperitonial
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
3.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, Intraperitonial
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.3
1.2
1.2
4.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, oral
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
5.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, oral
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.3

Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur

6.3. Grafik Percobaan

6.4. Pembahasan
Pada hasil percobaan, yaitu pada mencit II dengan dosis 80 mg/kgBB dan mencit
III dengan dosis 90 mg/kgBB, didapatkan bahwa efek yang lebih dahulu timbul
terdapat pada mencit yang diberi dosis lebih kecil. Hal ini mungkin terdapatnya
variasi biologis pada tiap individu.
Akibat faktor individual itu, efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang dapat
memberikan respons yang berlainan terhadap suatu obat sesuai kepekaannya
masing-masing. Perbedaan respons ini bisa besar sekali, karena untuk setiap
obat selalu ada orang yang rentan dan dengan dosis rendah sekali sudah dapat
memberikan efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang yang hanya memberikan
efek dalam dosis yang amat tinggi. Inilah sebabnya mengapa dosis obat yang
diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh pada
pasien lain, yang mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk memberikan efek
yang sama. Dalam keadaan penting hendaknya pasien diukur kadar obat dalam
darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai takaran yang optimal.
( Tjay, 2003)

VII. Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan
- Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan
penyuntikan hewan percobaan tersebut.
- Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai
ekor mencit dengan spidol permanent.
- Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit
memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral.
- Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan
dengan pemberian oral.
- Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal,
reaktif, gerak lambat dan bahkan tidur.

7.2. Saran
- Hendaknya dilakukan percobaan pada rute pemberian yang lain, misalnya
intravena.
- Hendaknya praktikan hati-hati dalam menjaga mencit percobaan karena
harganya mahal.
Daftar Pustaka

Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :


11-14
Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth Edition,
Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya,
Hal :10-11.
Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI.
Cetakan I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10
Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka
Widyasarana: Medan Hal 6
nardinurses.files.wordpress.com
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPerco"aan.pdf
/16_ PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
www.unsoed.ac.id

PENGARUH VARI SI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT DAN PENG RUH JENIS
KELAMIN TERHADAP DOSIS OBAT

I. Pendahuluan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enz matik sehingga mengHasilkan lebIh dari 3atu metabolit.
JuMlah17metabolit ditentukan oleh kadar dan17aktivitas enzim y`nf berperan p
da proses metabolisme. Keepatan metaboliSme dapat menentUkan intensitas dan
memperpanjang kerjA obat. Kecepatan metaboLisme ini kemungki.an berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
menin'katkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkina.
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat
menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik
atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme
dan faktor-faktor lain.
(Siswandono, 1995)

II. Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan .
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda
pada tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi jenis
kelamin yang mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.

IV. Tinjauan Pustaka


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metaboloit
ditentukan oleh kadar dan aktivutas enzim yang berperan pada proses
metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan
memeperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat
menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik
atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme
dan faktor-faktor lain.
Faktor Genetik atau Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme
obat.
Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui
n-asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada
perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo
merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah
asetilator lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara
45-80 menit, dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit.
Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim
N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang
jauh lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid
sangat tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid
cepat diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat
mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih
besar. Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak
dikehendaki lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan
Dapson juga menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik
juga berpengaruh ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan
nortriptilin.

Perbedaan Spesies dan Galur


Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan
yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak
dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif. Contoh : Fenilasetat, pada
manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine, sedang pada kelinci dan tikus
terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek diekskresikan sebagai
asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan sebagai asam hipurat.
Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami deaminasi oksidatif,
sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol, pada kucing
terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam
glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil
transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan
S(-)-orto-hidroksifenitoin.
Perbedaan Jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin
terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan
kecepatan yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina
dewasa ternyata memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih
rendah dibanding tikus jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi
heksobarbital, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa
selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme juga tergantung pada macam
substrat.
Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat. Contoh : nikotin dan
asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.
Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat :
Heksobarbital, bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg
berat badan, menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian
dengan dosis yang sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang
dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh
enam jam, sedang pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan
kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol,
pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu.
Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah
yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah,
akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang
tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase
dalam jumlah yang relative sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol,
dan klorpromazin dapat menimbulkan neonatal hyperbilirubinemia (kern
ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara
bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obat-obat
di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan
menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Penghambatan enzim Metabolisme
Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu
senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas. Contoh : Dikumarol, kloramfenikol,
sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat menghambat enzim-enzim yang
memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan kenaikan
respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat menghambat enzim
metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino salisilat,
sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula
toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat
metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya
(hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.
Induksi enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau sacara bersamA-sama suapu
senYawa oba4 dapap me*ingkatkan aktivitas adau jumlah enzim met`bolisme
dan bukan karena perubahan permeabili4as mikrosom atau oleh adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau
prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar
obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa
kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim
mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek
antikoagulannya. Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan
akan diberi fenobarbital, maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar).
Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang
dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga
meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin,
dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok = 4,1 jam, sedang
pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam. Fenobarbital, dapat meningkatkan
metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin,
asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan
kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral.
Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi
enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom
P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen, sehingga
pembentukan metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek
hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar.

Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet
makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan,
dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.
(Siswandono, 1995)
Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat
Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons
suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk
suatu obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu
obat yang sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan.
Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau
respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar
pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik
dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-
reaksi alergik.
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan
akan menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada
mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai
akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu
keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat.
Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan
terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam
ondividu seorang pasien pada waktu yang berbeda.
A. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang
relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.
B. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen
Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap
antagonis-antagonis farmakologik.
C. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor
Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan
dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan
atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan efisiensi
mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam beberapa
hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.
D. Perubahan-Perubahn dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari
Reseptor
Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkna mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara
10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap
obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat
dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu
(misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan
dengan demikian mengurangi respons penderita.
( Tanu, 2007;hal 828-829 )
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu
sebuah pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek
yang diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak
diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena
pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat
dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.
Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting
seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis
muatan yang diikuti dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal
oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis selanjutnya dengan tujuan mencapai
kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat.
Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang
mempertahankan konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang
terapeutik.
Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang
mempengaruhi onset of action dan duration of action kerja obat. Onset of action
adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-
obatan yang diberikan secara intravena secara umum mempunyai onset of action
yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena obat-obatan
harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah
lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik (James Olson, M.D., 1993)
Pemberian obat untuk mengobati flu dan batuk pada anak-anak di bawah umur 2
tahun sebaiknya dihindari karena berisiko. INI merupakan peringatan terkini
yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug
Administration/FDA) Amerika Serikat.FDA mengingatkan agar menghindari
pemberian obat antibatuk dan flu pada anak-anak yang usianya di bawah dua
tahun. Pasalnya, pemberian obat tersebut terhadap anak-anak di bawah dua
tahun dinilai sangat berisiko. FDA mengindikasikan pemberian obat bisa
mengakibatkan risiko fatal,mulai jantung berdebar-debar, kejang-kejang, hingga
pada risiko kematian. ''Kami mengeluarkan peringatan keras agar menghindari
pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak di bawah dua tahun.
Sebab, pemberian obat mengakibatkan risiko serius dan berpotensi mengancam
keselamatan anak-anak serta menimbulkan efek yang tak disangkasangka," jelas
Ketua FDA Dr Charles Ganley kepada Reuters. Ganley menegaskan bahwa obat-
obat tersebut ''tidak aman dan tidak efektif bagi anak-anak di bawah dua tahun".
Sebab, obat-obatan tersebut hanya menghilangkan gejala-gejala batuk dan flu
pada anak, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya. Obat antibatuk dan flu
selama beberapa dekade ini sudah banyak dijual bebas di pasar.Namun,FDA tak
merekomendasikan perusahaan obat-obatan untuk mencegah pemberian
terhadap anakanak. Sejauh ini, belum diperoleh data konkret soal penggunaan
obat-obatan itu kepada anak-anak. ''Metabolisme dan reaksi tubuh anak-anak
terhadap obat-obatan berbeda dengan orang dewasa. Jadi, sebaiknya kita
mengantisipasinya sebelum menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan," demikian
keterangan resmi American Academy of Pediatrics, untuk mendukung peringatan
FDA. Sejauh ini, FDA tak pernah menyarankan untuk memberikan berbagai obat-
obatan pada anakanak di bawah dua tahun.Tahun lalu, FDA melarang pemberian
berbagai jenis obat-obatan kepada anak-anak di bawah dua tahun jika tak ada
rekomendasi secara detail dari dokter. Peringatan keras FDA ini menimbulkan
kontroversi yang hebat di masyarakat AS. Perusahaan obat-obatan di negeri
Paman Sam pun memprotes larangan tersebut. Apalagi FDA pada Oktober 2007
sempat menarik 14 jenis obat bagi anak-anak dari pasaran. Perusahaan obat-
obatan menyatakan produk yang dijual ke masyarakat aman bagi anak-anak di
bawah dua tahun. Asalkan penggunaannya sesuai petunjuk yang disarankan,
misalnya takaran dosis yang tepat, dengan menggunakan ukuran sendok makan.
Selain itu, orangtua disarankan memeriksa daftar zat yang terkandung dalam
obat tersebut agar tak memberikan lebih dari satu jenis obat kepada anaknya.
Sebab, dalam beberapa kasus sering ditemukan anak-anak mengalami overdosis
atau salah obat karena orangtuanya tak mengetahui jenis zat yang terkandung di
dalam obat tersebut. Meski sudah memberikan peringatan keras terhadap
pemberian dua jenis obat tersebut pada anak di bawah dua tahun,FDA masih
mengevaluasi rencana penetapan pelarangan pemberian obat antibatuk dan flu
terhadap anak-anak berusia dua hingga 11 tahun.
Jika sama-sama menimbulkan efek negatif, pelarangan itu akan disahkan pada
musim panas tahun ini. ''Sebab,berdasarkan hasil penelitian lanjutan, obat
antibatuk dan flu juga tak efektif pada anak-anak di bawah enam tahun. Bahkan,
berisiko menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan mereka," tutur American
Academy of Pediatrics dalam pernyataan tertulisnya. Namun, sikap FDA yang
masih memberikan toleransi pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-
anak yang berusia di bawah enam tahun ini dikritik Presiden National Research
Center for Women & Families Diana Zuckerman. Padahal, berdasarkan
penelitian,para ilmuwan sudah jelas mengatakan bahwa efek negatif yang
ditimbulkan sama berbahaya.
(http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0)
Banyak obat-obatan ternyata tidak direkomendasikan bagi anak-anak. Kini Uni
Eropa menetapkan kewajiban ujicoba susulan terhadap obat-obatan yang juga
dapat dikonsumsi anak-anak. Anak-anak sangat rentan terhadap serangan
penyakit.
Di Eropa yang tergolong ketat aturan kesehatan dan pengawasan obat-
obatannya, banyak yang terkejut ketika membaca petunjuk di kemasan obat.
Sebagian besar obat-obatan yang dijual bebas maupun yang harus dengan resep
dokter, ternyata mencantumkan peringatan yang dicetak dengan huruf kecil :
"tidak disarankan penggunaannya bagi anak-anak, karena belum dilakukan
penelitian". Banyak obat-obatan yang bahkan tidak diizinkan untuk anak-anak.
Karena itulah, mulai Januari tahun 2007 ini Uni Eropa menetapkan peraturan
obat-obatan yang lebih ketat lagi. Semua perusahaan farmasi diwajibkan
mengujicoba obat yang dipasarkannya juga menyangkut dampaknya untuk anak-
anak.
Berdasarkan aturan baru Uni Eropa, semua vaksin untuk imunisasi, harus
diujicoba pada anak-anak, sebelum diizinkan dipasarkan. Tapi, jika berbicara
mengenai obat-obatan untuk bayi yang dilahirkan prematur, atau yang harus
dirawat secara intensiv dan anak-anak penderita kanker, situasinya amat jauh
berbeda. Lebih dari 90 persen obat-obatan yang digunakan, sebetulnya tidak
boleh diberikan kepada anak-anak. Masalahnya, mengujicoba obat-obatan pada
anak-anak, agar mendapat izin pemasaran, amatlah sulit dan mahal.
Dr. Siegfried Throm dari perhimpunan peneliti dari produsen obat-obatan
menjelaskan, obat-obatan untuk penyakit anak-anak yang umum, tidak
menimbulkan masalah. Untuk itu relatif gampang membuat ujicobanya. Dalam
arti, terdapat cukup banyak anak-anak yang menderita sakit, dan juga pasarnya
terbuka luas. Akan tetapi, untuk obat-obatan yang hanya diperlukan secara
insidental, masalahnya berbeda. Disini terdapat pertimbangan, biaya
pengembangan yang cukup tinggi, biasanya tidak bisa tertutup kembali dengan
penjualan obat-obatannya. Karena itu, dalam bidang ini hanya sedikit dilakukan
penelitian.
Dalam ujicoba terapi itu diteliti dengan kombinasi obat-obatan apa, kapan waktu
pemberiannya dan dalam dosis seberapa besar, anak-anak dapat diobati secara
lebih efektif. Dewasa ini sudah terdapat daftar dosis obat-obatan, yang
sebetulnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Akan tetapi hasil dari ujicoba
terapi semacam itu belum mencukupi, bagi pemberian izin penggunaan obat bagi
anak-anak secara umum. Penyebabnya, anak-anak tumbuh amat cepat, dan
perubahan fungsi organ tubuhnya juga amat luar biasa, misalnya hati. Karena
itu, obat-obatan harus diujicoba pada berbagai kelompok umur.
Dr. Dorothee Kieninger dari pusat ujicoba klinik di Universitas Mainz
menjelaskan ; "Pada bayi yang baru lahir, hati memiliki mekanisme dan fungsi
amat berbeda dengan anak usia enam tahun. Dan sampai umur 13 tahun
fungsinya terus berubah. Demikian juga fungsi ginjal terus berubah. Ginjal
memiliki fungsi menyaring racun dan membuang cairan. Fungsi ginjal pada anak-
anak, pada tiap kelompok umur perubahannya amat ekstrim. Demikian juga
perubahan pada organ tubuh lainnya."
Karenanya dosis obat-obatan harus akurat. Dan perubahan dosis tidak bisa
gampangan dikaitkan hanya dengan perbedaan berat badan anak, melainkan
tergantung dari bagaimana reaksi organ tubuh anak-anak terhadap obat,
pengolahannya dalam tubuh dan pembuangannya kembali. Metabolisme pada
bayi yang baru lahir, sangat berbeda dengan anak usia sekolah.
Undang-undang baru Uni Eropa mengenai standar obat-obatan, bertujuan agar
semakin banyak obat-obatan yang dapat diizinkan penggunaannya untuk anak-
anak. Akan tetapi hal itu ada gunanya jika obat-obatan itu juga ampuh untuk
anak-anak.
Obat-obatan baru harus diuji coba pada berbagai kelompok umur, yang menjadi
calon pengguna obat tsb. Tentu saja ujicoba akan dilakukan, jika obat baru tsb
sudah diujicoba pada orang dewasa dan mendapat izin pemasaran. Demikian
juga bagi obat-obatan yang sudah lama dipasarkan, hendak dilakukan ujicoba
susulan menyanmgkut dampaknya bagi anak-anak.
(http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 )
ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT.
Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode-
metode farmakokinetika dan klinik .Metode farmakokinetika mencoba
memperkirakan availabilitas fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di
dalam darah/urin atau metabolit-metabolit yang terbentuk, sedangkan metode
klinik didasarkan atas percobaan-percobaan klinik. Dalam hal ini diperlukan
variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek
obat, seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan
sebagainya. Selain kedua metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat
juga diperkirakan dari segi farmakologis seperti yang dilakukan oleh beberapa
peneliti2,3.
Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi
bioavailabilitas produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis
yang berupa signal-signal, dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam
fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain hasil interaksi antara zat aktif
dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas biofasik obat.
Dalam hal ini, kemungkinan me-
Lakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat
dikorelasikan antara dosis dan respons farmakologisnya.
Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya
mempunyai arti luas dan terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari
suatu produk obat. Estimasi dan penilaian bioavailabilitas obat.Dari segi klinik
meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak waktu, sedangkan secara
farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan mengukur
plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktifunchanged,atau kemungkinan lain
yaitu saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat.
Asalkan cara ini dapat didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan
hasil-hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian
availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari beberapa variabel farmakokinetika,
seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak.
(www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm)

V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat - alat
- Timbangan elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1 ml
- Stopwatch
- Alat suntik 1 ml
- Beaker glass 25 ml
5.1.2. Bahan bahan
- Mencit 6 ekor
- Phenobarbital-Na (Luminal-Na)
5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang, dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1 : berat badan 38,5 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 2 : berat badan 18,4 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3 : puasa berat badan 16,85 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 4 : tanpa puasa berat badan 18 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB
(oral)
- Mencit 5 : jantan berat badan 21,8 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 6 : betina berat badan 21,3 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90
menit.
4. Dibuat grafik jumlah respon vs waktu.
5.3. Flow Sheet
Untuk mencit III dan IV (per oral)
Mencit
Ditandai dan ditimbang
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan
dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil

Untuk mencit I,II,V dan VI (intra peritoneal)


Mencit
Ditandai dan ditimbang
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon vs waktu


Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan
6.1. Perhitungan Dosis
Dosis mencit I
Berat mencit : 38,5 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg/kg BB (i.p)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit II
Berat mencit : 18,4 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit III
Berat mencit : 16,85 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg/ kg BB (i.p)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg/ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit IV
Berat mencit : 18,0 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat


Dosis mencit V
Berat mencit : 21,8 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Syringe : 80 skala
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit VI
Berat mencit : 21,3 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Syringe : 80 skala
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat

6.2. Data
No
Perlakuan
Waktu pengamatan (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
BB =38,5 gr
I.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB
(i.p)

1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
2
BB = 18,4 gr
II. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
3
Puasa
III. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
4
Tidak Puasa
IV. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
5
Jantan
V. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.3
1.3
6
Betina
VI.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB(i.p)
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.4
Keterangan : 1.1 = Keadaan Normal 1.3 = Keadaan Gerak Lambat
1.2 = Keadaan Reaktif 1.4 = Keadaan Tidur

6.3. Grafik Percobaan


-----

6.4. Pembahasan
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain
mempengaruhi dosis yang harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat
tersebut. Mencit yang berat badannya lebih besar menimbulkan respon yang
lebih cepat dibandingkan mencit yang berat badannya lebih kecil, dimana pada
menit ke 20 mencit dengan berat badannya 38,5 g lebih dahulu memberikan
respon garuk-garuk dibandingkan mencit dengan berat badan 18,4 g. Ini
bertentangan dengan teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil
memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti
genetis, dan kondisi mencit saat percobaan.
Dalam percobaan didapatkan bahwa mencit yang tanpa puasa memberikan
respon yang lebih lambat daripada mencit yang dipuasakan, dimana mencit yang
dipuasakan lebih dulu memberikan respon garuk-garuk daripada mencit tanpa
puasa yaitu pada menit ke 30 sedangkan yang tanpa puasa pada menit ke 40.
Dari variasi jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jantan terlebih dahulu yang
memberikan respon yaitu pada menit ke 20 sudah mulai gerak lambat,
sedangkan pada betina dalam waktu yang sama masih reaktif.

VII. Kesimpulan Saran


1.1. Kesimpulan
- Variasi biologi akan mempengaruhi dosis obat yang harus diberikan
Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan
yang kecil membutuhkan dosis yang kecil pula.
Selain itu juga berhubungan dengan waktu pengosongan lambung, dimana tanpa
puasa peyerapan obat akan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak
puasa
- Variasi Jenis Kelamin
Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, di mana jantan
lebih cepat memberikan respon dari pada betina karena pengaruh hormon
androgen.
1.2. Saran
- Dalam menghitung dosis hendaknya dihitung dengan benar karena dapat
berpengaruh pada respon mencit.
- Agar praktikan diberikan bimbingan tentang cara pelaksanaan percobaan,
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam percobaan.
Daftar Pustaka
Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi ke-8,
Penerbit Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56.
Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second
Edition, Thieme Stuttgart: New York, Hal 76.
Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal
2 4.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya,
Hal : 156-159.
Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal
828-829.
http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0
http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8
www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm

DOSIS OBAT, RESPON DAN PENENTUAN INDEKS TERAPI

I. Pendahuluan
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan,
kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya
tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope
negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis
maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan
merupakan batas yang harus mutlak ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat
dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh
Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-
faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis
rata-rata yang biasanya lazim memberikan efek yang diinginkan (Tjay &
Rahardja, 2002).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan
dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam
arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi
median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah
dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah
dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan
dalam rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti
karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar
(Setiawati dkk, 2007)
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80
mg/kgBB, 160 mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan
dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial berdasarkan berat badan hewan
percobaan untuk mengetahui respon obat dengan pengamatan setiap interval
waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.

