Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Analgesik adalah obat selektif yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan
bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa secara signifikan
mengubah kesadaran. Analgesik adalah senyawa yang dapat meringankan atau menekan rasa
nyeri jika digunakan dalam dosis terapeutik. Golongan obat analgesik di bagi menjadi dua yaitu
analgesik opioid/narkotik dan analgetik non narkotik. Analgesik opioid merupakan kelompok
obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktura dan kanker.

Obat Analgesik Non-Narkotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah
Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik) terdiri dari obat-obat
yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat
atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik ini juga tidak
mengakibatkan efek adiksi pada penggunanya. Obat-obat golongan analgetik dibagi dalam
beberapa kelompok, yaitu: parasetamol, salisilat (asetasol, salisilamida, dan benorilat),
penghambat Prostaglandin (NSAID) ibuprofen, derivate-derivat antranilat (mefenamilat, asam
niflumat glafenin, floktafenin, derivate-derivat pirazolinon (aminofenazon, isoprofil penazon,
isoprofilaminofenazon), dan benzidamin. Obat golongan analgesic narkotik berupa,
asetaminofen dan fenasetin. Obat golongan anti-inflamasi nonsteroid berupa aspirin dan salisilat
lain, derivate asam propionate, asam indolasetat, derivate oksikam, fenamat, fenilbutazon.
(Mita,2017)

Parasetamol atau asetaminofen adalah obat obat analgetik antipiretik yang sangat populer
di masyarakat dan digunakan sebagai pereda nyeri dari nyeri ringan hingga sedang . Parasetamol
bekerja dengan menghambat prostaglandin dalam jaringan Parasetamol memiliki terbukti
memiliki efek analgesik dan antipiretik, tetapi efek anti-inflamasinya sangat lemah dan memiliki
sangat lemah dan anti-inflamasi memengaruhi. Mulai banyak digunakan sebagai nyeri akut
pereda setelah operasi. Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit. kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi (Johan, 2019).
Ibuprofen merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik, antipriretik
dan anti inflamasi. Ibuprofen adalah turunan dari asam fenil propionat dari golongan OAINS.
Ibuprofen dosis terapi bekerja cepat. Ibuprofen yang memiliki analgetik-antipiretik ini bekerja
dengan cara menghambat enzim siklooksigenase pada biosintesis prostaglandin, sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PG-G2 terganggu. Ibuprofen berupa serbuk hablur putih
hingga hampir putih, berbau khas lemah dan tidak berasa dengan titik lebur 75.0 – 77.5◦C.
Ibuprofen memiliki sifat tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol,
dalam aseton, dan dalam chloroform serta sukar larut dalam etil asetat. Ibuprofen obat yang
praktis, namun tidak larut dalam air (Mediansyah, 2017).

Natrium diklofenak (C14H10Cl2NO2Na) merupakan salah satu jenis obat nonsteroidal


anti-inflamatory (NSAID) yang banyak digunakan dalam pengobatan rematik, analgesik (pereda
nyeri), osteoarthritis (OA), serta memiliki aktivitas antipiretik. Natrium diklofenak memiliki
waktu paruh yang singkat di dalam plasma yaitu hanya 1 – 2 jam. Konsumsi obat dengan
intensitas pengulangan yang tinggi dapat menyebabkan efek samping pada sistem pencernaan.
Kulit menjadi salah satu rute yang dapat memberikan harapan terhadap administrasi obat sebab
mampu meminimalisir efek yang terjadi pada pemberian obat secara per oral seperti iritasi pada
sistem pencernaan (Savitry, 2019).

Untuk itu praktikum kali ini bertujuan untuk mengamati dan memahami respon analgesik
setelah pemberian analgesik non-narkotik. Alat-alat yang dibutuhkan pada praktikum yaitu
sphygmomanometer, stetoskop, dan stopwatch. Obat yang digunakan yaitu Ibuprofen 400 mg,
Paracetamol 500 mg, Glucose 500 mg, dan Natrium Diklofenak 50 mg. Untuk subyek di
perlukan 4 probandus sehat (pria dan wanita usia 20-40 tahun) yang telah menyetujui informed
consent untuk berpartisipasi dalam eksperimen kali ini.

Setelah melakukan anamnesis dan history taking untuk memastikan probandus dalam
keadan sehat dan tidak memiliki riwayat alergi obat yang akan digunakan dalam eksperimen,
semua probandus dipakaikan manset spygmomanometer dilengan kiri, kemudian dipompa
hingga 180 mmHg. Dicatat waktu sejak tekanan mencapai 180 mmHg sampai sensasi nyeri
konstan dilaporkan oleh probandus (pain latency). Setelah itu, setiap probandus diberikan salah
satu obat dan probandus tidak boleh tahu obat apa yang mereka ambil.
Pada praktikum kali ini digunakan metode blinding, yaitu metode untuk melakukan uji
klinis di mana peserta/penguji tidak tahu siapa yang mengambil pengobatan eksperimental,
pengobatan standar (kontrol), atau plasebo. Terdapat tiga jenis penyamaran yaitu single blind,
double blind, dan triple blind. Pada praktikum kali ini metode blinding yang digunakan adalah
metode double blind. Dalam metode ini, peneliti maupun responden atau responden dan
pengolah data (statistisian) tidak mengetahui status responden apakah termasuk dalam kelompok
intervensi atau non-intervensi. Artinya baik subyek penelitian maupun peneliti harus tidak tahu
(ignorance) terhadap perlakukan / intervensi yang diberikan.Yang dimaksud dengan penyamaran
(blinding) di sini adalah merahasiakan bentuk terapi (dalam hal ini jenis obat) yang diberikan.

Penelitian eksperimen/uji klinis dengan teknik randomisasi akan lebih besar kualitasnya
jika dalam pengukurannya dilakukan penyamaran (blinding). Dengan penyamaran (teknik
blinding) maka peneliti dan responden tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan yang
mana pembandingnya. Tujuan utama penyamaran ini adalah untuk menghindari ‘bias’
(pracondong) pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan baik yang berasal dari peneliti,
subyek, maupun evaluator penelitian karena sangat penting di mana hasilnya adalah sama sekali
subjektif. Oleh karena bias dapat terjadi diberbagai bagian uji klinis, maka ketersamaran juga
harus diupayakan pada berbagai bagian uji klinis, seperti paada saat randomisasi, alokasi subyek,
pelaksanaan uji klinis, pengukuran, dan evaluasi hasil.

Pada praktikum, terdapat probandus yang diberikan plasebo (obat palsu) yaitu suatu obat
yang bentuknya dibuat mirip dengan obat asli namun tidak memiliki kandungan terapi dan
berupa glukosa. Placebo  sering digunakan sebagai pembanding untuk menguji efektivitas suatu
obat dalam uji klinis. Meski tidak mengandung obat apa pun, placebo bisa menimbulkan efek
semu yang membuat penggunanya merasa lebih baik. Secara keseluruhan, persepsi pasien
tentang dokter, orientasi psikososialnya (misalnya, kesepian, hubungan pasien-dokter yang
buruk), dan persepsi tentang hubungan interpersonal mereka dapat secara luas mempengaruhi
efek plasebo. Inilah yang membuat mengapa seseorang bisa merasakan perbaikan gejala, seperti
berkurangnya rasa nyeri, sakit kepala, atau merasa lebih tenang. Tiga puluh menit setelah
konsumsi obat atau plasebo, eksperimen di atas diulang dan dicatat. Kemudian eksperimen
diulangi setiap 20 menit. Kemudian baru kita bandingkan hasil pengamatan antara sensasi rasa
sakit setelah dan sebelumkonsumsi obat atau plasebo.
Merujuk pada hasil akhir praktikum, didapati bahwa probandus X dengan pain latency
14,75 sekon pada 20 menit pertama lalu naik menjadi 85 sekon pada uji 20 menit kedua dan
kemudaian secara substansial turun menjadi 47 detik pain latency pada uji 20 menit ketiga.
Sementara itu probandus Y memiliki pain latency mencapai waktu 1 menit 37 sekon hingga
akhirnya dengan pain latency terakhir yaitu 2 menit 10 sekon. Pada probandus Z didapati pain
latency dengan data waktu uji 20 menit pertama yakni 1 menit 12 sekon lalu secara progresif
naik menjadi 1 menit 39 sekon pada uji 20 menit ketiga.

Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi angka pain latency, maka seseorang akan
memiliki waktu yang lebih lama sebelum akhirnya merasakan nyeri. Oleh karena itu perlu
diamati dan dianalisis lebih jauh obat analgetika mana saja yang dapat dengan cepat bereaksi
untuk menghilangkan rasa nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

Manuapo, Et al.2019. Perbandingan Preemptive Analgesia Kombinasi Ibuprofen 75 Miligram


dan Parasetamol 250 Miligram per Oral dengan Parasetamol 1 Gram per Oral terhadap
Lama Analgesik Pascabedah Odontektomi.Jurnal Anastesi Perioperatif.Vol.7(3).Viewed
on 15 september 2021.From : journal.fk.unpad.ac.id

Mediansyah, A., Rahmanisa, S.2017.Hubungan Ibuprofen terhadap Ulkus Gaster Majority.


Medical Journal Of Lampung University.Vol.6(1).Viewed on 16 September 2021.From :
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/

Mita, Soraya, Husni, Patihul.2017. Pemberian pemahaman mengenai penggunaan obat


Analgesik secara rasional pada masyarakat Di arjasari kabupaten bandung. Jurnal AIM
Vol.6(3).Viewed on 15 september 2021.From:jurnal.unpad.ac.id

Johan Edy, A.J., Nugroho, T.E. 2019. Pengaruh Pemberian Analgesik Kombinasi Parasetamol
Dan Morfin Terhadap Kreatinin Serum Pada Tikus Wistar Jantan.Jurnal Kedokteran
Diponegoro Vol.8(1). Viewed on 16 September 2021.From : http://ejournal3.undip.ac.id/

Savitry, P.E., Wathoni, N.2018.Artikel Tinjauan: Karakterisasi Efisiensi Penjerapan Pada


Nanopartikel Natrium Diklofenak Dalam Sediaan Topikal.Farmaka.Vol.16(2).Viewed on
16 September 2021.From : http://journal.unpad.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai