PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set point ke
kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan prostaglandin E2, yang
distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus (Sweetman, 2008). Obat ini
menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan
ini tidak boleh digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering
ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respon hemodinamik seperti
hipotensi, gangguan fungsi hepar dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air
(Hammond and Boyle, 2011). Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap
peningkatan suhu tubuh akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang
paling umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi
beberapa obat (Sweetman, 2008).
Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC dan bisa menjadi
manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia dikontrol oleh
hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada level temperatur
yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan
oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang
terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin,
leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro
and Zieve, 2013). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab
demam adalah 2 gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa
golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-
aminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya
fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non Steroid Anti-
inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk mencegah
peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi suhu
≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau intraperitonial
biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan dimana suhu tubuh
lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan kehidupan dan harus segera diturunkan
(Sweetman, 2008).
Demikian pula pada penelitian lain yang membandingkan efisiensi antipiretik
intravena infus diklofenak (75 mg), metamizol (2500 mg dan 1000 mg) dan
parasetamol (2000 mg dan 1000 mg). Penelitian 3 menyimpulkan bahwa semua
memiliki efek antipiretik yang signifikan. Namun, metamizol 2500 mg dianggap
sebagai yang paling efektif, sementara parasetamol 1000 mg menunjukkan khasiat
antipiretik terendah (Oborilová dkk., 2003).
B. TUJUAN
Mahasiswa dapat melakukan perhitungan konversi dosis obat antipiretik dari
manusia ke hewan uji coba mencit.
C. MANFAAT
Menambah pengetahuan dan pemahaman mahasiswa mengenai daya obat
antipiretik terhadap hewan uji dan pemahaman perhitungan konversi dosis obat
antipiretik dari manusia ke mencit sehingga mahasiswa tidak hanya mengetahui secara
teori tetapi juga praktik.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Obat adalah unsur aktif secara fisiologi dipakai dalam diagnosis, pencegahan,
pengobatan, atau penyembuhan suatu penyakit pada manutia hewan. Obat dapat
berasal dari alam diperoleh dari sumber mineral, tumbuh - tumbuhan, hewan atau dari
sintesis Kimia organik atau biosintesis (Ansel.1989)
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang
yang menderita akibat keracunan obat oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat
dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat
sebagai obat apabila dapat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis
dan waktu yang tepat. Apabila salah dalam pengobatan / dengan dosis yang
berlebihan, akan menimbulkan keracunan. Apabila dosisnya kecil, maka tidak akan
memperoleh penyembuhan. (Anief, 1991)
Manusia mempunyai suhu tubuh nommal pada oral adalah 35,8-37,3 °C,
sedangkan suhu rektal lebih tinggi sekitar 0,3-0,5 °C. Demam yang paling tinggi
terjadi pada anak-anak. Terdapat bukti bahwa demam akibat infeksi bersifat
menguntungkan, karena dapat mengurangi stabilitas lisosom, meningkatkan efek
interferon dan merangsang mobilitas leukosit.
Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Suhu tubuh
normal adalah 36-37°C. Kebanyakan analgetik memberkan efek antipiretik,
sebaliknya, antipiretik juga dapat mengurangi rasa sakit pada penderita. Setiap obat
masing-masing memilkik efek yang dominan, misalnya parasetamol dan aspirin.
Obatobat tersebut efek antipiretiknya lebih besar daripada analgetiknya (Anief, 1997).
Antipiretik mencegah pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase. Hal ini mengakibatkan set point hipotalamus direndahkan kembali
menjadi normal sehingga perintah memproduksi panas di atas normal dan pengurangan
pengeluaran panas tidak ada lagi (Hastuti dan Susi, 2016).
Demam merupakan suatu kondisi pada saat suhu tubuh diatas normal yaitu 38°
Celsius. Pada penanganan demam terdapat berbagai macam cara yang dapat digunakan
untuk menurunkan panas seperti melakukan penanganan tanpa obat dan penanganan
dengan obat. Penanganan dengan obat dilakukan dengan memberikan obat antipiretik
pada saat suhu tubuh anak >390C.
Obat antipiretik yang umumnya digunakan saat ini adalah Asam mefenamat
dan ibuprofen karena kedua obat ini dinilai relatif aman untuk anak dan usia dewasa.
Seiring berjalannya waktu, demam konsisten menyebabkan tingginya tingkat
kecemasan pada orang tua dan kewaspadaan pada praktisi kesehatan akan terjadinya
pendarahan pada otak, panas yang tinggi, bahkan kematian pada anak.
Salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai obat penurun
panas adalah flavonoid. Flavonoid menunjukkan lebih dari seratus macam bioaktivitas.
Bioaktivitas yang ditunjukkan antara lain efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi.
Demam atau pireksia merupakan gejala dari suatu penyakit. Dampak negatif
demam antara lain mengakibatkan dehidrasi, kekurangan oksigen, kerusakan saraf,
serta rasa tidak nyaman seperti sakit kepala, nafsu makan menurun (anoreksia), lemas,
dan nyeri otot. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, demam dapat diobati
dengan antipiretik. Obat antipiretik yang sering digunakan untuk mengobati demam
yaitu parasetamol.
Pada umumnya dosis yang digunakan untuk parasetamol pada anak sebanyak
10-15 mg/kg/dosis tiap 4 jam. Parasetamol bekerja dalam waktu satu jam dan paruh
waktu eliminasinya pada anak-anak berkisar antara 2-5 jam. Parasetamol akan
diekskresi melalui urin sehingga parasetamol baik apabila diberikan kembali tiap
interval 4 jam pada anak demam. Pemberian dalam interval tiap 4 jam tersebut agar
dapat mencegah pemberian parasetamol yang berlebih dikarenakan dosis parasetamol
yang berlebih akan menimbulkan efek berbahaya yang bisa menyebabkan kerusakan
pada hati yang terkadang tidak terlihat efeknya dalam 4 sampai dengan 6 hari.
Pemberian tiap interval 4 jam juga mencegah pemberian obat dalam dosis yang
kurang. Dosis yang kurang ini akan menyebabkan efektifitas kerja obat tidak tercapai
(Surya, dkk. 2018).
Dalam pengujian antipiretik yang dilakukan pada mencit yang demam, oleh
karena itu diperlukan demam buatan. Peningkatan suhu mencit dilakukan dengan
pemberian vaksin DPT sebanyak 0,4 ml yang diinjeksikan secara intramuskular
hasilnya suhu tubuh tikus meningkat pada kisaran 37,27-38,23 °C, dimana suhu awal
tubuh tikus berada pada kisaran 35,57 36,27 °C. Menurut Septiawan (2014), vaksin
DPT yang telah dilakukan uji pada tikus dan marmot tiap dosis (0,5 ml) dapat
menaikkan suhu tubuh sampai ± 38 °C setelah tiga jam penyuntikan. Efek samping
penyuntikan dengan vaksin DPT adalah demam tinggi dan gejala ringan yang bersifat
sementara seperti kemerahan dan bengkak pada lokasi suntikan.
Obat antipiretik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi demam. Obat-
obat ini mudah diperoleh tanpa resep. Ketika digunakan pada waktu yang singkat,
obat-obat ini pada dasarnya aman dan efektif. Tetap dengan adanya berbagai macam
obat antipiretik yang tersedia di pasaran, alangkah lebih baik harus dipilih obat yang
paling optimal untuk pasien pada keadaan tertentu.
Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) merupakan vaksin yang terdiri dari
toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah
diinaktivasi. Vaksin apabila diberikan pada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Depkes RI, 2006)
Uji antipiretik dilakukan pada hewan yang demam dengan di induksi vaksin
DPT sebanyak 0,2 ml yang diberikan secara injeksi intramuskular. Efek demam pada
tikus dirangsang dengan pemberian Vaksin DPT. Vaksin ini mengandung mikroba
Bordetella pertusis yang telah inaktif dan diberikan secara intramuskular pada tikus.
Sebagai respons terhadap mikroba tersebut, leukosit mengeluarkan zat kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi
dan juga bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan suhu,
sehingga muncuk efek demam sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi atau
peradangan (Sedu, dkk. 2020)
A. ALAT
1. Kalkulator
2. Lembar Kerja pada laporan awal
3. Timbangan hewan dan wadah
B. BAHAN
1. Mencit 1 ekor dengan berat antara 20-30 gram
C. CARA KERJA
Lakukan konversi dosis sesuai berat badan mencit untuk obat ibuprofen dan asam
mefenamat
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
1 35 g
2 30 g
3 22,45 g
PEMBAHASAN
Pada hewan percobaan ini ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil
percobaan, yaitu faktor internal dan ekternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi
hasil percobaan antara lain adalah variasi biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat
genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan. Usia dan jenis
kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia yang tepat fase hidup
hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan lebih baik. Beda hasil jika usia
hewan tersebut masih bayi. Jenis kelamin juga berpengaruh dilihat dari literatur bobot
badan hewan akan berbeda. Hal ini berpengaruh pada dosis yang akan digunakan pada
hewan percobaan tersebut. Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil
percobaan karena efek yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan
berlangsung cepat efek yang dihasilkan.
