Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR


KONVERSI DOSIS OBAT ANTIPIRETIK

KELOMPOK : Kelompok 1 (3A Kloter 2)


NAMA ANGGOTA :
1. Khairunnisa Ayu Pradana (P27242022032)
2. Lissa Mary Agatha Sari (P27242022033)
3. Manisa Khoirulla (P27242022034)
4. Mira Indriyani (P27242022035)
5. Muh Irfan Aulia Rahman (P27242022036)
6. Muhammad Zulfa Arrafi' (P27242022037)
7. Mutiara Yanuar Rudian Pramesti (P27242022038)

HARI/JAM PRAKTIKUM : RABU, 23 AGUSTUS 2023


DOSEN PEMBIMBING :1. Apt.NUR ATIKAH,M.Sc.
2. Apt.Dwi Subarti,M.Sc

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI DIII FARMASI
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set point ke
kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan prostaglandin E2, yang
distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus (Sweetman, 2008). Obat ini
menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan
ini tidak boleh digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering
ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respon hemodinamik seperti
hipotensi, gangguan fungsi hepar dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air
(Hammond and Boyle, 2011). Demam (pyrexia) merupakan kendali terhadap
peningkatan suhu tubuh akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang
paling umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi
beberapa obat (Sweetman, 2008).
Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC dan bisa menjadi
manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia dikontrol oleh
hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada level temperatur
yang paling tinggi (Dipiro, 2008). Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan
oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang
terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin,
leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik dan antihistamin) (Kaneshiro
and Zieve, 2013). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab
demam adalah 2 gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa
golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-
aminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya
fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007). Acetaminophen, Non Steroid Anti-
inflammatory Drugs, dan cooling blanket biasa digunakan untuk mencegah
peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi suhu
≤ 37,5ºC (Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau intraperitonial
biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan dimana suhu tubuh
lebih dari 41ºC. Suhu ini dapat membahayakan kehidupan dan harus segera diturunkan
(Sweetman, 2008).
Demikian pula pada penelitian lain yang membandingkan efisiensi antipiretik
intravena infus diklofenak (75 mg), metamizol (2500 mg dan 1000 mg) dan
parasetamol (2000 mg dan 1000 mg). Penelitian 3 menyimpulkan bahwa semua
memiliki efek antipiretik yang signifikan. Namun, metamizol 2500 mg dianggap
sebagai yang paling efektif, sementara parasetamol 1000 mg menunjukkan khasiat
antipiretik terendah (Oborilová dkk., 2003).

Seperti obat-obatan lainnya metamizol dan parasetamol juga memiliki efek


samping. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipotensi, mual dan muntah (< 1/100 individu). Sedangkan efek samping
lainnya yang jarang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas (< 1/10.000 individu)
(Żukowski dkk.,2009).
Usaha untuk menurunkan suhu tubuh merupakan cara untuk mengurangi laju
metabolik dan mengurangi kekurangan oksigen atau mengurangi kerusakan lebih
lanjut dari kematian sel otak setelah cedera otak atau pendarahan otak (Hammond and
Boyle, 2011).
NSAIDs banyak digunakan sebagai first line terapi untuk demam. Metamizole
di banyak negara sudah tidak lagi digunakan karena efek sampingnya yang cukup
serius yaitu agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia. Di Indonesia,
frekuensi pemakaian metamizole cukup tinggi dan agranulositosis pernah dilaporkan
pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka kejadiannya (Wilmana,
2007). Dalam studi penggunaan obat, dapat dipelajari efek-efek yang mungkin
ditimbulkan metamizole sebagai antipiretik pada pasien cedera otak yang dapat
memperburuk outcome terapi.
Studi penggunaan obat adalah studi yang mempelajari proses penggunaan obat,
yang didefinisikan WHO sebagai pemasaran, distribusi, peresepan, dan penggunaan
obat dalam masyarakat dengan titik berat pada hasil pengobatan dan konsekuensi
sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Tujuan 4 utama studi penggunaan obat adalah untuk
memfasilitasi penggunaan obat secara rasional pada suatu populasi. Dalam studi
penggunaan obat dipelajari faktor-faktor yang terlibat dalam peresepan, pemberian dan
penggunaan sehingga pengobatan dapat tepat guna dan mencapai hasil yang optimal.
Selain itu di dalam studi penggunaan obat dapat diperkirakan efek samping atau
bahaya obat tertentu yang dapat timbul pada pasien sesuai dengan kondisi kliniknya
serta dapat mengetahui pola penggunaan obat pada pasien (WHO, 2013). Studi
penggunaan antipiretik ini pada umumnya bertujuan untuk mengetahui terapi yang
efektif untuk mengurangi demam pada pasien cedera otak tanpa menimbulkan efek
samping (Hammond and Boyle, 2011).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa
banyak obat farmasetik menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika
penggunaan obat tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya diikuti
(Gunawan dkk, 2007). Dari berbagai manajemen terapi pada pasien cedera otak
didapatkan outcome yang beragam tergantung dari jenis terapi serta kondisi pasien
yang dapat mempengaruhi rute, dosis serta lama penggunaan (Haddad and Yaseen,
2012).
Tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat yang kurang tepat dan
penggunaan obat-obat lain yang dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related
Problems (DRPs) seperti drug underused, drug overused, underdose, interaksi obat,
efek samping obat. Sehubungan dengan adanya DRPs, setiap farmasis harus dapat
mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang terjadi atau akan terjadi
dalam pengelolaan dan penggunaan injeksi metamizole. Untuk mengatasi kegagalan
terapi pada pasien cedera otak maka diperlukan suatu pelayanan kesehatan yang
menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan tercapai, salah satunya pelayanan
kefarmasian. Pelayanan farmasi di rumah sakit ditujukan untuk 5 memberikan jaminan
pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat
digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis,
sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama pemberian), mempertimbangkan manfaat dan
resiko bagi pasien tersebut. Oleh sebab itu diperlukan data-data penggunaan obat yang
dapat diperoleh dari studi penggunaan obat atau Drug Utilization Studies (DUS)
(WHO, 2013).

B. TUJUAN
Mahasiswa dapat melakukan perhitungan konversi dosis obat antipiretik dari
manusia ke hewan uji coba mencit.

C. MANFAAT
Menambah pengetahuan dan pemahaman mahasiswa mengenai daya obat
antipiretik terhadap hewan uji dan pemahaman perhitungan konversi dosis obat
antipiretik dari manusia ke mencit sehingga mahasiswa tidak hanya mengetahui secara
teori tetapi juga praktik.
BAB II
TINJAUAN TEORI

Antipiretik bekerja dengan menghambat pembentukan PGE2, yang mengurangi


umpan balik antara neuron yang mengatur demam dan hipotalamus dengan demikian
mampu menurunkan demam. Antipiretik dan analgetik bekerja dengan menghambat
enzim siklooksigenase. Pengaturan suhu tubuh memerlukan keseimbangan yang akurat
antara pembentukan dan hilangnya panas; hipotalamus mengatur set point sehingga
suhu dipertahankan. Saat demam, set point ini meningkat dan NSAID mendorongnya
kembali ke keadaan normal. Obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh jika suhu tubuh
jika suhu tubuh naik oleh faktor seperti olahraga atau meningkatnya suhu lingkungan.

Obat adalah unsur aktif secara fisiologi dipakai dalam diagnosis, pencegahan,
pengobatan, atau penyembuhan suatu penyakit pada manutia hewan. Obat dapat
berasal dari alam diperoleh dari sumber mineral, tumbuh - tumbuhan, hewan atau dari
sintesis Kimia organik atau biosintesis (Ansel.1989)
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang
yang menderita akibat keracunan obat oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat
dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat
sebagai obat apabila dapat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis
dan waktu yang tepat. Apabila salah dalam pengobatan / dengan dosis yang
berlebihan, akan menimbulkan keracunan. Apabila dosisnya kecil, maka tidak akan
memperoleh penyembuhan. (Anief, 1991)

Semua antipiretik bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sama


seperti kerja analgetik. Pengaturan suhu tubuh memerlukan keseimbangan yang akurat
antara pembentukan dan hilangnya panas. Hipotalamus mengatur sel pusat sehingga
suhu dipertahankan. Obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh jika suhu tubuh naik
oleh factor seperti olahraga atau meningkatnya suhu lingkungan.

Manusia mempunyai suhu tubuh nommal pada oral adalah 35,8-37,3 °C,
sedangkan suhu rektal lebih tinggi sekitar 0,3-0,5 °C. Demam yang paling tinggi
terjadi pada anak-anak. Terdapat bukti bahwa demam akibat infeksi bersifat
menguntungkan, karena dapat mengurangi stabilitas lisosom, meningkatkan efek
interferon dan merangsang mobilitas leukosit.

Pirogen merupakan substansi yang meyebabkan demam dan berasal baik


eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes, respon terhadap
stimulan awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau inflamasi. Sedangkan
pirogen endogen diproduksi oleh hospes, dihasilkan baik secara sistemik maupun
lokal, berhasil memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat pusat
termoregulasi di hipotalamus.

Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Suhu tubuh
normal adalah 36-37°C. Kebanyakan analgetik memberkan efek antipiretik,
sebaliknya, antipiretik juga dapat mengurangi rasa sakit pada penderita. Setiap obat
masing-masing memilkik efek yang dominan, misalnya parasetamol dan aspirin.
Obatobat tersebut efek antipiretiknya lebih besar daripada analgetiknya (Anief, 1997).
Antipiretik mencegah pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase. Hal ini mengakibatkan set point hipotalamus direndahkan kembali
menjadi normal sehingga perintah memproduksi panas di atas normal dan pengurangan
pengeluaran panas tidak ada lagi (Hastuti dan Susi, 2016).

Demam merupakan suatu kondisi pada saat suhu tubuh diatas normal yaitu 38°
Celsius. Pada penanganan demam terdapat berbagai macam cara yang dapat digunakan
untuk menurunkan panas seperti melakukan penanganan tanpa obat dan penanganan
dengan obat. Penanganan dengan obat dilakukan dengan memberikan obat antipiretik
pada saat suhu tubuh anak >390C.

Obat antipiretik yang umumnya digunakan saat ini adalah Asam mefenamat
dan ibuprofen karena kedua obat ini dinilai relatif aman untuk anak dan usia dewasa.
Seiring berjalannya waktu, demam konsisten menyebabkan tingginya tingkat
kecemasan pada orang tua dan kewaspadaan pada praktisi kesehatan akan terjadinya
pendarahan pada otak, panas yang tinggi, bahkan kematian pada anak.

Kesalahan konsep dalam memanagemen demam yang terjadi karena kesalahan


persepsi dari orangtua akan memicu terjadinya fever phobia. Pada masyarakat sering
ditemukan adanya kasus orangtua yang memberikan antipiretik pada suhu anak < 38°C
dan membangunkan anaknya untuk diberikan antipiretik. Kesalahan lain yang sering
terjadi adalah kesalahan dalam pemberian dosis kerena orang tua yang panik saat
pemberian obat.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa senyawa yang memiliki efek antipiretik


adalah flavonoid, saponin, alkaloid dan minyak atsiri. Flavonoid, alkaloid dan saponin
telah menunjukkan aksi penghambatan pada enzim siklooksigenase dan sebagai
hasilnya menghasilkan aktivitas antipiretik.

Salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai obat penurun
panas adalah flavonoid. Flavonoid menunjukkan lebih dari seratus macam bioaktivitas.
Bioaktivitas yang ditunjukkan antara lain efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi.
Demam atau pireksia merupakan gejala dari suatu penyakit. Dampak negatif
demam antara lain mengakibatkan dehidrasi, kekurangan oksigen, kerusakan saraf,
serta rasa tidak nyaman seperti sakit kepala, nafsu makan menurun (anoreksia), lemas,
dan nyeri otot. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, demam dapat diobati
dengan antipiretik. Obat antipiretik yang sering digunakan untuk mengobati demam
yaitu parasetamol.

Pada umumnya dosis yang digunakan untuk parasetamol pada anak sebanyak
10-15 mg/kg/dosis tiap 4 jam. Parasetamol bekerja dalam waktu satu jam dan paruh
waktu eliminasinya pada anak-anak berkisar antara 2-5 jam. Parasetamol akan
diekskresi melalui urin sehingga parasetamol baik apabila diberikan kembali tiap
interval 4 jam pada anak demam. Pemberian dalam interval tiap 4 jam tersebut agar
dapat mencegah pemberian parasetamol yang berlebih dikarenakan dosis parasetamol
yang berlebih akan menimbulkan efek berbahaya yang bisa menyebabkan kerusakan
pada hati yang terkadang tidak terlihat efeknya dalam 4 sampai dengan 6 hari.
Pemberian tiap interval 4 jam juga mencegah pemberian obat dalam dosis yang
kurang. Dosis yang kurang ini akan menyebabkan efektifitas kerja obat tidak tercapai
(Surya, dkk. 2018).

Beberapa hasil penelitian tentang parasetamol akhir-akhir ini menemukan


bahwa meskipun cukup aman, parasetamol memiliki banyak efek samping. Selain itu,
ada kemungkinan kemiripan struktur parasetamol dengan flavonoid). Oleh karena
adanya efek samping yang muncul pada penggunaan parasetamol jangka panjang dan
dalam dosis besar, maka perlu dipikirkan alternatif cara mengurangi munculnya efek
samping tersebut, diantaranya melalui penggunaan tanaman tradisional untuk terapi
demam. (Gosal, dkk. 2020)

Beberapa peneliti menyatakan bahwa senyawa yang memiliki efek antipiretik


adalah flavonoid, saponin, alkaloid dan minyak atsiri. Flavonoid, alkaloid dan saponin
telah menunjukkan aksi penghambatan pada enzim siklooksigenase dan sebagai
hasilnya menghasilkan aktivitas antipiretik.
Salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai obat penurun
panas adalah flavonoid. Flavonoid menunjukkan lebih dari seratus macam bioaktivitas.
Bioaktivitas yang ditunjukkan antara lain efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi.

Dalam pengujian antipiretik yang dilakukan pada mencit yang demam, oleh
karena itu diperlukan demam buatan. Peningkatan suhu mencit dilakukan dengan
pemberian vaksin DPT sebanyak 0,4 ml yang diinjeksikan secara intramuskular
hasilnya suhu tubuh tikus meningkat pada kisaran 37,27-38,23 °C, dimana suhu awal
tubuh tikus berada pada kisaran 35,57 36,27 °C. Menurut Septiawan (2014), vaksin
DPT yang telah dilakukan uji pada tikus dan marmot tiap dosis (0,5 ml) dapat
menaikkan suhu tubuh sampai ± 38 °C setelah tiga jam penyuntikan. Efek samping
penyuntikan dengan vaksin DPT adalah demam tinggi dan gejala ringan yang bersifat
sementara seperti kemerahan dan bengkak pada lokasi suntikan.

Parasetamol sebagai pembanding mampu menurunkan suhu tubuh yang


demam. Kandungan zat antipiretik akan menurunkan suhu tubuh langsung di pusat
pengatur suhu, yaitu di daerah otak tepatnya di hipotalamus dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase yang berperan pada sintesis prostaglandin. Penurunan panas
akan diikuti respon fisiologi berupa penurunan produksi panas, peningkatan aliran
darah ke kulit, dan mudahnya panas tubuh menguap lewat kulit.

Setiap mencit memberikan respons yang berbeda karena terdapatnya variasi


biologis dan respon dosis yang berbeda pada masing-masing subyek terhadap
perlakuan yang identik. Hal ini kemungkinan disebabkan faktor psikologis (stres
karena pengukuran suhu berulang pada rektal), faktor lingkungan, alat yang digunakan
(pengaruh baterai dan suhu lingkungan) dan faktor endogen yang bersifat individual
terhadap agen pencetus demam dan agen antipiretik.

Obat antipiretik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi demam. Obat-
obat ini mudah diperoleh tanpa resep. Ketika digunakan pada waktu yang singkat,
obat-obat ini pada dasarnya aman dan efektif. Tetap dengan adanya berbagai macam
obat antipiretik yang tersedia di pasaran, alangkah lebih baik harus dipilih obat yang
paling optimal untuk pasien pada keadaan tertentu.

Pada saat memilih obat tersebut harus mempertimbangkan keadaan pasien,


penyakit yang diderita, obat lain yang diminun pada waktu bersamaan, harga, dan
respon tubuh pasien terhadap terapi. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Yupi tentang Ekstrak etanol daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) sebagai antioksidan dan antiinflamasi, dan memiliki efek sebagai antioksidan dan
antiinflamasi belum dilakukan penelitian mengenai antipiretik, maka peneliti tertarik
melakukan penelitian Uji efek antipiretik ekstrak etanol daun belibing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) Pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.) dengan
penginduksi vaksin DPT.

Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) merupakan vaksin yang terdiri dari
toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah
diinaktivasi. Vaksin apabila diberikan pada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Depkes RI, 2006)

Uji antipiretik dilakukan pada hewan yang demam dengan di induksi vaksin
DPT sebanyak 0,2 ml yang diberikan secara injeksi intramuskular. Efek demam pada
tikus dirangsang dengan pemberian Vaksin DPT. Vaksin ini mengandung mikroba
Bordetella pertusis yang telah inaktif dan diberikan secara intramuskular pada tikus.
Sebagai respons terhadap mikroba tersebut, leukosit mengeluarkan zat kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi
dan juga bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan suhu,
sehingga muncuk efek demam sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi atau
peradangan (Sedu, dkk. 2020)

Mekanisme kerja antipiretik adalah dengan mengembalikan fungsi thermostat


di hipotalamus ke posisi normal dengan cara pembuangan panas melalui bertambahnya
aliran darah ke perifer disertai dengan keluarnya keringat. Zat antipiretik dapat
mengikat enzim sikooksigenase yang memicu pembentukan prostalandin, sehingga
kadar prostagladin menurun kadarnya di daerah thermostat dan menurunkan suhu
tubuh. Penurunan suhu tersebut adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang
melibatkan pusat kontrol suhu di hipotalamus.
BAB III
PROSEDUR KERJA

A. ALAT
1. Kalkulator
2. Lembar Kerja pada laporan awal
3. Timbangan hewan dan wadah

B. BAHAN
1. Mencit 1 ekor dengan berat antara 20-30 gram

C. CARA KERJA

Mencit diambil dikandangnya sejumlah yang diperlukan

Dilakukan penimbangan berat badan mencit

Hasil berat badan mencit dicatat

Lakukan konversi dosis sesuai berat badan mencit untuk obat ibuprofen dan asam
mefenamat
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENGAMATAN

Mencit Berat Badan (gram)

1 35 g

2 30 g

3 22,45 g

PEMBAHASAN

Dalam laboratorium mencit mudah ditangani, ia bersifat penakut, fotofobik


cendrung berkumpul sesamanya, mempunyai kecendrungan untuk bersembunyi dan
lebih aktif pada malam hari. Kehadiran manusia akan menghambat mencit. Suhu tubuh
normal 37,4 0 C. Laju respirasi normal 163 tiap menit.

Pada praktikum kali ini,kelompok kami menggunakan 3 mencit untuk


membandingkan berat badannya satu sama lain.Selain untuk perbandingan berat badan
juga digunakan untuk perbandingan suhu rektal mencit pada penggunaaan obat
antipiretik.
Pada mencit 1 diperoleh bobot 35g
Mencit 2 diperoleh bobot 30g
Mencit 3 diperoleh bobot 22,45g
Mencit digunakan pada percobaan dikarenakan struktur dan sistem organ yang
ada di dalam tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang ada di dalam tubuh
manusia.

Sebelum melakukan percobaan, terlebuh dahulu praktikan harus mengetahui


volume pemberian pada hewan percobaan. Volume cairan yang diberikan pada setiap
hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan. Karena
jika melebihi batas maksimal kemungkinan hewan percobaan akan mengalami efek
farmakologis yang dapat membahayakannya yang bersifat toksisitas. Untuk
memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan
percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan luas
permukaan tubuh setiap spesies.

Pada hewan percobaan ini ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil
percobaan, yaitu faktor internal dan ekternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi
hasil percobaan antara lain adalah variasi biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat
genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan. Usia dan jenis
kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia yang tepat fase hidup
hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan lebih baik. Beda hasil jika usia
hewan tersebut masih bayi. Jenis kelamin juga berpengaruh dilihat dari literatur bobot
badan hewan akan berbeda. Hal ini berpengaruh pada dosis yang akan digunakan pada
hewan percobaan tersebut. Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil
percobaan karena efek yang dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan
berlangsung cepat efek yang dihasilkan.

Faktor ekternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruang tempat hidup seperti suhu,
kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), suplai
oksigen.
Dosis Efektifitas (ED) suatu obat merupakan dosis obat yang dapat
menimbulkan efek terapi pada individu. ED50 (Efective Dose Median) = adalah dosis
dimana 50% dari individu atau hewan percobaan dalam kelompoknya memberikan
respon/efek.
Harga ED50 semakin kecil, semakin efektif pemakaian obat tersebut
Dosis Letal (LD) suatu obat merupakan dosis obat yang dapat menimbulkan
kematian pada individu atau hewan percobaan.Dosis Toksik (TD) suatu obat
merupakan dosis obat yang dapat menimbulkan gejala toksik/keracunan pada individu
atau hewan percobaan.LD50 (Letal Dose Median) = adalah dosis dimana 50% dari
individu atau hewan percobaan dalam kelompoknya mengalami kematian.
Harga LD50 atau TD50 semakin besar, semakin aman pemakaian obat tersebut
LD 50 ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu. Dosis yang
menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median (ED 50). Sedangkan TD 50 ialah dosis toksik 50%.
Dalam standar farmakodinamik di laboratorium indeks terapi satu obat dinyatakan
dalam ratio berikut :
Indeks terapi = TD 50 atau LD 50 ED 50 ED 50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua penderita, tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang penderita pun, oleh karena itu :
Indeks terapi = TD 1 ialah lebih tepat, dan untuk obat ideal TD 1  1 ED 99 ED 99

Jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan
berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Rute pemberian obat menentukan jumlah
dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu
keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang menugikan

Pada pemberian dosis pada hewan coba, dosis yang diberikan harus sesuai
dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang mempengaruhi
yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat. Sifat fisikokimia obat
yang mempengaruhi, antara lain:
1. Subifitas pads pH lunbang.
2. stabilitas terhadap cozim-enzim pencernaan
3. stabilitas terhadap fora usus
4. kelantan dalam air atau cairan saluran cerna
5. ukuran molekul 6 derajat ionisast pada pil saluran cerna,
6. kelantan bentuk non-ion dalam lemak.
7. stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dindang saluran cerna, dan
8. stabilitas terhadap marim-enzim di dalam hati.

Kebutuhan dosis untuk ukuran hewan coba dapat dihitung dengan cara dosis
dari manusia yang telah diketahui dikonversi ke dosis hewan coba sehingga didapat
dosis hewan. Selanjutnya untuk mengetahui volume larutan yang diperlukan dapat
dihitung dengan cara mengalikan jumlah dosis dengan jumlah hewan coba dan
ditambah dengan pembawa.

Ibuprofen dan asamefenamat diberikan secara oral. Pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obar yang umun dilakukan karena mudah aman, dan
murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama. Sedangkan
pemberian secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki keuntungan karena
efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara orel
karena tidak mengalami tahap) absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.
B. LEMBAR KEGIATAN MAHASISWA
a) Perhitungan konversi dosis mencit 30 g
1. Dosis lazim ibuprofen pada manusia : 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 400 mg x 0,0026
= 1,04 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 30 g = ( 3020 gg ) x 1 , 04 mg


= 1,56 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah ibuprofen yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 1 , 56 mg


= 195 mg atau 0,195 g

% kadar ibuprofen = ( 0,195


25 ml )
g
x 100 %

= 0,78 %

2. Dosis lazim asam mefenamat pada manusia : 500 mg


Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 30 g = ( 3020 gg ) x 1 , 3 m g


= 1,95 mg

Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml


Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah asam mefenamat yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 1 , 95 mg


= 243, 75 mg atau 0,24375 g
% kadar asam mefenamat = ( 0 , 24375
25 ml )
g
x 100 %

= 0,975 %
b) Perhitungan konversi dosis mencit 35 g
1. Dosis lazim ibuprofen pada manusia : 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 400 mg x 0,0026
= 1,04 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 35 g = ( 3205gg ) x 1 ,04 mg


= 1,82 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah ibuprofen yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 1 , 82 mg


= 227,5 mg atau 0,2275 g

% kadar ibuprofen = ( 0 ,252275ml g ) x 100 %


= 0,0091%
2. Dosis lazim asam mefenamat pada manusia : 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 35 g = ( 3520 gg ) x 1 , 3 mg


= 2,275 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah asam mefenamat yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 2,275 mg


= 284, 375 mg atau 0,284375 g
% kadar asam mefenamat = ( 0 , 284375
25 ml
g
) x 100 %
= 0,011375%

c) Perhitungan konversi dosis mencit 22,45 g


1. Dosis lazim ibuprofen pada manusia : 400 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 400 mg x 0,0026
= 1,04 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 22,45 g = ( 2220, 45g g ) x 1 , 04 mg


= 1,1674 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah ibuprofen yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 1 , 1674 mg


= 145, 925 mg atau 0,145925 g

% kadar ibuprofen = ( 0 , 145925


25 ml )
g
x 100 %

= 0,005837%
2. Dosis lazim asam mefenamat pada manusia : 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = dosis lazim x faktor konversi
= 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg

Konversi dosis untuk mencit BB 22,45 g = ( 2220, 45g g ) x 1 ,3 mg


= 1,45925 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat sebanyak = 25 ml

Jumlah asam mefenamat yang digunakan = ( 025, 2mlml ) x 1,45925 mg


= 182,40625 mg atau 0,18240625
g

% kadar asam mefenamat = ( 0 , 18240625


25 ml
g
) x 100 %
= 0,00729625%.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

Pada pengujian efek parasetamol sebagai antipiretik, dengan menggunakan mencit sebagai
hewan coba, setelah dilakuannya percobaan menunjukkan parasetamol mempunyai efek
antipiretik, karena setelah diinduksinya pepton pada mencit suhu tubuh mencit mulai
meningkat, tetapi dengan diberikannya parasetamol, suhu tubuh mencit mulai menurun
sehingga efek antipiretik pada parasetamol sudah bisa dibuktikan.

Saran :

Lebih memperhatikan kondisi mencit pada pemilihan hewan yang akan digunakan. Karena
hewan mencit pada kelompok kami mati setelah penyuntikan pepton. Dalam melakukan
paraktikum dengarkan instruksi yang diberikan dosen dengan baik pelajari materi sebelum
praktikum dimulai agar tidak terjadi kekeiruan dalam pelaksanaan percobaan.

Anda mungkin juga menyukai