DisusunOleh :
PRODI FARMASI
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Seseorang yang
merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya kembali. Menurut
Hermawati (2012), pilihan untuk mengupayakan kesembuhan antara lain adalah dengan berobat
ke dokter atau melakukan swamedikasi. Salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan
adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
KATA PENGANTAR......................................................................................................................
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………….…………………………
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………………………
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………..…………………
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP………………………………………………………………………………………….
3.1. KESIMPULAN……………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Seseorang yang
merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya kembali. Menurut
Hermawati (2012), pilihan untuk mengupayakan kesembuhan antara lain adalah dengan berobat
ke dokter atau melakukan swamedikasi. Salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan
adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian. Untuk itu apoteker dituntut meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien, antara lain adalah pemberian pelayanan kefarmasian kepada pasien yang membutuhkan
(Menkes RI, 2016).
Salah satu sarana pelayanan kefarmasian di masyarakat adalah apotek. Apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2016).
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping
dan/atau tenaga teknis kefarmasian (PP No 51, 2009). Salah satu pelayanan kefarmasian yang
dilakukan di apotek adalah swamedikasi. Pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya
yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit sebelum mereka
memutuskan mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI,
2008). Mengobati diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi berarti mengobati
segala keluhan dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atau toko obat dengan
inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa nasehat dokter (Muharni, 2015). Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Kesehatan RI pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 103.860 atau 35,2% dari 294.959 rumah
tangga menyimpan obat untuk swamedikasi (Riskesdas, 2013).
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan gejala dari suatu
penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Apabila suhu tubuh lebih dari 37,20C pada pagi hari
dan lebih dari 37,70C pada sore hari berarti demam (Depkes RI, 2007). Berdasarkan pereira
2007 menyatakan bahwa beberapa kondisi kesehatan yang sering dilakukan swamedikasi salah
satunya yaitu demam dengan presentasi sebesar 15% (Pereira, 2007
2.1. RumusanMasalah
PEMBAHASAN
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan gejala dari suatu
penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370C. Apabila suhu tubuh lebih dari 37,20C pada pagi hari
dan lebih dari 37,70C pada sore hari berarti demam.
Demam adalah fenomena paling umum dari penyakit, terutama inflamasi. Demam
dianggap disebabkan oleh pelepasan pirogen endogen dari makrofag dan kemungkinan dari
eosinofil, yang diaktivasi oleh pagosit, endotoksin, kompleks imun, dan produk lain. Pirogen ini
(substansi penghasil demam) bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus untuk
meningkatkan titik pengatur termostat (Tambayong, 2000). 2.4.2
2. 1.1.Etiologi Demam
a. Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masuknya patogen, misalnya
kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh. Demam
infeksi paling sering terjadi dan diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Bakteri, kuman atau virus dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara,
misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan tubuh
b. Demam Non-Infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit
penyakit kedalam tubuh. Demam non-infeksi jarang terjadi dan diderita oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Demam ini timbul karena adanya kelainan pada tubuh
yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik (Widjaja, 2008). Penyebab
non infeksi antara lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi, stres, trauma, dan lain-lain
(Depkes RI, 2007).
2.1.2 Patofisiologi Demam
Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang sempit, walaupun terpapar
suhu lingkungan yang bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi sepanjang hari, 0,50C
dibawah normal pada pagi hari dan 0,50C diatas normal pada malam hari. Suhu tubuh diatur oleh
hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas. Produksi
panas tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan panas terjadi melalui
radiasi, evaporasi, konduksi dan konveksi. Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus
selalu diatur pada set point sekitar 370C, setelah informasi tentang suhu diolah di hipotalamus
selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas sesuai dengan perubahan set point.
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2007, tentang pedoman penggunaan obat bebas
dan bebas terbatas Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi keluhan demam yaitu:
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik
antipriretik dan anti-inflamasi yang luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas.
Aspirin dalam dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik (Wilmana,
2007).
c). Ibuprofen Ibuprofen
merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara.
Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Ibuprofen bekerja dengan cara menekan
pembentukan prostaglandin (Wilmana, 2007). Efek samping yang timbul berupa mual,
perut kembung dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin. Efek samping
hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek terhadap
ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila dikombinasikan dengan asetaminopen).
Dosis terapeutik yaitu 5-10 mg/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam (Kania, 2007).
Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang timbul bila mana jaringan
sedang dirusak yang menyebabkan individu tersebut bereaksi dengan cara memindahkan
stimulus nyeri (Guyton & Hall, 2008 dalam Saifullah, 2015). Nyeri menurut Rospond (2008)
merupakan sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa,
sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik, provokasi saraf-saraf
sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita.
Menurut Handayani (2015) nyeri adalah kejadian yang tidak menyenangkan, mengubah
gaya hidup dan kesejahteraan individu. Menurut Andarmoyo (2013) nyeri adalah
ketidaknyamanan yang dapat disebabkan oleh efek dari penyakit-penyakit tertentu atau akibat
cedera. Sedangkan menurut Kozier & Erb dalam Nurrahman (2009) mengatakan bahwa nyeri
adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi
dengan orang lain.
3. Nyeri berdasarkan ringan beratnya Nyeri ini dibagi ke dalam tiga bagian (Wartonah,
2005 dalam Handayani 2015) sebagai berikut :
a. Nyeri ringan
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas ringan. Nyeri ringan biasanya pasien
secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Nyeri sedang secara
obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dan
mendiskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
c. Nyeri berat
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas berat. Nyeri berat secara obyektif
pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang.
a. Nyeri akut
Merupakan nyeri yang mereda setelah dilakukan intervensi dan penyembuhan.
Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang
memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung
singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal
yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan
faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Asmadi, 2008).
b. Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau lebih. Nyeri
ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat
dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis ini berbeda dengan
nyeri akut dan menunjukkan masalah baru, nyeri ini sering mempengaruhi semua
aspek kehidupan penderitanya dan menimbulkan distress, kegalauan emosi dan
mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005 dalam Handayani, 2015).
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO Three
Step Analgesic Ladder” yaitu :
• Tahap pertama ,dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID
atau COX2 spesific inhibitors.
• Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-
obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
• Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih
kuat. Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi
dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada
transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan
pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol.
Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada dosis
yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis analgesia yang tepat.
Tabel 2.1. Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri.
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat digunakan
untuk menanggulangi nyeri akut.
4. Analgesia Balans12
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2 Tidak jarang,
untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat
diikuti oleh timbulnya efek samping.
Gambar 2.3. Skema Farmakoterapi pada analgesik balans
Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan
multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses
transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini,
memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat
analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara kombinasi
disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah PCA
merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih sedikit
daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat mentitrasi
sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan terapi).
7. Tim nyeri akut
Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan informasi bagi
staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis yang
menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter bedah terlibat, perbaikan
dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah. Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan
memelihara standar dalam manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
3.1. Kesimpulan
Demam adalah suatu tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi atau bakteri yang berada
di dalam tubuh. Demam juga biasanya menjadi pertanda bahwa system imunitas anak berfungsi
dengan baik (Nurdiansyah, 2011). Demam bukan merupakan penyakit melainkan reaksi yang
menggambarkan
adanya suatu proses dalam tubuh. Saat terjadi kenaikan suhu, tubuh bisa jadi sedang memerangi
infeksi sehingga terjadi demam atau menunjukan adanya proses inflamasi yang menimbulkan
demam (Arifianto, 2012). Protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center
mendefinisikan demam yaitu
temperatur rektal diatas 38°C, aksilar 37,5°C dan diatas 38,2°C dengan pengukuran membrane
tympani.Sedangkan dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh >41°C (Kania, 2010). Demam
pada anak terjadi ketika suhu tubuh anak diatas 38°C (Arifianto, 2012). American Academy of
Pediatrics (AAP)
menyebutkan bahwa demam sering terjadi pada anak usia sekolah yaitu 5-11 Tahun yang
disebabkan oleh infeksi virus seperti batuk, flu, radang tenggorokan, common cold (selesma) dan
diare.
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai
saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu
proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang
mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan
baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam manajemen nyeri
sebagai berikut :
• Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.
• Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
seseorang sedang berpura-pura nyeri.
• Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.
• Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Depkes RI. (2008). Materi pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memilih obat
bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Muharni, S., Fina, A., dan Maysharah, M. (2015). Gambaran Tenaga Kefarmasian dalam
Memberikan Informasi Kepada Pelaku Swamedikasi di Apotekapotek Kecamatan
Tampan, Pekanbaru. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2(1). Hal. 47.
Riskesdas, (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. (2007). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal. 32-35, 73.
Gupta, P., Bobhate, P., dan Shrivastava, S. (2011). Determinants of self medication practices in
an urban slum community. Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research. 4(3).
Hal. 54-55.
Riskesdas, (2013). Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia