Anda di halaman 1dari 84

DIARE

I. DEFINISI
Beberapa pengertian diare:
1. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau
setengah cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari
keadaan normal yakni 100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 1999).
2. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari
tiga kali sehari.
3. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan
lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna
hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997)

II. ETIOLOGI
4. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus
(Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E.
hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
b. Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang
dapat menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis,
bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
5. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan
anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
6. Faktor Makanan:
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi
terhadap jenis makanan tertentu.
7. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).

1
III. KLASIFIKASI
1.Dehidrasi ringan : dimana berat badan menurun 3 – 5 % dengan volume
cairan yang hilang kurang dari 50 ml/kgBB.
2.Dehidrasi sedang : dimana berat badan menurun 6 – 9 % dengan volume
cairan yang hilang kurang dari 50 – 90 ml/kgBB.
3.Dehidrasi berat : dimana berat badan menurun lebih dari 10 % dengan
volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kgBB.

IV. TANDA DAN GEJALA


Gejal klinik yang timbul tergantung dari intensitas dan tipe diare, namun secara
umum tanda dan gejala yang sering terjadi adalah :
a.Sering buang air besar lebih dari 3 kali dan dengan jumlah 200 – 250 gr.
b.Anorexia.
c.Vomiting.
d.Feces encer dan terjadi perubahan warna dalam beberapa hari.
e.Terjadi perubahan tingkah laku seperti rewel, iritabel, lemah, pucat, konvulsi,
flasiddity dan merasa nyeri pada saat buang air besar.
f.Respirasi cepat dan dalam.
g.Kehilangan cairan/dehidrasi dimana jumlah urine menurun, turgor kulit jelek,
kulit kering, terdapat fontanel dan mata yang cekung serta terjadi penurunan
tekanan darah.

V. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi
pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan
selanjutnya timbul diare kerena peningkatan isi lumen usus.
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik

2
usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya
dapat timbul diare pula.

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan Laboratorium:
- Pemeriksaan tinja
- Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui fungsi
ginjal

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut terdiri atas:
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.
2. Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
3. Memberikan terapi simtomatik
4. Memberikan terapi definitif.
 Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan
yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera
pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6
bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula
lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula
yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
 Cairan parenteral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai
berikut:
 Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
o 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran
1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
o 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset
berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
o 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
 Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
o 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10
tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
 Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg

3
o 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7
tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
o 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3
tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
o 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
 Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
o Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis
cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit
(1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
o Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian
glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1½ %).
 Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari
7 kg, jenis makanan:
 Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak
jenuh.
 Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim).
 Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya
susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang
atau tak jenuh.
 Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang
mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan.
Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini
membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih
besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric
menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi
juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .

4
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja.
Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari
(diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare
kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid
jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit),
alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa,
porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu.
kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan
makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci
tangan,
6.Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
7.Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan,
lingkungan tempat tinggal.
8.Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
1. Pertumbuhan
1. Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5
kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
2. Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm
ditahun kedua dan seterusnya.
3. Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama
dan gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah.
4. Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
2. Perkembangan
1. Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud.
Fase anal :
Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido, meulai
menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai
kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan

5
kebersihan, perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan
mengulang kata sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
2. Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson.
Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak
toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dari
kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui
dorongan orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri,
jika orang tua terlalu over protektif menuntut harapan yanag
terlalu tinggi maka anak akan merasa malu dan ragu-ragu
seperti juga halnya perasaan tidak mampu yang dapat
berkembang pada diri anak.

2.Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.
 Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran
menurun.
 Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada
anak umur 1 tahun lebih.
 Mata : cekung, kering, sangat cekung.
 Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen,
peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual
muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan
kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum.
 Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena
asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan).
 Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi
menurun pada diare sedang .
 Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu
meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok),
capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah
perianal.
 Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-
400 ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.

6
 Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa
mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu
bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan
adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan skunder terhadap diare.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder
terhadap diare.
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi
diare.
5. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun
terus menerus.
6. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive.
Intervensi
Diagnosa 1:
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan
sekunder terhadap diare
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan
elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
 Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : <>
 Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak
cekung.
 Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari.
Intervensi :
 Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan
pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera
untuk memperbaiki defisit
 Pantau intake dan output
R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran
tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.
 Timbang berat badan setiap hari

7
R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan
kehilangan cairan 1 lt
 Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
 Kolaborasi :
Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
 R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal
ginjal (kompensasi).
 airan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
 Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar simbang,
antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti bakteri
berspektrum luas untuk menghambat endotoksin.
Diagnosa 2.:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria hasil :
 Nafsu makan meningkat
 BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
 Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi,
berlemak dan air terlalu panas atau dingin).
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi
lambung dan sluran usus.
 Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat.
R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
 Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan.
R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
 Monitor intake dan out put dalam 24 jam.
R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
 Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
o terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu.

8
o obat-obatan atau vitamin ( A)
R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
Diagnosa 3. :
Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder
dari diare
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan
suhu tubuh
Kriteria hasil :
 Suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
 Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
 Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
 Berikan kompres hangat
R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
 Kolaborasi pemberian antipirektik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak

Diagnosa 4.:
Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan peningkatan
frekwensi BAB (diare)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak
terganggu.
Kriteria hasil :
 Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
 Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan
benar
Intervensi
 Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman
 Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah
dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena
kelebaban dan keasaman feces
 Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam

9
R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak
terjadi iskemi dan iritasi .

Diagnosa 5.:
Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
Kriteria hasil :
 Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
Intervensi :
 Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
 Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
 Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
 Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa aman
pada klien.
 Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak

10
IX.DAFTAR PUSTAKA

A.H. Markum, 1991, Buku Ajar Kesehatan Anak, jilid I, Penerbit FKUI
Ngastiyah, 997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price & Wilson 1995, Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 1,
Ed.4, EGC, Jakarta
Soetjiningsih 1998, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta
Soeparman & Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Ed. Ke-3, BP FKUI,
Jakarta.
Suharyono, 1986, Diare Akut, lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
Whaley & Wong, 1995, Nursing Care of Infants and Children, fifth edition, Clarinda
company, USA.
http://iwansaing.wordpress.com/2007/12/10/asuhan-keperawatan-pada-klien-anak-
dengan-diare/

11
DEMAM TYPOID

I. DEFINISI
“Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada
saluran cerna dan gangguan kesadaran“. (Mansjoer, 2000: 432).
“Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang
ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang
bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal
ileum. Disebabkan salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau
lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan kesadaran”.
(Soegijanto, 2002: 1).
“Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di
selaput lendir usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu
jaringan di seluruh tubuh”. (Tambayong, 2000: 143).
“Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
infeksi salmonella typhi”. ( Ovedoff, 2002: 514).

II. ETIOLOGI
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) “Penyakit demam typoid
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi”.
Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari
demam typoid adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid
disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella
enteretidis bioseratife para typhi B, salmonella enteretidis bioseratife C.
Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A,
salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.
Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang
penyebab dari demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.

III. TANDA DAN GEJALA


Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda
dan gejala demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan
muntah.
Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

12
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan peningkatan suhu badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,


bradikardi relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran
berupa samnolen koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia. (Mansjoer, 1999: 422).
Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya
lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4
hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman
yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya
ditemukan, yaitu:
a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris
remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur
turun dan normal kembali.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung
dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut
kembung. Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen.
Jarang terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan
terlambat mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat
ditemukan, pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol,
yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit,
yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan
pula trakikardi dan epistaksis.
d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan
tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua

13
setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan.
Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ
yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.

IV. PATOFISIOLOGI
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah
berada di dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus
(terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah
menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh
darah limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ
retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman
difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk
ke darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian
kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang
selanjutnya kuman tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke
rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang
susunan kimia nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang
semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari
demam typoid. (Suriadi, 2001: 281).
Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya
yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah
mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan
timbulnya gejala demam.
Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat
terjadi pada usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal
diantaranya adalah:
a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi
melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-
tanda renjatan.
b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu

14
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma.
Pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut
yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.
Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat
sepsis (bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain,
terjadi karena infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan
asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan respirasi
akibat suhu tubuh yang tinggi.

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang
diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A)
meningkat selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang
negatif semua bisa mungkin terjadi pada tes widal).
Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif
memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan
demam typoid. Peningkatan uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu
memastikan diagnosis demam typoid.
Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan
Laboratorium melalui:
1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan
jumlah leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah
sembuhnya demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak
memerlukan pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah
negatif tidak menyingkirkan demam typoid.

15
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat
dalam serum pasien demam typoid, juga pada orang yang pernah
ketularan salmonella typhi dan juga para orang yang pernah divaksinasi
terhadap demam typoid.
Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang
bernilai > 1/200 atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens
mengarah kepada demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun
negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan menemukan kuman salmonella typhi pada biakan
empedu yang diambil dari darah klien. (Mansjoer, 2000: 433).
Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi
(aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella
kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien
menderita typoid.

VI. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan.
 Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
 Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya
tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
b. Diet.
 Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
 Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
 Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
 Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam
selama 7 hari.
c. Obat-obatan.
 Klorampenikol

16
 Tiampenikol
 Kotrimoxazol
 Amoxilin dan ampicillin

VII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian Keperawatan
Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:
a. Aktivitas dan Istirahat.
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas,
pembatasan aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi
relatif, hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk,
kering, lidah kotor.
c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak
ada harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.
d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada
konstipasi/adanya peristaltik.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor
kulit buruk, membran mukosa pucat.
f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.
Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.
h. Keamanan
C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.C-40Gejala:
Peningkatan suhu tubuh 38
i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan
kondisi yang di alami.

17
j. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

Diagnosis Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
INTERVENSI
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam
melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres hangat
pada daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak
minum.
3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi)
setiap 2-3 jam.
4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.
5) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
6) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan
antibiotik.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat


tidur/ tirah baring.
INTERVENSI
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa
makanan, minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut,
genetalia dan kuku.
2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.
3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat proses penyembuhan

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang


kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
INTERVENSI
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
2) Monitor tanda-tanda vital
3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.

18
4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang
berlebihan akibat diare.
INTERVENSI
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
2) Monitor adanya penurunan berat badan.
3) Monitor lingkungan selama makan.
4) Monitor mual dan muntah.
5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
7) Berikan makanan yang terpilih.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.


INTERVENSI
1) Monitor tanda dan gejala diare.
2) Identifikasi faktor penyebab diare
3) Observasi turgor kulit secara rutin.
4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.
5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan
tinggi kalori jika memungkinkan.
6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.
7) Evaluasi intake makanan yang masuk.
8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.


INTERVENSI
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.
3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.
4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.

19
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan
prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang
tidak adekuat.
INTERVENSI
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit
anaknya
2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.
3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum
dimengerti.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.


Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis,
Jakarta.
Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.
Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta.

21
KEJANG DEMAM

I. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. (Arif Mansjoer. 2000)
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan
gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat (1,2). Hal ini dapat
terjadi pada 2-5 % populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada usia
6 bulan – 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <> 3
tahun. (Nurul Itqiyah, 2008)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan
kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada
usia anak dibawah lima tahun.

II. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam menurut Buku Kapita Selekta Kedokteran belum
diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab utama kejang demam ialah
demam yag tinggi. Demam yang terjadi sering disebabkan oleh :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
2. Gangguan metabolik
3. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media,
bronchitis.
4. Keracunan obat
5. Faktor herediter
6. diopatik.

III. KLASIFIKASI
B. Secara umum, Kejang Demam dapat dibagi dalam dua jenis yaitu :
C. -          Simple febrile seizures (Kejang Demam Sederhana/KDS) : kejang
menyeluruh yang berlangsung < 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam.
D. -          Complex febrile seizures / complex partial seizures (Kejang Demam
Kompleks/KDK) : kejang fokal (hanya melibatkan salah satu bagian tubuh),
berlangsung > 15 menit, dan atau berulang dalam waktu singkat (selama
demam berlangsung).

22
IV. TANDA DAN GEJALA
Gejala berupa:
1. Suhu anak tinggi.
2. Anak pucat / diam saja
3. Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
4. Umumnya kejang demam berlangsung singkat.
5. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal.
6. Serangan tonik klonik (dapat berhenti sendiri)
7. Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
8. Seringkali kejang berhenti sendiri.
.

V. PATOFISIOLOGI

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi
organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah
kejang.

23
2. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral,
dan Abses.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis
4. Periksa darah / lab : Hb. Ht, Leukosit, Trombosit

VII. PENATALAKSANAAN
 Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
 Pemberian oksigen melalui face mask
 Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus)
atau jika telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
 Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
 Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk
meneliti kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya
menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang
cukup lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang
berkelanjutan .

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian:
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri /
orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
b. Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
c. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan
tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).

24
d. Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
e. Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
f. Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
g. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat,
peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
Diagnosa keperawatan:

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan cairan klien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
- TTV stabil
- Menunjukkan adanya keseimbangan cairan seperti output urin adekuat.
-Turgor kulit baik
- membrane mukosa mulut lembab
INTERVENSI
1. Ukur dan catat jumlah muntah yang dikleuarkan, warna, konsistensi.
2. Berikan makanan dan cairan
3. Berikan support verbal dalam pemberian cairan
4. Kolaborasi berikan pengobatan seperti obat antimual.
5. Pantau Hasil Pemeriksaan Laboratorium

2. Tidak Efektinya Bersihan Jalan Nafas b.d Peningkatan Sekresi Mukus


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan
nafas efektif
Kriteria hasil :
-sekresi mukus berkurang

25
- tak kejang
- gigi tak menggigit
INTERVENSI
1. Ukur Tanda-tanda vital klien.
2. Lakukan penghisapan lender
3. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar
4. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen

3 Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan


suhu tubuh
Tujuan : Keseimbangan cairan terpenuhi
INTERVENSI
1. Observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
2. Hitung Intak & Output setiap pergantian shift.
3. Anjurkan pemasukan/minum sesuai program.
4. Kolaborasi pemeriksaan lab : Ht, Na, K.

4 Resiko tinggi kejang berulang b.d riwayat kejang


Tujuan : Agar tidak terjadi kejang berulang
INTERVENSI
1. Observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
2. Observasi tanda-tanda kejang.
3. Kolaborasi pemberian obat anti kejang /konvulsi.

5 Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat.
Tujuan : Peningkatan status nutrisi
INTERVENSI
1. Tingkatkan intake makanan dengan menjaga privasi klien, mengurangi
gangguan seperti bising/berisik, menjaga kebersihan ruangan.
2. Bantu klien makan
3. selingi makan dengan minum
4. Monitor hasil lab seperti HB, Ht
5. Atur posisi semifowler saat memberikan makanan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing. 1989. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak.Jakarta : FKUI

Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III vol. 1. Jakarta : Media
Aesculapius.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2, hal 847. Cetakan ke 9. 2000 bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI

Doenges, E, Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.


khaidirmuhaj (http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/02/askep-anak-kejang-
demam.html)

http://www.kuliah-keperawatan.co.cc/2009/04/kejang-demam.html

Keperawatan http://maidun-gleekapay.blogspot.com/2010/02/askep-kejang-dan-
demam-pada-anak.html

27
TUBERKULOSIS PARU

I. DEFINISI
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel
granuloma pada paru. Yang biasanya disebabkan oleh Mycobacterium
tuberkulosis (Amin, M.,1999).

II. ETIOLOGI
Etiologi Tuberculosis Paru adalah Mycobacterium Tuberculosis yang

berbentuk batang dan Tahan asam ( Price , 1997 )


Penyebab Tuberculosis adalah M. Tuberculosis bentuk batang panjang 1 – 4 /m
Dengan tebal 0,3 – 0,5 m. selain itu juga kuman lain yang memberi infeksi
yang sama yaitu M. Bovis, M. Kansasii, M. Intracellutare.

III. KLASIFIKASI
 Klasifikasi Kesehatan Masyarakat (American Thoracic Society, 1974)
- Kategori 0 = - Tidak pernah terpapar / terinfeksi
- Riwayat kontak negatif
- Tes tuberkulin
- Kategori I = - Terpapar TB tapi tidak terbukti ada infeksi
- Riwayat / kontak negatif
- Tes tuberkulin negatif
- Kategori II = - Terinfeksi TB tapi tidak sakit
- Tes tuberkulin positif
- Radiologis dan sputum negatif
- Kategori III = - Terinfeksi dan sputum sakit

 Di Indonesia Klasifikasi yang dipakai berdasarkan DEPKES 2000 adalah


Kategori 1 :
- Paduan obat 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZE/4HR atau 2HRZE/6HE
Obat tersebut diberikan pada penderita baru Y+TB Paru BTA
Positif, penderita TB Paru BTA Negatif Roentgen Positif yang
“sakit berat” dan Penderita TB ekstra Paru Berat.
Kategori II :
- paduan obat 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

28
Obat ini diberikan untuk : penderita kambuh (relaps), pendrita
gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai ( after
default)
Kategori III :
- paduan obat 2HRZ/4H3R3
Obat ini diberikan untuk penderita BTA negatif fan roentgen positif
sakit ringan, penderita ekstra paru ringan yaitu TB Kelenjar Limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudativa uiteral, TB Kulit, TB tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Adapun tambahan dari pengobatan pasien TB obat sisipan yaitu diberikan bila
pada akhir tahab intensif dari suatu pengobatan dengan kategori 1 atua 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap
hari selama satu bulan.

IV. TANDA DAN GEJALA


• Dahak bercampur darah
• Batuk darah
• Sesak nafas dan rasa nyeri dada
• Badan lemah, nafsu makan menurun
• Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa..
• Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh
darah).
• Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
• Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
• Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam

V. PATOFISIOLOGI
• Masuknya kuman tuberculosis didalam tubuh tidak selalu menimbulkan
penyakit. Infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil
tuberculosis serta daya tahan tubuh manusia.
• Segera setelah menghirup basil tuberculosis hidup kedalam paru – paru,
maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas disebut focus primer.
Basil tuberculosis akan menyebar, histosit mulai mengangkut organisme
tersebut kekelenjar limfe regional melalui saluran getah bening menuju
kelenjar regional sehingga terbentuk komplek primer dan mengadakan
reaksi eksudasi terjadi sekitar 2-10 minggu(6-8 minggu) pasca infeksi.

29
• Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi pula
hypersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui melalui uji
tuberculin. Masa terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer
disebut masa inkubasi.
• Pada anak yang mengalami lesi, dalam paru dapat terjadi dimanapun terutama
di perifer dekat pleura,tetapi lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru
dibanding dengan lapangan atas. Juga terdapat pembesaran kelenjar regional
serta penyembuhannya mengarah ke klasifikasi dan penyebarannya lebih
banyak terjadi melalui hematogen.
• Pada reaksi radang dimana leukosit polimorfonuklear tampak pada alveoli
dan memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya. Kemudian basil
menyebar ke limfe dan sirkulasi. Dalam beberapa minggu limfosit T menjadi
sensitive terhadap organisme TBC dan membebaskan limfokin yang merubah
makrofag atau mengaktiifkan makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler
ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa nekrosis yang
tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis pada bagian sentral
memberikan gambaran yang relatifpadat pada keju, yang disebut nekrosis
kaseosa.
• Terdapat 3 macam penyebaran secara patogen pada tuberculosis anak;
penyebaran hematogen tersembunyi yang kemudian mungkin menimbulkan
gejala atau tanpa gejala klinis, penyebaran milier, biasanya terjadi sekaligus
dan menimbulkan gejala akut, kadang – kadang kronis, penyebaran
hematogen berulang.

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


• Pemeriksaan fisik
• Riwayat penyakit : riwayat kontak dengan individu yang terinfeksi penyakit
• Reaksi terhadap test tuberculin : reaksi test positif ( diameter = 5mm)
menunjukkan adanya infeksi primer
• Radiologi : terdapat kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran
pembesaran kelenjar paratrakeal, penyebran milier, penyebaran bronkogen,
atelektasis, pleuritis dengan efusi, cairan asites.

30
• Kultur sputum : kultur bilasan lambung atau sputum, cairan pleura, urine,
cairan serebrospinal cairan nodus limfe ditemukan hasil tuberculosis.
• Patologi anatomi dilakukan pada kelenjar getah bening, hepar, pleura,
peritoneum, kulit ditemukan tuberkal, dan basiltahan asam
• Uji BCG: reaksi positif jika setelah mendapatkan suntikan BCG langsung
terdapat reaksi local yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari set
penyuntikan.
• Infeksi TB : hanya diperlihatkan oleh skin test tuberculin positif
• Penyakit TB : gambaran radiologi positif, kultur sputum posif, dan adanya
gejala- gejala penyakit
• Terdapat 3 macam penyebaran secara patogen pada tuberculosis anak;
penyebaran hematogen tersembunyi yang kemudian mungkin menimbulkan
gejala atau tanpa gejala klinis, penyebaran milier, biasanya terjadi sekaligus
dan menimbulkan gejala akut, kadang – kadang kronis, penyebaran
hematogen berulang.

VII. PENATALAKSANAAN
• Nutrisi adekuat
• Kemoterapi : pemberian terapi pada tuberculosis didasarkan pada 3 karasteristik
basil, yaitu basil yang berkembang cepat ditempat yang kaya akan oksigen, basil
yang hidup dalam lingkungan yang kurang oksigen berkembang lambat dan
dorman hingga beberapa tahun, basil yang mengalami mutasi sehingga resistensi
terhadap obat. Isonized (INH) bekerja sebagai bakterisidal terhadap basil yang
tumbuh aktif, diberikan selama 18-24 bulan, dosis 10-20 mg/kgbb/hari melalui
oral. Selanjutnya kombinasi antara INH, rifampizin, dan pyrazinamid (PZA)
diberikan selama 6 bulan. Selama 2 bulan pertama obat diberikan setiap hari,
selanjutnya obat diberiakan 2 kali dalam 1 minggu. Obat tambahan antara lain
streptomycin (diiberikan intramuscular) dan ethambutol. Terapi kortikosteroid
diberikan bersamaan dengan obat antituberculosis, untuk mengurangi respon
peradangan, misalnya pada meningitis.
• Pembedahan : dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Dilakukan dengan cara
mengangkat jaringan paru yang rusak, tindaka ortopedi untuk memperbaiki
kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulornatosa
tuberculosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.
Pencegahan ; menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil
tuberculosis, mempertahankan status kesehatan dengan intake nutrisi yang
adekuat, meminum susu yang sudah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada

31
analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan karnoterapi, pemberian
imunisasi BCG untuk menungkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh
basil tuberculosis virulen.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
1. Riwayat PerjalananPenyakit
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas
pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak
(tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam
subfebris (40 -410C) hilang timbul.
b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat
badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak
sub kutan.
c. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum
hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan
kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks
paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural),
sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.),
perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah,
nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
timbul pleuritis.

32
e. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak
berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
2. Diagnosa Keperawatan:
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :
 Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
 Kerusakan membran alveolar kapiler
 Sekret yang kental
 Edema bronchial
INTERVENSI
1. Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya
respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku
3. Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir
disiutkan, terutama pada klien dengan fibrosis atau kerusakan
parenkhim.
4. Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas
5. Memberikan oksigen tambahan

3. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :


 Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
 Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
 Malnutrisi
 Terkontaminasi oleh lingkungan
 Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
INTERVENSI
1. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi
melalui bronkhus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah
atau sistem limfe dan potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa,
ciuman atau menyanyi.
2. Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi
seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
3. Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk

33
4. Gunakan masker setap melakukan tindakan
5. Monitor temperatur
6. Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani
7. Pemberian terapi untuk anak

2. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,


berhubungan dengan :
 Tidak ada yang menerangkan
 Interpretasi yang salah, tidak akurat
 Informasi yang didapat tidak lengkap
 Terbatasnya pengetahuan / kognitif
INTERVENSI
1. Kaji kemampuan belajar klien misalnya : tingkat kecemasan, perhatian,
kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk
belajar, seberapa banyak yang telah diketahui, media yang tepat dan siapa
yang dipercaya.
2. Mengidentifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya :
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran,
vertigo.
3. Menekankan pentingnya asupan diet TKTP dan intake cairan yang adekuat.
4. Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan
keluarga misalnya : jadwal minum obat.
5. Menjelaskan dosis obat, frekwensi, tindakan yang diharapkan dan perlunya
therapi dalam jangka waktu lama. Mengulangi penyuluhan mengenai
potensial interaksi antara obat yang diminum dengan obat / subtansi lain.
6. Jelaskan tentang efek samping dari pengobatan yang mungkin timbul,
misalnya: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala,
peningkatan tekanan darah.
7. Memberikan dorongan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan
kecemasan/keprihatinannya serta memberikan jawaban yang jujur atas
pertayaannya. Jangan berusaha menyangkal pernyataanya.
8. Review tentang cara penularan TB (misalnya : umumnya melalui inhalasi
udara yang mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine
jika infeksinya mengenai sistem urinaria) dan resiko kambuh kembali.

34
3. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
 Kelelahan
 Batuk yang sering, adanya produksi sputum
 Dyspnoe
 Anoreksia
 Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
INTERVENSI
Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang dianjurkan :
1. Catat turgor kulit
2. Timbang berat badan
3. Integritas mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya
bising usus, riwayat nausea, vomiting atau diare.
4. Mengkaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai
5. Meonitor intake dan output secara periodik.
6. Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya
dengan medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB.
7. Anjurkan bedrest
8. Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi

35
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doengoes, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.
IDAI dan PP IDAI UKK Pulmonologi. 2000. Tatalaksana Mutakhir Penyakit
Respiratorik Pada Anak; Dalam Temu Ahli Respirologi Anak-Anak.
Jakarta.
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak; Volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit Dalam; Jilid I. FKUI. Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. FKUI. Jakarta.
wordpress.com/2010/10/09/asuhan-keperawatan-anak-dengan-tuberkulosis-paru/

36
ASMA BRONKIAL

I. DEFINISI
Asma adalah keadaan klinik yang menunjukan meningkatnya respon
trakea dan bronkus  yang menyebabkan penyempitan jalan napas akibat dari
bronkospasme, edema mukosa, dan hipersekresi mucus yang kental.

II. ETIOLOGI
a. Faktor predisposisi: genetik
Meskipun belum diketahui bagaimana penurunanya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronchial jika terpapar dengan factor pencetus.
Selain itu hipersensitifita saluran pernapasan juga bia diturunkan.
b. Faktor presipitasi
 Alergen
 Inhalan
 Ingestan
 Kontaktan
 Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan pemicu
terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim. 
 Stress/gangguan emosi
Stress dapat menjadi pencetus asma, selain itu bias memperberat serangan
asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya, karena jika stress belum diatasi maka
gejala asma belum bisa diobati.
 Lingkungan kerja
Berkaitan dengan dimana dia bekerja. Mis. Orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
 Olahraga/aktivitas jasmani yang berat

37
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat, Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

III. KLASIFIKASI
 Asma Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh factor-faktor pencetus
yang spesifik seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang. Asma ekstrinsik
sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetic terhadap alergi.
 Asma Intrinsik (nonalergik)
Ditandai dengan adannya reaksi non alergik yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
oleh adanya infeksi saluran pernapasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi
lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronchitis kronis dan emfisema, atau asma gabungan.
 Asma gabungan
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi dan nonalergi.

IV. TANDA DAN GEJALA


Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernapas cepat dan dalam,
batuk, bunyi napas wheezing ( mengi ),tacipnea, ortopnea, gelisah, dyaporesis,
ronchi. Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di leher.
a. Sesak Napas
Terjadi setelah berpaparan dengan bahan allergen dan menetap beberapa saat.
b. Batuk
Batuk yang terjadi pada penderita asma merupakan usaha saluran pernapasan
untuk mengurangi penumpukan mucus yang berlebihan pada saluran
pernapasan dan partikel asing melalui gerakan silia mucus yang ritmik keluar.
c. Suara Pernapasan Whezing
Suara ini dapat digambarkan sebagai bunyi yang bergelombang yang
dihasilkan dari tekanan aliran udara yang melewati mucosa bronkus yang
mengalami pembengkakan tidak merata. Wheezing pada penderita asma akan
terdengar pada saat ekspirasi.

38
d. Pucat
Pucat  pada penderita asma tergantung pada tingkat penyempitan bronkus.
Pada penyempitan yang luas penderita dapat mengalami sianosis karena kadar
karbondioksida yang ada lebih tinggi daripada kadar oksigen jaringan.
e. Lemah
Oksigen di dalam tubuh difungsikan untuk respirasi sel yang akan digunakan
untuk proses metabolisme sel termasuk pembentukan energi yang bersifat
aerobic seperti glikolisis. Kalalu jumlah oksigen bekurang maka proses
pembentukan energy secara metabolic juga akan menurun sehingga penderita
mengeluh lemah.

V. PATOFISIOLOGI
Adanya debu, asap rokok, bulu binatang, hawa dingin terpapar pada
penderita. Benda-benda yang terpapar tersebut dikenali sebagai antigen oleh
system di tubuh penderita yang kemudian memicu dikeluarkan antibody yang
berperan sebagai respon reaksi hipersensitif seperti neutrofil, basofil, dan
immunoglobulin E (Ig E). Masuknya antigen pada tubuh yang memicu reaksi
antigen akan menimbulkan reaksi antigen-antibodi. Ikatan antigen dan antibody
akan meransang peningkatan pengeluaran mediator kimia seperti histamin
neutrophil chemotactic slow acting epinefrin, norepinefrin dan prostaglandin.
    Peningkatan mediator-mediator kimia terebut akan meransang
peningkatan permiabilitas kapiler pembengkakan pada mukosa saluran
pernafasan (terutama bronkus). Pembengkakan yang hampir merata pada semua
bagian bronkus akan menyebabkan penyempitan bronkus (bronkokontriksi) dan
sesak nafas. Penyempitan bronkus akan menurunkan jumlah oksigen luar yang
masuk saat inspirasi sehingga menurunkan okigen yang darah. Kondisi ini akan
berakibat pada penurunan oksigen jaringan sehingga penderita terlihat pucat dan
lemah.
Pembengkakan mukosa bronkus juga akan meningkatkan sekresi mucus
dan meningkatkan pergerakan silia pada mukosa. Penderita jadi sering batuk
dengan produksi mukus yang cukup banyak.

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


a. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas.
b. Pemeriksaan dahak atau sputum
Untuk mengetahui jenis allergen apa yang masuk dalam saluran pernapasan

39
c. Pemeriksaan darah
AGD hanya dilakukan pada penderita dengan asma berat.
Pemeriksaan darah tepi pada penderita asma: jumlah eosinofila dalam darah
meningkat. Dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikoteroid yang diperlukan penderita asma dan membantu membedakan
penderita asma dan bronchitis akut.
d. Foto Rotgen (thoraks)

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya
mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang
perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan
penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokteratau
perawatyang merawatnnya.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian riwayat keperawatan berdasarkan pola kesehatan fungsional
menurut Gordon :
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat penyakit yang pernah dialami seperti sesak napas yang
mengganggu aktivitas.
- Riwayat keperawatan diri serta pemeliharaan lingkungan yang dapat
menjadi penyebab asma seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang,
dan cuaca
- Riwayat kesehatan keluarga ada yang menderita penyakit asma
b. Pola metabolik nutrisi
Dapat muncul mual dan anoreksia sebagai dampak penurunan oksigen
jaringan gastrointestinal. Anak biasanya mengeluh badannya lemah
karena penurunan asupan nutrisi, terjadi penurun BB.
c. Pola eliminasi
Anak dengan asma jarang terjadi gangguan eliminasi baik buang besar
dan kecil

40
d. Pola tidur dan istirahat
Data yang sering muncul adalah anak mengalami kesulitan tidur karena
sesak napas. Penampilan anak terlihat lemah, sering menguap,mata
merah, anak juga sering menangis pada malam hari karena
ketidaknyamanan tersebut
e. Pola aktivitas dan latihan
Anak tampak menurun aktivitas dan latihannya sebagai dampak
kelemahan fisik. Anak tampak lebih banyak minta digendong orang tua
atau bedrest/ seta orang tua membatasi aktivitas anak, berlari atau bermain
f. Pola kognitif-persepsi
Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang pernah disampaikan
biasanya sesaat akibat penurunan asupan nutrisi dan oksigen pada otak.
Pada saat dirawat anak tampak bingung kalau ditanya tentang hal-hal baru
disampaikan
g. Pola  persepsi diri-konsep diri
Tampak gambaran orang tua terhadap anak diam kurang bersahabat,tidak
suka bermain ketakutan terhadap orang lain meningkat.
h. Pola peran-hubungan
Anak malas kalau diajak bicara baik dengan teman sebaya maupun lebih
besar, anak lebih banyak diam dan selalu bersama dengan orang terdekat.
i. Pola seksual-reproduksi
Pola kondisi sakit anak kecil masih sulit terkaji. Pada anak yang sudah
mengalami puberitas mungkin terjadi gangguan menstruasi pada wanita
tetapi berifat sementara dan biasanya penundaan.
j. Pola toleransi stress-koping
Aktivitas yang sering tampak, saat menghadapi stress anak sering
menangis, kalau sudah remaja saat sakit yang dominan adalah mudah
tersinggung dan suka marah.
k. Pola nilai-keyakinan
Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan kebutuhan untuk
mendapat sumber kesembuhan Allah SWT.

B. Diagnosa Keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi mucus.
b) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan tubuh dan hipoksia
c) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d dipnea, kelemahan,
produksi sputum, anoreksia, mual dan muntah

41
d) Kecemasan b/d adanya hospitalisasi disstres pernapasan
e) Perubahan proses keluarga b/d kondisi kronik
f) Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi tentang proses
penyakit dan pengobatan

1. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi mucus
Tujuan:
- Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan naps, misalnya
batuk efektif dan mengeluarkan secret
Intervensi
1) Kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada
2) Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya, mengi,
krekels dan ronchi
3) Observasi TTV
4) Bantu pasien latihan napas dan batuk
5) secara efektif
6) Section sesuai indikasi bila perlu sesuai instruksi dokter
7) Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya, debu, asap yang
berhubungan dengan kondisi pasien.
8) Berikan posisi yang nyaman pada pasien misalnya,peninggian kepala
tempat tidur(posisi semi fowler)
9) Berikan cairan sedikitnya 1000 ml/hari. Tawarkan air hangat
10) Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obat seperti bronkodilator
dan mukolitik melalui inhalasi

2. intoleransi aktivitas b/d kelemahan tubuh dan hipoksia


Tujuan:
Pasien mampu menunjukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
dengan tidak adanya dispnea, tidak lagi mengalami kelemahan yang
berlebihan dan TTV kembali dalam rentang normal.
Intervensi
1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea,
peningkatan kelemahan atau kelelahan dan perubahan tanda vital selama
dan setelah aktivitas.
2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung sealama fase akut sesuai

42
indikasi, dorong penggunaan manajemen stress dan pengalih yang tepat
3) Jelaskan pada orang tua pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
dan perlunya kesimbangan aktivitas dan istirahat
4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan
peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan
5) Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien

3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d dipnea kelemahan


produksi sputum, anoreksia, mual dan muntah
Kriteria Hasil:
a. Berat badan dapat dipertahankan
b. Anak merasa semakin kuat
c. Anak dapat menghabiskan porsi makanan yang diberikan
d. Mual yang dirasakan dapat berkurang atau hilang
Intervensi
1) Identifikasi factor yang menimbulkan mual atau muntah (sputum
banyak), pengobatan aerosol, dispnea berat dan nyeri
2) Auskultasi bunyi usus. Obervasi atau palpasi distensi abdomen.
3) Evaluasi status nutrisi umum. Timbang berat badan dasar.
4) Jadwalkan pengobatan pernapasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
5) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan makan porsi kecil dan sering
dan atau makanan yang disukai pasien
6) Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai diet yang diberikan

DAFTAR PUTAKA

43
Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi pertama.
Yogyakarta:Graha Ilmu.

Alsagaff, hood dan abdul mukty. 2008. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan 5.
Surabaya: Airlangga University Press

Pongantung, Heny dkk. 2004. Buku Paket Keperawatan Kesehatan Anak;. Sulawesi
selatan : Bakti Husada

http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-6386544/Asthma-care-of-children-in.html
Prof. dr.arjatmo Tjokronegoro,Phd,Sp.and, dr.Hendra Utama,Sp.FK.2002.Updates In
Pediatrik Emergencies: Jakarta.Balai Penerbit FK Universitas Indonesia

Muttaqin,Arif.2008.Buku Ajar-Asuhan  Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika

blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-in-zh-tw-x.html

BRONCHOPNEUMONIA

I. DEFINISI

44
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer
& Suzanne C, 2002 : 572)
Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak
dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan
bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 1995 : 710)
Menurut Whaley & Wong, Bronchopneumonia adalah bronkiolus terminal
yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau
membentuk gabungan di dekat lobulus, disebut juga pneumonia lobaris.
Bronchopneumonia adalah suatu peradangan paru yang biasanya menyerang
di bronkeoli terminal. Bronkeoli terminal tersumbat oleh eksudat mokopurulen
yang membentuk bercak-barcak konsolidasi di lobuli yang berdekatan. Penyakit
ini sering bersifat sekunder, menyertai infeksi saluran pernafasan atas, demam
infeksi yang spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh.
(Sudigdiodi dan Imam Supardi, 1998)
Kesimpulannya bronchopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan
oleh agen infeksius dan terdapat di daerah bronkus dan sekitar alveoli.

II. ETIOLOGI
Secara umun individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh
adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
patogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya
lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan
sekresi humoral setempat.
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M. Nettiria, 2001 :
682) antara lain:
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella.
2. Virus : Legionella pneumonia
3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru
5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi
pada pasien yang daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal

45
yang terdapat dalam mulut dan karena adanya pneumocystis cranii,
Mycoplasma. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572 dan Sandra M. Nettina,
2001 : 682)

III. KLASIFIKASI
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia)
3. Pneumonia interstisialis (Bronchiolitis)

IV. TANDA DAN GEJALA


1. Biasanya didahului infeksi saluran pernafasan bagian atas. Suhu dapat naik
secara mendadak (38 – 40 ºC), dapat disertai kejang (karena demam tinggi).
2. Gejala khas :
1. Sianosis pada mulut dan hidung.
2. Sesak nafas, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung.
3. Gelisah, cepat lelah.
3. Batuk à mula-mula kering à produktif.
4. Kadang-kadang muntah dan diare, anoreksia.
5. Pemeriksaan laboratorium = lekositosis.
Foto thorak = bercak infiltrate pada satu lobus/beberapa lobus.

V. PATOFISIOLOGI
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau
karena aspirasi makanan dan minuman.
Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masukl ke saluran
pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat
tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran
pernafasan dengan ganbaran sebagai berikut:
1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi
pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan
alveoli.
2. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran
pencernaan dan menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora
normal dalam usus, peristaltik meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi
dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. (Soeparman, 1991)

46
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan
pergeseran LED meninggi.
Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau
beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada
satu atau beberapa lobus.

VII. PENATALAKSANAAN
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal
ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka
dalam praktek diberikan pengobatan polifragmasi seperti penisilin diambah
dengan kloramfenikol atau diberi antibiotik yang mempunyai spektrum luas
seperti ampicillin. Pengobatan diteruskan sampai anak bebas demam selama 4 –
5 hari.3
Pengobatan dan penatalaksaannya meliputi :3,7
 Bed rest
 Anak dengan sesak nafas memerlukan cairan inta vena dan oksigen (1 – 2
l/mnt). Jenis cairan yang digunakan adalah campuran Glukosa 5% dan
NaCl 0,9% ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus.
 Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan dan kenaikan suhu.
 Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
 Pemberian antibiotik sesuai biakan atau berikan :
 Untuk kasus pneumonia community base :
-      Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian
-      Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian
 Untuk kasus pneumonia hospital base :
-     Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
-      Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
 Antipiretik : paracetamol 10-15 mg/kgBB/x beri
 Mukolitik : Ambroxol 1,2-1,6 mg/kgBB/2 dosis/oral
 Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip. Jika sesaknya berat maka
pasien harus dipuasakan.
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang lazim terjadi

47
1. Bersihan jalan nafas, tak efektif, dapat berhubungan dengan : inflamasi
trakeabranchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum, nyeri
fleuritik. Penurunan energi, kelemahan.
Tujuan :menunjukan perilaku bersihan jalan napas,menunjukkam jalan napas
paten dengan bunyi napas bersih,tidak ada dipsneu.
INTERVENSI
1) Auskultasi bunyi paru, catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi
napas
2) Bantu pasien latihan nafas sering. Tunjukkan / Bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, missal menekan dada dan batuk efektif sementara posisi
duduk tinggi
3) Pengisapan sesuai indikasi
4) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml ml/hari ( kecuali kontraindikasi ).
5) Bantu mengawasi efek pengobatan

2. Pertukaran gas, kerusakan dapat dihubungkan perubahan membrane alveolar


– kapiler ( efek inflamasi ), gangguan kapasitas pembawa oksigen darah.
Tujuan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan
GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan.
INTERVENSI
1. Kaji frekwensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
2. Obnservasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis,
perifer ( kuku ) atau sianosis sentral.
3. Kaji status mental
4. Awasi suhu tubuh sesuai indikasi
1. 5. Berikan terapi oksigen dengan benar.

3. Infeksi, Risiko tinggi terhadap penyebaran, Kemungkinan berhubungan


dengan : ketidakadekuatan pertahanan utama ( penurunan kerja silia,
perlengketan sekret pernafasan ), tidak adekuatnya pertahanan sekunder,
penyakit kronis, malnutrisi.
Tujuan : Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi,
mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.

INTERVENSI
1. Pantau tanda vital dengan ketat, khusus selama awal terapi

48
2. Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan
perubahanwarna, jumlah dan bau sekret.
3. Tunjukkan /dorong teknik mencuci tangan yang baik.
4. Ubah posisi dengan sering dan berikan pembuangan paru yang baik
5. Batasi pengunjung sesuai indikasi.
6. Lakukan isolasi pencegahan sesuai individual
7. Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktifitas sedang.
Tingkatkan masukan nutrisi adekuat.

4. intoleransi aktifitas kemungkinan berhubungan dengan : ktidak seimbangan


anatar suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, kelelahan.
Tujuan : Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
yang dapat diukur dengan tak adanya dispnoe, kelemahan berlebihan dan
tanda, vital dalam rentang normal.
INTERVENSI
1. Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas.
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut
sesuai indikasi.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
4. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan / atau tidur

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan kemungkinan berhubungan dengan ;


peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses
infeksi, anoreksi dan distensi abdomen / gas.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan,
mempertahankan/meningkatkan distensi abdomen / gas.
INTERVENSI
1. 1.indentifikasi factor yang menyebabkan mual / muntah misalnya :
sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnoe berat, nyeri.
2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.
3. 3.Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
4. Auskultasi bunyi usus , observasi / palpasi distensi abdomen.
5. Berikan makan porsi kecil tapi sering termasuk makanan kering.
6. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

49
6. kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan kemungkinan
berhubungan dengan : kurang terpajan, kesalahan interpretasi.
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi, proses penyakit, dan pengobatan,
melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.
INTERVENSI
1. Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi.
2. Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan,
dan harapan kesembuhan identifikasi perawatan diri dan kebutuhan /
sumber pemeliharaan rumah.
3. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan / atau verbal.
4. Tekankan pentingnya melanjutkan batauk efektif / latihan pernafasan.
5. Tekankan pentingnya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang
dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

50
scribd.com/doc/19656835/Asuhan-Keperawatan-Klien-Dengan-Broncho-Pneumonia.
Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001
Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta:
Infomedika;2000
Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997
Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002
Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:

DHF

51
I. DEFINISI
DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang
disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa
nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat
menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

II. ETIOLOGI
Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan
nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )

III. KLASIFIKASI
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan ( uju
tourniquet positif )
Derajat II
Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.
Derajat III
Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan  lemah, tekanan nadi menurun
(20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )
Derajat IV
Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur
Pemeriksaan Diagnostik
- Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau
lebih ) Thrombocitopeni ( 100. 000/ mm3 atau kurang )
- Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )
- Rontgen Thorac = Effusi Pleura

IV. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :
- Meningkatnya suhu tubuh
- Nyeri pada otot seluruh tubuh
-   Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita
- Suara serak
- Batuk
- Epistaksis

52
- Disuria
- Nafsu makan menurun
- Muntah
- Ptekie
- Ekimosis
- Perdarahan gusi
- Muntah darah
- Hematuria masif
- Melena

V. PATOFISIOLOGI
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty.
Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh,
ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan
hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks
virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat
aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk
melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta
efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %)
menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma
sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan
intravena.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya
faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada
DHF.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus.

53
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan
intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya
edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang
cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia
jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan
baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan
vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.

Phatway

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


- Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau lebih )
Thrombocitopeni ( 100. 000/ mm3 atau kurang )
- Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )
- Rontgen Thorac = Effusi Pleura
-
VII. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan tanda – tanda vital secara kontinue tiap jam

54
- Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
- Observasi intik output
- Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital
tiap 3   jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter
– 2 liter per hari, beri kompres
- Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb,
Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat,
tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
- Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2
pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi
productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
Resiko Perdarahan
- Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
- Catat banyak, warna dari perdarahan
- Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal
2. Peningkatan suhu tubuh
- Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
- Beri minum banyak
- Berikan kompres

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian Keperawatan DHF:
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan
perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan
data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik,
laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a) Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga
pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti
Effendy, 1995 yaitu :
1.) Lemah.
2.) Panas atau demam.
3.) Sakit kepala.
4.) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5.) Nyeri ulu hati.
6.) Nyeri pada otot dan sendi.

55
7.) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
8.) Konstipasi (sembelit).
b) Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas
kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF
antara lain :
1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,
ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
4) Hiperemia pada tenggorokan.
5) Nyeri tekan pada epigastrik.
6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas
dingin,gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
1) Ig G dengue positif.
2) Trombositopenia.
3) Hemoglobin meningkat > 20 %.
4) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia,
peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

Diagnosa Keperawatan DHF :


Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF (Christiante
Effendy, 1995) yaitu :
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
2) Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

56
4) Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma.
5) Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang
lemah.
6) Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume
cairan tubuh.
7) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
8) Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan
trombositopenia.
9) Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan
perdarahan yang dialami pasien.
Intervensi :
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Tujuan :
Suhu tubuh normal (36 – 370C).
Pasien bebas dari demam.
Intervensi
1. Kaji saat timbulnya demam.
2. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
3. Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam.±7)
4. Berikan kompres hangat.
5. Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
6. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.

2) Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.


Tujuan :
Rasa nyaman pasien terpenuhi. Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi
1. Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
2. Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
3. Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
4. Berikan obat-obat analgetik

3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :

57
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan
sesuai dengan posisi yang diberikan/dibutuhkan.
Intervensi
1. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
2. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
3. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
4. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
5. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
6. Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter
7. Ukur berat badan pasien setiap minggu.

4) Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan


permeabilitas dinding plasma.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi.
Intervensi
1. Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda
vital.
2. Observasi tanda-tanda syock.
3. Berikan cairan intravena sesuai program dokter
4. Anjurkan pasien untuk banyak minum
5. Catat intake dan output.

5) Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang


lemah.
Tujuan :
Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi
1. Kaji keluhan pasien.
2. Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
3. Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai
tingkat keterbatasan pasien
4. Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

58
Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo
Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.
Christantie, Effendy. SKp, Perawatan Pasien DHF. Jakarta, EGC, 1995
Prinsip – Prinsip Keperawatan Nancy Roper hal 269 – 267

SINDROM NEFROTIK

59
I. DEFINISI
Sindrom Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H, dkk. 2000, 832).
Sindrom Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong,
2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).

II. ETIOLOGI & KLASIFIKASI


Sebab pasti belum jelas. Saat ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun. Secara umum etiologi dibagi menjadi :
a. Sindrom nefrotik bawaan.
Gejala khas adalah edema pada masa neonatus.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Penyebabnya adalah malaria, lupus eritematous diseminata, GNA dan
GNK, bahan kimia dan amiloidosis.
c. Sindrom nefrotikidiopatik
d. Sklerosis glomerulus.
Insiden Sindrom Nefrotik
a. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.
b. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan
c. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun
d. Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari
semua kasus sindrom nefrotik pada anak
e. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 %
dengan majunya terapi dan pemberian steroid.

60
f. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk
nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)

III. TANDA DAN GEJALA


- Edema, sembab pada kelopak mata Edema biasanya bervariasi dari
bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan
cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata
(periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas
bawah.
- Rentan terhadap infeksi sekunder
- Hematuria, azotemeia, hipertensi ringan
- Kadang-kadang sesak karena ascites
- Produksi urine berkurang
- Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
- Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan
keletihan umumnya terjadi.

IV. PATOFISIOLOGI
Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan
proteinuria masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan
onkotik plasma menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler
ke intestisial.
Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus
berkurang mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah
merangsang sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid,
lipoprotein dan trigliserida.
a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat
pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria.
Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan
intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut
menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan
jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
b. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi
anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi

61
retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan
edema.
c. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari
peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma
albumin

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
- BJ urine meninggi
- Hipoalbuminemia
- Kadar urine normal
- Anemia defisiensi besi
- LED meninggi
- Kalsium dalam darah sering merendah
- Kadang-kdang glukosuria tanpa hiperglikemia.
VI. PENATALAKSANAAN

62
- Istirahat sampai edema tinggal sedikit
- Diet protein 3 – 4 gram/kg BB/hari
- Diuretikum : furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu
dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.
- Kortikosteroid : Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan
dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80
mg/hari. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28
hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu
dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama
pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama
4 minggu
- Antibiotika bila ada infeksi
- Punksi ascites
- Digitalis bila ada gagal jantung.

VII. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Konsep Asuhan Keperawatan ( Askep ) pada Sindrom Nefrotik
1. Pengkajian
a. Identitas.
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6)
kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada  usia kurang dari
14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah
endemik malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.
b. Riwayat Kesehatan.
1) Keluhan utama.
Badan bengkak, muka sembab dan napsu makan menurun
2) Riwayat penyakit dahulu.
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK,
terpapar bahan kimia.
3) Riwayat penyakit sekarang.
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan
menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
c. Riwayat kesehatan keluarga.

63
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat
ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun
pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
d. Riwayat kehamilan dan persalinan
Tidak ada hubungan.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
f. Imunisasi.
Tidak ada hubungan.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8
Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik
dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa
daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin
beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan
ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan
ayah.
Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school
(inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar
mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak
akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional
yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan
meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar
orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga,
menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes
bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan
kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur,
kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi,
perasaan berpisah dari orang tua, teman.
h. Riwayat nutrisi.
Usia pre school nutrisi seperti makanan yang dihidangkan
dalam keluarga. Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB

64
terukur dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 %
(gizi buruk), < 30 % (gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
i. Pengkajian persistem.
a) Sistem pernapasan.
Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit,
efusi pleura karena distensi abdomen
b) Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg,
hipertensi ringan bisa dijumpai.
c) Sistem persarafan.
Dalam batas normal.
d) Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e) Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri
daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps ani.
f) Sistem muskuloskeletal.
Dalam batas normal.
g) Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
h) Sistem endokrin
Dalam batas normal
i) Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
j) Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan Sindrom Nefrotik
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein
sekunder terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
Tujuan volume cairan tubuh akan seimbang dengan kriteria hasil
penurunan edema, ascites, kadar protein darah meningkat, output
urine adekuat 600 – 700 ml/hari, tekanan darah dan nadi dalam
batas normal.
Intervensi
1) Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan
tindakan
2) Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator regimen

65
terapi
3) Estimasi penurunan edema tubuh
4) Mencegah edema bertambah berat
5) Pembatasan protein bertujuan untuk meringankan beban
kerja  hepar dan mencegah bertamabah rusaknya hemdinamik
ginjal.

b) Perubahan nutrisi ruang dari kebutuhan berhubungan dengan


malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan
napsu makan.
Tujuan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil
napsu makan baik, tidak terjadi hipoprtoeinemia, porsi makan
yang dihidangkan dihabiskan, edema dan ascites tidak ada.
Intervensi
1. Catat intake dan output makanan secara akurat
2. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare.
3. Pastikan anak mendapat makanan dengan diet yang cukup.

c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang


menurun.
Tujuan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tanda-tanda
infeksi tidak ada, tanda vital dalam batas normal, ada perubahan
perilaku keluarga dalam melakukan perawatan.
Intervensi
1. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui
pembatasan pengunjung.
2. Tempatkan anak di ruangan non infeksi.
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
4. Lakukan tindakan invasif secara aseptik.

d) Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan


yang asing (dampak hospitalisasi).
Tujuan kecemasan anak menurun atau hilang dengan kriteria hasil
kooperatif pada tindakan keperawatan, komunikatif pada perawat,
secara verbal mengatakan tidak takur.
Intervensi
1. Validasi perasaan takut atau cemas

66
2. Pertahankan kontak dengan klien.
3. Upayakan ada keluarga yang menunggu.
4. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga. sesuai
program yang dianjurkan oleh dokter

DAFTAR PUSTAKA

67
Berhman & Kliegman (1987), Essentials of Pediatrics, W. B Saunders, Philadelphia.

Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa,
EGC, Jakarta

Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto, Jakarta

Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica, Jakarta

Tjokronegoro & Hendra Utama, (1993), Buku Ajar Nefrologi, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

——-, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo-Lab/UPF IKA,
Surabaya

http://nursingbegin.com/askep-sindrom-nefrotik/

68
MENINGITIS

I. DEFINISI
Meningitis adalah infeksi cairan otakdan disertai proses peradangan yang
mengenai piameter, araknoid dan dapat meluas ke permukaan jarinag otak
dan medula spinalis yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa
yang terdapat secara akut dan kronis.
Meningitis dibagi menjadi dua :
1. Meningitis purulenta
Yaitu infeksi selaput otak yang disebabkan oleh bakteri non spesifik yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau reaksi purulen pada cairan otak.
Penyebabnya adalah pneumonia, hemofilus influensa, E. Coli.
2. Meningitis tuberkulosa
Yaitu radang selaput otak dengan eksudasi yang bersifat serosa yang
disebabkan oleh kuman tuberkulosis, lues, virus, riketsia.
Berdasarkan lapisan selaput otak yang mengalami radang meningitis dibagi
menjadi :
1. Pakimeningitis, yamg mengalami adalah durameter
2. Leptomeningitis, yang mengalami adalah araknoid dan piameter.

II. ETIOLOGI
 H. influenza ( type B )
 Streptokokus pneumonie
 Neisseria meningitides ( meningococus)
 Hemolytic streptococcus
 Stapilococus aureus
 Escherecia coli

III. TANDA DAN GEJALA


Pada meningitis purulenta ditemukan tanda dan gejala :
1. Gejala infeksi akut atau sub akut yang ditandai dengan keadaan lesu,
mudah terkena rangsang, demam, muntah penurunan nafsu makan,
nyeri kepala.
2. Gejala peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan muntah, nyeri
kepala, penurunan kesadaran ( somnolen sampai koma ), kejang, mata
juling, paresis atau paralisis.

69
3. Gejala rangsang meningeal yang ditandai dengan rasa nyeri pada leher
dan punggung, kaku kuduk, tanda brodsinky I dan II positif dan tanda
kerning positif.
Tanda kerning yaitu bila paha ditekuk 90°ke depan, tuungkai dapat
diluruskan pada sendi lutut.
Tanda brudzinky I positif adalah bila kepal di fleksi atau tunduk
ke depan, maka tungkai akan bergerak fleksi di sudut sendi lutut.
Tanda brodzinky II positif adalah bila satu tungkai ditekuk dari sendi
lutut ruang paha, ditekankan ke perut penderita, maka tungkai lainnya
bergerak fleksi dalam sendi lutut. Pada meningitis tuberkulosas
didapatkan gejala dalam stadium-stadium yaitu :
1. Stadium prodomal ditandai dengan gejala yang tidak khas dan terjadi
perlahan-lahan yaitu demam ringan atau kadang-kadang tidak demam,
nafsu makan menurun, nyeri kepala, muntah, apatis, berlangsung 1-3
minggu, bila tuberkulosis pecah langsung ke ruang subaraknoid, maka
stadium prodomal berlangsung cepat dan langsung masuk ke stadium
terminal.
2. Stadium transisi ditandai dengan gejala kejang, rangsang meningeal
yaitu kaku kuduk, tanda brudzinky I dan II positif, mata juling,
kelumpuhan dan gangguan kesadaran.
3. Stadium terminal ditandai dengan keadaan yang berat yaitu kesadaran
menurun sampai koma, kelumpuhan, pernapasan tidak teratur, panas
tinggi dan akhirnya meninggal.

IV. PATOFISIOLOGI
Kuman atau organisme dapat mencapai meningen ( selaput otak ) dan
ruangan subaraknoid melalui cara sebagai berikut :
1. Implantasi langsung setelah luka terbuka di kepala
2. Perluasan langsung dari proses infeksi di telingga tengah sinus
paranasalis, kulit.
3. Kepala, pada muka dan peradangan di selaput otak/ skitarnya seperti
mastoiditis
4. Sinusitis, otitis media
5. Melalui aliran darah waktu terjadi septikemia
6. Perluasan dari tromboplebitis kortek
7. Perluasan dari abses ekstra dural, sudural atau otak
8. Komplikasi bedah otak

70
9. Penyebaran dari radang.
Pada meningitis tuberkulosa dapat terjadi akibat komplikasi penyebaran
tuberkulosis paru primer, yaitu :
1. secara hematogen, melalui kumanmencapai susunan saraf kemudian
pecah dan bakteri masuk ke ruang subaraknoid melalui aliran darah.
2. Cara lain yaitu dengan perluasan langsung dari mastoiditis atau
spondilitis tuberkulosis

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan cairan otak melalui pungsi lumbal, didapatkan :
a. Tekanan
b. Warna cairan otak: pada keadaan normal cairan otak
tidakberwarna. Pada menigitis purulenta berwarna keruh sampai
kekuning-kuningangan. Sedangkan pada meningitis tuberkulosis
cairan otak berwarna jernih.
c. Protein ( 0,2-0,4 Kg ) pada miningitis meninggi
d. Glukosa dan klorida
2. None pandi
3. Pemeriksaan darah
4. Uji tuberkulin positif dari kurasan lambung untuk meningitis
tuberkulosis
5. Pemeriksaan radiologi
a. CT Scan
b. Rotgen kepala
c. Rotgen thorak
6. Elektroensefalografi ( EEG ), akan menunjukkan perlambatan yang
menyeluruh di kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan
radang.

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan
intensif suporatif untuk membantu pasien melaluimasa kritis :
1. Penderita dirawat di rumah sakit
2. Pemberian cairan intravena
3. Bila gelisah berikan sedatif/penenang
4. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik
5. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan :

71
a. Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram,
intravena 4x sehari
b. Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg
c. Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena
6. Pada waktu kejang :
a. Melonggarkan pakaian
b. Menghisap lendir
c. Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah
d. Menghindarkan pasien jatuh
7. Jika penderita tidak sadar lama :
a. Diit TKTP melalui sonde
b. Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah
posisi setiap dua jam
c. Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotik
8. Jika terjadi inkontinensia pasang kateter
9. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital
10. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara
11. Konsultasi THT ( jika ada kelainan telinga, seperti tuli )
12. Konsultasi mata ( kalau ada kelainan mata, seperti buta )
13. Konsultasi bedah ( jika ada hidrosefalus ) KOMPLIKASI
a. Ketidaksesuaian sekresi ADH
b. Pengumpulan cairan subdural
c. Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian
badan
d. Hidrocepalus yang berat dan retardasi mental, tuli, kebutaan
karena atrofi nervus II ( optikus )
e. Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau
luka di mulut, konjungtivitis.
f. Epilepsi
g. Pneumonia karena aspirasi
h. Efusi subdural, emfisema subdural
i. Keterlambatan bicara
j. Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus
IV (toklearis ), nervus VI (abdusen). Ketiga saraf tersebut
mengatur gerakan bola mata.

72
VII. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Biodata klien
b) Riwayat kesehatan yang lalu
1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c) Riwayat kesehatan sekarang
1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK.
Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi
berat, taikardi, disritmia.
3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa
kering.
5) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan
diri.
6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia,
fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman.
Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan
halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis,
kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau
kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal
menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal).
Tanda : gelisah, menangis.

73
8) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.
Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

2. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminata hematogen dari pathogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang
umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam
sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminata hematogen dari patogen.
Mandiri :
 Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
 Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
 Pantau suhu secara teratur
 Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang
terus menerus
 Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur,
dianjurkan nfas dalam
 Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi :
 Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin,
klorampenikol, gentamisin.
b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri :
 Tirah baring dengan posisi kepala datar.

74
 Pantau status neurologis.
 Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu,
masukan dan haluaran.
 Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi:
 Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
 Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
 Pantau BGA.
 Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen
c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang
umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
Mandiri:
 Pantau adanya kejang
 Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan
pasang jalan nafas buatan
 Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat :
venitoin, diaepam, venobarbital.
d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam
sirkulasi.
Mandiri:
 Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas
mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit,
latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
 Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak
tingi)
 Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul
Kolaborasi:
 Berikan anal getik, asetaminofen, codein
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan
neuromuskuler.
 Kaji derajat imobilisasi pasien.
 Bantu latihan rentang gerak.
 Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.

75
 Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras
udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara
fumgsional.
 Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam
perasaaan, sensorik dan proses pikir.
 Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
 Observasi respons perilaku.
 Hilangkan suara bising yang berlebihan.
 Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
 Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
 Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan
kognitif.
g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
 Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
 Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum
tindakan prosedur.
 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
 Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri
dukungan serta petunjuk sumber penyokong.
h) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
 Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
 Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum
tindakan prosedur.
 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
 Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri
dukungan serta petunjuk sumber

76
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
437-439

blogspot.com/2011/10/pembahasan-1.html

Harsono, DSS, dr, Kapita Selekta Neurologi, cetakan ketiga, Gajah Mada Univercity
Press, Yogyakarta, 2000

Kozier, Technique In Chemical Nursing, a nursing approach, Addision Werky


publising compani health science, Menlo Park, california, 1987

Juwono, Pemeriksaan Klinik Neorologik Dalam Praktek, buku kedokteran, EGC.

Wolf, dkk, Dasar-dasar Keperawatan, Pt Gunung Agung, Jakarta, 1974

Marjono, M.S, Neurologik Klinik Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1981

wordpress.com/2009/03/24/askep-meningitis/

77
KURANG ENERGI PROTEIN

I. DEFINISI
Menurut Supariasa (2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu2.
KEP adalah keadaan  kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka
Kecukupan Gizi (AKG).
Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang
pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya.
Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan
terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan

II. KLASIFIKASI
Berikut ini adalah klasifikasi Kurang Energi Protein1:
 KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median
WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90%
baku median WHO-NCHS;
 KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB
70-80% baku median WHO-NCHS;
 KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB <70% baku median WHO-NCHS.
Penentuan KEP dilakukan berdasarkan indikator antropometri yaitu berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Anak dikatakan mengalami KEP apabila berada di bawah -2
z-score (standar Internasional NCHS-WHO) dari setiap indikator4.
 KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu,
Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik-Kwashiorkor;
 Tanpa melihat Berat Badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit
lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe Kwashiorkor;
 KEP nyata adalah istilah yang digunakan di lapangan, yang meliputi KEP
sedang dan KEP berat/Gizi buruk dan pada KMS berada di bawah garis
merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat/Gizi buruk
pada KMS);

78
 KEP total adalah jumlah KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat/Gizi buruk
(BB/U <80% baku median WHO-NCHS).

III. ETIOLOGI
Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai berikut:
1. Penyakit Infeksi
2. Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah
3. Konsumsi Energi yang kurang
4. Perolehan Imunisasi yang kurang
5. Konsumsi Protein yang kurang
6. Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.

IV. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan Gejala Kurang Energi Protein
      Pertumbuhan Berat badan dan tinggi badan terganggu
      Perubahan mental berupa cengeng dan apatis
      Berat badan turun
      Kulit keriput dan tonus otot menurun
      Kulit bersisik dan hiperpigmentasi
      Anemia
      Bercak-bercak putih dan merah muda dengan tepi hitam
      Pembesaran hati (hepatomegali)

V. PATOFISIOLOGI
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolic.
Kalau terjadi stress katabolic (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan
meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relative, kalau
kondisi ini terjadi terus menerus maka akan menunjukkan manifestasi kwashiorkor
ataupun marasmus. 
Protein merupakan zat pembangun. Kekurangan protein dapat menggangu
sintesis protein dengan akibat:
  Gangguan pertumbuhan
  Atrofi otot
  Penurunan kadar albumin serum = sembab

79
  Hb turun =anemia gizi
  Jumlah aktivitas fagosit turun = daya tahan terhadap infeksi turun
  Sintesis enzim turun = gangguan pencernaan makanan

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1.      Laboratorik : Hb, albumin-globulin, serum ferritin, darah, air kemih, tinja, EKG, X-
foto paru dan uji tuberkulin
2.      Antropometri : BB menurut umur, TB menurut umur, LLA(lingkar lengan atas)
menurut umur, BB menurut TB, LLA menurut TB
3.      Analisis diet

VII. PENATALAKSANAAN
Petunjuk dari WHO tentang pengelolaan KEP berat dirumah sakit dengan
menetapkan 10 langkah tindakan pelayanan melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan
rehabilitasi) dan dilamjutkan dengan fase ‘follow up’ sebagai berikut:
1.      Fase Stabilisasi
 Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa
 Energi: 100kkal/kgBB/hari
 Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (bila sembab berat: 100ml/kgBB.hari)
 Teruskan ASI pada anak menetek
 Bila selera makan bak dan tidak sembab pemberian makan bias dipercepat
 Pantau dan catat : jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa; jumlah cairan
yang keluar seperti muntah, frekuensi buang air, timbang BB/hari(sudrajat
suratmaja, 2000)
2.      Fase Transisi
 Pemberian energi masih sekitar 100 kkal/kgBB/hari
 Pantau frekuensi nafas dan denyut nadi
 Bila nafas meningkat > 5 kali/menit dan nadi >25 kali/menit dalam
pemantauan tiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula
 Setelah normal bias naik kembali
3.      Fase Rehabilitasi
 Beri makan/formula WHO, jumlah tidak terbatas dan sering TKTP
 Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari
 Protein: 4-6g/kgBB/hari

80
 ASI diteruskan, tambahkan makanan formula; secara perlahan kepada
keluarga
 Pemantauan : kecepatan pertambahan BB setiap minggu (timbang BB setiap
hari sebelum makan)
 4.      Tindakan Khusus
 Hipoglikemia : berikan bolus 50 ml glukosa 10% atau sukrosa secara
oral/sonde nasogastrik
 Hiponatremia : pakaikan anak selimut/letakan anak dekat lampu
 Dehidrasi : cairan resomal/pengganti 5 ml/kgBB(sudrajat suratmaja, 2000)

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
  Anamnesis susunan diet sejak lahir, umur
  factor-faktor penunjang/penyebab medis dan non medis
  Pemeriksaan fisik; rambut, kulit, hepar, TB BB, LLA
  Pemeriksaan lab/penunjang

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan edema
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan protein. DO : kulit dan membrane mukosa kering,
edema, anemia, rambut mudah tercabut, tipis dan kusam,
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan edema
(perpindahan cairan dari intravaskuler ke intertisial). DO: kulit
kering bersisik, rambut dan kuku mudah patah, pruritis, kulit
kemerahan
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kondisi
tubuh yang lemah. DO : feses encer, kulit kendor, anoreksia
5. Resiko tumbang anak terganggu

C. Tujuan Dan Kriteia Hasil


1. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam menurunkan edema
dan mencegah komplikasi. dengan criteria hasil :
 Memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral
 Wajah tidak sembab
2. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam mencukupi   
kebutuhan nutrisi dan mencegah komplikasi dengan criteria hasil :

81
 Kulit dan membrane mukosa lembab,
 Edema berkurang,
 Rambut tidak mudah tercabut
 TTV normal
3. Setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam  x 24 jam mengembalikan
kelembaban kulit dan mencegah komplikasi dengan criteria hasil :
 Kulit lembab dan elastis,
 Rambut
 Kuku tidak mudah patah,
 Kulit tidak gatal-gatal.
4. Setelah dilakukan asuhan kepwerawatan selama 24 jam mengembalikan
fungsi hati dan mencegah komplikasi dengan criteria hasil :
 Klien dapat menunjukkan status hidrasi yang kuat
 Nafsu makan meningkat
 Turgor kulit normal
 Bebas dari proses infeksi nosokomial selama di rumah sakit
 Memperlihatkan pengetahuan tentang factor resiko yang berkaitan
5. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam mempertahankan
fungsi tubuh yang ada, menunjukkan pertumbuhan yang tepat dengan
seusianya.

D. Intervensi Keperawatan dan Rasionalisasi


1. Gangguan keseimbangan cairan
 Pantau kulit terhadap luka tekan
 Dengan perlahan cuci antara lipatan kulit dan keringkan dengan hati-
hati
 Hindari plester bila mungkin
 ubah posisi sedikit setiap 24 jam
 Jaga ekstrimitas yang mengalami edema
 Kaji  masukan diet dan kebiasaan yang menunjang retensi cairan
 Instruksikan anak untuk menghindari celana kaos/korset
 Lindungi kulit yang edema dari cedera
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
 Tentukan kebutuhan kalori harian dan adekuat, konsul pada ahli gizi
 Timbang setiap hari, pantau hasi laboraorium
 Beri dorongan untuk makan dengan orang lain
 Berikan kesenangan suasana makan

82
 Bantu untuk istirahat sebelum makan
 Ajarkan untuk menghindari bau makanan yang merangsang muntah
 Pertahankan kebersihan mulut dan gigi
 Tawarkan makan porsi kecil tapi sering
 Atur agar mendapat nutrient yang berkalori dan berprotein
3. Gangguan integritas kulit
 Catat perubahan pada kulit
 pavement dermatosis
 Bersihkan kuli yang mengalami penekanan dan keringkan
 Ganti segera pakaian yang basah
 Ubah posisi setiap 2 jam
 Berikan pendidikan mengenai kebersihan diri dan fungsi zat gizi
 mandiri
4.  Resiko tinggi infeksi
 Pantau terhadap tanda infeksi (mis; letargi, kesulitan makan, muntah,
ketidak stabilan suhu, dan perubahan warna tersembunyi)
 Identifikasi individu yang beresiko terhadap infeksi nosokomial
 Kaji status nutrisi
 Kurangi organisme yang masuk ke dalam indivdu dengan cuci tangan,
teknik aseptic
 Lindungi individu yang mengalami deficit imun dari infeksi; batasi alat
invasive
 Dorong dan pertahankan masukan kalori dan protein dalam diet.
 Berikan pengetahuan kepada keluarga mengenai penyebab, resiko, dan
kekuatan penularan dari infeksi 
 Infeksi
5        Resiko tumbang anak terganggu
 Kaji tingkat perkembangan anak dalam seluruh area fungsi
menggunakan alat-alat pengkajian yang spesifik (mis; table pengkajan
brazelton, DDST perangkat skrining perkembangan denver)
 Berikan waktu bermain yang cukup dan ajarkan permainan baru sesuai
dengan tingkat perkembangan
 Bicarakan dengan anak mengenai perawatan yang diberikan
 Sering bicara dengan anak tentang perasaan, ide-ide, kepedulian
terhadap kondisi atau perawatan,
 Berikan kesempatan untuk berinterasi dengan teman seusianya
 Berikan asupan nutrisi dan kalori sesuai dengan kebutuhan perkembangan

83
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. FKUI, Jakarta


http//www.pediatrik.com
http//www.bsn.id
http//www.gizi.net
http//www.kompas.com
http//www.suaramerdeka.com
http//www.google.com
Pudjiadi solihin, 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. edisi ke 4. FKUI, Jakarta
Suraatmaja sudaryat. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. FK UNUD, Denpasar
Wong, 2001. Essentials Of Pediatric Nursing. 6 th edition. Mosby Year Book
Louise, Missouri
http://body-semuaada.blogspot.com/2011/03/askep-anak-dengan-kepkekurangan-
energi.html

84

Anda mungkin juga menyukai