Anda di halaman 1dari 5

Skenario 5.

Pengobatan Menahun Bu Ani

Buk Ani merasakan nyeri pada sendi beberapa tahun ini. Menurut dokter, nyeri pada persendian
merupakan gejala utama dari penyakit rematik. Karena itu fokus penanganan pasien rematik adalah
pengontrolan rasa nyeri serta pengurangan kerusakan sendi, dengan terapi farmakologi dan non farmakologi.
Syaratnya obat harus aman dan dapat diberikan kepada pasien, dan sudah melalui berbagai rangkaian uji
praklinik pada binatang dan uji klinik pada manusia. Dari segi ekonomi obat-obatan ini juga tidak memberatkan
pasien.
Obat rematik termasuk dalam obat keras dan harus dikonsumsi dalam jangka panjang, bahkan seumur
hidup. Karena itu Bu Ani diharapkan tidak sembarangan mengonsumsi obat rematik karena efek sampingnya.
Dokter harus melakukan monitoring efek samping obat (MESO) pada pasiennya. Menurut dokter yang
menangani Buk Ani, secara umum mekanisme obat rematik bekerja dengan tiga cara, yakni analgetik (pain
killer), meredakan radang, dan ada pula yang bekerja memodifikasi perjalanan penyakit.
Ibu Ani merasa takut mengonsumsi obat dalam jangka panjang, karena berdampak pada tubuh.
Misalnya saja merusak ginjal, hati, menekan aktifitas sumsum tulang, dan sebagainya. Dokter yang memeriksa
Ibu Ani waktu kontrol penyakitnya berkata: “Obat pereda nyeri saja jika sering-sering dikonsumsi pasti
menimbulkan efek samping."
Oleh karena itu, setiap dua atau tiga bulan sekali Bu Ani harus kontrol ke dokter untuk memonitor
kesehatan secara umum, dan kapan perlu dapat dilakukan TDM (Therapeutic Drug Monitoring). Biasanya
dokter akan meminta Bu Ani untuk melakukan cek darah di laboratorium. Meski dikonsumsi jangka panjang,
namun obat rematik sekali-sekali bisa dihentikan. "Rematik memang tidak bisa disembuhkan, tapi bukan
berarti penyakitnya tidak bisa mereda atau mencapai fase remisi. Jika penyakitnya reda, obatnya boleh
dihentikan. Karena itu penting untuk berobat teratur sehingga bisa dicapai remisi.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada Ibu Ani?

Terminology

1. Nyeri sendi : rasa tidak nyaman, rasa sakit atau peradangan yang timbul dari setiap bagian dari
sendi(bagian tubuh yang menghubungkan tulang-tulang).
2. Rematik : penyakit yang menimbulkan rasa sakit akibat otot atau persendian yang mengalami
peradangan dan pembengkakan.
3. Obat keras : obat tergolong dosis tinggi yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter agar tidak
menimbulkan efek samping yang buruk, dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan
lingkaran hitam dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh garis tepi.
4. MESO : pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek
Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia
untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik
5. TDM : Pemantauan dalam terapi obat untuk obat-obatan tertentu dengan indeks terapi sempit, atau
berbagai variasi kinetika, atau obat dengan korelasi kuat antara konsentrasi plasma dan efek klinis
atau toksisitas.
6. Fase remisi : kondisi ketika tanda-tanda penyakit rematik hilang sebagian ataupun menyeluruh.

Rumusan masalah

1. Apa saja terapi farmakologi untuk penyakit rematik?


2. Apa saja rangkaian uji praklinik dan uji klinik yang harus dilakukan terhadap suatu obat?
3. Bagaimana menentukan obat yang tepat dan tidak memberatkan pasien dari segi ekonomi?
4. Mengapa obat rematik tergolong obat keras dan harus dikonsumsi untuk waktu yang lama?
5. Apa saja efek samping yang dapat terjadi ketika mengonsumsi obat rematik?
6. Bagaiman mekanisme meso?
7. Bagaimana cara kerja obat rematik?
8. Apa tujuan dilakukan TDM?
9. Apa tujuan Bu Ani cek darah di lab?
10. Apakah pada fase remisi obat boleh dihentikan?

Brainstorming

1. Obat yang sering diresepkan untuk pasien OA adalah OAINS untuk mengurangkan nyeri dan
memperbaiki mobilitas dalam OA, N-Acetyl-P- Aminophenol (APAP) sebagai anlagesik untuk nyeri OA
ringan sampai sedang (efektivitas sama seperti OAINS), dan inhibitor selektif COX-2 jika terjadi efek
samping gastrointestinal dengan penggunaan OAINS. Injeksi glukokortikoid diinjeksi intra/
periartikuler untuk kelegaan simptomatis untuk beberapa minggu hingga bulan. Opiod diberikan pada
nyeri OA akut. Diberi opioid lemah (kodein peroral) jika APAP atau OAINS tidak memberikan manfaat
dan dapat juga digunakan untuk nyeri OA kronis. Rubefacient/Capsaicin merupakan obat topical pada
sendi dan otot yang nyeri yang memberikan bahang local. Operasi ortopedik yaitu operasi
penggantian sendi dilakukan pada OA tahap lanjut dimana terapi agresif gagal. Selain itu, bisa juga
dilakukan artoplasti sendi total atau osteotomi.

Obat yang digunakan untuk mengobati RA ada 2 jenis, yaitu obat lini pertama yang cepat bertindak
seperti aspirin dan kortison (kortikosteroid) digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan.
Obat lini kedua yang lambat bertindak (juga disebut sebagai disease-modifying antirheumatic drugs
atau DMARDs) seperti emas, metotrexete, dan hidrokloroquine, dapat mempromosikan remisi
penyakit dan mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

Ada tiga aspek untuk pengobatan asam urat dengan obat-obatan. Pertama, penghilang rasa sakit
seperti asetaminofen (Tylenol) atau analgesik lain yang lebih kuat digunakan untuk mengatasi rasa
sakit.Kedua, agen anti-inflamasi seperti OAINS, colchicine , dan kortikosteroid digunakan untuk
mengurangi peradangan sendi. Akhirnya, obat dipertimbangkan untuk mengelola kekacauan
metabolisme kronis yang menyebabkan hiperurisemia dan asam urat. Probenesid (Benemid) dan
sulfinpirazone (Anturane) adalah obat-obat yang biasa digunakan untuk mengurangi kadar asam urat
darah dengan meningkatkan ekskresi asam urat ke dalam urin.

2. Uji praklinis adalah uji yang dilakukan pada hewan coba untuk menilai keamanan serta profil
farmakodinamik dari produk atau obat yang diuji. Uji praklinis dilakukan melalui uji toksisitas akut, uji
toksisitas subkronik dan uji toksisitas kronik. Uji toksisitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk
mendeteksi keamanan suatu zat uji terhadap sistem biologis. Uji ini juga berguna untuk memperoleh
hubungan dosis-respon dari zat uji tersebut terhadap sistem biologis yang diujikan. Data
yang diperoleh akan membeikan informasi tingkat bahaya dari zat uji jika terpapar pada manusia
serta dapat digunakan untuk menentukan konversi dosis yang aman pada manusia. Uji toksisitas
menggunakan hewan uji sebagai model bertujuan untuk mengetahui pengaruh zat uji terhadap
proses biokimia, fisiologik dan patologik yang kemudian menjadi suatu gambaran atau ukuran
bagi manusia. Data hasil uji toksisitas tidak bisa digunakan secara mutlak pada manusia, akan tetapi
data yang diperoleh memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan identifikasi efek toksis
jika terpapar pada manusia.

Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh
pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas,
keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu
obat. Setiap obat yang ditemukan melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa
khasiatnya benar-benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia.

Uji klinik terdiri dari 4 fase, yaitu uji klinik fase I.Uji klinik fase II, uji klinik fase III dan uji klinik fase IV.
Uji klinik fase I dilakukan pada manusia sehat, bertujuan untuk menentukan dosis tunggal yang dapat
diterima, Uji klinik fase II, dilakukan pada 100-200 orang penderita untuk melihat apakah efek
farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk pengobatan. Uji klinik fase III
dilakukan pada sekitar 500 penderita yang bertujuan untuk memastikan bahwa suatu obat baru
benar-benar berkhasiat. Uji klinik fase IV merupakan pengamatan terhadap obat yang telah
dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektifitas
dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya.

3. Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan
penggunaan obat dalam perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan
sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih
spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan
biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001)
4. Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi
yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (V
ogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat
kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini
dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan
obat mana yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro
maupun dalam skala makro.

Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas, dimana hal yang terpenting
adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber
daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya
yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam
memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam
membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

5. Efek pada lambung dari NSAID

Keluhan kecil:
Mual, dispepsia, anoreksia, rasa sakit di lambung, flatulen, diare terjadi pada 10-60% pasien. Untuk
mengurangi efek ini NSAID sebaiknya dimakan dengan makanan atau susu, kecuali obat dengan
enteric coated , jangan dimakan dengan susu atau antacid. Semua NSAID mempunyai kecenderungan
menyebabkan pendarahan di saluran pencernaan. NSAID anion memasuki sel mukosa lambung,
melepaskan ion hidrogen dan terkonsentrasi dalam sel-sel, dengan sel mati atau rusak. Luka pada
mukosa lambung juga dapat disebabkan oleh NSAID yang menghambat terjadinya prostaglandin yang
berfungsi sebagai gastroprotektor.

Efek pada lambung dari COX-2 inhibitor

Untuk mengobati pasien OA dengan risiko tinggi komplikasi dengan NSAID, ACR menganjurkan COX-2
inhibitor atau NSAID dikombinasikan dengan proton pump inhibitor (PPI) atau misoprostol. Studi
membandingkan tukak yang terjadi pada pasien setelah makan obat COX-2 inhibitor (Celecoxib) dan
NSAID (Naproksen) selama 12 minggu. Hasilnya ternyata sangat sedikit untuk Celecoxib ( 4-8%) dan
naproxen (26%), plasebo (4%). Banyak lagi studi seperti ini dilakukan, juga dengan waktu yang lebih
panjang, FDA menyimpulkan bahwa walaupun kecenderungan celecoxib lebih menguntungkan, obat
ini belum menunjukkan superioritas secara statistik dibanding NSAID nonspesifik untuk saluran
pencernaan bagian atas secara signifikan. Kesimpulan, ada bukti menunjukkan bahwa bahwa COX-2
inhibitor mengurangi risiko toksisitas pada GI dibanding dengan NSAID nonspesifik,hal ini penting
untuk dipertimbangkan bagi pasien yang mempunyai risiko tinggi luka di lambung.

Toksisitas lain yang berkaitan dengan NSAID

NSAID dapat menyebabkan penyakit ginjal, termasuk insufisiensi renal akut, hiperkalemia, nekrosis
papilari ginjal. Data klinis sindrom ginjal: meningkatnya serum kreatinin, BUN, hiperkalemia,
meningkatnya tekanan darah, edema peiferal, penambahan berat badan. COX-2 inhibitor juga
berpotensi mengakibatkan toksistas ginjal;
6. Tujuan MESO
a. Memberikan kesempatan untuk mengenali suatu obat dengan baik dan untuk mengenali respon
orang terhadap obat.
b. Membantu meningkatkan pengetahuan tentang obat, manusia atau penyakit dari waktu ke waktu.
c. Menerima info terkini tentang efek samping obat (Purwantyastuti, 2010).
d. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang.
e. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal dan yang baru saja
ditemukan.
f. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya efek samping obat.
g. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
h. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (Syah, 2012).

Form Laporan MESO


a. Kode sumber data : Diisi oleh Badan POM
b. Informasi tentang penderita
– Nama
(singkatan) : Diisi inisial atau singkatan nama pasien,
untuk menjaga kerahasiaan identitas pasien
– Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi dibawah 1 (satu) tahun, diisi
angka dari minggu (MGG) atau bulan (BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti penulisan
Huruf MGG atau BL,misal 7 BL.
– Suku : Diisi informasi nama Suku dari pasien, misal suku Jawa, Batak, dan sebagainya.
– Berat Badan : Diisi angka dari berat badan pasien, dinyatakan dalam
kilogram (kg).
– Pekerjaan : Diisi apabila jenis Pekerjaan pasien mengarah kepada
kemungkinan adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan gejala atau manifestasi KTD atau ESO.
Contoh: buruh pabrik kimia, pekerja bangunan, pegawai kantor, dan
lain-lain.

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela
(voluntary reporting) dengan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form
Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan
dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh
sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan
untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare) (Direktorat
Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI, 2012).

7. Prinsip mekanisme NSAID sebagai analgetik adalah blokade sintesa prostaglandin melalui hambatan
cyclooxcigenase (Enzim COX-1 dan COX-2), dengan mengganggu lingkaran cyclooxygenase. Enzim
COX-1 adalah enzim yang terlibat dalam produksi prostaglandin gastroprotective untuk mendorong
aliran darah di gastrik dan menghasilkan bikarbonat. COX-1 berada secara terus menerus di mukosa
gastrik, sel vaskular endotelial, platelets, renal collecting tubules, sehingga prostaglandin hasil dari
COX-1 juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah di ginjal. Sebaliknya enzim COX-2 tidak
selalu ada di dalam jaringan, tetapi akan cepat muncul bila dirangsang oleh mediator inflamasi,
cedera/luka setempat, sitokin, interleukin, interferon dan tumor necrosing factor. Blokade COX-1
(terjadi dengan NSAID nonspesifik) tidak diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan
meningkatnya risiko pendarahan karena adanya hambatan agregasi platelet. Hambatan dari COX-2
spesifik dinilai sesuai dengan kebutuhan karena tidak memiliki sifat di atas, hanya mempunyai efek
antiinflamasi dan analgesik.
8. Pemantauan kadar obat (TDM) adalah praktik klinis yang melibatkan pengukuran kadar obat dalam
darah atau plasma pasien pada waktu yang ditentukan untuk memberikan panduan tentang rejimen
dosis yang diperlukan untuk mempertahankan kadar rentang terapi.
Obat yang perlu TDM

a. Punya Indeks terapi sempit


b. Kadar obat atau metabolit aktif obat dalam plasma memiliki hubungan dengan efek farmakologis
atau toksik.
c. Ada kegagalan terapi (tidak efektif, toksik)
d. Ada variasi individu yang besar.
e. Kadar obat dalam plasma dapat diukur dan Teknik analitik yang tepat, mudah, tersedia dan murah
f. Dugaan non compliance
g. Obat non limier / saturasi

h. Ada gangguan fungsi organ

TujuandariTDMadalahuntuk :

Memantau kepatuhan
Terapi individualisasi

selama terapi awal

selama perubahan dosis


Mendiagnosis pengobatan kurang optimal Menghindari toksisitas
Memantau dan mendeteksi interaksi obat Memutuskan dihentikannya terapi

9. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive

Protein (CRP) meningkat

Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak menyingkirkan
diagnosis

Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan
RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten

10. Remisi adalah sebutan ketika tanda-tanda penyakit rematik hilang sebagian ataupun menyeluruh.
Penderita yang telah berada di tahap ini bisa tetap melanjutkan pengobatan atau menghentikan
sebagian.

Anda mungkin juga menyukai