Anda di halaman 1dari 21

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO II
GANGGUAN PADA INTESTINAL
“MATA ANAKKU CEKUNG”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
Modul 2 : Gangguan Intestinal

“Mata Anakku Cekung”

Seorang batita berusia 2 tahun 6 bulan dibawa ibunya ke IGD RS


Tadulako, dengan keluhan utama baung air besar cair sejak 2 hari yang lalu,
dengan frekuensi BAB 6-7 kali perhari, warna pucat, dan berbusa. Awalnya
terdapat ampas namun setelah itu hanya berisi air saja. Keluhan disertai dengan
demam, muntah, tidak mau makan, malas minum, nyeri pada perut dan tidak ada
buang air kecil sejak tadi malam. Riwayat penyakit sebelumnya diketahui bahwa
menderita intoleransi laktosa dan kejang demam. Riwayat penyakit keluarga
diketahui bahwa Ayah bayi menderita kolera dan di bawah ke rumah sakit 5 hari
yang lalu; Kakak bayi yang berusia 10 tahun pernah menderita diare berlendir dan
disertai dengan darah.

Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, BB


14 Kg, tinggi badan 88 cm, nadi 145 x/menit, lemah, regularm pernapasan
44x/menit, dan suhu badan 39C. Pada pemeriksaan lanjutan didapatkan mata
cekung, turgor kulit menurun. Setelah mendapatkan hasil perhitungan Score
dehidrasi dari pasien, dokter jaga IGD, segera melakukan tata laksana awal dan
meminta pemeriksaan penunjang.

Learning Objective

1. Patofisiologi diare akut


2. Tatalaksana diare pada anak
3. Faktor resiko dari skenario
4. Epidemiologi
5. Diagnosis Banding
6. Komplikasi
7. Anatomi Gastrointestinal
8. Cairan yang dibutuhkan dalam kasus diare
9. Etiologi
10. Upaya preventif diare di masyarakat
11. Derajat dehidrasi
1. Patofisiologi diare akut
Jawab :
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan
osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul
diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding
usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare.
Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari
diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan
hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia
dan gangguan sirkulasi darah (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga peningkatan sekresi
atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa intestinal dan
eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal. Infeksi diare akut
diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare noninflamasi
dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitoksin di
kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan
darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
tetenus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin
makroskopis ditemukan lendir dan atau darah, mikoroskopis didapati sek
lukosit polimakronuklear (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Diare juga dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme, yaitu
peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri
menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan
terjadinya diare. Pada dasarnya, 12 mekanisme diare akibat kuman
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitoksin.
Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut
untuk mengatasi pertahanan mukosa usus (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Selama anak diare, terjadi peningkatan hilangnya cairan dan
elektrolit (natrium, kalium, dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair
anak. Dehidrasi terjadi jika hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak diganti
secara adekuat, sehingga timbullah kekurangan cairan dan elektrolit. Selama
diare, penurunan asupan makanan dan penyerapan nutrisi dan peningkatan
kebutuhan nutrisi, sering secara bersama-sama mengakibatkan penurunan
berat badan dan berlanjut ke gagal tumbuh. Pada gilirannya, gangguan gizi
dapat mengakibatkan diare menjadi lebih parah, lebih lama dan lebih sering
terjadi, dibandingkan dengan kejadian diare pada anak yang tidak menderita
gangguan gizi (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Sumber :
Tim Adaptasi Indonesia. 2011. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : World Health Organization Indonesia.

2. Tatalaksana diare pada anak


Jawab :
Menurut WHO terdapat lima pilar tatalaksana diare, yaitu ; (1)
Rehidrasi ; (2) Dukungan nutrisi, (3) Pemberian antibiotik sesuai indikasi ;
(4) Pemberian zink, dan (5) Edukasi pada orangtua. Adapun alur tatalaksana
diare sesuai derajat dehidrasinya, yaitu sebagai berikut :
1) Diare Akut
a. Diare Akut Dehidrasi Berat
- Rehidrasi intravena, 100 cc/KgBB cairan ringer laktat atau ringer
asetat (jika tidak ada, gunakan salin normal) dengan ketentuan yaitu :

Pertama, berikan 30 Selanjutnya, 70


cc/KgBB dalam : cc/KgBB dalam :
Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur ≥ 12 bulan 30 menit 2 ½ jam

Diikuti rehidrasi oral apabila sudah dapat minum, dimulai 5


cc/KgBB/jam selama prose rehidrasi.
- Periksa kembali status hidrasi anak setiap 15-30 menit, klasifikasikan
ulang derajat dehiras setelah 3 jam (untuk anak) atau 6 jam (untuk
bayi). Tata laksana selanjutnya diberikan sesuai derajat dehirasi
tersebut :
- Apabila tidak ada fasilitas intravena, pasang pipa nasogastrik dan beri
20 cc/KgBB/jam selama 6 jam atau rujuk segera ke rumah sakit.
b. Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
- Paien dipantau di puskesmas/rumah sakit
- Pemberian larutan oralit dalam waktu 3 jam pertama sebanyak 75
cc/KgBB, ajarkan ibu memberi oralit sedikit-sedikit tapi sering (small
but frequent) dengan sendok teah, cangkir, mangkok, atau gelas. Jika
anak muntah tunggu 10 menit, lalu lanjutkan dengan lebih lambat.
- Lanjutkan pemberian ASI.
- Periksa kembali dan klasifikasikan ulang setelah 3 jam.
c. Diare Akut Tanpa Dehidrasi
Terapi rawat jalan dapat dilakukan dengan empat aturan perawatan di
rumah sebagai berikut (juga berlaku untuk diare dengan dehidrasi setelah
perawatan) :
- Beri cairan tambahan, seperti ASI, yang lebih sering dan lama. Jika
anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan oralit, air matang atau
cairan mkanan (kuah sayur, air tajin). Pada kasus diare dengan
dehidrasi, berikan 6 bungkus oralit (200 cc), berikan 100 cc tiap kali
BAB;
- Pemberian tablet zink selama 10-14 hari, yakni ½ tablet (10 mg)/hari
untuk anak usia < 6 bulan dan 1 tablet (20 mg)/hari untuk anak usia > 6
bulan. Zink bermanfaat untuk menurunkan frekuensi BAB dan
memperbaik volumen tinja, mengurangi lama diare, serta menurunkan
kejadian diare pada bulan-bulan berikutnya.
- Pemberian makanan segera setelah anak dapat makan. Lanjutkan
pemberian makan atau ASI, dengan pola sedikit tapi sering (sekitar 6
kali/hari).
- Edukasi kapan harus kembali (jika keadaan anak memburuk, tidak
dapat/malas minum, timbul demam, timbul darah dalam tinja, tidak
membaik setelah 5 hari).

2) Diare Persisten
a. Terapi cairan sesuai derajat dehidrasi. Atasi kelainan asam basa dan
gangguan elektrolit jika terjadi
b. Pemberian diet sesuai usia dan status gizi. Pada perawatan di rumah
sakit, setidaknya diberikan 11 Kal/KgBB/hari. ASI tidak dihentikan.
c. Suplementasi mikronutrien zink selama 10 hari untuk regenerasi
mukosa usus dengan dosis sebagai berikut :
- Anak usia <6 bulan : 10 mg atau ½ tabelt per hari
- Anak usia ≥ 6 bulan : 20 mg atau 1 tablet per hari
d. Tatalaksana spesifik sesuai etiologi yang mendasari :
- Kasus infeksi : antibiotik sesuai hasil identifikasi bakteri
penyebab.berikan metridinazol 50 mg/Kg PO dibagi 3 dosis selama
5 hari untuk kasus amubiasis dan glardiasis, atau metronidazol 30
mg/KgBB dibagi 3 dosis untuk kasus Clostridium difficile. Pada
kasus infeksi Klebsiela sp. Atau E.coli patogen, berikan antibiotik
sesuai hail uji sensitivitas.
- Kasus intoleransi laktosa : berikan formula/diet bebas laktosa.
- Kasus alergi sus sapi : teruskan ASI dan hindari makanan dari susu
sapi.
- Kasus malabsorpsi : berikan makanan atau formula elemental secara
oral atau pararenteral :
- Kasus antibiotic-induced : hentikan antibiotik dan berikan probiotik
selama 7-10 hari.
- Evaluasi keberhasilan pengobatan : asupan makanan cukup,
penambahan berat badan, diare berkurang, dan tidak ada demam.
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

3. Faktor resiko dari skenario


Jawab :
Menurut Millenium Development Goals (MDGs), World Health
Organization (WHO), dan United Nations Children’s Fund (UNICEF),
sanitasi berkaitan dengan akses jamban yang layak pakai yakni jamban
dengan sistem pembuangan yang tidak mencemari lingkungan sedangkan
sanitasi kebersihan merupakan tindakan untuk mencegah atau mengurangi
faktor-faktor yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap air minum.
Data World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s
Fund (UNICEF) menjelaskan sebanyak 89% populasi dunia menggunakan
layanan air minum dasar, namun hanya 68% yang menggunakan layanan
sanitasi dasar pada tahun 2015 (Fahira, 2021).
Ukuran kesehatan lingkungan mencakup kondisi rumah tangga,
penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan sampah, dan
pembuangan limbah. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat diare
yakni tata laksana yang kurang tepat pada rumah tangga. Untuk menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas akibat diare diperlukan tata laksana yang
ceoat dan tepat. Menurut Bank Dunia (World Bank), kurang lebih 50%
penduduk Indonesia hidup miskin atau rentan terhadap kemiskinan (Fahira,
2021).
Kemiskinan berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mencapai
kebutuhan minimal diluar pendapat (non-income factors) seperti kesehatan,
pendidikan, air, dan sanitasi. Status sosial ekonomi keluarga merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya diare karena kejadian diare pada anak-anak lebih
sering terjadi pada keluarga yang mempunyai status sosial ekonomi yang
rendah. Pendapatan mendorong derajat kesehatan keluarga dan fasilitas
kesehatan bergantung pada rata-rata pendapatan keluarga. Rendahnya
pendapatan keluarga akan mempengaruhi pengeluaran kebutuhan konsumsi
dan fasilitas rumah tangga, salah satunya air dan sanitasi (Fahira, 2021).
Sumber :
Fahira, N. N.m Sihaloho, E. D., Siregar, A. Y. M. 202. Pengaruh Konsumsi
Air dan Keberadaan Fasilitas Sanitasi Terhadap Angka Diare
pada Anak-Anak di Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas. Vol. 6 (2) : 286-292. Viewed on 15 Desember 2021.
From : ejournal2.undip.ac.id.

4. Epidemiologi
Jawab :
Diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir
di seluruh daerah geografis di dunia. Diare lebih dominan menyerang balita
karena daya tahan tubuhnya yang masih kemah, sehingga sangat rentan
terhadap pemyebabaran bakteri penyebab diare. Diare yang disertai muntah
berkelanjutan akan mengakibatkan dehidrasi (kekurangan cairan) (Wibowo.
2019).
Setiap tahun diperkirakan 4 milyar kasus diare terjadi pada anak
balita di seluruh dunia. Angka mortalitas diare di dunia mencapai 11%
dengan kelompok paling berisiko adalah balita. Menurut World Health
Organization (WHO), tingginya angka mortalitas balita setiap tahunnya
diakibatkan oleh diare. Di Indonesia, setiap anak mengalami diare 2-8 kali
setiap tahunnya dengan rata-rata 3,3 kali. Data nasional Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 100.000 balita
meninggal setiap jamnya, dan 1 balita meninggal setiap 5,5 menitnya. Pada
anak sekolah, kebiasaan mengkonsumsi jajanan secara bebas dan tidak
menerapkan etika sebelum makan yang baik seperti mencuci tangan dapat
menjadi penyebab anak terinfeksi diare (Fahira, 2021).
Berdasarkan survei morbiditas oleh Subit Diare Departemen
Kesehatan pada tahun 2000 sampai 2010, angka kejadian diare di Indonesia
cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2000, kejadian diare terjadi
sebanyak 301/1000 penduduk, tahun 2003 meningkat menjadi 374/1000
penduduk, tahun 2006 meningkat menjadi 423/1000 penduduk, dan tahun
2010 menurun menjadi 411/1000 penduduk. Prevalensi pada anak balita
sebesar 3,5 % dan merupakan kelompok usia dengan penderita terbanyak
sebesar 10,2 % dan prevalensi diare pada anak sekolah sebanyak 52 dari 73
anak atau sebesar 71,2% (Fahira, 2021).
Sumber :
Fahira, N. N.m Sihaloho, E. D., Siregar, A. Y. M. 202. Pengaruh Konsumsi
Air dan Keberadaan Fasilitas Sanitasi Terhadap Angka Diare
pada Anak-Anak di Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas. Vol. 6 (2) : 286-292. Viewed on 15 Desember 2021.
From : ejournal2.undip.ac.id.
Wibowo, D., Hardiyanti., Subhan. 2019. Hubungan Dehidrasi dengan
Komplikasi Kejang pada Pasien Diare Usia 0-5 tahun di RSD
Idaman Banjarbaru. Dinamika Kesehatan Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan. Vol. 10 (1) : 112-125. Viewed on 15 Desember
2021. From : ojs.dinamikakesehatan.unism.ac.id.

5. Diagnosis Banding
Jawab :
Adapun diagnosis banding pada diare, yaitu (Gama, 2014) :
 Diare cair akut
 Kolera
 Disentri
 Diare persisten
 Diare akibat antibiotik
 Invaginasi
Sumber :
Gama, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

6. Komplikasi
Jawab :
Adapun komplikasi pada kasus diare pada anak, yaitu (Arifputra,
2014) :
a. Diare Akut
 Dehidrasi
 Gangguan elektrolit
 Penurunan berat badan
 Gagal tumbuh
 Diare yang lebih berat dan sering terjadi
b. Diare Persisten
 Dehidrasi
 Syok hipovolemik
 Hipokalemia
 Hipoglikemia
 Kejang
 Malanutrisi energi protein
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

