Keladi Tikus
Typhonium flagelliforme
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Araceae
Subfamili : Aroideae
Suku : Areae
Genus : Typhonium
Spesies : Typhonium flagelliforme
Keterangan :
2008/12/10
I. Pendahuluan
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak
puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional
bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah
adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang
menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan
percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset
lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan
demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya
menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian
biomedis.
Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan pula bila penelitian
lain misalnya tentang aspek fisiologis, patologis, dan penyakit pada manusia,
nutrisi, virus, penelitian perilaku dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan
percobaan sebagai modelnya dengan segala persyaratan tertentu.
Berdasarkan referensi data yang diperoleh dari National Institute of Health
Primate Research centers, 1978, syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan
yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi
pada hewan percobaan tersebut mirip atau banyak kesamaannya dengan proses
yang terjadi pada manusia. Di samping itu mudah didapat , mudah dikembang-
biakkan dan relatip murah harganya. Secara terperinci peranan hewan percobaan
berorientasi kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium.
(Edhie sulaksono, 1992)
Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular atau ekstravaskular. Cara
intravaskular yaitu obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan
ke seluruh tubuh seperti pemberian intravena (suntikan atau infus). Berarti
pemberian obat tidak perlu menglami fase pertama untuk memberikan efek,
yaitu fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam plasma atau darah selanjutnya
ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi atau eliminasi
obat dari tubuh. Sedangkan cara ekstravaskular yaitu obat harus diabsorpsi
dahulu sebelum masuk ke peredaran sistemik seperti pemberian intramuskular,
subkutan, intradermal, dan peritoneal. Syarat untuk absorpsi adalah obat harus
terbebaskan terlebih dahulu dari bentuk sediannya dan bukan hanya tergantung
pada faktor fisikokimia obat, tetapi juga pada faktor lingkungan bagian tubuh
tempat obat diserap atau diabsorpsi. Kemudian, faktor-faktor teknik pembuatan
(farmakoteknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk
sediaannya ke dalam cairan tubuh.
(Stefanus Lukas, 2006)
Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup
setiap manusia yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari
mulai bagaimana obat itu diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi
dan akhirnya harus ada yang diekskresikan.
V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- stopwatch
- alat suntik 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa dari kandang
Ditandai ekornya dengan spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
Hasil
2. Persiapan Hewan
Mencit
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa di kandang
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit
dapat dipegang dengan sempurna
Hasil
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan
dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
b. Intra Peritoneal
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik Percobaan dan Pembhasan
6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 22,7 g
Mencit II (intraperitonial)
berat badan = 20,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III (intraperitonial)
berat badan = 19,0 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit IV
berat badan = 20,6 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V (oral)
berat badan = 20,8 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur
6.4. Pembahasan
Pada hasil percobaan, yaitu pada mencit II dengan dosis 80 mg/kgBB dan mencit
III dengan dosis 90 mg/kgBB, didapatkan bahwa efek yang lebih dahulu timbul
terdapat pada mencit yang diberi dosis lebih kecil. Hal ini mungkin terdapatnya
variasi biologis pada tiap individu.
Akibat faktor individual itu, efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang dapat
memberikan respons yang berlainan terhadap suatu obat sesuai kepekaannya
masing-masing. Perbedaan respons ini bisa besar sekali, karena untuk setiap
obat selalu ada orang yang rentan dan dengan dosis rendah sekali sudah dapat
memberikan efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang yang hanya memberikan
efek dalam dosis yang amat tinggi. Inilah sebabnya mengapa dosis obat yang
diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh pada
pasien lain, yang mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk memberikan efek
yang sama. Dalam keadaan penting hendaknya pasien diukur kadar obat dalam
darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai takaran yang optimal.
( Tjay, 2003)
7.1. Kesimpulan
- Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan
penyuntikan hewan percobaan tersebut.
- Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai
ekor mencit dengan spidol permanent.
- Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit
memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral.
- Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan
dengan pemberian oral.
- Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal,
reaktif, gerak lambat dan bahkan tidur.
7.2. Saran
- Hendaknya dilakukan percobaan pada rute pemberian yang lain, misalnya
intravena.
- Hendaknya praktikan hati-hati dalam menjaga mencit percobaan karena
harganya mahal.
Daftar Pustaka
PENGARUH VARI SI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT DAN PENG RUH JENIS
KELAMIN TERHADAP DOSIS OBAT
I. Pendahuluan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enz matik sehingga mengHasilkan lebIh dari 3atu metabolit.
JuMlah17metabolit ditentukan oleh kadar dan17aktivitas enzim y`nf berperan p
da proses metabolisme. Keepatan metaboliSme dapat menentUkan intensitas dan
memperpanjang kerjA obat. Kecepatan metaboLisme ini kemungki.an berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
menin'katkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkina.
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat
menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik
atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme
dan faktor-faktor lain.
(Siswandono, 1995)
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan .
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda
pada tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi jenis
kelamin yang mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.
Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet
makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon,
kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan,
dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.
(Siswandono, 1995)
Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat
Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons
suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk
suatu obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu
obat yang sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan.
Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau
respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar
pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik
dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-
reaksi alergik.
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan
akan menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada
mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai
akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu
keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat.
Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan
terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam
ondividu seorang pasien pada waktu yang berbeda.
A. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang
relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.
B. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen
Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap
antagonis-antagonis farmakologik.
C. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor
Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan
dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan
atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan efisiensi
mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam beberapa
hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.
D. Perubahan-Perubahn dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari
Reseptor
Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkna mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara
10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap
obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat
dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu
(misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan
dengan demikian mengurangi respons penderita.
( Tanu, 2007;hal 828-829 )
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu
sebuah pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek
yang diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak
diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena
pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat
dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.
Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting
seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).
Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis
muatan yang diikuti dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal
oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis selanjutnya dengan tujuan mencapai
kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat.
Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang
mempertahankan konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang
terapeutik.
Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang
mempengaruhi onset of action dan duration of action kerja obat. Onset of action
adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-
obatan yang diberikan secara intravena secara umum mempunyai onset of action
yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena obat-obatan
harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah
lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik (James Olson, M.D., 1993)
Pemberian obat untuk mengobati flu dan batuk pada anak-anak di bawah umur 2
tahun sebaiknya dihindari karena berisiko. INI merupakan peringatan terkini
yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug
Administration/FDA) Amerika Serikat.FDA mengingatkan agar menghindari
pemberian obat antibatuk dan flu pada anak-anak yang usianya di bawah dua
tahun. Pasalnya, pemberian obat tersebut terhadap anak-anak di bawah dua
tahun dinilai sangat berisiko. FDA mengindikasikan pemberian obat bisa
mengakibatkan risiko fatal,mulai jantung berdebar-debar, kejang-kejang, hingga
pada risiko kematian. ''Kami mengeluarkan peringatan keras agar menghindari
pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak di bawah dua tahun.
Sebab, pemberian obat mengakibatkan risiko serius dan berpotensi mengancam
keselamatan anak-anak serta menimbulkan efek yang tak disangkasangka," jelas
Ketua FDA Dr Charles Ganley kepada Reuters. Ganley menegaskan bahwa obat-
obat tersebut ''tidak aman dan tidak efektif bagi anak-anak di bawah dua tahun".
Sebab, obat-obatan tersebut hanya menghilangkan gejala-gejala batuk dan flu
pada anak, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya. Obat antibatuk dan flu
selama beberapa dekade ini sudah banyak dijual bebas di pasar.Namun,FDA tak
merekomendasikan perusahaan obat-obatan untuk mencegah pemberian
terhadap anakanak. Sejauh ini, belum diperoleh data konkret soal penggunaan
obat-obatan itu kepada anak-anak. ''Metabolisme dan reaksi tubuh anak-anak
terhadap obat-obatan berbeda dengan orang dewasa. Jadi, sebaiknya kita
mengantisipasinya sebelum menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan," demikian
keterangan resmi American Academy of Pediatrics, untuk mendukung peringatan
FDA. Sejauh ini, FDA tak pernah menyarankan untuk memberikan berbagai obat-
obatan pada anakanak di bawah dua tahun.Tahun lalu, FDA melarang pemberian
berbagai jenis obat-obatan kepada anak-anak di bawah dua tahun jika tak ada
rekomendasi secara detail dari dokter. Peringatan keras FDA ini menimbulkan
kontroversi yang hebat di masyarakat AS. Perusahaan obat-obatan di negeri
Paman Sam pun memprotes larangan tersebut. Apalagi FDA pada Oktober 2007
sempat menarik 14 jenis obat bagi anak-anak dari pasaran. Perusahaan obat-
obatan menyatakan produk yang dijual ke masyarakat aman bagi anak-anak di
bawah dua tahun. Asalkan penggunaannya sesuai petunjuk yang disarankan,
misalnya takaran dosis yang tepat, dengan menggunakan ukuran sendok makan.
Selain itu, orangtua disarankan memeriksa daftar zat yang terkandung dalam
obat tersebut agar tak memberikan lebih dari satu jenis obat kepada anaknya.
Sebab, dalam beberapa kasus sering ditemukan anak-anak mengalami overdosis
atau salah obat karena orangtuanya tak mengetahui jenis zat yang terkandung di
dalam obat tersebut. Meski sudah memberikan peringatan keras terhadap
pemberian dua jenis obat tersebut pada anak di bawah dua tahun,FDA masih
mengevaluasi rencana penetapan pelarangan pemberian obat antibatuk dan flu
terhadap anak-anak berusia dua hingga 11 tahun.
Jika sama-sama menimbulkan efek negatif, pelarangan itu akan disahkan pada
musim panas tahun ini. ''Sebab,berdasarkan hasil penelitian lanjutan, obat
antibatuk dan flu juga tak efektif pada anak-anak di bawah enam tahun. Bahkan,
berisiko menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan mereka," tutur American
Academy of Pediatrics dalam pernyataan tertulisnya. Namun, sikap FDA yang
masih memberikan toleransi pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-
anak yang berusia di bawah enam tahun ini dikritik Presiden National Research
Center for Women & Families Diana Zuckerman. Padahal, berdasarkan
penelitian,para ilmuwan sudah jelas mengatakan bahwa efek negatif yang
ditimbulkan sama berbahaya.
(http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0)
Banyak obat-obatan ternyata tidak direkomendasikan bagi anak-anak. Kini Uni
Eropa menetapkan kewajiban ujicoba susulan terhadap obat-obatan yang juga
dapat dikonsumsi anak-anak. Anak-anak sangat rentan terhadap serangan
penyakit.
Di Eropa yang tergolong ketat aturan kesehatan dan pengawasan obat-
obatannya, banyak yang terkejut ketika membaca petunjuk di kemasan obat.
Sebagian besar obat-obatan yang dijual bebas maupun yang harus dengan resep
dokter, ternyata mencantumkan peringatan yang dicetak dengan huruf kecil :
"tidak disarankan penggunaannya bagi anak-anak, karena belum dilakukan
penelitian". Banyak obat-obatan yang bahkan tidak diizinkan untuk anak-anak.
Karena itulah, mulai Januari tahun 2007 ini Uni Eropa menetapkan peraturan
obat-obatan yang lebih ketat lagi. Semua perusahaan farmasi diwajibkan
mengujicoba obat yang dipasarkannya juga menyangkut dampaknya untuk anak-
anak.
Berdasarkan aturan baru Uni Eropa, semua vaksin untuk imunisasi, harus
diujicoba pada anak-anak, sebelum diizinkan dipasarkan. Tapi, jika berbicara
mengenai obat-obatan untuk bayi yang dilahirkan prematur, atau yang harus
dirawat secara intensiv dan anak-anak penderita kanker, situasinya amat jauh
berbeda. Lebih dari 90 persen obat-obatan yang digunakan, sebetulnya tidak
boleh diberikan kepada anak-anak. Masalahnya, mengujicoba obat-obatan pada
anak-anak, agar mendapat izin pemasaran, amatlah sulit dan mahal.
Dr. Siegfried Throm dari perhimpunan peneliti dari produsen obat-obatan
menjelaskan, obat-obatan untuk penyakit anak-anak yang umum, tidak
menimbulkan masalah. Untuk itu relatif gampang membuat ujicobanya. Dalam
arti, terdapat cukup banyak anak-anak yang menderita sakit, dan juga pasarnya
terbuka luas. Akan tetapi, untuk obat-obatan yang hanya diperlukan secara
insidental, masalahnya berbeda. Disini terdapat pertimbangan, biaya
pengembangan yang cukup tinggi, biasanya tidak bisa tertutup kembali dengan
penjualan obat-obatannya. Karena itu, dalam bidang ini hanya sedikit dilakukan
penelitian.
Dalam ujicoba terapi itu diteliti dengan kombinasi obat-obatan apa, kapan waktu
pemberiannya dan dalam dosis seberapa besar, anak-anak dapat diobati secara
lebih efektif. Dewasa ini sudah terdapat daftar dosis obat-obatan, yang
sebetulnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Akan tetapi hasil dari ujicoba
terapi semacam itu belum mencukupi, bagi pemberian izin penggunaan obat bagi
anak-anak secara umum. Penyebabnya, anak-anak tumbuh amat cepat, dan
perubahan fungsi organ tubuhnya juga amat luar biasa, misalnya hati. Karena
itu, obat-obatan harus diujicoba pada berbagai kelompok umur.
Dr. Dorothee Kieninger dari pusat ujicoba klinik di Universitas Mainz
menjelaskan ; "Pada bayi yang baru lahir, hati memiliki mekanisme dan fungsi
amat berbeda dengan anak usia enam tahun. Dan sampai umur 13 tahun
fungsinya terus berubah. Demikian juga fungsi ginjal terus berubah. Ginjal
memiliki fungsi menyaring racun dan membuang cairan. Fungsi ginjal pada anak-
anak, pada tiap kelompok umur perubahannya amat ekstrim. Demikian juga
perubahan pada organ tubuh lainnya."
Karenanya dosis obat-obatan harus akurat. Dan perubahan dosis tidak bisa
gampangan dikaitkan hanya dengan perbedaan berat badan anak, melainkan
tergantung dari bagaimana reaksi organ tubuh anak-anak terhadap obat,
pengolahannya dalam tubuh dan pembuangannya kembali. Metabolisme pada
bayi yang baru lahir, sangat berbeda dengan anak usia sekolah.
Undang-undang baru Uni Eropa mengenai standar obat-obatan, bertujuan agar
semakin banyak obat-obatan yang dapat diizinkan penggunaannya untuk anak-
anak. Akan tetapi hal itu ada gunanya jika obat-obatan itu juga ampuh untuk
anak-anak.
Obat-obatan baru harus diuji coba pada berbagai kelompok umur, yang menjadi
calon pengguna obat tsb. Tentu saja ujicoba akan dilakukan, jika obat baru tsb
sudah diujicoba pada orang dewasa dan mendapat izin pemasaran. Demikian
juga bagi obat-obatan yang sudah lama dipasarkan, hendak dilakukan ujicoba
susulan menyanmgkut dampaknya bagi anak-anak.
(http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 )
ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT.
Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode-
metode farmakokinetika dan klinik .Metode farmakokinetika mencoba
memperkirakan availabilitas fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di
dalam darah/urin atau metabolit-metabolit yang terbentuk, sedangkan metode
klinik didasarkan atas percobaan-percobaan klinik. Dalam hal ini diperlukan
variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek
obat, seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan
sebagainya. Selain kedua metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat
juga diperkirakan dari segi farmakologis seperti yang dilakukan oleh beberapa
peneliti2,3.
Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi
bioavailabilitas produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis
yang berupa signal-signal, dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam
fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain hasil interaksi antara zat aktif
dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas biofasik obat.
Dalam hal ini, kemungkinan me-
Lakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat
dikorelasikan antara dosis dan respons farmakologisnya.
Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya
mempunyai arti luas dan terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari
suatu produk obat. Estimasi dan penilaian bioavailabilitas obat.Dari segi klinik
meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak waktu, sedangkan secara
farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan mengukur
plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktifunchanged,atau kemungkinan lain
yaitu saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat.
Asalkan cara ini dapat didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan
hasil-hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian
availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari beberapa variabel farmakokinetika,
seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak.
(www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm)
V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat - alat
- Timbangan elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1 ml
- Stopwatch
- Alat suntik 1 ml
- Beaker glass 25 ml
5.1.2. Bahan bahan
- Mencit 6 ekor
- Phenobarbital-Na (Luminal-Na)
5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang, dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1 : berat badan 38,5 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 2 : berat badan 18,4 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3 : puasa berat badan 16,85 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 4 : tanpa puasa berat badan 18 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB
(oral)
- Mencit 5 : jantan berat badan 21,8 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 6 : betina berat badan 21,3 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90
menit.
4. Dibuat grafik jumlah respon vs waktu.
5.3. Flow Sheet
Untuk mencit III dan IV (per oral)
Mencit
Ditandai dan ditimbang
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan
dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
6.2. Data
No
Perlakuan
Waktu pengamatan (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
BB =38,5 gr
I.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB
(i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
2
BB = 18,4 gr
II. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
3
Puasa
III. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
4
Tidak Puasa
IV. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
5
Jantan
V. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.3
1.3
6
Betina
VI.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB(i.p)
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.4
Keterangan : 1.1 = Keadaan Normal 1.3 = Keadaan Gerak Lambat
1.2 = Keadaan Reaktif 1.4 = Keadaan Tidur
6.4. Pembahasan
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain
mempengaruhi dosis yang harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat
tersebut. Mencit yang berat badannya lebih besar menimbulkan respon yang
lebih cepat dibandingkan mencit yang berat badannya lebih kecil, dimana pada
menit ke 20 mencit dengan berat badannya 38,5 g lebih dahulu memberikan
respon garuk-garuk dibandingkan mencit dengan berat badan 18,4 g. Ini
bertentangan dengan teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil
memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti
genetis, dan kondisi mencit saat percobaan.
Dalam percobaan didapatkan bahwa mencit yang tanpa puasa memberikan
respon yang lebih lambat daripada mencit yang dipuasakan, dimana mencit yang
dipuasakan lebih dulu memberikan respon garuk-garuk daripada mencit tanpa
puasa yaitu pada menit ke 30 sedangkan yang tanpa puasa pada menit ke 40.
Dari variasi jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jantan terlebih dahulu yang
memberikan respon yaitu pada menit ke 20 sudah mulai gerak lambat,
sedangkan pada betina dalam waktu yang sama masih reaktif.
I. Pendahuluan
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan,
kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya
tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope
negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis
maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan
merupakan batas yang harus mutlak ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat
dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh
Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-
faktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis
rata-rata yang biasanya lazim memberikan efek yang diinginkan (Tjay &
Rahardja, 2002).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan
dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam
arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi
median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah
dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah
dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan
dalam rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti
karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar
(Setiawati dkk, 2007)
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80
mg/kgBB, 160 mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan
dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial berdasarkan berat badan hewan
percobaan untuk mengetahui respon obat dengan pengamatan setiap interval
waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.
5.3. Flowsheet
Mencit I pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 40 mg/Kg BB
Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi
Mencit II
berat badan = 18,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III
berat badan = 36,7 g
dosis Luminal Na = 160 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit IV
berat badan = 18,5 g
dosis Luminal Na = 320 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V
berat badan = 19,6 g
dosis Luminal Na = 640 mg/kgBB
konsentrasi = 2%
Perhitungan ED 50
Log ED 50 = a-b ( pi 0,5)
Dimana : a adalah log dosis terendah yang masih dapat memberikan respon
100% tiap kelompok.b a`ala` loaaritma dosis xaLg barurutan,
a 9 loe 40 = 1,602
b = log0 lgg40 = 0,301Pi = 1
og ED50 = 1,602 440,301(1-0,5)
= 1,4515
Maka ED 50 = 28,28 mg/kgBB
Pada percobaan ini konsentrasi Luminal Na yang diberikan pada mencit yaitu
0,7% diberikan pada mencit I sampai mencit yang ke IV dan konsentrasi 2%
diberikan pada mencit V, dengan variasi dosis dari mencit I-V secara berurutan
40, 80, 160, 320, dan 640 (mg/kgBB). Pada mencit V diberikan konsentrasi 2%
karena jika diberikan pada konsentrasi yang sama dengan yang lainnya akan
didapatkan volume sediaan yang cukup besar, sehingga tidak mungkin untuk
menginjeksikannya pada mencit yang ukuran badannya relatif kecil. Disini
memang kita melihat faktor konsentrasi tidak begitu menentukan respon obat.
Dalam diktat kuliah farmakokinetika (Azizah Nasution), disana terdapat bahwa
besarnya respon obat yang dihasilkan tergantung pada jumlah obat yang
berikatan dengan reseptor, dimana jumlah obat yang berikatan dengan reseptor
ini sebanding dengan jumlah obat bebas dalam plasma.
Penentuan respon dan penentuan indeks terapi Luminal Natrium 0,7% dan 2%
yang diujikan pada hewan mencit diperoleh dosis terendah yang memberikan
efek tidur ataupun gerak lambat yaitu 80 mg/kg BB, dosis ini digunakan untuk
menentukan ED 50. Pada peningkatan dosis 160 mg/kg BB dan 320 mg/kg BB
menunjukkan efek toksik yang dapat dilihat dengan depresi pernafasan dan
pingsannya beberapa ekor mencit. Dan peningkatan dosis yang dilakukan sampai
640 mg/kg BB memberikan efek letal pada 3 ekor mencit, dan pada 2 ekor yang
lain hanya smpai batas pingsan dalam rentang waktu 90 menit tersebut. Efek
suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang
diberi di bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan
dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam
arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2002) dalam buku Obat-Obat
Penting, senyawa turunan barbiturat seperti Luminal bila digunakan sebagai
sedativ-hipnotika memiliki range terapi yang relatif agak lebar (15-30) mg
memberi efek sedativ dan 100 mg atau lebih memberi efek hipnotik) walaupun
tidak seluas range terapi obat-obat bebas.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan dapat disebabkan oleh variasi biologis pada
mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan seperti kondisi stress, dan
prosedur pemberian Luminal yang menggunakan jarak dosis dengan logaritma
lebar (dosis 320 mg/kgBB telah menunjukkan efek toksik yang hebat, dimana
mencit mengalami depresi pernafasan berat (bernafas satu-satu) dan tidak
bereaksi sama sekali atas gangguan apapun). Kemungkinan, pada dosis 320
mg/kgBB mencit telah mengalami keadaan koma/vegetatif (entering a comatose
state), sehingga pemberian kelipatan log dosis berikutnya (640 mg/kgBB) adalah
terlalu lebar jaraknya dari dosis toksik.
Selain itu, menurut Bertram Katzung (2001) dalam buku Farmakologi Dasar dan
Klinis, penentuan indeks terapeutik tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan
100% dalam menentukan tingkat keamanan suatu obat yang digunakan, baik
dalam laboratorium ataupun secara klinis. Percobaan-percobaan obat sering
menunjukkan suatu rentang dosis obat yang biasanya efektif dengan suatu
(tetapi kadang-kadang tumpang tindih) dengan rentang lain dari dosis-dosis yang
mungkin toksik. Walaupun pernyataan ini lebih relevan pada manusia daripada
hewan, Katzung menekankan bahwa perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya variabilitas biologis, maka tidak tertutup kemungkinan kekurangtepatan
ini terjadi juga pada hewan, dalam hal ini mencit.
Daftar Pustaka
Walker, Roger & Clive Edwards, (2003), CLINICAL PHARMACY AND THREPEUTICS,
Third Edition, Churchill Livingstone: Edinburgh, Halaman 8.
http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.spiritia.or.id
ANTAGONIS OBAT
I. Pendahuluan
Reseptor muskarin berada di neuron postganglion dan dapat dalam minimal 3
subtipe, yakni resptor M1, M2 dan M3. Ketiga jenis reseptor ini bila dirangsang
memberikan efek yang berlainan. Dimana M1 pada neuron mengalami aktivasi
dan pada ganglion simpatis bila dirangsang akan terjadi pelepasan noradrenalin
lebih banyak. M2 pada miokard terjadi kontraksi yang makin besar dan pada
jaringan nodus bila distimulasi akan menyebabkan bradikardia. Pada M3 yang
terdapat pada kelenjar eksokrin terjadi penyaluran AV menjadi lebih kecil, pada
ileum terjadi sekresi dan pada pembuluh terjadi relaksasi langsung karena
kontraksi menyebabkan via endotel mengalami relaksasi (Tan Hoan Tjay, 2002).
Agonis reseptor muskarinik umumnya berbentuk suatau senyawa amonium
kuartener. Contohnya antara lain adalah pilokarpin, arekolin, dan karbakol;
mereka bersifat tidak selektif terhadap subtipe reseptor muskarinik. Senyawa-
senyawa tersebut tidak digunakan secara klinis, efeknya adalah salivasi
berlebihan dan berkeringat. Agonis lain, oksotremorin bahkan menyebabkan
tremor, sehingga digunakan dalam penelitian untuk membuat suatu model
penyakit parkinson. Agonis lain yang sedang dikembangkan adalah xanomelin
dan talsaklidin untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Diketahui, penyakit
Alzheimer ditandai dengan kemunduran kognisi dan memori yang disebabkan
karena defisiensi asetilkolin di otak. Karena itu, salah satu terapinya adalah
dengan mengaktifkan reseptor asetilkolin yang terkait (M1) dengan suatu agonis
(Z. Ikawati, 2006).
Obat atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor muskarinik yang
menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Atropine, alkaloid belladonna,
memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat
secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di
reseptor muskarinik. Atropine menyekat reseptor muskarinik baik di sentral
maupun di saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlansung sekitar 4 jam
kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-
hari
Atropine menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan
midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan
siklopegia (ketidakmampuan memfokus untuk untuk penghilatan dekat). Pada
pasien dengan glaukoma, tekanan intaokular akan meninggi secara
membahayakan. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat
menimbulkan midriasis dan siklopegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat
menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang
( Mary J.Mycek, 2001).
V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan :
5.1.1. Alat :
- Timbangan elektrik
- Botol tetes
- Jangka sorong
- Stopwatch
- Lup (kaca pembesar)
- Flashlight (senter)
5.1.2. Bahan :
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%
- Diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleknya terhadap
cahaya dengan melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata
kelinci sebanyak tiga kali dengan selang waktu lima menit,
- Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri,
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya
dengan cara melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci
setiap lima menit selama tiga puluh menit,
- Setelah tiga puluh menit diberi tetes mata mata atropin sebanyak dua tetes
pada kedua mata
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya
dengan cara melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci
setiap lima menit selama tiga puluh menit,
- Dibuat grafik diameter pupil versus waktu
Kelinci
Kelinci
6.3. Pembahasan
Pada percobaan, untuk dapat melihat antagonis obat, obat yang pertama
diberikan pada mata kelinci adalah pilokarpin. Dalam suatu konsentrasi agonis
tertentu, peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif secara progresif
menghambat respon dari agonis, sedangkan konsentrasi-konsentrasi antagonis
yang tinggi akan mencegah respons secara keseluruhan. Sebaliknya konsentrasi
agonis yang lebih tinggi, yang cukup, dapat mengatasi efek dari pemberian
konsentrasi antagonis secara keseluruhan, yaitu Emax untuk agonis tetap sama
pada setiap konsentrasi antagonis tertentu. Karena antagonisme bersifat
kompetitif, keberadaan antagonis meningkatkan konsentrasi agonis yang
dibutuhkan untuk pemberian suatu tingkatan respon tertentu, dan kemudian
kurva konsentrasi-efek agonis bergeser ke kanan. Menurut Katzung beberapa
antagonis reseptor mengikat reseptor dengan cara yang bersifat ireversibel, atau
hampir ireversibel. Afinitas antagonis reseptor dapat demikian tinggi sehingga
untuk tujuan praktis, resptor tersebut tidak dapat lagi berikatan dengan agonis.
Antagonis lain dalam kelompok ini menghasilkan efek yang ireversibel karena
setelah berikatan pada reseptor, antagonis tersebut membentuk ikatan-ikatan
kovalen dengannya. Setelah kedudukan reseptor-reseptor pada proporsi yang
besar oleh antagonis jenis ini, jumlah reseptor yang tidak diduduki bisa
sedemikian rendah sehingga agonis dengan konsentrasi tinggi tidak dapat
mengatai antagonisme yang ada, dan respons agonis yang maksimal tidak dapat
dicapai.
Berdasarkan percobaan didapat hasil bahwa pemberian tetes mata pilokarpin
sebanyak 2 tetes menghasilkan efek miosis, yaitu mengecilnya diameter pupil
mata hewan percobaan (kelinci). Hal ini adalah sesuai dengan teori, karena kerja
pilokarpin sebagai obat golongan agonis muskarinik (agonis kolinergik yang
sifatnya menyerupai asetilkolin), yang dapat menurunkan kontraksi otot siliaris
dan tekanan intraokuler bola mata. Sesuai dengan pendapat Tan Hoan Tjay
(2002), obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan
penurunan kontraksi otot siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan
cepat, serta merangsang sekresi kelenjar yang terikat pada kelenjar keringat,
mata dan saliva. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengaruh rute pemberian
(tetes mata) dan dosis obat yang diberikan.
Selain itu, pada pemberian tetes mata atropin dengan jumlah yang sama pada
kelinci, segera terjadi efek yang berlawanan dengan pilokarpin, yaitu terjadi efek
midriasis (dilatasi pupil mata) sehingga diameter pupil mata kelinci yang
mengecil kembali membesar. Sementara kelinci kontrol yang hanya diberi
pilokarpin tanpa pemberian atropin, pupil matanya tetap mengalami miosis. Ini
sesuai dengan pendapat Mary J. Mycek, dkk (1997) bahwa kerja atropin adalah
menyekat semua `ktivita kohijergik m!ta.P`dA pelgujian refleks cahaya mat`
kelilci, diperoleh hasil bahua setelah pemberian pilgkarpin, refleks mata kelinci
terhadap cahaya menjad) lebih cepat `aripada respon normal (kelinci
berkedip55dengan cepat), hal ini sesuai dengan teori bahwa pilokarpin
menimbulkan miosis dan menyebabkan peningkatan kepekaan mata terhadap
cahaya. (Kemungkinan peningkatan kepekaan disebabkan efek miosis,
pengecilan diameter pupil menyebabkan pengurangan cahaya yang dapat
melewati pupil untuk sampai ke retina, sehingga untuk mengkompensasi hal ini,
mata meningkatkan kepekaannya terhadap cahaya).
Namun pada pengujian refleks cahaya setelah pemberian atropin, hasil yang
diperoleh agak kurang sesuai dengan teori, dimana menurut Mycek, kerja atropin
adalah menyekat semua aktivitas kolinergik mata dan seharusnya mata menjadi
tidak bereaksi sama sekali terhadap cahaya (tidak ada kedipan mata). Namun
dari percobaan diperoleh bahwa kelinci masih menunjukkan refleks terhadap
cahaya, walaupun refleks menjadi lambat. Selama percobaan terlihat bahwa
refleks mata kelinci makin melambat seiring waktu, dan kemudian sekitar menit
ke-30, refleks mata kelinci sedikit menjadi lebih cepat, walaupun hal ini kurang
terlihat dengan pengamatan visual saja, dan mungkin saja dipengaruhi oleh
subjektivitas si pengamat. Kemungkinan ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh
dosis atropin yang diberikan, dimana dosis yang diberikan sedikit kurang
sehingga tidak semua reseptor pilokarpin terokupasi oleh atropin. Hal ini juga
dapat disebabkan oleh cara pemberian yang kurang baik, sehingga
mengakibatkan tidak semua obat mengenai bola mata.
7.1. Saran
- Sebaiknya pengukuran diameter pupil mata kelinci dan pengamatan refleks
cahaya dilakukan oleh satu praktikan saja, untuk menghindari variasi
pengamatan.
- Sebaiknya pemberian obat lebih memperhitungkan dosis dan faktor kesalahan
pemberian
- Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi,
dengan mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap
pengukuran, sehingga respon farmakologis lebih mudah diamati.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Poskan Komentar
wahyudin sitorus
kamu adalah apa yang kamu fikirkan
File
Desember (5)
Maret (1)
Mei (1)
Juni (1)
Tablet (compressi) adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau
tanpa zat pengisi
Kempa langsung
Granulasi basah
Granulasi kering
Penimbangan
Pencampuran Z.a & eksipien
Pengempaan tablet
Tablet
Penimbangan
Pencampuran z.a & eksipien
Penambahan bahan pengikat
Pengayakan basah
Pengeringan
Pengayakan kering
Penimbangan
Pencampuran bhn pelicin & penghancur
Pengempaan
Tablet
Penimbangan
Pencampuran z.a & eksipien
Pengempaan/slugging
Penghancuran
Pengayakan
Penimbangan
Pencampuran bhn pelicin & penghancur
Pengempaan
Tablet
Kenapa dlm pembuatan tablet, obat dibuat mjd granul (tidak serbuk)? Krn apabila
obat dalam bentuk serbuk maka akan sulit mengalir dlm cetakan, disamping itu bila
dibuat granul bisa terjadi interlocking sehingga tablet yang dihasilkan lebih mampat
dan kuat
disolusi absorpsi
Formulasi tablet:
Umumnya mengandung: zat aktif, bhn pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur,
bhn pelicaf, adjuvant
Eacam-macam eksipien:
1.Penghsi
Mena-b`h bobot
Ditambahkan jika umlah zat akthf obat sedikit (dexametason, diazapam, dll)
Contoh: pati, selulosa, makrokristal , laktosa, amilum, kalsium sulfat
2.Pengikat/binders
Untuk memberi daya adhesi pada massa dan menambah daya kohesi yang telah ada
pada bahan pengisi serbuk (sehingga dapat kompak pada saat dikempa)
Ex: selulosa, gelatin, PVP, gom akasia
3.Penghancur/desintegran
Membantu hancurnya tablet setelah ditelan
Dpt digunakan: amilum, CMC Na (Carboxy metyl cellulose Natrium)
4.Pelicin/lubrikan
Mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan berguna untuk mencegah
massa tablet melekat pada cetakan sehingga mudah dikeluarkan
Ex: Mg stearat, Na stearat, asam borat, talk
Lubrikan bersifat hidrofobik menurunkan kecepatan disintegrasi(sehingga jangan
ditambahkan terlalu banyak)
5.Glidant
Meningkatkan daya alir serbuk/granul sehingga dapat mengisi cetakan dgn rata
(biasanya digunakan utk metode cetak/kempa langsung)
Ex: amilum, talk, PEG 4000 & 6000
6.Wetting agents
Meningkatkan pembasahan/penyerapan air sehingga dapat meningkatkan disintegrasi
dan disolusi
Ex: sodium lauryl sulfat (SLS)
7.Chelating agents
Mencegah autooksidasi dgn pembentukan kompleks dgn logam berat
Ex: asam sitrat, asam tartrat
8.Adsorbent
Material penyerap zat aktif bentuk cair sehingga menjadi lebih sedikit dan dapat
ditablet
Ex: silicon dioksid
9.Buffers
Menjaga ph lingkungan sehingga dapat meningkatkan stabilitas dan bioavailabilitas
Ex: Na karbonat, kalsium karbonat
10.Antioksidan
Mencegah terjadinya oksidasi tablet sehingga dpt meningkatkan stabilitasnya
Ex: asam askorbat, asam sitrat, asam tartrat
11.Preservatif
Mencegah tumbuhnya mikroba
Ex: metil benzoate
12.Colours, favours, sweeteners
Pewarna: red 3 (erythrosine), yellow 5 (tartrazine)
Pemanis: mannitol, sukrosa alami
Sakarin buatan
Informasi ttg eksipien dapat diperoleh di: IIG (Inactive Ingridient Guide)
GRAS (Generally Regarded As Safe)
Handbook of Pharmaceutical Excipients
MODIFIKASI TABLET
Keuntungan:
Frekuensi minum tablet dikurangi
Karena point diatas, maka dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat
Efek farmakologis lebih stabil krn zat aktif dilepas secara perlahan
Meningkatkan kenyamanan pasien
Kekurangan:
Obat lebih mahal
Jika salah pemakaian obat (digerus, dibagi) maka akan terjadi pelebaran khasiat obat
MACAM:
1. Tablet salut biasa
Umumnya disalut dgn gula (dagree)
Tujuan: meningkatkan nilai estetik, enak
2. Tablet salut enterik
Dipakai untuk zat-zat yang dapat rusak atau in aktif pada lambung atau dapat
mengiritasi mukosa lambung
Menunda pelepasan obat sampai tablet telah melewati lambung
Ex: anti cacing. Anti amuba untuk pengobatan pada usus
3. Tablet lepas lambat/ OROS
Tablet ini dibuat sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah
obat diberikan
Efek tablet diperpanjang krn z.a dlm tablet dilepas secara perlahan-lahan
Pembuatan: sebelum dicetak, granul-granul dibagi dlm beberapa kelompok.
Kelompok pertama tidak diapa-apakan, kelompok kedua disalut dgn bhn penyalut
yang pecah setelah beberapa saat, kelompok ketiga disalut dgn bhn penyalut yang
pecah lebih lama daripada kelompok 2, dst
4. Tablet yang berbentuk kapsul disebut: kaplet
5. Tablet besar untuk hewan: bolus
6. Tablet Effervescent:
Adalah tablet yang melepaskan gas bila kontak dengan air (larut dlm air) sehingga
tablet pecah/hancur saat berada di dalam air. Dibuat dgn cara dikempa, selain zat aktif
juga mengandung campuran asam (Asam sitrat dan asam tartrat) dan basa (Na
bicarbonate), maka jika dilarutkan dalam air akan mengeluarkan gas CO2
Perpaduan antara:
Asam sitrat granul tll empuk
Asam tartrat memberi masa yang lengket
Zat aktif + asam + Na bikarbonat dilarutkan air tablet pecah, zat aktif larut,
mengeluarkan gas CO2 (efek menyegarkan)
GRANUL EFFERVESCENT
Metode pembuatan:
a.Metode peleburan (fusion method)
Digunakan air sebagai bahan pengikat
Campuran serbuk dipanaskan dlm oven (93-1040 C)/penangas air sampai terjadi
massa lembab
Diayak (tergantung ukuran granul)
Dikeringkan pada suhu rendah (<540 C)
b. Metode basah (wet method)
Dipakai bahan pembasah yang tidak melarutkan massa sehingga menjadi campuran
serbuk kemudian dikeringkan seperti pd metode peleburan
Air + alcohol (pembasah plastis) kemudian diayak dan dikeringkan pd suhu < 540
C
PENYALUTAN
Usaha untuk menutupi obat dengan suatu lapisan/zat ttt.
Tujuan:
1. Menutupi rasa, bau dan warna yang kurang menyenangkan
2. Memberi perlindungan fisik dan kimia pada obat
3. Mengendalikan pelepasan obat
4. Meningkatkan penampilan tablet
5. Membantu dan mempermudah identifikasi sediaan
6. Mempermudah proses blistering
Metode penyalutan:
1.Metode panci (coating pan)
2.Metode pencelupan (dip coating)
3.Metode kompressi
4.Air suspension coating