IV. Tinjauan Pustaka


Hubungan antara Dosis Obat dan Respons Klinis
Kita telah mengetahui reseptor sebagai molekul dan telah ditunjukkan
bagaimana reseptor dapat dihitung secara kuantitatif hubungan antara dosis atau
konsentrasi obat dan respon farmakologi, paling tidak pada system yang
diidealkan. Ketika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan perawatan,
presciber harus membuat suatu pilihan karena adanya variasi kemungkinan obat
dan memikirkan regimen pemberian yang disukai untuk mendapatkan
keuntungan yang maksimal dan efek toksik yang minimal. Dalam rangka
membuat keputusan terapeutik yang rasional, maka presciber harus memahami
bagaimana obat-reseptor berinteraksi yang mendasari hubungan dosis dengan
respons pada pasien, sifat alami dan penyebab variasi dalam kemampuan reaksi
farmakologisnya, dan implikasi klinis pada obat yang bekerja slektif (Katzung, 9th
Edition)
Graded Dose-Response Relations
Untuk memilih beberapa diantara obat dan untuk menentukan kesesuaian dosis
obat, presciber harus mengetahui potensi farmakologi relatif dan efikasi
maksimal obat-obat yang bersangkutan untuk medapatkan efek terapi yang
diinginkan. Berikut ini ada dua istilah penting yang sering membingungkan siswa
dan ahli medis dan dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Potensi
Obat A dan B dikatakan lebih poten daripada obat C dan D karena posisi yang
relatif pada kurva dosis respon sepanjang sumbu konsentrasi. Potensi
berhubungan dengan konsentrasi dosis (EC50) atau (ED50) obat yang
dibutuhkan untuk mendapatkan 50% dari efek maksimal obat. Disini potensi
farmakologi obat A lebih kecil daripada obat B, sebuah agonis parsial, karena
EC50 Obat A adalah lebih besar daripada EC50 obat B. Potensi suatu obat
tergantung pada afinitas (KD) pada reseptor untuk berikatan dengan obat pada
bagian yang efisiensi dan yang membentuk reaksi obat-reseptor yang bergabung
untuk memberikan respon. Sebagai catatan bahwa pada beberapa dosis A dapat
menghasilkan efek yang lebih besar daripada obat B, walaupun pada
kenyataannya kita gambarkan obat B secara farmakologi lebih poten. Alasan
mengapa obat A mempunyai efikasi maksimal yang lebih besar, diterangkan
sebagai berikut (Katzung, 9th Edition).
Untuk penggunaan klinis, adalah hal yang penting membedakan antara potensi
dan efikasi suatu obat. Keefektivan klinis suatu obat tidak tergantung pada
potensinya(EC50), tetapi tergantung pada efikasi maksimal dan juga tergantung
kemampuan suatu obat untuk mencari reseptor yang relevan. Kemampuan ini
dapat tergantung pada rute pemberian, absorbsi, distribusi dalam tubuh dan
kliren dari arah atau juga reseptor. Untuk memilih dua obat yang akan diberikan
pada pasien, presciber harus lebih mempertimbangkan efektivitas relatif daripada
potensi relatifnya. Potensi farmakologi secara umum dapat ditentukan dengan
cara pengaturan dosis dan pemilihan obatnya (Katzung, 9th Edition).
Efikasi Maksimal
Parameter in mencerminkan batasan hubungan dosis-respon pada sumbu respon.
Obat A,C, dan D pada gambar di atas tadi mempunyai efikasi maksimal yang
sama, semuanya mempunyai edikasi yang lebih besaR daripa`a obat B.
Shape of Dose-Response Curves
RespoN yang digamBarkan pad! kurva A, B, dan C mendekati bentuk
persaMaan34Michaelis-Menten (ditrn3f/rmasi menjadi benTuk plot logaritma(,
beberapa respon34khinis tidak adA. Kurva dosis respon qaNg pal)nc CuRam
(missaL kurv! D)muNgKin me punyaI konsakue.si klInis y!ng Pe,ting *i
a bagIan Atas man$atangIan suatu respon yang tidak diinginkan34(ioma,
diSeBaBk!n oleh suAtu sedative-hipnoti`). KurvA dosis respOn yan' curam
didapatkan34darI kerjasama Interaksi beberapa akasi yang berbeda $ari
suatu34obat (mis3al, eFek pada otak, jantung, perifer vessels, semua
berkontribusi untuk menurunkan tekanan darah) (Katzung, 9th Edition).
Quantal Dose-Effect Curves
Graded dose-response curves pada gambaran kecil di atas tentu mempunyai
batasan pada aplikasi klinisnya bagi yang mebuat keputusan. Sebagai contoh,
beberapa kurva menjadi tidak mungkin untuk digambarkan jika respon
farmakologi adalah lain, (quantal) terjadi, seperti pada pencegahan konvulsi,
aritmia, atau kematian. Lagipula relevansi klinis hubungan kuantiatif dosis-respon
pada seorang pasien.
Gambar Quantal dose-effect plots
Bentuk kotak (yang terdapat dalam kurva) menunjukkan frequensi distribusi obat
yang dibutuhkan umtuk mengahasilkan efek spesifik (Katzung, 9th Edition).
Kurva dosis-efek kuantal sering ditandai oleh pernyataan Median Efektif Dosis
(ED50), dosis dimana 50% pada individu menunjukkan efek spesifik kuantal.
Dengan cara yang sama, dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik
pada 50% binatang disebut dengan median toksik dosis (TD50), jika efek toksik
mematikan binatang , maka median Letal dosis (LD50), akan didapatkan secara
eksperimental (Katzung, 9th Edition).
Kurva dosis-efek kuantal mungkin juga digunakan untuk memperbaharui
keamanan marginal menjadi seperti yang diharapkan dari suatu bagian obat
untuk menhasilkan sebuah efek yang spesifik. Suatu ukuran, yang
menghubungkan dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang
diinginkan untunk yang demikian menghasilkan efek yang tidak diinginkan, itu
adalah indeks terapi (Katzung, 9th Edition).

Hubungan Dosis Respon


Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan
dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam
arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Hubungan dosis-efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitvitas individu
yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan
efek yang sama kemungkinan dibutuhkan dosis yang berbeda pada individu yang
bebeda. Variasi individu dalam sensitivitas secara khusus mempunyai efek
semua atau tak satupun sama (Lullmann, 2000).
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitivitas pada individu
sebagai suatu rumusan yang ditunjukkan pada suatu log distribusi normal. Jika
frekuensi kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis
pemberian) diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid.
Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh
kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan
dosis-frekuensi mencerminkan variasi sensitivitas pada individu terhadap suatu
obat (Lullmann, 2000).
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subjek manusia dapat
ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang
berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukuran telah membawa pada
suatu sampel yang representatip dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan
memungkinkan dosis terapi akan menjadi seseuai pada kebanyakan pasien
(Lullmann, 2000).
Range Terapi (Therapetic Range)
Dimanapun, pemonitoran terapi obat yang dilakukan, suatau range terapi
biasanya digunakan untuk memandu mendapatkan konsentrasi optimum.
Batasan range ini bukanlah suatu nilai yang mutlak. Beberapa pasien mungkin
memberikan respon di atas atau di bawah range ini, sedangkan pada ynag lain
mungkin akan mengalami efek toksik di dalam range terapi ini. Range ini
hanyalah sebagai bantuan dalam penentuan dosis, yang selalu dipandang dari
sudut tanggapan klinis (Roger Walker, 2003).
Perhitungan Dosis Respon
Reseptor Obat
Suatu reseptor adalah suatu makromolekul target khusus, berada pada
permukaan sel atau intraselular, yang mengikat suatu obat dan menimmbulkan
kerja farmakologiknya. Obat-bat bisa berinteraksi dengan enzim-enzim (misalnya
hamabatan enzim dihidrofolat reduktase oleh trimetoprim, hal 296), asam
nukleat (misalnya, perubahan permeabilitas membrane asetilkolin). Dalam tiap
kasus, pembaentukan kompleks obat reseptor menghasilkan suatu respon
biologik dan besarnya respon adalah proporsional dengan jumlah kompleks obat
reseptor :
Obat + Reseptor Kompleks Obat-reseptor Efek
Konsep ini sangat mirip dengan pembentukan kompleks antara enzim dan
substrat atau antigen antibodi: interaksi ini mempunyai banyak persamaan,
mungkin paling penting adalah spesifisitas. Tetapi, reseptor tersebut tidak
mempunyai kemampuan untuk mengundang suatu ligand (obat) tetapi juga
dapat merangkaikan atau mengubah ikatan ini menjadi suatu respons dengan
cara menyebabkan suatu perubahan konformasional atau suatu efek biokimia
(Mary J. Mycek, 2001).
Kurva Respons-Dosis Bertingkat
Suatu agonis didefisikan sebagai suatu obat yang dapat mengikat suatu reseptor
dan menimbulkan respons. Besarnya efek obat tersebut tergantung pada
konsentrasinya pada tempat reseptor yang ditentukan oleh dosis obat yang
diberikan dan oleh factor-faktor khusus dari obat tersebut, seperti kecepatan
absorbsi distribusi dan metabolisme. Efek dari suatu obat paling mudah dianalisis
dengan membuat grafik besarnya respons versus log dosis obat tersebut,
sehingga didapatkan suatu kurva respon dosis bertingkat.
1. Efikasi : Efikasi yaitu respon maksimal yang dihasilkan oleh suatu obat. Efikasi
tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi
reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja selular.
2. Potensi : Potensi, juga disebut konsentrasi dosis efektif yaitu suatu ukuran
banyak obat dibutuhkan untuk menghasilakan suatu respons tertentu. Makin
rendah dosis dibutuhkan untuk suatu respons yang diberikan, makin poten obat
tersebut.
3. Slove kurva dosis-respons : slope daripada bagian tengah suatu kurva dosis-
respons bervariasi dari satu obat dengan obat yang lainnya. Suatu slope yang
curang menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan
suatu perubahan besar dalam respons (Mary J. Mycek, 2001).
Antagonis yang Reversibel
1. Kompetitif : obat-obat ini berinteraksi dengan reseptor pada temapt yang
sama dengan agonis. Suatu antgonis kompetitif menggeserkan kurva dosis-
respons ke kanan yang menyebabkan obat tersebut berlaku seakan-akan kurang
poten.
2. Non-Kompetitif : obat-obat in bisa mencegah pengikatan agonis mengaktifkan
reseptor. Suatu antagonis non-kompetitif mengurangi respons maksimal dan
analog dengan suatu inhibitor non-kompetitif untuk reaksi yang dikatalisis enzim.
3. Agonis Partial : Agonis-agonis partial memblokir tempat pengikatan agonis,
tetapi menybabkan respons yang lebih kecil daripada suatu agonis penuh (full
agonist). Suatu agonis parsial bisa mempunyai afinitas pada reseptor yang lebih
besar, lebih kecil atau sama dengan afinitas agonis (Mary J. Mycek, 2001).
Indeks Terapeutik
Indeks terpeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas
dengan dosis yang menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan
secara klinik dalam suatu populasi individu.
Indeks Terapi = dosis toksik/ dosis efektif
Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai
yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas/ lebar diantara
dosis-dosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksisk (Mary J. Mycek, 2001).
Penentuan Indeks Terapeutik
Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frkuensi respons yang diinginkan
dan respons toksik pada berbagai dosis obat (Mary J. Mycek, 2001).
Uji ketoksikan akut. Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik sesuatu
senyawa (misal zat tambahan makanan) yang akan terjadi dalam waktu singkat
setelah pemejanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Satu uji ini
dikerjakan dengan cara memberi dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji
(sekurang-kurangnya 2 jenis hewan uji roden dan nirroden, jantan maupun
betina). Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis,
berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh
hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau
hampir seluruh hewan uji. Senyawa ini diberikan melalui jalur yang akan
digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani
dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24jam, kecuali
pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Dan pengamatan tersebut meliputi : (1)
gejala klinis, (2) jumlah hewan yang mati, dan (3) histopatologi organ (Imono,
2001).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini ialah LD50 sedang
data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa
uji. Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk potensi ketoksikan akut
senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat digunakan untuk
memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Imono, 2001)
Analisa tentang kaitan dosis dan efek antihipertensi dari 4 jenis ARB diperoleh
dari evaluasi FDA terhadap losartan, valsartan, irbesartan, dan candesartan.
Semuanya merupakan studi RCT. Semua studi memiliki populasi pasien yang
mirip (pria maupun wanita dewasa dengan hipertensi diastolik primer skala
ringansedang, dan DBP tipikal 95-114 mmHg) (http://www.majalah-
farmacia.com).
Semua studi memiliki desain awal single- blind placebo diikuti sedikitnya 4
minggu terapi double-blind. Studi yang terseleksi dimasukkan dalam metaanalisis
untuk melihat kaitan antara respon dan dosis masing-masing obat. Hubungan
antara respon-dosis dinilai dengan mencocokkan pengaturan plasebo, rata-rata
penurunan DBP masing-masing obat hingga nilai Emax (http://www.majalah-
farmacia.com).
Masuk akal kenapa digunakan kurva Emax untuk menilai kaitan antara dosis dan
respon obat yang sebenarnya. Model ini menganggap presisi lebih rendah
daripada optimal dalam menentukan efek masing-masing obat. Selain itu
menerapkan berat untuk jumlah pasien yang diberi masing-masing dosis. Ada
alternatif model selain Emax namun lebih kompleks dan memasukkan lebih
banyak parameter. Model Emax yang digunakan dalam analisis ini adalah : Effect
= E0 + Emax x Dosis/(ED50 + dosis). Di mana Emax secara teori adalah efek
maksimal yang bisa didapat dengan dosis besar tak terbatas. ED50 adalah dosis
yang dibutuhkan untuk mencapai setengah efek maksimal, E0 adalah kondisi
yang merepresentaskan efek placebo (http://www.majalah-farmacia.com).
Setelah dianalisis, Emax (efek maksimal pada dosis tertinggi) dalam penurunan
DBP adalah 5,5 mmHg untuk losartan, 5,8 mmHg untuk valsartan, 6,9 mmHg
untuk irbesartan, dan 7,5 mmHg untuk candesartan. Kesimpulannya, peneliti
menunjukkan bahwa candesartan mengurangi tekanan darah sistolik lebih besar
secara signifikan dibandingkan valsartan. Hasil ini sama dengan studi head-to-
head sebelumnya yang membuktikan bahwa candesartan memiliki efek
antihipertensi paling tinggi dibandingkan losartan pada dosis yang
direkomendasikan. Perbedaan efikasi di antara ARB pada pasien hipertensi
menunjukkan pentingnya tekanan darah terkontrol (http://www.majalah-
farmacia.com).
Analisa studi ini menunjukkan ada perbedaan penting pada efikasi antihipertensi
pada dosis tertinggi yang direkomendasikan. Rata-rata perbedaan di antara obat
antihipertensi paling efektif (candesartan) dan paling lemah (losartan) dari ARB
yang diteliti adalah 2 mmHg untuk dosis 16 mg dan 100 mg. Selain itu, nilai
Emax yang sangat signifikan dari candesartan dibandingkan valsartan
mendukung kesimpulan bahwa ada perbedaan nyata dalam hal efek
antihipertensi di antara semua jenis ARB(http://www.majalah-farmacia.com).
Penurunan DBP sektar 5 mmHg dengan terapi antihipertensi menujukkan
penurunan penanda mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Penurunan terkecil
(misalnya 2 mmHg) juga akan memiliki dampak penting secara klinis dalam
terapi jangka panjang. Jadi perbedaan tekanan darah yang tidak terlalu besar
tetap berkaitan dengan perbedaan kejadian kardiovakular yang signifikan pada
pasien risiko tinggi, seperti pasien diabetes dengan hipertensi
(http://www.majalah-farmacia.com).
Hasil analisis Emfelt berada dalam satu jalur dengan beberapa studi head-tohead
yang membandingkan efek candesartan dan losartan terhadap tekanan darah,
yang secara superioritas candesartan terlihat amat signifikan. Dibandingkan
dengan studi silang yang lebih kecil, hasilnya juga sejalan, di mana candesartan
mengurangi tekanan darah lebih efektif dibandingkan losartan maupun valsartan
(http://www.majalah-farmacia.com).
Hanya ada satu studi yang langsung membandingkan losartan dan candesartan
yang tidak bisa menunjukkan perbedaan efek candesartan lebih signifikan dalam
menekan tekanan darah. Bahkan, penelitian Colin dkk tidak menemukan
perbedaan efek antara beberapa ARB. Ini juga harus diberi catatan bahwa
metaanalisis mereka hanya berdasarkan studi-studi yang dipublikasikan sebelum
waktu yang seharusnya. Dan memang hanya sedikit studi head-to-head yang
membandingkan beberapa jenis ARB. Termasuk belum pernah dilakukan studi
head-to-head antara candesartan dan irbesartan. (http://www.majalah-
farmacia.com).
Berdasarkan hasil berbandingan headto- head antara candesartan dan losartan,
maka dapat disimpulkan bahwa efek antihipertensi candesartan lebih superior
daripada losartan, pada dosis yang direkomendasikan. Penjelasan yang paling
sering dikemukakan terhadap perbedaan Emax dalam studi ini adalah secara
statistk tidak signifikan serta jumlah studi dan pasien yang terbatas, termasuk
dalam studi yang menilai kaitan antara dosis dan respon untuk losartan.
Faktanya, perbedaan rata-rata Emax antara candesartan dan losartan adalah 2
mmHg, lebih baik pada candesartan. Artinya candesartan memiliki efek
antihipertensi yang superior (http://www.majalah-farmacia.com).
Analisis ini akhirnya bisa menunjukkan kaitan antara dosis dan respon di antara
beberapa jenis antihipertensi ARB. Sangat mungkin bahwa kaitan antara dosis
dan efek lain juga berbeda. Misalnya, dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis
optimal dilihat dari sudut pandang penurunan tekanan darah , mungkin akan
lebib bermanfaat daripada sekadar menurunkan tekanan darah. Milsanya
terhadap proteksi ginjal untuk menurunkan proteinuria (http://www.majalah-
farmacia.com).
Sebagai kesimpulan, penelitian Emfelt yang memsukkan nilai Emax menunjukkan
candesartan bisa mengurangi tekanan darah diastolik secara signifikan
dibandingkan valsartan. Beberapa perbandingan head-to-head membuktikan
candesartan memiliki efek antihipertensi lebih superior dibandingkan losartan
pada dosis yang direkomendasikan. Jadi benar bahwa perbedaan efikasi di antara
semua jenis ARB memang ada. Observasi ini hendaknya diterapkan dalam
pemilihan ARB ketika menangani pasien hipertensi, dengan menekankan
pentingnya control tekanan darah dengan baik (http://www.majalah-
farmacia.com).
INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPI
Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata,
yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping
minimal. Bila dosis rata-rata itu tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah
menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan segera
menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok' bagi penderita, tanpa
perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberikan itu memang sudah sesuai
dengan kebutuhan penderita (http://www.kalbe.co.id).
Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk.
memperlihatkan bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam
kecepatan metabolisme obat.. Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukan ada
perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar "steady state" desmetil
imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu. Perbedaan individuil kadar
obat dalam keadaan "steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah
dalam penentuan besar dosis bila Therapeutic window dari obat yang
bersangkutan cukup besar. Tetapi bila "therapeutic window" suatu obat sempit,
individualisasi dosis menjadi penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja
(dalam mg/kgBB) sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam respons.
Individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur,
sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang
sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya
karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek
akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat
dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah
(http://www.kalbe.co.id).
Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat
bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang kecepatan
metabolismenya berbeda nyata secara individual, mempunyai "therapeutic
window" yang sempit, efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur
gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat dan kecepatan
metabolisme mudah jenuh (http://www.kalbe.co.id).
Takaran obat resep harus cukup tinggi untuk menyerang penyakit yang
bersangkutan, tetapi cukup rendah agar menghindari munculnya efek samping
yang berat. Obat lain, baik non-resep atau narkoba, jamu, atau bahkan makanan
kadang kala mengakibatkan perubahan besar pada jumlah suatu obat dalam
aliran darah kita. Hal ini diketahui sebagai interaksi obat. Interaksi obat adalah
masalah yang penting karena tingkat obat yang terlalu tinggi dalam aliran darah
dapat mengakibatkan efek samping yang berat. Sebaliknya tingkat obat yang
terlalu rendah dapat berarti obat tersebut tidak berhasil
(http://www.spiritia.or.id).
Tubuh kita mengenal obat sebagai zat asing. Jadi obat diuraikan oleh tubuh,
biasanya sebagai air seni atau kotoran (tinja). Banyak obat dikeluarkan tanpa
perubahan oleh ginjal dalam air seni. Obat lain harus diuraikan oleh hati kita.
Enzim di hati mengubah molekul obat, yang kemudian dikeluarkan dalam air seni
atau tinja.Waktu kita meminum pil, obat jalan dari perut ke usus dan kemudian
masuk hati sebelum mengalir ke bagian tubuh yang lain. Jika obat mudah
diuraikan oleh hati, hanya sedikit obat sampai ke tubuh
(http://www.spiritia.or.id).
Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat
memperlambat atau mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan
perubahan besar pada tingkat obat lain dalam aliran darah, jika obat tersebut
diuraikan oleh enzim yang sama.Beberapa obat memperlambat proses ginjal. Ini
meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal
(http://www.spiritia.or.id).
Pil apa pun yang kita minum melalui perut kita, lalu diserap dan masuk ke aliran
darah. Kebanyakan obat diserap lebih cepat jika perutnya kosong. Penyerapan
lebih cepat adalah baik untuk beberapa obat, tetapi juga dapat mengakibatkan
efek samping yang lebih berat. Beberapa obat harus dipakai dengan makanan
agar diuraikan lebih lambat atau untuk mengurangi efek samping. Beberapa obat
lain melarutkan dalam lemak, sehingga diserap lebih cepat. Oleh karena ini, ada
obat yang harus dipakai dengan makanan berlemak agar cukup diserap. Namun
hal ini juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat, misalnya untuk
efavirenz (http://www.spiritia.or.id).
Asam perut menguraikan beberapa obat, termasuk ddI. Tablet ddI asli termasuk
dapar atau buffer bahan antiasam yang melindungi obat tersebut dari asam
perut. Namun dapar tersebut mengganggu penyerapan indinavir, jadi ddI tidak
boleh dipakai sekaligus dengan indinavir. Versi ddI baru (EC) lebih mudah dipakai
(http://www.spiritia.or.id).
Perempuan yang memakai pil KB sebaiknya bicara dengan dokter tentang
interaksi obat. Beberapa ARV dapat menurunkan tingkat obat KB ini, dan
menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan (http://www.spiritia.or.id).
V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- syringe 1 ml
- spidol permanent
- tinabangan elektrik
- stopwatch
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%
- luminal Na 2%
5.2. Prosedur Percobaan
1. Ditimbang hewan dan ditandai
2. Dihitung dosis dan diberikan :
1. pada mencit I, Luminal Na 0,7%, dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial,
2. pada mencit II, Luminal Na 0,7%, dosis 80 mg/kgBB secara intraperitonial,
3. pada mencit III, Luminal Na 0,7%, dosis 160 mg/kgBB secara intraperitonial,
4. pada mencit IV, Luminal Na 0,7%, dosis 320 mg/kgBB secara intraperitonial,
5. pada mencit V, Luminal Na 2%, dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial
3. Diamati (menit ke berapa memberikan respon)
4. Dihitung LD50 dan Indeks terapi.

5.3. Flowsheet
Mencit I pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 40 mg/Kg BB
Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit II pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 80 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit III pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 160 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit IV pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 320 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit V pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 2 %, dosis 640 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan


6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 20,1 g
dosis Luminal Na = 40 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit II
berat badan = 18,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III
berat badan = 36,7 g
dosis Luminal Na = 160 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit IV
berat badan = 18,5 g
dosis Luminal Na = 320 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V
berat badan = 19,6 g
dosis Luminal Na = 640 mg/kgBB
konsentrasi = 2%

Perhitungan ED 50
Log ED 50 = a-b ( pi 0,5)
Dimana : a adalah log dosis terendah yang masih dapat memberikan respon
100% tiap kelompok.b a`ala` loaaritma dosis xaLg barurutan,
a 9 loe 40 = 1,602
b = log0 lgg40 = 0,301Pi = 1
og ED50 = 1,602 440,301(1-0,5)
= 1,4515
Maka ED 50 = 28,28 mg/kgBB

6.3. Grafik Percobaan


------------
6.4. Pembahasan

Pada percobaan ini konsentrasi Luminal Na yang diberikan pada mencit yaitu
0,7% diberikan pada mencit I sampai mencit yang ke IV dan konsentrasi 2%
diberikan pada mencit V, dengan variasi dosis dari mencit I-V secara berurutan
40, 80, 160, 320, dan 640 (mg/kgBB). Pada mencit V diberikan konsentrasi 2%
karena jika diberikan pada konsentrasi yang sama dengan yang lainnya akan
didapatkan volume sediaan yang cukup besar, sehingga tidak mungkin untuk
menginjeksikannya pada mencit yang ukuran badannya relatif kecil. Disini
memang kita melihat faktor konsentrasi tidak begitu menentukan respon obat.
Dalam diktat kuliah farmakokinetika (Azizah Nasution), disana terdapat bahwa
besarnya respon obat yang dihasilkan tergantung pada jumlah obat yang
berikatan dengan reseptor, dimana jumlah obat yang berikatan dengan reseptor
ini sebanding dengan jumlah obat bebas dalam plasma.
Penentuan respon dan penentuan indeks terapi Luminal Natrium 0,7% dan 2%
yang diujikan pada hewan mencit diperoleh dosis terendah yang memberikan
efek tidur ataupun gerak lambat yaitu 80 mg/kg BB, dosis ini digunakan untuk
menentukan ED 50. Pada peningkatan dosis 160 mg/kg BB dan 320 mg/kg BB
menunjukkan efek toksik yang dapat dilihat dengan depresi pernafasan dan
pingsannya beberapa ekor mencit. Dan peningkatan dosis yang dilakukan sampai
640 mg/kg BB memberikan efek letal pada 3 ekor mencit, dan pada 2 ekor yang
lain hanya smpai batas pingsan dalam rentang waktu 90 menit tersebut. Efek
suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang
diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan
dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam
arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2002) dalam buku Obat-Obat
Penting, senyawa turunan barbiturat seperti Luminal bila digunakan sebagai
sedativ-hipnotika memiliki range terapi yang relatif agak lebar (15-30) mg
memberi efek sedativ dan 100 mg atau lebih memberi efek hipnotik) walaupun
tidak seluas range terapi obat-obat bebas.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan dapat disebabkan oleh variasi biologis pada
mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan seperti kondisi stress, dan
prosedur pemberian Luminal yang menggunakan jarak dosis dengan logaritma
lebar (dosis 320 mg/kgBB telah menunjukkan efek toksik yang hebat, dimana
mencit mengalami depresi pernafasan berat (bernafas satu-satu) dan tidak
bereaksi sama sekali atas gangguan apapun). Kemungkinan, pada dosis 320
mg/kgBB mencit telah mengalami keadaan koma/vegetatif (entering a comatose
state), sehingga pemberian kelipatan log dosis berikutnya (640 mg/kgBB) adalah
terlalu lebar jaraknya dari dosis toksik.
Selain itu, menurut Bertram Katzung (2001) dalam buku Farmakologi Dasar dan
Klinis, penentuan indeks terapeutik tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan
100% dalam menentukan tingkat keamanan suatu obat yang digunakan, baik
dalam laboratorium ataupun secara klinis. Percobaan-percobaan obat sering
menunjukkan suatu rentang dosis obat yang biasanya efektif dengan suatu
(tetapi kadang-kadang tumpang tindih) dengan rentang lain dari dosis-dosis yang
mungkin toksik. Walaupun pernyataan ini lebih relevan pada manusia daripada
hewan, Katzung menekankan bahwa perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya variabilitas biologis, maka tidak tertutup kemungkinan kekurangtepatan
ini terjadi juga pada hewan, dalam hal ini mencit.

Daftar Pustaka

Imono, A.D., (2001), TOKSIKOLOGI DASAR, Universitas Gajah Mada: Yogyakarta


Halaman : 200-201.

Katzung,R-Bertram G., BASIC & CLINICAL PHARMACOLOGY, 9th Edition, Halaman


42-45 (Dalam bentuk Digital Text Book).

Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second


Edition, Thieme Stuttgart: New York, Hal 52.

Mycek, Mary J., (2001), FARMAKOLOGI ULASAN BERGAMBAR, Edisi 2, Widya


Medika: Jakarta, Halaman 21-23.

Walker, Roger & Clive Edwards, (2003), CLINICAL PHARMACY AND THREPEUTICS,
Third Edition, Churchill Livingstone: Edinburgh, Halaman 8.

http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.spiritia.or.id

ANTAGONIS OBAT

I. Pendahuluan
Reseptor muskarin berada di neuron postganglion dan dapat dalam minimal 3
subtipe, yakni resptor M1, M2 dan M3. Ketiga jenis reseptor ini bila dirangsang
memberikan efek yang berlainan. Dimana M1 pada neuron mengalami aktivasi
dan pada ganglion simpatis bila dirangsang akan terjadi pelepasan noradrenalin
lebih banyak. M2 pada miokard terjadi kontraksi yang makin besar dan pada
jaringan nodus bila distimulasi akan menyebabkan bradikardia. Pada M3 yang
terdapat pada kelenjar eksokrin terjadi penyaluran AV menjadi lebih kecil, pada
ileum terjadi sekresi dan pada pembuluh terjadi relaksasi langsung karena
kontraksi menyebabkan via endotel mengalami relaksasi (Tan Hoan Tjay, 2002).
Agonis reseptor muskarinik umumnya berbentuk suatau senyawa amonium
kuartener. Contohnya antara lain adalah pilokarpin, arekolin, dan karbakol;
mereka bersifat tidak selektif terhadap subtipe reseptor muskarinik. Senyawa-
senyawa tersebut tidak digunakan secara klinis, efeknya adalah salivasi
berlebihan dan berkeringat. Agonis lain, oksotremorin bahkan menyebabkan
tremor, sehingga digunakan dalam penelitian untuk membuat suatu model
penyakit parkinson. Agonis lain yang sedang dikembangkan adalah xanomelin
dan talsaklidin untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Diketahui, penyakit
Alzheimer ditandai dengan kemunduran kognisi dan memori yang disebabkan
karena defisiensi asetilkolin di otak. Karena itu, salah satu terapinya adalah
dengan mengaktifkan reseptor asetilkolin yang terkait (M1) dengan suatu agonis
(Z. Ikawati, 2006).
Obat atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor muskarinik yang
menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Atropine, alkaloid belladonna,
memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat
secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di
reseptor muskarinik. Atropine menyekat reseptor muskarinik baik di sentral
maupun di saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlansung sekitar 4 jam
kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-
hari
Atropine menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan
midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan
siklopegia (ketidakmampuan memfokus untuk untuk penghilatan dekat). Pada
pasien dengan glaukoma, tekanan intaokular akan meninggi secara
membahayakan. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat
menimbulkan midriasis dan siklopegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat
menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang
( Mary J.Mycek, 2001).

II. Tujuan Percobaan


- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan karena pemberian pilokarpin pada
kedua mata kelinci,
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan karena pemberian atropin kedua mata
kelinci setelah pemberian pilokarpin,
- Untuk mengetahui mekanisme kerja obat antagonis, dalam hal ini atropin-
pilokarpin,

III. Prinsip Percobaan


- Pilokarpin adalah obat kolinomimetik, yaitu mempunyai efek agonis pada
reseptor muskarinik. Didasarkan atas sifat antagonisme kompetitif yang bersifat
reversibel, dimana efek pilokarpin sebagai agonis dihambat oleh atropin sebagai
antagonis kompetitif sehingga menghambat efek obat yang terdapat pada
reseptor muskarinik.
- Pengamatan efek antagonisme dilakukan dengan mengukur diameter dari pupil
mata kelinci sebelum dan setelah pemberian pilokarpin dan dilanjutkan dengan
pemberian atropin. Sebelum pemberian pemberian obat diameter pupil kelinci
adalah normal dan akan memberikan respon terhadap cahaya. Setelah
pemberian pilokarpin akan menyebabkan pengecilan pupil (miosis) mata kelinci,
mengurangi respon terhadap cahaya, sedangkan pemberian atropin akan
menyebabkan pembesaran pupil mata (midriasis) mata kelinci dan mengurangi
respon terhadap cahaya.
IV. Tinjauan Pustaka
Antagonisme pada reseptor terjadi melalui system reseptor yang sama. Artinya
antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis ( receptor site atau active
site ) sehingga terjadi antagonisme antara agonis dan antagonisnya. Misalnya
efek histamine yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan
pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama (Zunilda SB, 1995).
Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat dan
reseptor. Agonis adalah obat yang bila menduduki reseptor menimbulkan efek
farmakologi secara instrinsik, sedangkan antagonis adalah obat yang menduduki
reseptor yang sama tetapi secara instrinsik tidak mampu menimbulkan efek
farmakologi. Jadi, antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan agonis nya
sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian juga disebut receptor
bocker tau blocker saja. Jadi bloker tidak berefek instrinsik karena efek yang
terlihat bukan efek langsung melainkan penghambatan efek agonis (Zunilda SB,
1995).
Pada antagonisme kompetitif, antagonis berikata dengan receptor sita secara
reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian
penghambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dapat dicapai efek maksimal. Jadi, diperlukan kadar agonis yang
lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis
terhadap reseptornya menurun (Zunilda SB, 1995).
Pada antagonisme nonkompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan
berkurang tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah (Zunilda SB,
1995).
Antagonisme nonkompetitif terjadi bila antagonis mengikat reseptor secara
ireversibel, di receptor site atau ditempat-tempat lain, sehingga menghalangi
ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis mengurangi
jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya sehingga efek
maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas
tidak berubah. Contohnya, fenoksibenzamin mengingikat reseptor adrenergik alfa
di reseptor site secara ireversibel (Zunilda SB, 1995).
Glaukoma
Glaukoma yaitu salah satu kelainan yang berhubungan dengan penglihatan yang
menyebabkan neuropathy optic yang ditandai oleh perubahan saraf optik (Optic
disk) yang dihubungkan dengan berkurangnya bidang sensitivitas penglihatan.
Peningkatan tekanan intraokuler merupakan kriteria diagnostik glaukoma. Dua
tipe utama glaukoma yang sudah diidentifikasi yaitu sudut terbuka (open angle)
dan sudut terbuka (open angle). Glaukoma sudut terbuka merupakan kasus yang
sering terjadi. Tipe yang lain dapat disebabkan oleh kelainan primer yang
diwariskan, bawaan sejak lahir, atau juga dapat disebabkan kelainan sekunder
seperti trauma atau obat-obatan, dan dapat memicu komplikasi (kesulitan) yang
serius. Keduanya glaukoma primer maupun sekunder mungkin disebabkan oleh
gabungan mekanisme dari glaukoma sudut terbuka.
Dinamika Cairan Mata dan tekanan intraokuler (Michael Brown, 2005).
Pemahaman mengenai dinamika cairan mata dan tekanan intraokuler akan
membantu pembaca untuk mempelajari terapi obat untuk glaukoma (Michael
Brown, 2005).
Cairan mata (aqueous humor) dibentuk di badan siliar dan menembus
epiteliumnya untuk filtrasi dan sekresi. Karena ultrainfiltrasi tergantung pada
gradient tekanan, tekanan darah, dan perubahan tekanan intraokuler akan
mempengaruhi formasi cairan mata. Gradient osmotik dihasilkan oleh sekresi
aktif sodium dan bikarbonat, dan mungkin juga disebabkan zat terlarut lain
seperti askorbat yang dihasilkan epitel sel badan siliar ke dalam cairan mata,
yang menebabkan bergeraknya air dari tempatnya pada stromal siliar
ultrainfiltrasi ke dalam camber (kamar) belakang, sehingga terjadi pembentukan
cairan mata (Michael Brown, 2005).
Gambar atas sebelah kiri adalah gambar mata normal. Catat bahwa permukaan
selaput pelangi adalah yang sangat textured dan kali lipatan. Bagian atas, Arus
cairan mata yang normal. Cairan mata,yang diproduksi camber belakang,
mengalir ke dalam kamar yang di depan. Jalan kecil yang utama untuk jalan ke
luar cairan mata jemu akan trabecular meshwork, ke dalam Saluran Schlemm's.
Jalan kecil Outflow kecil ( Uveoscleral Dan Selaput pelangi, yang yang tidak
dilukiskan) berperan untuk suatu luas terbatas ke outflow mengandung air.
Gamabar bawah kanan, glaukoma Sudut utama ditinggalkan. Di dalam mata
yang dipengaruhi, keterangan tambahan yang temporer selaput pelangi di
pupillary garis tepi kepada lensa menghalangi jalan lintasan cairan mata dari
camber depan kepada yang di depan camber. Tekanan bertamabah dalam
camber belakang, menekan selaput pelangi dan occluding trabecular meshwork.
Gambar bawah kiri lebih, Suatu neovascular selaput telah tumbuh di atas
permukaan selaput pelangi, menambah lipatan selaput pelangi. Myofibroblasts di
dalam neovascular selaput menyebabkan selaput untuk mengontrak dan untuk
menjadi apposed kepada trabecular meshwork ( synechiae di depan sekeliling).
Outflow cairan mata dihalangi, dan intraocular tekanan menjadi meningkat
(Vinay Kumar, 2005).
Obat agonis berikatan dengan reseptor dan mengaktifkannya dalam berbagai
kondisi, yang secara langsung atau tidak langsung memberikan efek. Beberapa
reseptor menyertakan efektor mekanik pada molekul yang sama, sehingga ikatan
obat akan meberikan efek yang langsung. Misalnya, pembukaan kanal ion atau
pengaktifan aktivitas enzim. Reseptor yang lain yang terikat melalui satu atau
lebih campur tangan penggabungan molekul pada sebuah molekul efektor yang
terpisah. Beberapa tipe sistem penggabungan obat-reseptor-efektor dibicarakan
pada bagian dua dalam buku ini (Bertram G. Katzung, 2004).
Sebagai contoh adalah penghambat reseptor asetilkolin seperti atropin. Atropine
adalah antagonis karena atropine mencegah akses asetilkolin dan mirip obat
agonis dengan reseptor asetilkolin dan atropine menstabilkan reseptor dan
membuatnya inaktif.
Agen ini akan mengurangi efek asetilkolin dan obat yang mirip di dalam tubuh.
Agonis yang menghambat ikatan molekul dan agonis parsial beberapa obat
adalah obat agonis yang mirip karena penghambatan ini bertanggung jawab
untuk terminasi (pengakhiran) aksi pada agonis endogen (Bertram G. Katzung,
2004).
Sebagai contoh, penghambat asetilkolin esterase, karena perlambatan
penghancuran asetilkolin endogen, menyebabkanefek kolinomimetik yang akan
menyerupai aksi molekul agonis kolinoseptor selama penghambat kolinesterase
tidak atau hanya kebetulan berikatan dengan kolinoseptor (lihat bagian 7, dalam
buku ini). Obat lain berikatan dengan reseptor dan mengaktifkannya tetapi tidak
menimbulkan respon yang besar seperti agonis penuh. Contoh, pindolol, adalah
sebuah adrenoseptor (agonis parsial) atau sebagai antagonis (jika agonis penuh
seperti isopreterenol ada) (Bertram G. Katzung, 2004)
Atropin menyebabkan blockade reversible pada aksi kolinomimetik pada reseptor
muskarinik. Missal penghambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat
dipengruhi oleh konsentrasi asetilkolin yang lebih besar atau agonis muskarinik
yang ekuivalen. Eksperimen mutasi menyatakan bahwa sebuah asam amino yang
spesifik diperlukan dalam reseptor untuk membentuk karakteristik ikatan atom
nitrogen pada asetilkolin, karena asam amino ini juga dibutuhkan untuk
berikatan dengan obat antimuskarinik. Ketika atropin berikatan dengan reseptor
muskarinik, maka akan mencegahnya (Bertram G. Katzung, 2004).
Keefektivan obat antimuskarinik bervariasi dengan jaringan dan pencarian
agonis. Jaringan yang paling sensitive dengan atropine adalah saliva, bronchial,
dan sweat gland. Sekresi asam oleh sel gastric parietal adalah kurang sensitive.
Pada kebanyakan jaringan agen penghambat antimuskarinik eksogen diatur
agonis kolinoseptor lebih efektif dari pada pelepasan asetilkolin endogen
(Bertram G. Katzung, 2004).
Atropine mempunyai selektif yang tinggi terhadap reseptor muskarinik.
Potensinya pada reseptor nikotinik lebih rendah, dan aksinya pada reseptor
nonmuskarinik umumnya tiadak dapat dideteksi secara klinik (Bertram G.
Katzung, 2004).
Pilokarpin, alkaloida ini terdapat pada daun tanaman Amerika,
Pilocarpus jaborandi. Khasiatnya terutama berkhasiat muskarin, efek nikotinnya
ringan sekali. SSP permulaan distimulasi, kemudian ditekan aktivitasnya.
Penggunaan utamanya adalah sebagai miotikum pada glaucoma. Efek miotisnya (
dalam tetes mata ) dimulai sesudah 10-30 menit dan bertahan 4-8 jam ( Tan
Hoan Tjay, 2002).
Toleransi dapat terjadi setelah digunakan untuk waktu lama yang dapat
ditanggulangi dengan jalan menggunakan kolinergika lainnya untuk beberapa
waktu, misalnya karbachol atau neostigmin ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Dosis pilokarpin pada glaukoma 2 sampai 4 kali sehari 1 sampai 2 tetes larutan
1-2 % ( klorida, nitrat ) ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Pilokarpin bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama
yang mirip muskarin dari asetilkolin ( ACh ). Semuanya adalah zat-zat
ammonium kwartener yang bersifat hidrofil dan sukar memasuki system saraf
pusat ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Menurut Dr. Ikke Sumantri, spesialis mata dari Jakarta Eye Center (JEC),
glaukoma adalah penyakit yang merusak saraf mata yang terjadi akibat tekanan
bola mata atau tekanan intra okulat yang tinggi (Sinar Harapan, 2003) Pada
mata normal, saraf berfungsi meneruskan bayangan yang kita lihat ke otak. Di
otak, bayangan tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk
suatu sensasi penglihatan. Bila tekanan bola mata seseorang sudah di atas 21
mmHg, maka orang tersebut pantas dicurigai menderita glaukoma, papar Ikke
dalam sebuah seminar mengenai glaukoma di Jakarta, pekan silam. Tekanan
pada bola mata ini dipicu oleh tersumbatnya akous humor, yakni cairan jernih
yang terdapat di dalam bola mata bagian depan. Cairan ini dengan teratur
mengalir dari tempat pembentukannya ke saluran keluarnya, seperti air keran
(Sinar Harapan, 2003)
Apabila dapat diatasi dengan baik sebelum terjadi kerusakan retina dan saraf
mata, biasanya ada harapan untuk pulih kembali. Namun yang terjadi, seringkali
orang tidak menyadari kalau salah satu dari matanya kena glaukoma. Dari
berbagai kasus yang ada, banyak pasien yang datang ke ahli medis setelah
kedua bola matanya terkena glaucoma (Sinar Harapan, 2003)
Ikke menjelaskan, untuk melanjutkan prosedur pengobatan, seorang pasien
terlebih dulu harus diperiksa apakah glaukomanya tergolong akut atau kronis.
Pada kondisi akut, biasanya dalam tempo dua atau tiga jam bisa menyebabkan
kebutaan, maka tindakan pengobatan harus dilakukan sesegera mungkin,
ungkapnya.Glaukoma akut menyerang kedua mata sekaligus. Penderita akan
mengalami gejala mata merah, pandangan kabur, nyeri pada mata disertai sakit
kepala, juga rasa mual dan muntah-muntah. Secara fisik kemampuan
penglihatan mata akan menurun. Beberapa kasus akan mengalami kondisi yang
mirip dengan katarak. Setelah diketahui bahwa pasien menderita glaukoma akut
maka dokter bisa memeriksanya dengan gonioskopi, yakni semacam alat untuk
mengetahui apakah sudut mata yang tertutup masih bisa terbuka atau tidak
(Sinar Harapan ,2003) Sedangkan pada glaukoma kronis peningkatan tekanan di
dalam mata terjadi dalam masa beberapa bulan atau tahun tanpa terjadi gejala
apa-apa. Namun kalau tidak diobati, glaukoma kronis akhirnya mengakibatkan
kebutaan total. Pada penderita glaukoma kronis tindakan serupa bisa juga
dilakukan, tapi dengan waktu yang tidak terlalu mendesak sebab ancaman
kebutaan tidak sebesar pada penderita glaukoma akut (Sinar Harapan, 2003)
Ahmed Valve Untuk mengatasi glaukoma yang memang kondisinya sudah
mendesak, dokter akan memasang keran buatan yang populer disebut ahmed
valve. Nama ini berasal dari nama penemunya, yakni Ahmed, warga Amerika
Serikat (AS) asal Timur Tengah yang pertama kali menciptakan klep tersebut
sekitar 10 tahun silam. Alat serupa keran ini terbuat dari bahan polymethyl
methacrylate (PMMA), yakni bahan dasar lensa tanam. Ahmed valve ditanamkan
pada bola mata dengan cara operasi. Bila tekanan bola mata berada pada 18
mmHg maka klep tersebut akan terbuka sehingga cairan yang tersumbat bisa
mengalir ke bagian konjungtiva mata. Dengan mengalirnya cairan, tekanan bola
mata otomatis akan turun. Sebaliknya, klep akan tertutup kembali bila tekanan
sudah berada di bawah 18 mmHg (Sinar Harapan, 2003) Pada glaukoma kronis
yang belum terlalu parah ahli medis bisa mengambil tindakan memberikan tetes
mata untuk mengurangi produksi cairan atau untuk memperlancar pengeluaran
cairan mata. Selanjutnya bisa juga dilakukan pemeriksaan bola mata dengan
tonometer, memeriksa saraf mata, mengukur lapang pandangan. Sedangkan
pada kondisi yang mendesak perlu dilakukan operasi laser (Sinar Harapan, 2003)
Pemeriksaan Jika seseorang dicurigai hipertensi, maka dilakukan beberapa
pemeriksaan, yakni wawancara (anamnesa) adakah dalam keluarga yang
menderita hipertensi. Dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan ECG, kalau perlu pemeriksaan khusus seperti USG,
Echocardiography (USG jantung), CT Scan, dan sebagainya (Dr. Nico A. Lumenta,
K.Nefro, 2002) Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi yang
ditimbulkan. Karena itu, tensi senantiasa dikendalikan menjadi normal. Secara
umum dianjurkan tensi di bawah 140/90, tetapi pada penderita penyakit ginjal
karena diabetes, misalnya, sasaran adalah 125-130/75-80 (Dr. Nico A. Lumenta,
K.Nefro, 2002). Pengobatan dimulai dengan hal-hal yang bersifat non-obat (non
farmakologik), antara lain dengan mengurangi berat badan jika gemuk,
menghentikan merokok, menghentikan konsumsi kopi dan alkohol yang
berlebihan, lakukan olahraga teratur, ubah gaya hidup yang penuh stres, dan
tentu saja menghentikan konsumsi obat-obatan yang menaikkan tensi. Untuk
diet, kurangi garam dapur menjadi 5-6 gr/hari dan perbanyak unsur kalium
(buah-buahan) (Dr. Nico2002) Obat-obat yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi pasien. Obat-obat utama yang digunakan adalah Diuretika, Beta Blocker,
ACE (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker,
Calcium Antagonis. Obat-obat diberikan bertahap dari satu macam, mulai dengan
dosis rendah sampai kombinasi juga dimulai dengan dosis rendah (Dr. Nico A.
Lumenta, K.Nefro, 2002). Hipertensi mendapat julukan pembunuh siluman
karena pasien yang tidak sadar dirinya menderita hipertensi tahu-tahu
memperoleh komplikasi berupa gangguan serius pada pembuluh darah koroner
yang dapat mengakibatkan serangan jantung dengan akibat komplikasi itu terjadi
karena hipertensi dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pembuluh
darah arteri antara lain pengerasan dan penebalan arteri, deposit lemak pada
dinding pembuluh darah atau pembesaran pembuluh darah. Kerusakan-
kerusakan arteri ini dapat terjadi di mana-mana. Jika di otak terjadi stroke dan
jika di jantung terjadi serangan jantung. Selain itu dapat terjadi penebalan otot
jantung dan ini dapat berakhir sebagai payah jantung. Kalau kerusakan arteri
pada mata dapat timbul gangguan penglihatan (Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro,
2002). Karena itu, Anda sebaiknya memeriksakan diri secara teratur, mengikuti
petunjuk dokter tentang perubahan-perubahan gaya hidup dan hal-hal yang non-
obat. Dan jika mendapat resep dianjurkan untuk minum obat secara teratur.
Sebagian besar penderita hipertensi perlu minum obat seterusnya. Ada baiknya
melakukan sendiri monitoring tensi dengan cara mengukur secara periodik.
Untuk itu sebaiknya mempunyai alat sendiri seperti yang dipunyai teman Anda
(Dr.Nico A.Lumenta,K.Nefro, 2002).
Obat Midriatikum
Obat midriatikum adalah obat yang digunakan untuk membesarkan pupil mata.
Juga digunakan untuk siklopegia dengan melemahkan otot siliari sehingga
memungkinkan mata untuk fokus pada obyek yang dekat. Obat midriatikum
menggunakan tekanan pada efeknya dengan memblokade inervasi dari pupil
spingter dan otot siliari (www.medicastore, 2006).
Obat untuk midriatikum bisa dari golongan obat simpatomimetik dan
antimuskarinik, sedangkan obat untuk Siklopegia hanya obat dari golongan
antimuskarinik. Obat midriatikum-siklopegia yang tersedia di pasaran adalah
Atropine, Homatropine dan Tropicamide dengan potensi dan waktu kerja yang
berbeda begitu juga kegunaan secara klinisnya (www.medicastore, 2006).
Atropin
Atropine, adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu
ester organik asam tropik dan tropin. Atropin merupakan antimuskarinik pertama
yang digunakan sebagai obat, Atropin sangat potensial sebagai obat midriatikum-
siklopegia dengan panjang waktu kerja lebih dari dua minggu (www.medicastore,
2006).
Homatropin
Homatropine adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari kombinasi asam
mandelat dengan tropine. Durasi kerja Homatropin lebih pendek dibanding
dengan Atropin (www.medicastore, 2006).
Tropikamid
Tropicamide, adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia sebagai obat mata
pada akhir tahun 1950-an. Tropikamid mempunyai waktu kerja dan lama kerja
lebih pendek dibandingkan dengan antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai
daya serapnya (difusi) terbesar dan proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi
ke kornea lebih tinggi (www.medicastore, 2006).
Obat Miotikum
Obat miotikum adalah obat yang menyebabkan miosis (konstriksi dari pupil
mata). Pengobatan glaukoma bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam
mata dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada penglihatan. Obat Miotikum
bekerja dengan cara membuka sistem saluran di dalam mata, dimana sistem
saluran tidak efektif karena kontraksi atau kejang pada otot di dalam mata yang
dikenal dengan otot siliari.Betaxolol dan Pilokarpin adalah contoh obat Miotikum
yang sering digunakan. Betaxolol adalah senyawa penghambat beta adregenik
(www.medicastore, 2006).
Pilocarpine adalah alkaloid muskarinik yang diperoleh dari daun belukar tropis
Amerika dari genus Pilocarpus. Pilokarpin bekerja sebagai reseptor agonis
muskarinik pada sistem saraf parasimpatik. Pilocarpine digunakan untuk
glaukoma untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat tekanan yang dapat
berisiko kebutaan, Pilokarpin mengatasi gejalanya dengan menurunkan tekanan
pada mata penderita glaucoma (www.medicastore, 2006).
Pilokarpin bekerja pada reseptor muskarinik (M3) yang terdapat pada otot
spingter iris, yang menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil mata
mengalami miosis. Pembukaan terhadap jala mata trabekular secara langsung
meningkatkan tekanan pada cabang skleral. Aksi ini memfasilitasi pengeluaran
cairan pada kelopak mata sehingga menurunkan tekanan intraokular (dalam
mata) (www.medicastore, 2006).
Untuk pemilihan obat midriatikum dan miotikum yang tepat sesuai kebutuhan
dan keluhan anda ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke
dokter. Di apotik online medicastore anda dapat mencari informasi obat
midriatikum dan miotikum yang telah diresepkan dokter secara mudah dengan
mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda dapat memilih dan
beli obat midriatikum dan miotikum yang telah diresepkan dokter
(www.medicastore, 2006).

V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan :
5.1.1. Alat :
- Timbangan elektrik
- Botol tetes
- Jangka sorong
- Stopwatch
- Lup (kaca pembesar)
- Flashlight (senter)
5.1.2. Bahan :
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%

5.2 Prosedur Percobaan

- Diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleknya terhadap
cahaya dengan melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata
kelinci sebanyak tiga kali dengan selang waktu lima menit,
- Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri,
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya
dengan cara melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci
setiap lima menit selama tiga puluh menit,
- Setelah tiga puluh menit diberi tetes mata mata atropin sebanyak dua tetes
pada kedua mata
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya
dengan cara melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci
setiap lima menit selama tiga puluh menit,
- Dibuat grafik diameter pupil versus waktu

5.3 Flow Sheet


1. Kelinci Kontrol

Kelinci

Diukur diameter mata normal kanan dan kiri


Diberi cahaya pada mata kanan dan kiri dan
diamati refleksnya
Diulangi perlakuan di atas sebanyak 3 kali
dengan selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 60 menit selang waktu 5 menit
Hasil Dibuat grafik diameter pupil vs waktu
2. Kelinci dengan Pemberian Obat

Kelinci

Diukur diameter mata normal kanan dan kiri


Diberi cahaya pada mata kanan dan kiri dan
diamati refleksnya
Diulangi perlakuan di atas sebanyak 3 kali
dengan selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata atropin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit
Hasil Dibuat grafik diameter pupil vs waktu

VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan


6.1. Perhitungan Dosis

6.2 Data Percobaan

6.2. Grafik Percobaan

6.3. Pembahasan
Pada percobaan, untuk dapat melihat antagonis obat, obat yang pertama
diberikan pada mata kelinci adalah pilokarpin. Dalam suatu konsentrasi agonis
tertentu, peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif secara progresif
menghambat respon dari agonis, sedangkan konsentrasi-konsentrasi antagonis
yang tinggi akan mencegah respons secara keseluruhan. Sebaliknya konsentrasi
agonis yang lebih tinggi, yang cukup, dapat mengatasi efek dari pemberian
konsentrasi antagonis secara keseluruhan, yaitu Emax untuk agonis tetap sama
pada setiap konsentrasi antagonis tertentu. Karena antagonisme bersifat
kompetitif, keberadaan antagonis meningkatkan konsentrasi agonis yang
dibutuhkan untuk pemberian suatu tingkatan respon tertentu, dan kemudian
kurva konsentrasi-efek agonis bergeser ke kanan. Menurut Katzung beberapa
antagonis reseptor mengikat reseptor dengan cara yang bersifat ireversibel, atau
hampir ireversibel. Afinitas antagonis reseptor dapat demikian tinggi sehingga
untuk tujuan praktis, resptor tersebut tidak dapat lagi berikatan dengan agonis.
Antagonis lain dalam kelompok ini menghasilkan efek yang ireversibel karena
setelah berikatan pada reseptor, antagonis tersebut membentuk ikatan-ikatan
kovalen dengannya. Setelah kedudukan reseptor-reseptor pada proporsi yang
besar oleh antagonis jenis ini, jumlah reseptor yang tidak diduduki bisa
sedemikian rendah sehingga agonis dengan konsentrasi tinggi tidak dapat
mengatai antagonisme yang ada, dan respons agonis yang maksimal tidak dapat
dicapai.
Berdasarkan percobaan didapat hasil bahwa pemberian tetes mata pilokarpin
sebanyak 2 tetes menghasilkan efek miosis, yaitu mengecilnya diameter pupil
mata hewan percobaan (kelinci). Hal ini adalah sesuai dengan teori, karena kerja
pilokarpin sebagai obat golongan agonis muskarinik (agonis kolinergik yang
sifatnya menyerupai asetilkolin), yang dapat menurunkan kontraksi otot siliaris
dan tekanan intraokuler bola mata. Sesuai dengan pendapat Tan Hoan Tjay
(2002), obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan
penurunan kontraksi otot siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan
cepat, serta merangsang sekresi kelenjar yang terikat pada kelenjar keringat,
mata dan saliva. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengaruh rute pemberian
(tetes mata) dan dosis obat yang diberikan.
Selain itu, pada pemberian tetes mata atropin dengan jumlah yang sama pada
kelinci, segera terjadi efek yang berlawanan dengan pilokarpin, yaitu terjadi efek
midriasis (dilatasi pupil mata) sehingga diameter pupil mata kelinci yang
mengecil kembali membesar. Sementara kelinci kontrol yang hanya diberi
pilokarpin tanpa pemberian atropin, pupil matanya tetap mengalami miosis. Ini
sesuai dengan pendapat Mary J. Mycek, dkk (1997) bahwa kerja atropin adalah
menyekat semua `ktivita kohijergik m!ta.P`dA pelgujian refleks cahaya mat`
kelilci, diperoleh hasil bahua setelah pemberian pilgkarpin, refleks mata kelinci
terhadap cahaya menjad) lebih cepat `aripada respon normal (kelinci
berkedip55dengan cepat), hal ini sesuai dengan teori bahwa pilokarpin
menimbulkan miosis dan menyebabkan peningkatan kepekaan mata terhadap
cahaya. (Kemungkinan peningkatan kepekaan disebabkan efek miosis,
pengecilan diameter pupil menyebabkan pengurangan cahaya yang dapat
melewati pupil untuk sampai ke retina, sehingga untuk mengkompensasi hal ini,
mata meningkatkan kepekaannya terhadap cahaya).
Namun pada pengujian refleks cahaya setelah pemberian atropin, hasil yang
diperoleh agak kurang sesuai dengan teori, dimana menurut Mycek, kerja atropin
adalah menyekat semua aktivitas kolinergik mata dan seharusnya mata menjadi
tidak bereaksi sama sekali terhadap cahaya (tidak ada kedipan mata). Namun
dari percobaan diperoleh bahwa kelinci masih menunjukkan refleks terhadap
cahaya, walaupun refleks menjadi lambat. Selama percobaan terlihat bahwa
refleks mata kelinci makin melambat seiring waktu, dan kemudian sekitar menit
ke-30, refleks mata kelinci sedikit menjadi lebih cepat, walaupun hal ini kurang
terlihat dengan pengamatan visual saja, dan mungkin saja dipengaruhi oleh
subjektivitas si pengamat. Kemungkinan ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh
dosis atropin yang diberikan, dimana dosis yang diberikan sedikit kurang
sehingga tidak semua reseptor pilokarpin terokupasi oleh atropin. Hal ini juga
dapat disebabkan oleh cara pemberian yang kurang baik, sehingga
mengakibatkan tidak semua obat mengenai bola mata.

VII. Kesimpulan dan Saran


7.1. Kesimpulan
- Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis
(mengecilnya diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur
dengan alat bantu jangka sorong, serta peningkatan refleks mata terhadap
cahaya yang ditandai dengan kecepatan mata berkedip.
- Pemberian atropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis
(membesarnya diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur
dengan alat bantu jangka sorong, serta penurunan refleks mata terhadap
cahaya, yang ditandai dengan perlambatan kedipan mata (walaupun secara teori
harusnya tidak ada refleks cahaya).
- Atropin dan pilokarpin merupakan obat-obat yang memiliki efek antagonisme,
dalam hal ini antagonis kompetitif. Mekanisme kerjanya ialah atropin merupakan
antagonis yang bekerja pada organ yang sama (reseptor yang sama) dengan
pilokarpin, yaitu reseptor muskarinik, dimana atropin bekerja dengan cara
menginhibisi pilokarpin dari menduduki reseptor, yang dibantu oleh afinitas
atropin-reseptor yang lebih kuat. Atropin menduduki reseptor tetapi tidak
menimbulkan aktivitas intrinsik. Antagonis kompetitif memiliki sifat reversibel
sehingga apabila dosis dari agonis dapat ditingkatkan, agonis tersebut dapat
kembali menduduki reseptor.

7.1. Saran
- Sebaiknya pengukuran diameter pupil mata kelinci dan pengamatan refleks
cahaya dilakukan oleh satu praktikan saja, untuk menghindari variasi
pengamatan.
- Sebaiknya pemberian obat lebih memperhitungkan dosis dan faktor kesalahan
pemberian
- Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi,
dengan mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap
pengukuran, sehingga respon farmakologis lebih mudah diamati.
Daftar Pustaka

Brown, Michael, dkk, (2005), (Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach),


Sixth Edition, McGraw-Hill Companies: United States of America, hal : 1.713 (e-
book version of the text).
Katzung, Bertram G, (2004), Basic & clinical pharmacology, 9th Edition, Lange
Medical Books/Mcgraw-Hill: New York, Hal : 6, 152 (e-book version of the text).
Kumar, Vinay, dkk, (2005), (Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease),
Seventh Edition, Elsevier Inc: USA, hal 1486 (e-book version of the text).
S.B, Zunilda, (1995), Pengantar Farmakologi dalam buku Farmakologi Dan Terapi,
Edisi Keempat, Editor: S.G Ganiswara,Jakarta: Fakutas Kedokteran Universitas
Indonesia, halaman 18-19.
Tan, Hoan, Tjay., & Kirana R., (2002), Obat-Obat Penting, Edisi Kelima, Cetakan
Kedua, Jakarta: Gramedia, halaman 47.
Anonim,www.medicastore, 2006
www.sinarharapan.co.id.htm
(Dr.NicoA.Lumenta,K.Nefro, www.sinarharapan.co.id.2002htm
di 12/10/2008
Diposkan oleh wahyudin sitorus

0 komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini


Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka

Langgan: Poskan Komentar (Atom)

wahyudin sitorus
kamu adalah apa yang kamu fikirkan

File
Desember (5)
Maret (1)
Mei (1)
Juni (1)

About Mefarmasetika dasar


TABLET & MODIFIKASINYA
Oleh: Fanny Shita P., S. Farm., Apt

Tablet (compressi) adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau
tanpa zat pengisi

Tablet adalah salah satu bentuk sediaan yang paling populer


60% bentuk sediaan dalam farmasi adalah bentuk tablet

Cara pembuatan tablet:


1. Cetak
Tablet dicetak dengan cetakan tablet
Digunakan untuk z.a yang mempunyai karakteristik:
Jumlah zat berkhasiat per tablet cukup utk dicetak
Zat berkhasiat dapat mengalir bebas(free flowing)
Kelemahan: tablet cetak agak rapuh sehingga hrs berhati-hati dalam pengemasan dan
pendistribusian
2. Kempa
Dibuat dgn memberikan tekanan tinggi pada serbuk/granul menggunakan cetakan
baja
3.Granulasi basah
Metode granulasi basah dan kering bertujuan untuk meningkatkan aliran campuran
dan kemampuan obat untuk dikempa
4.Granulasi kering
Untuk bahan-bahan yang tidak tahan terhadap panas & kelembapan

Kempa langsung
Granulasi basah
Granulasi kering
Penimbangan
Pencampuran Z.a & eksipien
Pengempaan tablet
Tablet

Penimbangan
Pencampuran z.a & eksipien
Penambahan bahan pengikat
Pengayakan basah
Pengeringan
Pengayakan kering
Penimbangan
Pencampuran bhn pelicin & penghancur
Pengempaan
Tablet
Penimbangan
Pencampuran z.a & eksipien
Pengempaan/slugging
Penghancuran
Pengayakan
Penimbangan
Pencampuran bhn pelicin & penghancur
Pengempaan
Tablet
Kenapa dlm pembuatan tablet, obat dibuat mjd granul (tidak serbuk)? Krn apabila
obat dalam bentuk serbuk maka akan sulit mengalir dlm cetakan, disamping itu bila
dibuat granul bisa terjadi interlocking sehingga tablet yang dihasilkan lebih mampat
dan kuat

Tablet Disintegrasi granul deagregasi partikel

disolusi absorpsi

Formulasi tablet:
Umumnya mengandung: zat aktif, bhn pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur,
bhn pelicaf, adjuvant

Eacam-macam eksipien:
1.Penghsi
Mena-b`h bobot
Ditambahkan jika umlah zat akthf obat sedikit (dexametason, diazapam, dll)
Contoh: pati, selulosa, makrokristal , laktosa, amilum, kalsium sulfat
2.Pengikat/binders
Untuk memberi daya adhesi pada massa dan menambah daya kohesi yang telah ada
pada bahan pengisi serbuk (sehingga dapat kompak pada saat dikempa)
Ex: selulosa, gelatin, PVP, gom akasia
3.Penghancur/desintegran
Membantu hancurnya tablet setelah ditelan
Dpt digunakan: amilum, CMC Na (Carboxy metyl cellulose Natrium)
4.Pelicin/lubrikan
Mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan berguna untuk mencegah
massa tablet melekat pada cetakan sehingga mudah dikeluarkan
Ex: Mg stearat, Na stearat, asam borat, talk
Lubrikan bersifat hidrofobik menurunkan kecepatan disintegrasi(sehingga jangan
ditambahkan terlalu banyak)
5.Glidant
Meningkatkan daya alir serbuk/granul sehingga dapat mengisi cetakan dgn rata
(biasanya digunakan utk metode cetak/kempa langsung)
Ex: amilum, talk, PEG 4000 & 6000
6.Wetting agents
Meningkatkan pembasahan/penyerapan air sehingga dapat meningkatkan disintegrasi
dan disolusi
Ex: sodium lauryl sulfat (SLS)
7.Chelating agents
Mencegah autooksidasi dgn pembentukan kompleks dgn logam berat
Ex: asam sitrat, asam tartrat
8.Adsorbent
Material penyerap zat aktif bentuk cair sehingga menjadi lebih sedikit dan dapat
ditablet
Ex: silicon dioksid
9.Buffers
Menjaga ph lingkungan sehingga dapat meningkatkan stabilitas dan bioavailabilitas
Ex: Na karbonat, kalsium karbonat
10.Antioksidan
Mencegah terjadinya oksidasi tablet sehingga dpt meningkatkan stabilitasnya
Ex: asam askorbat, asam sitrat, asam tartrat
11.Preservatif
Mencegah tumbuhnya mikroba
Ex: metil benzoate
12.Colours, favours, sweeteners
Pewarna: red 3 (erythrosine), yellow 5 (tartrazine)
Pemanis: mannitol, sukrosa alami
Sakarin buatan

Informasi ttg eksipien dapat diperoleh di: IIG (Inactive Ingridient Guide)
GRAS (Generally Regarded As Safe)
Handbook of Pharmaceutical Excipients

MODIFIKASI TABLET
Keuntungan:
Frekuensi minum tablet dikurangi
Karena point diatas, maka dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat
Efek farmakologis lebih stabil krn zat aktif dilepas secara perlahan
Meningkatkan kenyamanan pasien
Kekurangan:
Obat lebih mahal
Jika salah pemakaian obat (digerus, dibagi) maka akan terjadi pelebaran khasiat obat

MACAM:
1. Tablet salut biasa
Umumnya disalut dgn gula (dagree)
Tujuan: meningkatkan nilai estetik, enak
2. Tablet salut enterik
Dipakai untuk zat-zat yang dapat rusak atau in aktif pada lambung atau dapat
mengiritasi mukosa lambung
Menunda pelepasan obat sampai tablet telah melewati lambung
Ex: anti cacing. Anti amuba untuk pengobatan pada usus
3. Tablet lepas lambat/ OROS
Tablet ini dibuat sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah
obat diberikan
Efek tablet diperpanjang krn z.a dlm tablet dilepas secara perlahan-lahan
Pembuatan: sebelum dicetak, granul-granul dibagi dlm beberapa kelompok.
Kelompok pertama tidak diapa-apakan, kelompok kedua disalut dgn bhn penyalut
yang pecah setelah beberapa saat, kelompok ketiga disalut dgn bhn penyalut yang
pecah lebih lama daripada kelompok 2, dst
4. Tablet yang berbentuk kapsul disebut: kaplet
5. Tablet besar untuk hewan: bolus
6. Tablet Effervescent:
Adalah tablet yang melepaskan gas bila kontak dengan air (larut dlm air) sehingga
tablet pecah/hancur saat berada di dalam air. Dibuat dgn cara dikempa, selain zat aktif
juga mengandung campuran asam (Asam sitrat dan asam tartrat) dan basa (Na
bicarbonate), maka jika dilarutkan dalam air akan mengeluarkan gas CO2

Perpaduan antara:
Asam sitrat granul tll empuk
Asam tartrat memberi masa yang lengket

Zat aktif + asam + Na bikarbonat dilarutkan air tablet pecah, zat aktif larut,
mengeluarkan gas CO2 (efek menyegarkan)

GRANUL EFFERVESCENT
Metode pembuatan:
a.Metode peleburan (fusion method)
Digunakan air sebagai bahan pengikat
Campuran serbuk dipanaskan dlm oven (93-1040 C)/penangas air sampai terjadi
massa lembab
Diayak (tergantung ukuran granul)
Dikeringkan pada suhu rendah (<540 C)
b. Metode basah (wet method)
Dipakai bahan pembasah yang tidak melarutkan massa sehingga menjadi campuran
serbuk kemudian dikeringkan seperti pd metode peleburan
Air + alcohol (pembasah plastis) kemudian diayak dan dikeringkan pd suhu < 540
C

7. Tablet kunyah/chewable tablet


Dimaksudkan untuk dikunyah(untuk membantu supaya partikel-partikel yang ditelan
sudah menjadi halus sehingga akan lebih mudah bereaksi dengan enzim lambung)
Diberikan residu dengan rasa enak
Tidak meninggalkan rasa pahit
Contoh: vitamin, antasida, antibiotic tertentu
Dibaut dgn cara dikempa
Umumnya mengandung manitol, sorbitol dan sukrosa
Mengandung bhn pewarna dan pengaromauntuk menambah penampilan dan rasa
8. Tablet colon
Obat diabsorpsi utama di kolon (pH colon 6,4 7)
Ex: eudragit S100
9. Lozenges/tablet hisap tablet yang ditujukan untuk dihisap dan melarut di mulut
ditujukan untuk pengobatan iritasi lokal (mulut &
tenggorokan)
dibuat dgn metode peleburan
Trochess sama dengan lozenges, tetapi dibuat dengan cara dikempa, sehingga
bentuk sediaan lebih padat

PENYALUTAN
Usaha untuk menutupi obat dengan suatu lapisan/zat ttt.

Tujuan:
1. Menutupi rasa, bau dan warna yang kurang menyenangkan
2. Memberi perlindungan fisik dan kimia pada obat
3. Mengendalikan pelepasan obat
4. Meningkatkan penampilan tablet
5. Membantu dan mempermudah identifikasi sediaan
6. Mempermudah proses blistering

Metode penyalutan:
1.Metode panci (coating pan)
2.Metode pencelupan (dip coating)
3.Metode kompressi
4.Air suspension coating

Persyaratan tablet yang sudah dilapis:


1.Permukaan tablet licin
2.Lapisan penyalut stabil
3.Warna homogen
4*Lapiqan harqq mampu mal)ndqngi ta"let iltI $Ari e$aa$63aelem`!63!n, ahay!
%
PeN9AHqt64

U$a ,aut d b64`Epar64D 64-e 5) ``p


6.Pdly!lqp lemptny@h r sa yang enAK &Penialpt sETipis mungkin
8.Penyalut harus inert (tidak64merusak & menggangg5 z.a)

Tahap pembuatan salut gula:


1. Penyalutan dasar (subcoating)
Apabila tablet mengandung zat yang higroskopis, gunakan salut penutup terlebih
dahulu agar air dr subcoating syrup tidak masuk ke dalam tablet
2. Melicinkan (smoothing)
Proses pembasahan berganti-ganti dgn sirop pelicin & pengeringan dr salut dasar
tablet mjd bulat & licin
3. Pewarnaan (coloring)
Memberi zat warna yang dicampur pd sirup pelicin
4. Penyelesaian (finishing)
Pengeringan salut sirupyang terakhir. Panci penyalut diputar perlahan-lahan dgn
tangan sehingga terbentuk hasil akhir yang licin
5. Pengilapan (polishing)
Pelapisan tipis dgn menggunakan lapis tipis malam yang mengandung lilin shg
mengkilap

TUGAS: Macam kerusakan pada tablet


Persyaratan tablet
Pengujian pada tablet

Anda mungkin juga menyukai