7. Anatomi Gastrointestinal
Jawab :
Intestinum tenue merupakan bagian terpanjang dari tractus
gastrointestinalis dan terbentang dari ostium pyloricum gaster sampai plica
ileocaecale. Panjangnya sekitar 6-7 meter dengan diameter yang menyempit
dari permulaan sampai ujung akhir, yang terdiri dari duodenum, jejunum, dan
ileum (Drake, 2012).
A. Anatomi
 Duodenum
Struktur ini berbentuk seperti huruf C, bersebelahan dengan caput
pancreas, panjangnya sekitar 20-25 cm dan berada di atas umbilicus.
Memiliki lume terlebar dibandingkan bagian intestinum tenue. Struktur ini
terletak retroperitoneale kecuali bagian awalnya, yang dihubungkan
dengan hepar oleh suatu ligamenturn hepatoduodenale, yang merupakan
bagian dari omentum minus (Drake, 2012).
Duodenum terbagi menjadi 4 bagian yaitu pars superior (bagian
pertama) erbentang dari ostium pyloricum gaster sampai collum vesicae
fellea, berada tepat di sisi kanan corpus vertebrae LI, dan berjalan di
anterior ductus choledochus, arteria gastroduodenalis, vena portae hepatis,
dan vena cava inferior. Pars descendens (bagian kedua) duodeni berada
tepat di sisi kanan garis tengah tubuh dan terbentang dari collum vesica
fellea sampai ke tepi bawah vertebra LIII. Permukaan anteriornya disilang
oleh colon transversum, diposteriornya terdapat ren dextra, dan di
medialnya terdapat caput pancreas. Pars inferior/ horizontalis (bagian
ketiga) duodeni adalah bagian yang terpanjang, menyilang vena cava
inferior, aorta, dan columna. Bagian ini disilang di anteriornya oleh arteria
dan vena mesenterica superior. Pars ascendens (bagian keempat) duodeni
berjalan naik pada, atau di sisi kiri dari, aorta sampai kira-kira di tepi atas
vertebra LII dan berakhir sebagai flexura duodenojejunalis (Drake, 2012).
 Jejunum
Jejunum dan ileum merupakan dua bagian akhir intestinum tenue.
Jejunum merupakan 2/5 bagian proximal. Sebagian besar jejunum berada
di kuadran kiri atas abdomen dan lebih besar diameternya serta memiliki
dinding yang lebih tebal dibandingkan ileum. Lapisan bagian dalam
mukosa jejunum ditandai dengan adanya banyak lipatan menonjol yang
mengelilingi lumennya (plicae circulares) (Drake, 2012).
 Ileum
Ileum menyusun tiga perlima bagian distal intestinum tenue dan
sebagian besar berada di kuadran kanan bawah. Dibandingkan dengan
jejunum, ileum memiliki dinding yang lebih tipis, lipatan-lipatan mucosa
(plicae circulares) yang lebih sedikit dan kurang menonjol, vasa recta yang
lebih pendek, lemak mesenterium lebih banyak, dan lebih banyak arcade
arteriae. Ileum bermuara ke dalam intestinum crassum, tempat caecum dan
colon ascendens bertemu. Daerah pertemuan ini dikelilingi oleh dua
lipatan yang menonjol ke dalam lumen intestinum crassum (plica
ileocaecale). Lipatan-lipatan plica ileocaecale ini bertemu pada ujung-
ujungnya dan membentuk peninggian. Musculature ileum berlanjut sampai
di setiap lipatan, membentuk suatu sphincter (Drake, 2012).
Intestinum crassum terbentang dari ujung distal ileum hingga anus,
panjangnya sekitar 1.5 meter pada orang dewasa. Intestinum crassum
mengabsorbsi cairan dan garam-garam dariisi lumen intestinum, dengan
demikian membentuk fcces, dan terdiri dari caccum, appendix
vermiformis, colon, rectum, dan canalis analis hypochondrium dextra.
Tepat di bawah hepar, intestinum crassum membelok ke kiri, membentuk
flexura coli dextra (flexura hepatica), dan menyeberangi abdomen sebagai
colon transversum menuju regio hypochondrium sinistra. Pada posisi ini.
tepat di bawah lien, intestinum crassum membelok ke bawah, membentuk
flexura coli sinistra (flexura lienalis), dan berlanjut sebagai colon
descendens yang melewati regio Lateralis sinistra menuju regio inguinalis
sinistra. Intestinum crassum memasuki bagian atas cavitas pelvis sebagai
colon sigmoideum, dan berlanjut pada dinding posterior cavitas pelvis
sebagai rectum, dan berakhir sebagai canalis analis (Drake, 2012).
 Caecum dan Appendix Vermiformis
Caecum merupakan bagian pertama dari intestinum crassum.
Caecum berada di inferior ostium ileocaecale dan pada fossa iliaca dextra.
Caecum adalah struktur intraperitoneale karena mobilitasnya bukan karena
perlekatannya oleh mesenterium. Caecum berlanjut sebagai colon
ascendens pada tempat pertemuannya dengan ileum dan biasanya
berkontak dengan dinding anterior abdomen. Caecum dapat menyilang
apertura pelvis untuk kemudian terletak di dalam pelvis minor. Appendix
vermiformis melekat pada dinding posteromedial caecum, tepat di inferior
dari ujung ileum (Drake, 2012).
Appendix vermiformis adalah struktur tabung sempit, berongga,
berujung buntu dan berhubungan dengan caecum di ujung yang lain.
Dinding appendix vermiformis memiliki agregasi jaringan lymphaticum
yang luas. dan menggantung pada ileum terminal oleh mesoappendix,
yang berisi vasa appendicularis. Titik perlekatnya dengan caecum
konsisten dengan alur taeniae coli libera yang tampak jelas mengarah ke
basis appendix vermiformis, tetapi lokasi bagian appendix vermiformis
yang lain sangat bervariasi (Drake, 2012).
 Colon
Colon terbentang di superior caecum dan terdiri dari colon
ascendens, colon transversum, colon descendens, dan colon sigmoideum.
Segmen ascendens dan segmen descendens colon terletak retroperitoneale
(sekunder) dan segmen transversum dan segmen sigmoideumnya terletak
intraperitoneale. Pada daerah pertemuan colon ascendens dan colon
transversum ada flexura coli dextra, yang terletak tepat di inferior lobus
dexter hepatis. Serupa, namun membelok lebih tajam (flexura coli sinistra)
terletak di pertemuan antara colon transversum dan colon descendens.
Belokan ini tepat di inferior lien, lebih tinggi dan lebih posterior
dibandingkan flexura coli dextra. dan melekat ke diaphragma oleh
ligamentum phrenicocolicum. Tepat di lateral dari colon ascendens dan
colon descendens terdapat sulci paracolici dextra dan sinistra. Segmen
akhir dari colon (colon sigmoideum) dimulai di atas apertura pelvis
superior sampai ke level vertebra SIII, di sini struktur ini bersinambungan
dengan rectum (Drake, 2012).
 Rectum dan Canalis Analis
Bagian setelah colon sigmoideum adalah rectum. Biasanya
pertemuan rectosigmoideum berada pada level vertebra SIII atau pada
ujung mesocolon sigmoideum, karena rectum adalah struktur
retroperitoneale. Canalis analis merupakan kelanjutan dari intestinum
crassum di inferior rectum (Drake, 2012).
B. Fisiologi
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan
penyerapan berlangsung. Tidak terjadi pencernaan lebih lanjut setelah isi
lumen mengalir melewati usus halus, dan tidak terjadi penyerapan nutrien
lebih lanjut, meskipun usus besar menyerap sejumlah kecil garam dan air.
Usus halus terletak bergelung di dalam rongga abdomen, terbentang antara
lambung dan usus besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen
duodenum, jejunum, dan ileum (Barrett, 2012).
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum
membentuk kantong buntu di bawah pertemuan antara usus halus dan usus
besar di katup ileosekum. Tonjolan kecil seperti jari di dasar sekum adalah
apendiks, suatu jaringan limfoid yang mengandung limfosit. Kolon, yang
membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung seperti usus halus
tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus—kolon asenden, kolon
transversum, dan kolon desenden. Bagian terakhir kolon desenden ber-
bentuk huruf S, membentuk kolon sigmoid (sigrnoid artinya "berbentuk
S"), dan kemudian melurus untuk membentuk rekturn (berarti "lurus")
(Barrett, 2012).
Usus itu sendiri juga berperan membentuk lingkungan cair yang
memungkinkan terjadinya proses pencernaan dan penyerapan. Kemudian,
ketika makanan telah terasimilasi, cairan yang digunakan selama
pencernaan dan penyerapan diklaim kembali oleh transpor balik
menembus epitel untuk menghindari dehidrasi. Air berpindah secara pasif
masuk dan keluar lumen pencernaan, terdorong oleh gradien elektrokimia
yang terbentuk oleh transpor aktif ion-ion dan zat-zat terlarut lainnya.
Pada periode setelah makan, sebagian besar cairan yang diserap kembali
tersebut digerakkan oleh transpor nutrien. Pada periode di antara makan,
mekanisme penyerapan berpusat secara eksklusif di sekitar elektrolit. Pada
kedua keadaan, fluks sekresi cairan terutama didorong oleh transpor aktif
ion klorida ke dalam lumen, meskipun secara keseluruhan absorpsi masih
mendominasi (Sherwood, 2013).
C. Histologi
 Usus kecil memiliki tiga regio: duodenum dengan kelenjar mukosa
besar di dalam submukosa yang disebut kelenjar duodenum; jejunum;
dan ileum dengan mukosa besar dan submukosa bercak peyer.
 Di semua regio pada mukosa usus halus memiliki jutaan dari
memproyeksi vili, dengan epitel kolumnar sederhana lebih inti dari
lamina propria, dan intervensi tubular sederhana kelenjar usus (atau
kriptus).
 Sel punca di kelenjar ini menghasilkan sel-sel kolumnar epitel pada vili,
terutama sel-sel goblet dan enterosit untuk absorpsi nutrien, serta
defensin memproduksi sel Paneth jauh di dalam kelenjar.
 Gula dan asam amino diproduksi oleh tahap akhir dari mencerna
karbohidrat dan polipeptida dalam Glikokaliks mengalami transitosis
melalui enterosit untuk serapan oleh kapiler.
 Produk dari lipid pencernaan asosiasi dengan garam empedu, yang
diambil oleh enterosit, dan dikonversi ke trigliserida dan lipoprotein
untuk membebaskan sebagai kilomikron dan serapan oleh limfatik yang
disebut lakteal di dalam inti villus masing-masing
 Otot polos dari lamina propria dan mukosa muskularis, di bawah
kontrol dari pleksus submukosa (Meissner) autonomik, vili bergerak
dan membantu mendorong getah bening melalui lakteal.
 Otot polos di lapisan sirkular dalam dan lapisan longitudinal luar pada
muskularis, di bawah kontrol autonomik pleksus mienterikus
(Auerbach), menghasilkan peristaltik yang kuat.
 Usus besar memiliki tiga regio utama: sekum pendek, dengan
appendiks; kolon panjang, dengan asendens, transversal, desendens, dan
bagian sigmoid; serta rektum.
 Sekitar seluruh panjang, dari mukosa usus besar memiliki jutaan dari
kelenjar usus tubular pendek sederhana, dilapisi oleh lubrikan sel-sel
goblet dan sel absorptif untuk penyerapan dari air dan elektrolit.
 Muskularis dari kolon memiliki lapisan luar longitudinal dibagi menjadi
tiga pita pada otot polos yang disebut teniae coli, yang beraksi dalam
gerakan peristaltik dari feses ke rectum (Mescher, 2013).
Sumber :
Barrett, K.E., Barman, S.M., Biotano, S., et al. 2012. Fisologi Kedokteran
Ganong. Edisi 24. Amerika Serikat: McGraw-Hill.
Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A.W.M. 2012. Gray’s: Basic Anatomy.
Philadelphia: Elsevier.
Mescher, A.L. 2013. Junqueira’s: Basic Histology Text and Atlas. Thirteenth
Edition. United States: McGraw-Hill.
Sherwood, L. 2013. Introduction To Human Physiology. 8 th ed.
Philadelphia: Brooks/Cole.

8. Cairan yang dibutuhkan dalam kasus diare


Jawab:
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi
oral, yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum
atau diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5
gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per
liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah
disiapkan dengan dicampur air (Amin, 2016).
Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok
teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika
terapi intravena diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan
salin normal atau ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan
kimia darah. Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, serta penyesuaian
infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin. Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung
dengan memakai rumus sebagai berikut (Amin, 2016).

BD plasma−1,025
Kebutuhan cairan= x Berat badan ( kg ) x 4 ml
0,001

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan : kebutuhan caira 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang : kebutuhan caira 8% x KgBB
- Dehidrasi berat : kebutuhan cairan 10% x KgBB
Sumber :
Amin, L. Z. 2016. Tatalaksana Diare Akut. Cermin Dunia Kedokteran. Vol.
42 (7) : 504-508. Viewed on 16 Desember 2021. From :
cdkjournal.com.

9. Etiologi
Jawab :
Berikut merupakan etiologi dari kasus diare pada anak, yaitu sebagai
berikut (Arifputra, 2014) :
A. Diare Akut
o Infeksi : virus (rotavirus, adenovirus, norwakil), bakteri (Shigella sp.,
Salmonella sp., E.coli., Vibrio sp., parasit (protozoa : E. hystolytica,
G. lamblia, Balatidium coli; jamur : Candida sp.), infeksi ekstra usus
(otitis media akut, infeksi saluran kemih, pneumonia). Terbanyak
diakibatkan rotavirus sekitar 20-40%.
o Alergi makanan seperti alergi susu sapi, protein kedelai, alergi
multipel;
o Malabsorpsi karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak, dan protein.
o Keracunan makanan (misalnya makanan kaleng akibat Botulinum so.).
o Lain-lain : obat-obatan (antibiotik atau obat lainnya), kelainan
anatomi.
B. Diare Persisten
o Diare osmotik
Intoleransi laktosa sekunder, cow’s milk protein sensitive enteropathy
(CMPSE), sindrom malabsorpsi.
o Diare sekretorik
Bacterial antibiotik-induced, infeksi persisten (Shigella sp.
Cryptosporidium sp., E. colim serta infeksi virus, jamur, dan parasit).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

10. Upaya preventif diare di masyarakat


Jawab :
Adapun upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk preventif pada
kasus diare di masyarakat, yaitu (Arifputra, 2014) :
a) ASI tetap diberikan
b) Menjaga kebersihan perorangan
c) Cuci tangan sebelum makan
d) Menjaga kebersihan lingkungna
e) BAB dijamban
f) Imunisasi campak
g) Memberikan makanan penyapihan yang benar
h) Penyediaan air minum bersih
i) Makanan yang selalu dimasak secara adekuat
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

11. Derajat dehidrasi


Jawab :
Semua anak dengan diare, harus diperiksa apakah menderita
dehidrasi dan klasifikasikan status dehidrasi sebagai dehidrasi berat, dehidrasi
ringan/sedang, atau tanpa dehidrasi dan beri pengobatan yang sesuai (Tim
Adaptasi Indonesia, 2011).

Klasifikasi Tanda-Tanda Atau Gejala Pengobatan


Dehidrasi Terdapat dua atau lebih dari Beri cairan untuk diare
Berat tanda di bawah ini : dengan dehidrasi berat
- Letargis/tidak sadar
- Mata cekung
- Tidak bisa minum atau
malas minum
- Cubitan kulit perut kembali
sangat lambat (≥ 2 detik)
Dehidrasi Terdapat dua atau lebih tanda - Beri anak cairan dan
Ringan/Sedang di bawah ini : makanan untuk
- Rewel, gelisah dehidrasi ringan
- Mata cekung - Setelah rehidrasi,
- Minum dengan lahap, haus nasihati ibu untuk
- Cubitan kulit kembali lambat penanganan di rumah
dan kapan kembali
segera
- Kunjungan ulang
dalam waktu 5 hari
jika tidak membaik
Tanpa Tidak terdapat cukup tanda - Beri cairan dan
dehidrasi untuk diklasifikasikan sebagai makanan untuk
dehidrasi ringan atau berat menangani diare di
rumah
- Nasihati ibu kapan
kembali segera
- Kunjungan ulang
dalam waktu 5 hari
jika tidak membaik

Sumber :
Tim Adaptasi Indonesia. 2011. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : World Health Organization Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai