I. DEFINISI
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Smith Tom, 1995).
Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik
lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau
lebih besar 95 mmHg (Kodim Nasrin, 2003).
II. ETIOLOGI
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan
besar yaitu : ( Lany Gunawan, 2001 )
1. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya
Beberapa factor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Factor
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi
b. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi
adalah umur (jika umur bertambah maka TD meningkat), jenis
kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan) dan ras (ras kulit
hitam lebih banyak dari kulit putih)
c. Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya
hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30
gr ), kegemukan atau makan berlebihan, stress dan pengaruh lain
misalnya merokok, minum alcohol, minum obat-obatan
( ephedrine, prednison, epineprin )
2. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Hipertensi Goldblatt
Hipertensi Neurogenik
Hipertensi pada Toksemia Gravidarum
Hipertensi Akibat Aldosteronisme Primer
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi Hipertensi menurut Smith Tom (1995) :
1
1. Hipertensi ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg
2. Hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg
3. Hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan tingkatannya, yaitu:
Ringan ( Tk.I) : 140 – 150/90-99
Sedang ( Tk.II) : 160 – 179/100-109
Berat (Tk.III) : 180 – 209/110-119
Sangat berat (Tk.IV) : > 210/120
V. PATOFISIOLOGI
2
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
Pemeriksaan retina
3
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti
ginjal dan jantung
EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal,
pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.
Foto dada dan CT scan
VII. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan
penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan
sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat
ini meliputi :
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a). Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
b). Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
c). Penurunan berat badan
d). Penurunan asupan etanol
e). Menghentikan merokok
f). Diet tinggi kalium
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan
untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat
prinsip yaitu :
a). Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging,
bersepeda, berenang dan lain-lain
b). Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik
atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan.
Denyut nadi maksimal dapat ditentukan dengan rumus 220 – umur
c). Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona
latihan
d). Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x
perminggu
c. Edukasi Psikologis
4
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a). Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan
pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar
oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi
gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk
gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b). Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih
penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi
rileks
d. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien
dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan
warna kulit, suhu dingin
Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria,
factor stress multipel
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue
perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang,
pernapasan menghela, peningkatan pola bicara
Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
Makanan / Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala,
berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman,
perubahan retinal optik
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala
oksipital berat, nyeri abdomen
Pernapasan
7
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea,
dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum,
riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan,
bunyi napas tambahan, sianosis
Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi psotural
Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit
jantung, DM , penyakit ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormone
DIAGNOSA KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA
10
Gunawan, Lany. Hipertensi : Tekanan Darah Tinggi , Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 2001
Sobel, Barry J, et all. Hipertensi : Pedoman Klinis Diagnosis dan Terapi, Jakarta,
Penerbit Hipokrates, 1999
Semple Peter. Tekanan Darah Tinggi, Alih Bahasa : Meitasari Tjandrasa Jakarta,
Penerbit Arcan, 1996
Brunner & Suddarth. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC,
2002
Marvyn, Leonard. Hipertensi : Pengendalian lewat vitamin, gizi dan diet, Jakarta,
Penerbit Arcan, 1995
STROKE
I. DEFINISI
Cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit
neurologis karena insufisiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak.
Insufisiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder terhadap
arterisklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam tubuh, atau
11
terhadap perdarahan akibat ruptur arteri (aneurisma)(l_ynda Juall Carpenito,
1995).
Menurut WHO. (1989) Stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan
gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu.
II. ETIOLOGI
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan
kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48
jam sete;ah thrombosis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan thrombosis
otak :
a. Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis
atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui
mekanisme berikut:
~ Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran
darah.
~ Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
~ Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian
melepaskan kepingan thrombus (embolus)
~ Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
robek dan terjadi perdarahan.
b. Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas /hematokrit meningkat
dapat melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis( radang pada arteri)
2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
12
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.
(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi, keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-
waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus
kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan
terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
3. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat
terjadi karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh
darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak
yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan .sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi
otak.
Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi:
a. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital.
b. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
c. Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
d. Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh
darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
e. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan
dan
degenerasi pembuluh darah.
4. Hypoksia Umum
Hipertensi yang parah.
b. Cardiac Pulmonary Arrest
c. Cardiac output turun akibat aritmia
Hipoksia setempat
a. Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.
13
III. KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
a. Stroke Haemorhagi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak
tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif,
namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya
menurun.
b. Stroke Non Haemorhagic
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran
umummnya baik.
Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
a. TIA (Transient Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang
terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang
timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang
dari 24 jam.
b. Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana
gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses
dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah
menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit
dapat diawali oleh serangan TIA berulang.
14
Jika dilihat bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
1. Stroke hemisfer Kanan
a. Hemiparese sebelah kiri tubuh.
b. Penilaian buruk
c. Mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan
terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
2. Stroke Hemifer kiri
a. Mengalami hemiparese kanan
b. Perilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang sebelah kanan.
d. Disfagia global
e. Afasia dan mudah frustasi.
Perbedaan antara infark dan perdarahan otak sebagai berikut:
GEJALA(ANAMNESA) INFARK PERDARAHAN
Permulaan Sub akut Sangat akut
Waktu Bangun pagi Lagi aktifitas
Peringatan + 50% TIA -
Nyeri Kepala - +
Kejang - ++
Kesadaran menurun Kadang sedikit +++
Gejala Objektif Infark Perdarahan
Koma +/- ++
Kaku kuduk - ++
Kernig - +
pupil edema - +
Perdarahan Retina - +
Pemeriksaan Laboratorium
Darah pada LP - +
X foto Skedel + Kemungkinan pergeseran
Angiografi glandula pineal
CT Scan. Oklusi, stenosi Aneurisma
Densitas berkurang AVM. massa intra
hemisfer/vasospasme.
Massa intrakranial
densitas bertambah.