Faktor ekternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruang tempat hidup seperti suhu,
kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), suplai
oksigen.
Dosis Efektifitas (ED) suatu obat merupakan dosis obat yang dapat
menimbulkan efek terapi pada individu. ED50 (Efective Dose Median) = adalah dosis
dimana 50% dari individu atau hewan percobaan dalam kelompoknya memberikan
respon/efek.
Harga ED50 semakin kecil, semakin efektif pemakaian obat tersebut
Dosis Letal (LD) suatu obat merupakan dosis obat yang dapat menimbulkan
kematian pada individu atau hewan percobaan.Dosis Toksik (TD) suatu obat
merupakan dosis obat yang dapat menimbulkan gejala toksik/keracunan pada individu
atau hewan percobaan.LD50 (Letal Dose Median) = adalah dosis dimana 50% dari
individu atau hewan percobaan dalam kelompoknya mengalami kematian.
Harga LD50 atau TD50 semakin besar, semakin aman pemakaian obat tersebut
LD 50 ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu. Dosis yang
menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median (ED 50). Sedangkan TD 50 ialah dosis toksik 50%.
Dalam standar farmakodinamik di laboratorium indeks terapi satu obat dinyatakan
dalam ratio berikut :
Indeks terapi = TD 50 atau LD 50 ED 50 ED 50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua penderita, tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang penderita pun, oleh karena itu :
Indeks terapi = TD 1 ialah lebih tepat, dan untuk obat ideal TD 1 1 ED 99 ED 99
Jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan
berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Rute pemberian obat menentukan jumlah
dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu
keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang menugikan
Pada pemberian dosis pada hewan coba, dosis yang diberikan harus sesuai
dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang mempengaruhi
yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat. Sifat fisikokimia obat
yang mempengaruhi, antara lain:
1. Subifitas pads pH lunbang.
2. stabilitas terhadap cozim-enzim pencernaan
3. stabilitas terhadap fora usus
4. kelantan dalam air atau cairan saluran cerna
5. ukuran molekul 6 derajat ionisast pada pil saluran cerna,
6. kelantan bentuk non-ion dalam lemak.
7. stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dindang saluran cerna, dan
8. stabilitas terhadap marim-enzim di dalam hati.
Kebutuhan dosis untuk ukuran hewan coba dapat dihitung dengan cara dosis
dari manusia yang telah diketahui dikonversi ke dosis hewan coba sehingga didapat
dosis hewan. Selanjutnya untuk mengetahui volume larutan yang diperlukan dapat
dihitung dengan cara mengalikan jumlah dosis dengan jumlah hewan coba dan
ditambah dengan pembawa.
Ibuprofen dan asamefenamat diberikan secara oral. Pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obar yang umun dilakukan karena mudah aman, dan
murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama. Sedangkan
pemberian secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki keuntungan karena
efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara orel
karena tidak mengalami tahap) absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.
B. LEMBAR KEGIATAN MAHASISWA
a) Perhitungan konversi dosis mencit 30 g
1. Dosis lazim ibuprofen pada manusia : 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 400 mg x 0,0026
= 1,04 mg
= 0,78 %
= 0,975 %
b) Perhitungan konversi dosis mencit 35 g
1. Dosis lazim ibuprofen pada manusia : 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 400 mg x 0,0026
= 1,04 mg
= 0,005837%
2. Dosis lazim asam mefenamat pada manusia : 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg
BAB V
Kesimpulan :
Pada pengujian efek parasetamol sebagai antipiretik, dengan menggunakan mencit sebagai
hewan coba, setelah dilakuannya percobaan menunjukkan parasetamol mempunyai efek
antipiretik, karena setelah diinduksinya pepton pada mencit suhu tubuh mencit mulai
meningkat, tetapi dengan diberikannya parasetamol, suhu tubuh mencit mulai menurun
sehingga efek antipiretik pada parasetamol sudah bisa dibuktikan.
Saran :
Lebih memperhatikan kondisi mencit pada pemilihan hewan yang akan digunakan. Karena
hewan mencit pada kelompok kami mati setelah penyuntikan pepton. Dalam melakukan
paraktikum dengarkan instruksi yang diberikan dosen dengan baik pelajari materi sebelum
praktikum dimulai agar tidak terjadi kekeiruan dalam pelaksanaan percobaan.