15
V. PATOFISIOLOGI
16
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
PENGOBATAN KONSERVATIF
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS ) secara percobaan, tetapi
maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis , yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
KOMPLIKASI
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi , komplikasi
ini dapat dikelompokan berdasarkan:
1. Berhubungan dengan immobilisasi ; infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
2. Berhubungan dengan paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi,
deformitas dan terjatuh
3. Berhubungan dengan kerusakan otak : epilepsi dansakit kepala.
4. Hidrocephalus
17
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan
gembira. Kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria,
distensi abdomen, bising usus
e. Makanan/cairan
Gejala: Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan
TIK), kehilangan sensasi pada lidah, pipi, dan tenggorokan, disfagia,
adanya riwayat DM, peningkatan lemak dalam darah
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflex palatum dan faringeal),
obesitas
f. Neurosensori
Gejala: pusing (sebelum serangan CSV/ selama TIA), sakit kepala,
penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian, gangguan rasa
pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental/kesadaran: biasanya terjadi koma pada tahap awal
hemoragik. Gangguan fungsi kognitif, ekstremitas: kelemahan atau
paralisis, afasia: gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia
motorik (kesulitan untuk mengungkapkan kata). Reseptif (afasia sensorik)
yaitu kesulitan untuk memahami kata kata secara bermakna, atau afasia
global yaitu gabungan dari kedua hal di atas. Kehilangan kemampuan untuk
mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran,
taktil (agnosia), seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh,
kewaspadaan, kelainan terhadap bagian tubuh yang terkena, gangguan
persepsi. Kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat pasien ingin
menggerakannya (apraksia). Ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dilatasi
atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan atau herniasi). Kekakuan muka
biasanya karena pendarahan, kejang biasanya karena adanya pencetus
perdarahan.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri
karotis terkena)
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot atau
fasial.
h. Pernafasan
Gejala: merokok atau faktor resiko
18
Tanda: ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas.
Timbulnya pernafasan sulit atau tak teratur, suara nafas terdengar/ronkhi
(aspirasi sekresi)
i. Keamanan
Tanda: motorik atau sensorik: masalah dengan penglihatan, kesulitan
dalam menelan, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri
j. Interaksi sosial
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
k. Pemeriksaan Fisik
1) TTV
2) Fungsi serebral
Pembahan tingkat kesadaran (Pengukuran GCS)
a. Mata
spontan :4
spontan terhadap rangsangan suara :3
terhadap rangsangan nyeri :2
tidak ada respon :1
b. Motoris
sesuai perintah :6
karena nyeri total :5
mencari daerah nyeri :4
flexi :3
kaku :2
tidak berespon :1
c. Verbal
orientasi waktu :5
bicarakacau :4
kata-kata tidak tepat :3
tidak bermakna :2
tidak berespon :1
19
Fungsi Nervous Cranial
a. N I Olfakturus
b. N I I Optik
c. NIII Okulometer
d. NIV Motortraklear ( gerakan kebawah/kedalam
e. N V mata)
f. NVI Trigeminus (gerakan rahang, muka)
g. NVII Abdusen (lateral mata)
h. NVIII Fasial (wajah)
i. NIX Akustik (cloclea, vestibular)
j. N X Glosopharingeal (indra, faring lidah)
k. NXI Vagus (motor, palatum, faring-laring)
l. N XII Asesori Spinal (mastoid, trapezias)
Hipoglesus (motor, lidah)
20
6. Pemeriksaan motorik
Meliputi pengkajian motorik kasar, tes keseimbangan dan pengkajian
motorik halus
7. Pemeriksaan sensorik
Meliputi sensasi taktil , sensasi suhu dan nyeri, vibrasi dan
propriosepsi, dan merasakan posisi status reflek
8. Reflex bisep
Peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi, orang
yang menguji menyokong lengan bawah satu tangan sambil
menempatkan ibu jari dengan menggunakan palu reflex
9. Reflex trisep
Lengan pasien fleksi pada siku dan pronasi dan diposisikan didepan
dada. Palpasi 2,5-5cm diatas siku reflex ini menyebabkan kontraksi otot
trisep dan ekstensi siku
10. Reflex brachioradialis
Tangan klien diletakkan diatas paha dalam keadaan pronasi. Pukulkan
reflex hammer diatas tendon pergelangan tangan, amati fleksi
supinasi dari tangan klien
11. Reflex abdomen
Klien tetap dalam posisi supine tanpa mengenakan baju. Sentuhkan
ujung tajam reflex hammer kekulit bagian abdomen mulai dari arah
lateral kebagian umbilical, dan amati kontraksi otot abdomen.
22
Klien berbaring kemudian tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu
mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada klien
untuk mencegahnya diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif maka
tindakan ini mengakibatkan fleksi keduatungkai.
18. Reflex brudzinski II
Klien berbaring satu tungkai difleksikan pada persendian panggul sedangkan
tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi lurus. Bila tungkai yang
satu ikut terfleksi, maka tanda brudzinski II positif.
Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d penurunan suplay O2 ke otak,
penurunan kesadaran
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan
c. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake inadekuat
Intervensi dan rasional
a. Diagnosa 1
1) Kaji status Neurologi
2) UkurTTV
3) Posisikan kepala pasien agak tinggi dan dalam posisi anatomi.
4) Kolaborasi dalam pemberian oksigen sesuai indikasi
5) Kolaborasi dengan dokter dalam melakukan pemeriksaan analisa
gas darah
b. Diagnosa 2
1) Ubah posisi setiap 2 ja (telentang/miring), jika kemungkinan
bisa lebih sering diposisikan pda bagian yang terganggu.
2) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada semua
ekstremitas.
3) Tempatkan bantal dibawah aksial untuk melakukan abduksi
pada tangan .
4) Tinggikan tangan dan kaki
5) Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau
tanda-tanda lain.
c. Diagnosa 3
1) Awasi masukkan makanan, jumlah kalori.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dalam keadaan
hangat.
3) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
23
4) Anjurkan makan pada posisi duduk/kepala ditinggikan.
5) Kolaborasi dengan ahli diet untuk pemberian diet yang tepat.
6) Kolaborasi dalam pemberian IVFD sesuai indikasi
4) Berikan obat sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo, 1987, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (terjemahan ), Edisi VI,
Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Made Kariasa 1997. Patofisiologi Beberapa Gangguan Neurologi..
Hand Out Kursus Keperawatan Neurologi, Fakultas Ilmu Keperawatan UI.
Jakarta.
Linda Juall Carpenito, 1995, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. EGC, Jakarta.
Sylvia A. Price, 1995. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Buku 1.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
24
VERTIGO
I. PENGERTIAN
Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar.
Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan
sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan
alat keseimbangan tubuh. Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing
saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik
(nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan
pusing. Dari (http ://www.kalbefarma. com).
II. ETIOLOGI
Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :
1. Lesi vestibular :
o Fisiologik
o Labirinitis
o Meniere
o Obat; misalnya quinine, salisilat.
o Otitis media
o "Motion sickness"
o "Benign post-traumatic positional vertigo"
2. Lesi saraf vestibularis
o Neuroma akustik
o Obat; misalnya streptomycin
o Neuronitis
25
o vestibular
3. Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal
o Infark atau perdarahan pons o
Insufisiensi vertebro-basilar
26
o Migraine arteri basilaris
o Sklerosi diseminata
o Tumor
o Siringobulbia
o Epilepsy lobus temporal
III. KLASIFIKASI
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Vertigo paroksismal
Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit
atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut
dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan.
Vertigo jenis ini dibedakan menjadi : o Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis
pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii
posterior, kelainan gigi/ odontogen. o
Yang tanpa disertai keluhan telinga :
Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria
vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo
de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth). o
Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo
posisional paroksismal benigna.
2. Vertigo kronis
Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia
Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
o Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb,
labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor
serebelopontin. o Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis
pontis, sindrom pasca
komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan
okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan
endokrin. o Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik,
Vertigo servikalis.
3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur
mengurang, dibedakan menjadi :
o Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus,
labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada
auditiva interna/arteria vestibulokoklearis.
27
o Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria
vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika,
sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior
posterior.
V. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang
disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini
adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah
sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis
dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh
reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan
yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan
dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar,
akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot
mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari
posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat
keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat
berdiri/ berjalan dan gejala lainnya
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) : Terdiri dari :
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Terapi rehabilitatif.
2. Sirkulasi
Riwayat hypertensi
Denyutan vaskuler, misal daerah temporal.
Pucat, wajah tampak kemerahan.
3. Integritas Ego
Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
29
Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik).
5. Neurosensoris
Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
Perubahan pada pola bicara/pola pikir
Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
Penurunan refleks tendon dalam
Papiledema.
6. Nyeri/ kenyamanan
Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain,
ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
Fokus menyempit
Fokus pada diri sendiri
Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
7. Keamanan
Riwayat alergi atau reaksi alergi
Demam (sakit kepala)
Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus).
8. Interaksi sosial
Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit.
9. Penyuluhan/pembelajaran
30
Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga o
Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi
oral/hormone, menopause.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan aktivitas berhubungan dengan pusing, nyeri dikepala.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1. : Gangguan aktivitas berhubungan dengan pusing, nyeri
dikepala
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria Hasil:
• Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang
• Tanda-tanda vital normal
• pasien tampak tenang dan rileks.
Intervensi:
• Atur posisi pasien senyaman mungkin
Rasional : posisi yang tepat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan
otot serta mengurangi nyeri
• Kaji intensitas/skala nyeri.
Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan
keperawatan.
• Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan
keperawatan.
• Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgetik.
Rasional : analgetik berguna untuk mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi
lebih nyaman.
Diagnosa Keperawatan 2. : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah
Tujuan : Tidak adanya muntah, mual
Kriteria Hasil: intake adekuat baik IV ataupun oral
Intervensi:
31
• Monitor output dan intake pasien
Rasional : Evaluasi ketat kebutuhan intake dan output
• Beri cairan sesuai dengan pengeluaran
Rasional: Jumlah pengeluaran cairan yang banyak harus di imbangi
dengan masukan.
• Beri makanan dalam porsi kecil tapi
sering
Rasional : Meningkatkan nafsu makan.
• Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
antasida.
Rasional : Antasida untuk mengurangi mual, muntah.
melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999:28)
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LOW BACK PAIN
I. DEFINISI
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri
yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan
L5-S1.
II. ETIOLOGI
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai
masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan
ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis
tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang
tungkai). Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis,
tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik.
Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat
oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh
aktifitas.
III. KLASIFIKASI
Pembagian berdasarkan sistem anatomi :
a. LBP Viserogenik (organ abdomen)
Kelainan berasal dari ginjal, viscera pelvis, omentum minor, tumor
retroperitoneal, fibroid retrouteri
b. LBP Verkulogenik (pembuluh darah)
Aneurisme diabdomen, penyakit vaskuler perifes, insufiensi dari arteri glutea
superior
c. LBP Neuvogenik
Tumor-tumor letaknya ekstradural maupun intradural ekstra medullar sering
menyebabkan LBP oleh karena juga menekan radik.
d. LBP Spondilogenik
34
Berasal dari :
Tulang koluma spinalis (trauma, radang, tumor, metabolic dan
spondilolistesis)
Sendi-sendir sakroiliakan
Jaringan lunak (degenerasi diskus, aptur diskus, penjepitan akar
saraf akibat stenosis spinalis.
e. LBP Psikogenik
Dapat disebabkan oleh keadaan depresi, kecemasan maupun neurosis
V. PATOFISIOLOGI
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi
sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut
sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat
dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua
orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri
yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi
orang lain.
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons
hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli
35
tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras
multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan
asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel
mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut
kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan
berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ
internal yang lebih besar. Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan
substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek
yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang
berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan
enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat.
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori,
dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi nyeri.
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna
vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas
banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain
oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi
punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang
belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada
saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang
belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas
mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur
pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan
berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah
tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan
matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak
teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung
biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat
mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis,
yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut.
36
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung
bawah. Sinar X- vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi,
infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk
mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak
tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis.
USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI
memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang.
VII. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6
minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap
ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3
hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar
yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat
tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring
miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal
diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat
lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif
aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban
traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot
tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi
bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah,
kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi ,
gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi
kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler
karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul.
Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan
ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik
narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang
digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme,
sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri.
Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah
timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia.
37
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala : riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk,
mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan/matras waktu tidur,
penurunan rentang gerak dari ekstrimiter pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
Tanda : Atropi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam
berjalan.
b. Eliminasi
Gejala : Konstribusi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya
inkontenensia/retensi urine
c. Integritas Ego
Gejala : Ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan,
finansial keluarga.
Tanda : Tampak cemas, defresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat
d. Neurosensori
Gejala : Kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/kaki
Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotania, nyeri
tekan/spasme pavavertebralis, penurunan persesi nyeri (sensori)
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan
adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat defekasi,
mengangkat kaki, atau fleksi pada leher, nyeri yang tidak ada hentinya atau
adanya episode nyeri yang lebih berat secara interminten; nyeri menjalar ke
kaki, bokong (lumbal) atau bahu/lengan; kaku pada leher (servikal).
Terdengar adanya suara “krek” saat nyeri baru timbul/saat trauma atau
merasa “punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi/membungkuk
kedepan
Tanda : Sikap: dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena,
perubahan cara berjalan: berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang
terangkat pada bagian tubuh yang terkena, nyeri pada palpasi.
f. Keamanan
Gejala : Adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi
Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan adanya Trauma jaringan dan reflek
spasme otot, Inflamasi, Kompresi saraf
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan,
spasme otot, terapi testriktif, kerusakan neuromuskular
c. Ansietas/koping individu tak efektif berhubungan dengan krisis situasi, status
kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi, gangguan berulang dengan
nyeri terus menerus, ketidakadekuatan metode koping
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, pragnosis, dan
tindakan berhubungan dengan kesalahan informasi/kurang pengetahuan,
kesalahan interpretasi informasi kurang mengungat, tidak mengenal sumber-
sumber informasi
Intervensi Keperawatan
Diagnosis I
a. Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor
pencetus yang memperberat, minta pasien untuk menetapkan pada
skala 0–10
b. Pertahankan tirah baring selama fase akut, peletakan pasien pada
posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam
keadaan fleksi, posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan
kepala 10-30 derajat atau pada posisi lateral
c. Gunakan logirdi (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan Brace/korset
e. Batas aktivitas selama sesuai kebutuhan
f. Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang
mudah dijangkau/diraih oleh pasien.
Diagnosis II
a. Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi spesifik
b. Catat respon-respon emosi/perilaku pada imobilisasi berikan aktivitas
yang disesuaikan dengan klien
c. Ikuti aktivitas/prosedur dengan periode istirahat, anjurkan pasien
untuk tetap berperan serta dalam aktivitas sehari-hari
39
d. Berikan/bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan
aktif
e. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
f. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti alat bantu jalan,
tongkat
Diagnosis III
a. Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani
masalahnya di masa yang lalu dan bagaimana pasien melakukan
koping dengan masalah sekarang.
b. Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
c. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan masalahnya
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan
untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhan
e. Catat perilaku dari orang terdekat/keluarga yang meningkat “peran
sakit” pasien.
Diagnosis IV
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognisis serta pembatasan
kegiatan
b. Berikan infomasi tentang berbagai hal dan instruksikan pasien untuk
melakukan perubahan “mekanika tubuh” tanpa bantuan dan juga
melakukan latihan
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan juga efek sampingnya, seperti
halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat
(analgetik, relaksasi otot)
d. Diskusikan mengenai kebutuhan diet
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Lihat kembali pemakaian kakolar leher yang lunak
40
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot,
Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta,
1997
TETANUS
41
I. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus
adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit
infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang ditandai dengan
gejala kekakuan dan kejang otot (Ritharwan, 2004).
II. ETIOLOGI
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat
masuk melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak
dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang
tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman
Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.
III. KLASIFIKASI
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas
dan spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul
mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan
sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot
somatic meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode
relaksasi.
3. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari
terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol
adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti
tetanus umum.
V. PATOFISIOLOGI
Eksotoksin
43
Pengangkutan toksin melewati saraf motorik
Ganglion Sumsum
Tulang Belakang Otak Saraf Otonom
Tonus otot Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis
Gangliosides
Hipoksia berat
Sistem Pencernaan Sistem Pernafasan
O2 di otak
Kesadaran
-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia
-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa, Perawata
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
Darah Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi
kejang kalium (normal 3,80 - 5,00 meq/dl).
Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya
lesi.
EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
44
VII. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru
diberikan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
Anti kejang (antikonvulsan)
Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-
mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max.
200mg/hari).
Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6
mg/kg BB.
Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin
1gr/hari/1.V. Dapat memusnahkan tetani tetapi tidak mempengaruhi
proses neurologiknya.
2. Non-farmakologi
Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus,
diberikan lewat sonde parenteral.
Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.
Mengatur cairan dan elektrolit.
46
1. Anjurkan keluarga agar menahan tubuh pasien saat kejang
2. Anjurkan keluarga untuk memasang sendok ke mulut pasien saat
pasien kejang
2. Kolaborasi
Memberikan obat anti kejang kepada pasien
Diagnose: bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumlasi sputum.
Tujuan: jalan nafas efektif.
Kriteria hasil: AGD normal, tidak ada suara nafas ronkhi, tidak ada sputum.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Bebaskan jalan nafas dengan memberikan posisi kepala ekstensi.
2. Lakukan pemerikasaan fisik khususnya auskultasi tiap 2-4 jam
sekali.
3. Lakukan suction.
4. Observasi TTV tiap 2 jam.
2. Kolaborasi:
Berikan obat pengencer secret atau mukolitik.
Diagnose: pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas tergaggu akibat
spasme otot pernafasan.
Tujuan: pola nafas teratur daan normal.
Criteria hasil: tidak sesak nafas, RR dalam rentang normal, tidak ada retraksi dinding
dada, dan tidak ada pernafasan cuping hidung.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Monitor irama nafas & RR.
2. Berikan posisi semi fowler.
3. Observasi tanda & gejala sianosis.
Kolaborasi:
1. Anjurkan klien untuk melakukan pemeriksaan gas darah.
2. Berikan oksigenasi.
47
Diagnose: gangguan rasa percaya diri berhubungan dengan kesulitan berbicara.
Tujuan: pasien tidak lagi malu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Criteria hasil: pasien menunjukkan sikap kooperatif saat diperiksa atau diajak bicara.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dialami.
2. Anjurkan klien dan keluarga untuk sering berkomunikasi.
3. Berikan support pada klien untuk terus berlatih berbicara.
Diagnose: intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah.
Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas rutin.
Criteria hasil: klien tidak tamapak lemas, tampak bersemangat, mampu melakukan
aktivitas rutin dan memenuhi KDM tanpa bantuan orang lain.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Bantu klien untuk memenuhi KDM selama klien masih lemah.
2. Minta keluarga untuk membantu klien dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
3. Anjurkan klien untuk banyak makan dan banyak minum.
Diagnose: resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
intake yang kurang dan oliguria.
Tujuan: cairan dan elektrolit seimbang.
Criteria hasil: turgor kulit baik, pasien bisa BAK, output normal.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Anjurkan klien banyak minum (8-10 gelas/hari).
2. Pantau turgor kulit.
48
No. Intervensi
1. Mandiri:
Jelaskan pada klien penyebab kesulitan makan dan pentingnya
makanan bagi tubuh.
2. Kolaborasi:
1. Berikan diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar.
2. Berikan cairan IV line.
3. Lakukan pemasangan NGT bila perlu.
Evaluasi
1. Bersihan jalan nafas efektif.
2. Pola nafas tertaur.
3. Suhu tubuh normal.
4. Tidak adanya gangguan rasa percaya diri.
5. Mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan.
6. Cairan dan elektrolit tubuh seimbang.
7. Tidak adanya konstipasi.
8. Nutrisi terpenuhi.
49
DAFTAR PUSTAKA
EPILEPSI
50
I. DEFINISI
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnosa ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
II. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
51
III. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya
1. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
2. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
53
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
V. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron.
54
Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat
yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
i. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
ii. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
iii. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
iv. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
55
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
VII. PENATALAKSANAAN
Manajemen Epilepsi :
a. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b. Melakukan terapi simtomatik
c. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
56
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg
biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada
saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
58
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Intervensi
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Pantau status neurologis setiap 8 jam
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien
saat terjadi kejang
Pasang penghalang tempat tidur pasien
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman,
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama
pasien kejang
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan :
jalan nafas menjadi efektif
Intervensi
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu
atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
59
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
Mengurangi rendah diri pasien
Intervensi
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi
sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi
dan sebagainya.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi
tidak menular
DAFTAR PUSTAKA
60
Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa
Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.
MENINGITIS
I. DEFINISI
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak
dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur
(Smeltzer, 2001).
61
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan
oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok,
Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal
dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Rita, 2001).
II. ETIOLOGI
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan
wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan
III. KLASIFIKASI
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
62
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut
dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah
satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata
V. PATOFISIOLOGI
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian
atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah
saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan
dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang
di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
63
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak),
edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps
sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel
dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
VII. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan Umum
a. Pasien diisolasi
b. Pasien diistirahatkan / bad rest
c. Kontrol hipetermia dengan kompres, pemberian antipiretik seperti
parasetamol, asam salisilat. Kontrol kejang: diazepam atau fenobarbital.
d. Kontrol peningkatan tekanan intrakranial: Manitol, kortikosteroid
e. Pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi.
B. Pemberian Antibiotik
64
Antibiotik diberikan 10-14 hari atau sedikitnya 7 hari bebas panas. Antibiotik
yang umum diberikan adalah Penicillin G, Ampicillin, Gentamysin, kloromfenikol
dan sefalosporin.
2. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata
hematogen dari patogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan
dengan edema serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal,
kelemahan umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata
hematogen dari patogen.
Mandiri
Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
Pantau suhu secara teratur
Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus
menerus
Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan
nfas dalam
Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol,
gentamisin.
b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
Tirah baring dengan posisi kepala datar.
Pantau status neurologis.
Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan
dan haluaran.
Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
66
Kolaborasi.
Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
Pantau BGA.
Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen
c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal,
kelemahan umum vertigo.
Mandiri
Pantau adanya kejang
Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan
nafas buatan
Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin,
diaepam, venobarbital.
DAFTAR PUSTAKA
I. DEFINISI
SOL merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang
intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ; 130 )
Dalam Laporan Pendahuluan ( LP ) ini, penulis batasi pada Tumor Otak
Adapun definisi Tumor Otak adalah proses pertumbuhan termasuk benigna dan
maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang (Bullock, 1996 ).
II. ETIOLOGI
Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras,
insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade
69
kelima, keenam dan ketujuh. Faktor resiko akan meningkat pada orang yang
terpajan zat kimia tertentu (Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas), namun
hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta dalam
tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.
III. KLASIFIKASI
Berdasarkan jenis tumor dapat dibagi menjadi :
a. Jinak
Acoustic neuroma
Meningioma
Pituitary adenoma
Astrocytoma ( grade I )
b. Malignant
Astrocytoma ( grade 2,3,4 )
Oligodendroglioma
Apendymoma
Berdasarkan lokasi tumor dapat dibagi menjadi :
a. Tumor intradural
Ekstramedular
Cleurofibroma
Meningioma intramedural
Apendimoma
Astrocytoma
Oligodendroglioma
Hemangioblastoma
b. Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer.
70
b. Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral ( hilang
Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang
berlawanan dengan tumor ) dan halusinasi penglihatan
c. Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan
dengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak
terkoordinasi dan nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak
disengaja )
d. Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadia, perubahan status
emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien
sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat diri
e. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli
(gangguan saraf kedelapan ), kesemutan dan rasa gatal pada wajah
dan lidah ( saraf kelima ), kelemahan atau paralisis ( saraf kranial
keketujuh ), abnormalitas fungsi motorik.
f. Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.
V. PATOFISIOLOGI
Pada fase awal, abses otak ditandai dengan edema local, hyperemia,
infiltrasi leukosit / melunaknya parenkim trombosis sepsis dan edema, beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses uque fraction atau dinding kista
berisi pus. Kemudian rupture maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa
timbul meningitis ( long, 1996 : 193 ).
Terjadi proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal secara sangat cepat
pada daerah central nervus ( CNS ). Sel ini akan terus berkembang mendesak
jaringan otak yang sehat disekitarnya mengakibatkan terjadi gangguan neurologis
( Gangguan Fokal Akibat Tumor Dan Peningkatan TIK ).
Tumor – tumor otak primer menunjukkan kira – kira 20 % dari penyebab
semua kematian kanker. Tumor – tumor otak jarang bermetastase ke otak,
biasanya dari paru – paru, payudara, cairan glastrointestinal bagian bawah,
pankreas, ginjal, dan kulit ( melanoma ).
Insiden tertinggi pada tumor otak dewasa terjadi pada dekade ke 5, 6, 7
dengan tingginya insiden pada pria usia dewasa tumor otak banyak dimulai dari
sel gelia ( sel untuk mebuat struktur dan mendukung sistem otak dan medula
spinalis ) dan merupakan supratentorial ( Terletak Diatas Penutup Cerebellum )
jelasnya neoplastik dalam palastik menyebabkan kematian yang mengganggu
fungsi vital, seperti pernafasan atau adanya peningkatan TIK.
Hidrosefalus
VII. PENATALAKSANAAN
Diureik
Neuroprotektor
Elektrolit dan cairan
Hiperventilasi
Pembedahan stereotaktik
72
Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang
keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat,
adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas,
keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
Sirkulasi, gejala : nyeri kepala pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan
pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
Integritas Ego, Gejal : faktor stres, perubahan tingkah laku atau
kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami
perubahan selera. Tanda : muntah ( mungkin proyektil ), gangguan menelan
( batuk, air liur keluar, disfagia )
Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan
penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti,
kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak
seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi,
kejang, sensitiv terhadap gerakan
Nyeri / Kenyamanan, Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda
dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea,
potensial obstruksi.
Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
Keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen,
pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
Seksualitas, gejala: masalah pada seksual (dampak pada hubungan,
perubahan tingkat kepuasan)
Interaksi sosial : ketidakadekuatan sitem pendukung, riwayat perkawinan
(kepuasan rumah tangga, dukungan), fungsi peran.
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
dibuktikan dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubaan
respon motorik / sensori, gelisah dan perubahan tanda vital
73
Tujuan : Pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran , perbaiakan kognisi,
fungsi motorik / sensorik, TTV stabil, tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi :
a. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
b. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nila
standar ( GCS )
c. Pantau TTV
d. Kaji perubahan penglihatan dan keadan pupil
e. Kaji adanya reflek ( menelan, batuk, babinski )
f. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Auskultasi suara napas, perhatikan adananya hipoventilasi, dan suara
tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
a. Pantau analisa gas darah
b. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
c. Berikan oksigenasi
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah.
EGC, Jakarta
Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius
function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 ,
EGC, jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan ,
ed 6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik
proses- proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta
76
GBS (GUILLAIN BARRE SINDROME)
I. DEFINISI
Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan
penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses
imunologik.
II. ETIOLOGI
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit
autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului
dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum
diketahui, diduga oleh karena :
1. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya
2. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B,
Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf,
coxakie)
3. Vaksin : rabies, swine flu
4. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa,
Brucellosis, campylobacter jejuni
5. Keganasan : Hodgkin’s disease, carcinoma, lymphoma
77
III. KLASIFIKASI
Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS
dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain. Guillain Bare syndrome
termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya
berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu:
1. Guillain barre syndrome (GBS)
Fase progresif sampai 4 minggu
2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP)
Fase progresif dari 4-8 minggu
3. • Gejala klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
• Neurofisiologi : demyelinisasi
• Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
• Fase progresif > 12 minggu
• Dibagi dalam 2 bentuk
a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)
V. PATOFISIOLOGI
79
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS
normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat
tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal)
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90%
kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG
menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya
aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan
yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih
dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala.
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
80
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari
10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat
infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang
T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS
kadang dijumpai, namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending)
7. Pemeriksaan patologi anatomi
umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung,
dan organ lainnya.
VII. PENATALAKSANAAN
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
Deep breathing Exercise
Mobilisasi ROM
Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah
kontraktur
Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
Edukasi terhadap keluarga
81
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
- Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
- Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
- Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi /
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
a. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya
kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis
(kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus
turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
Rencana keperawatan
Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek
menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak
terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau
SpO2 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
82
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan
infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan
penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
83
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
• Sonde pediasuer 6 X 50 cc
• Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis
Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan
yang lama
Tujuan :
- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan
yang akan dilakukan
Tindakan :
- HE tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
- HE tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan
dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan
dilakukan oleh petugas
84
DAFTAR PUSTAKA
85
SAKIT KEPALA (HEADACHE)
I. DEFINISI
Nyeri kepala (headache atau chepalgia) merupakan keluhan yang sangat umum pada
pasien. Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama pada
manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat
menunjukkan penyakit organik (neurologi atau penyakit lain), respon stress,
vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang) atau kombinasi
respon tersebut. Karena nyeri kepala sering menyertai pada penyakit-penyakit
lainnya, terkadang pasien mengobati sendiri nyeri kepalanya, padahal banyak nyeri
kepala yang disebabkan karena penyakit serius seperti infeksi dan tumor intracranial,
meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia serebral, atau penyakit kronis dan
akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri kepala terjadi ketika area sensitif
pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di
daerah distribusi syaraf yang bersangkutan. Area-area tersebut diantaranya kulit
kepala, periosteum, syaraf kranial V, IX, X, daerah meningen (Tarwono, 2007).
II. ETIOLOGI
a. Migren
Faktor-faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya migren:
1. Perubahan hormone. Estrogen dan progesterone merupakan hormone utama
yang berkaitan dengan serangan migren, baik pada saat maupun di luar
periode menstruasi. Penurunan konsentrasi estrogen dan progesteron pada
fase luteal siklus menstruasi merupakan saat terjadinya serangan migren.
Nyeri kepala migrain dipicu oleh turunnya kadar 17-b estradiol plasma saat
akan haid. Serangan migrain berkurang selama kehamilan karena kadar
estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minngu pertama post
partum, 40% pasien mengalami serangan yang hebat, karena turunnya kadar
estradiol. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan serangan migrain.
86
2. Makanan. Makanan yang sering menyebabkan nyeri kepala pada beberapa
orang antara lain: makanan yang bersifat vasodilator (histamin, contoh:
anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor (tiramin, contoh: keju;
feniletilamin, contoh: coklat; kafein), dan zat tambahan pada makanan
(natrium nitrit, monosodiaum glutamat/MSG, dan aspartam).
3. Stres
4. Rangsangan sensorik.
Sinar yang terang dan sinar yang menyilaukan.
Bau menyengat, termasuk bau yang tidak menyenangkan seperti tinner dan
asap rokok.
5. Faktor fisik.
Kegiatan fisi yang berlebihan termasuk aktivitas seksual.
Perubahan pola tidur, termasuk terlalu banyak tidur atau terlalu sedikit tidur,
dan gangguan saat tidur.
6. Perubahan lingkungan. Seperti: cuaca, musim, tingkat dataran tinggi, tekanan
barometer, atau zona waktu.
7. Alkohol.
8. Merokok.
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
1. Peristiwa stres tertentu
Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus sekitar
87%, exacerbasi maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi
life time depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi
dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya.
2. depresi
3. kecemasan
4. kurang tidur atau perubahan pola tidur rutin
Jadwal tidur yang berubah juga bisa membuat sakit kepala, misalnya tidur
terlambat. Sebisa mungkin tidur teratur.
5. tidak makan
Hindari makan atau minum sesuatu yang sensitif, khususnya sebelum
melakukan kegiatan fisik. Rasa lapar juga bisa membuat kita sakit kepala.
Pasalnya, pembuluh darah akan melebar setiap kali kadar gula darah turun.
Jadi, sebisa mungkin makan secara teratur.
6. Posisi tubuh yang salah saat tidur
Sakit kepala karena tegang. Gejalanya diawali dengan ketegangan di otot
leher, bahu, dan tengkorak akibat tekanan emosional. Sakitnya selalu berawal
dari kepala belakang, merambat ke depan, lalu ke kedua sisi kepala.
7. Bekerja dalam posisi yang tidak enak
87
Leher tegang akibat bekerja sambil duduk yang terlalu lama, misalnya
mengetik dengan komputer.
8. kurangnya aktifitas fisik
9. kegiatan fisik yang intens, termasuk aktifitas seksual, perubahan hormonal
yang berhubungan dengan menstruasi, kehamilan, atau penggunaan hormon,
10. penggunaan obat untuk sakit kepala yang berlebihan.
c. Cluster
Penyebab pasti sakit kepala cluster tidak diketahui, tetapi ketidak normalan pada
hypothalamus sepertinya berperan. Serangan cluster terjadi seperti rutinitas harian,
dan siklus periode cluster sering mengikuti musim dalam setahun. Pola ini
menunjukkan pola jam biologis tubuh terlibat. Pada manusia, jam biologis tubuh
terdapat pada hypothalamus, yang berada di dalam pada tengah otak.
Ketidaknormalan hypothalamus menerangkan waktu dan siklus alami sakit kepala
cluster. Penelitian mendeteksi peningkatan aktifitas pada hypothalamus menajdi
sumber sakit kepala cluster. Faktor lain yang mungkin juga terlibat adalah:
Hormon
Orang dengan sakit kepala cluster memiliki ketidaknormalan tingkat hormon
tertentu, seperti melatonin dan cortisol, terjadi saat periode cluster.
Neurotransmitter
Berubahnya tingkat beberapa reaksi kimia yang membawa impuls syaraf pada otak
(neurotransmitter), seperti serotonin, mungkin memiliki peran dalam tumbuhnya
sakit kepala cluster.
Tidak seperti migrain atau sakit kepala karena ketegangan, sakit kepala cluster
umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan hormon atau
stress. Tapi sekali periode cluster mulai, mengkonsumsi alkohol dapat dengan cepat
memicu pecahnya sakit kepala karena alkohol adalah pemicu tercepat terjadinya
sakit kepala selama periode klaster dan juga dapat memiliki efek bahkan sebelum
minuman pertama selesai. Untuk alasan ini, banyak orang dengan sakit kepala cluster
menghindari alkohol pada saat durasi periode cluster. Pemicu lain yang mungkin
juga termasuk adalah penggunaan obat medis, seperti nitroglycerin, obat yang
digunakan untuk penyakit jantung.
III. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari International
Headache Society (IHS) yang terbaru tahun 2004, nyeri kepala Primer terdiri atas
Migraine, Tension type Headache, Cluster Headache dan other trigeminal-autonomic
cephalalgias dari Other Primary.
2. Pembagian klinis nyeri kepala (Anthony, 1988)
88
A. Sakit kepala akut
• Intrakranial
– Meningitis / ensefaliti
– Perdarahan subaraknoid
– Hematoma subdural
– Tumor intrakranial
• Ekstrakranial
– Migren
– Sakit kepala tandan (cluster)
– Sakit kepala post trauma
– Glaucoma
– Neuritis optika
– Insufisiensiserebro-vaskuler
3. Pembagian nyeri kepala, neuralgia cranial dan nyeri fasial (Oleson,1988).
a) Migrain
b) Ketegangan-jenis sakit kepala
c) sindrom sakit kepala Cluster
d) Sakit kepala yang berhubungan dengan trauma kepala
e) gangguan Vascular
f) Sakit kepala yang berhubungan dengan nonvascular intrakranial gangguan
g) Sakit kepala yang berhubungan dengan zat atau mereka
penarikan
Dalam hal ini yang dibahas hanya sebatas migren, tension, dan cluster
a. Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala
berulang dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyer biasanya
sesisi (unilateral), sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat,
diperhebat oleh aktivitas dan dapat disertai mual dan atau muntah dan
perubahan visual. Fotopobia, dan fonofobia.
Secara umum migren dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Migren tanpa aura (migren umum), pada migren yang jenis ini tidak
ditemukan aura, tetepi dapat ditemukan adanya gejala prodromal.
2. Migren dengan aura (migren klasik), pada migren jenis ini nyeri kepala
didahului oleh adanya gejala neurology fokal yang berlangsung sementara
atau disebut juga aura. Aura dapat berupa gangguan visual, hemisensorik,
hemiparesis atau disfasia, ataupun kombinasi dari semua gangguan tadi
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang,seperti di tekan atau di ikat)
89
Tension-type headache adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi leher
atau rasa tidak nyaman di kepala, kulit kepala, atau leher yang biasanya
berhubungan dengan ketegangan otot di daerah ini.
Tension type headache dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Episodic Tension-type Headache
Sekurang-kurangnya terdapat 10 serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria di
bawah ini dan dengan jumlah hari nyeri kepala <15 hari/bulan. Nyeri kepala
berlangsung antara 30 menit hingga 7 hari. Sekurang-kurangnya terdapat 2
karakteristik nyeri di bawah ini:
Terasa seperti ditekan atau diikat namun tidak berdenyut.
Intensitasnya ringan ataupun sedang (dapat menganggu aktivitas tetapi tidak
menghalangi aktivitas).
Lokalisasinya bilateral.
Tidak bertambah berat saat naik tangga ataupun aktivitas fisik yang rutin
dilakukan.
Tidak ada mual ataupun muntah.
Fotopobia dan fonofobia tidak ada atau hanya salah satu.
Tidak ada nyeri kepala akibat sebab lain.
2.Chronic Tension-type Headache
Frekuensi dan rata-rata nyeri kepala > 15 hari/bulan dan berlangsung > 6 bulan
serta memenuhi kriteria diatas.
3. Cluster
Nyeri kepala cluster merupakan nyeri kepala vaskuler, dikenal dengan
istilah nyeri kepala Harton,nyeri kepala histamine, migren merah. Nyeri kepala
ini dirasakan sesisi seperti ditusuk-tusuk pada separuh kepala, pada area bola
mata, pipi, hidung, langit-langit, gusi, dan menjalar ke frontal, temporal, dan
oksipital. Sisi yang terkena konjungtivanya menjadi merah, timbulnya lakrimasi,
ptosis, edema mata, sebelah hidung tersumbat, dan hipersaliva.
Nyeri kepala ini terjadi pada waktu-waktu tertentu, umumnya pada dini
harri dan biasanya pasien akan terbangun karena nyeri. Serangan ini berlangsung
15 menit sampai 5 jam dan terjadi beberapa kali selama 2-6 minggu. Factor
pencetus nyeri kepala cluster adalah makanan dan minuman yang beralkohol.
C. Cluster
Tanda dan gejala kususnya adalah :
1. Sakit yang mengerikan, biasanya terdapat pada atau sekitar mata, tapi dapat
merambat pada area lain di wajah, kepala, leher dan pundak.
2. Sakit pada satu sisi
3. Kegelisahan
4. Keluar air mata secara berlebihan
5. Mata merah sebagai efek samping
6. Lendir atau basah pada lubang hidung sebagai efek samping pada wajah
7. Berkeringat, kulit pucat pada wajah
8. Bengkak di sekitar mata sebagai efek samping pada wajah
9. Ukuran pupil yang mengecil
10. Kelopak mata yang layu
V. PATOFISILOGI
Menurut Buku Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Persarafan, patofisiologi headache sebagai berikut:
a. Migren
Migren headache merupakan gangguan nyeri kepala ditandai dengan adanya
serangan nyeri yang berkepanjangan dan tiba-tiba dengan vasokonstriksi yang
diikuti dengan vasodilatasi. Migren headache dapat diawali dengan adanya aura atau
berbagai sensasi prodromal seperti silau, penglihatan ganda dsb dimana ini
merupakan indikasi adanya disfungsi serebral fokal. Berkenaan dengan migren ini
dikatakan bahwa kemungkinan disebabkan oleh ketegangan emosional yang
berkepanjangan. Ini akan menyebabkan reflek vasospasmus dari beberapa arteri di
kepala termasuk arteri yang mensuplai otak. Vasospasmus akan menyebabkan
sebagian otak menjadi iskemik dan menyebabkan gejala prodromal. Iskemik yang
berkepanjangan menyebabkan dinding vaskular menjadi flasik dan tidak mampu
mempertahankan tonus vaskular. Desakan darah menyebabkan pembuluh darah
berdilatasi dan terjadi peregangan dinding arteri sehingga menyebabkan nyeri atau
migren.
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
92
Tension headache merupakan nyeri kepala yang pada umumnya disebabkan
oleh ketegangan dan kontraksi otot-otot leher dan kepala. Ini akan menyebabkan
tekanan pada serabut syarafdan konstriksi pembuluh darah pada dasar leher yang
pada gilirannya akan makin menambah tekanan dan menyebabkan buangan sisa
(asam laktat) menumpuk. Akumulasi ini menyebabkan timbulnya nyeri. Ketegangan
otot ini pada umumnya merupakan reaksi yang tidak disadari terhadap stres. Akan
tetapi, aktifitas-aktifitas yang membutuhkan kepala harus bertahan pada satu posisis
dapat menyebabkan nyeri kepala jenis ini, ataupun tidur dengan letak leher yang
tidak benar(tegang)dapat merpakan penyebab tension headache.
c. Cluster
Focus patofisiologi di arteri karotis intrakavernosus yang merangsang pleksus
perikarotis. Pleksus ini mendapat rangsangan dari cabang 1 dan 2 nervus trigeminus,
ganglia servikalis superior/SCG (simpatetik) dan ganglia sfenopalatinum/SPG
(parasimpatetik). Diperkirakan focus iritatif di dan sekitar pleksus membawa impuls-
impuls ke batang otak dan mengakibatkan rasa nyeri di daerah periorbital,
retroorbital dan dahi.
VII. PENATALAKSANAAN
a. Migren
Terdiri dari 2 macam, yaitu:
1. Pengobatan akut/segera (abortif). Jenis obat yang dipakai adalah:
93
Aspirin dan NSAID dosis tinggi (900 mg) untuk serangan ringan serta
sedang.
Kombinasi analgesik dan antiemetik, contoh: aspirin dengan metoklopramid
atau parasetamol dengan domperidon untuk serangan ringan sampai sedang.
Analgesik yang mengandung opiat, contoh: almotriptan, eletriptan,
frovatriptan, naratriptan, sumatriptan, rizatriptan, zolmitriptan yang terdapat
dalam bentuk sediaan oral, semprotan hidung, subkutan, dan rektal
supositoria. Sediaan oral sesuai untuk intensitas nyeri kepala ringan sampai
sedang untuk menjaga absorbsinya. Obat ini harus diberikan dengan dosis
optimal dan sebaiknya diulang setiap 2 jam (untuk naratriptan setiap 4 jam),
sampai nyeri kepala hilang sepenuhnya atau telah mecapai dosis maksimal.
Golongan triptan sebaiknya tidak digunakan dalam 24 jam setelaj pemakaina
triptan jenis lain.
Dihidroergotamin (DHE) untuk semua jenis serangan.
2. Pengobatan preventif (profilaksis). Macam-macam obat pilihan pertama yang
dianggap efektif dalam pengobatan preventif adalah:
Penyekat-ß misalnya atenolol, bisoprolol, metoprolol, nadolol, propanolol,
dan timolol.
Pemakaian penyekat –β dikontraindikasikan pada sinus bradikardi, penyakit paru
obstruktif (asma), dan DM.
Antagonis serotonin (5-HT2), misalnya: metisergid dan siproheptadin.
Antidepresan trisiklik, misalnya amitriptilin.
Penyekat-Ca, misalnya: flunarisin dan verapramil
Meningkatkan ambang rangsang nyeri .
Antikomvulsan, misalnya:Na valproat dan topiramat.
94
Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat nyeri.
Contoh : Obat-obat OTC seperti aspirin, acetaminophen, ibuprofen atau
naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein dapat meningkatkan efek
analgesik
Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti mengenai
penyebabnya, misalnya karena anxietas atau depresi pilihan obatnya adalah
antidepresan, seperti amitriptilin atau antidepresan lainnya. Hindari
penggunaan analgesik secara kronis
memicu rebound headache
c. Cluster
Sasaran terapi : menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah serangan
(profilaksis)
Strategi terapi : menggunakan obat NSAID, vasokonstriktor cerebral
Obat-obat terapi abortif:
Oksigen
Ergotamin
Dosis sama dengan dosis untuk migrain
Sumatriptan
Obat-obat untuk terapi profilaksis:
Verapamil
Litium
Ergotamin
Metisergid
Kortikosteroid
Topiramat
3. Latihan relaksasi
95
Latihan relaksasi mencakup latihan pernapasan, teknik mengendalikan
stres, serta bagaimana bersikap rileks selama beraktivitas dan dalam menjalani
hidup sehari-hari.
No Intervensi
1 Observasi perilaku pasien dan perubahan yang terjadi saat nyeri
2 Pantau mekanisme koping pasien saat terjadi serangan
3 Dorong pasien untuk mengekspresikan masalah yang dihadapi sekarang
seperti rasa takut
4 Berikan support dan berikan informasi yang realistik
3. Diagnosis : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan suplai
O2 di seluruh tubuh
Tujuan : Toleransi aktifitas
Kriteria hasil : Kelemahan berkurang
Toleransi terhadap aktifitas meningkat
Mampu beraktifitas secara mandiri
No Intervensi
1 Rancang jadwal harian pasien
2 Tingkatkan aktifitas secara bertahap dengan periode istirahat diantara dua
aktifitas misalnya duduk dulu sebelum berjalan setelah tidur
3 Observasi respon individu terhadap aktivitas
4 Bantu aktivitas dan motivasi klien untuk melakukan aktivitas sesuai
kemampuan
97
DAFTAR PUSTAKA
98