Anda di halaman 1dari 99

HIPERTENSI

I. DEFINISI
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Smith Tom, 1995).
Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik
lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau
lebih besar 95 mmHg (Kodim Nasrin, 2003).

II. ETIOLOGI
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan
besar yaitu : ( Lany Gunawan, 2001 )
1. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya
Beberapa factor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Factor
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi
b. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi
adalah umur (jika umur bertambah maka TD meningkat), jenis
kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan) dan ras (ras kulit
hitam lebih banyak dari kulit putih)
c. Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya
hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30
gr ), kegemukan atau makan berlebihan, stress dan pengaruh lain
misalnya merokok, minum alcohol, minum obat-obatan
( ephedrine, prednison, epineprin )
2. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
 Hipertensi Goldblatt
 Hipertensi Neurogenik
 Hipertensi pada Toksemia Gravidarum
 Hipertensi Akibat Aldosteronisme Primer
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi Hipertensi menurut Smith Tom (1995) :
1
1. Hipertensi ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg
2. Hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg
3. Hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan tingkatannya, yaitu:
 Ringan ( Tk.I) : 140 – 150/90-99
 Sedang ( Tk.II) : 160 – 179/100-109
 Berat (Tk.III) : 180 – 209/110-119
 Sangat berat (Tk.IV) : > 210/120

IV. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : ( Edward K Chung,
1995 )
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan.

V. PATOFISIOLOGI

2
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
 Pemeriksaan retina

3
 Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti
ginjal dan jantung
 EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
 Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
 Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal,
pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.
 Foto dada dan CT scan

VII. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan
penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan
sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat
ini meliputi :
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a). Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
b). Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
c). Penurunan berat badan
d). Penurunan asupan etanol
e). Menghentikan merokok
f). Diet tinggi kalium
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan
untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat
prinsip yaitu :
a). Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging,
bersepeda, berenang dan lain-lain
b). Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik
atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan.
Denyut nadi maksimal dapat ditentukan dengan rumus 220 – umur
c). Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona
latihan
d). Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x
perminggu
c. Edukasi Psikologis
4
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a). Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan
pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar
oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi
gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk
gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b). Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih
penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi
rileks
d. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien
dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

2. Terapi dengan Obat


Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah
saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar
penderita dapat bertambah kuat(1). Pengobatan hipertensi umumnya perlu
dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh
Komite Dokter Ahli Hipertensi ( Joint National Committee On Detection,
Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure, Usa, 1988 )
menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau
penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
a. Step 1 : Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker,
Ca antagonis, ACE inhibitor
b. Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan
1) Dosis obat pertama dinaikan
2) Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
3) Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa
diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin,
reserphin, vasodilator
c. Step 3 : alternatif yang bisa ditempuh
1) Obat ke-2 diganti
5
2) Ditambah obat ke-3 jenis lain
d. Step 4 : alternatif pemberian obatnya
1) Ditambah obat ke-3 dan ke-4
2) Re-evaluasi dan konsultasi

3. Follow Up untuk mempertahankan terapi


Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan
komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan (perawat, dokter)
dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai
berikut :
a. Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil
pengukuran tekanan darahnya
b. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai
mengenai tekanan darahnya
c. Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat
sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat menurunkan morbiditas
dan mortilitas
e. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat
mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya,
tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat
tensimeter
f. Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa
didiskusikan lebih dahulu
g. Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara
hidup penderita
h. Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
i. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila
penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah
j. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti
hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
k. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti
hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi
l. Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi
dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan
efektifitas maksimal
m. Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
n. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan
lebih sering
6
o. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu
yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan
sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan
pengobatan hipertensi.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea

Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan
warna kulit, suhu dingin
Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria,
factor stress multipel
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue
perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang,
pernapasan menghela, peningkatan pola bicara
Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
Makanan / Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala,
berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman,
perubahan retinal optik
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala
oksipital berat, nyeri abdomen
Pernapasan
7
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea,
dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum,
riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan,
bunyi napas tambahan, sianosis
Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi psotural
Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit
jantung, DM , penyakit ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormone

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan


peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi
ventricular
Tujuan :
Afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi, tidak terjadi
iskemia miokard
Intervensi keperawatan :
o Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang
tepat
o Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
o Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
o Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
o Catat edema umum
o Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas.
o Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditemapt tidur/kursi
o Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
o Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher
o Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
o Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
o Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
o Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi

Hasil yang diharapkan :


8
 Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
 Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
 Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil

2. Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler


serebral
Tujuan :
Tekanan vaskuler serebral tidak meningkat
Intervensi keperawatan :
 Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit
penerangan
 Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
 Batasi aktivitas
 Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
 Beri obat analgesia dan sedasi sesuai pesanan
 Beri tindakan yang menyenangkan sesuai indikasi seperti kompres
es, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi, hindari
konstipasi
Hasil yang diharapkan :
Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tampak nyaman

3. Potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan


dengan gangguan sirkulasi
Tujuan :
Sirkulasi tubuh tidak terganggu
Intervensi :
 Pertahankan tirah baring; tinggikan kepala tempat tidur
 Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk
dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia
 Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai pesanan
 Amati adanya hipotensi mendadak
 Ukur masukan dan pengeluaran
 Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai pesanan
 Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
Hasil yang diharapkan :
 Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti
ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada
keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas
normal.
9
 Haluaran urin 30 ml/ menit
 Tanda-tanda vital stabil
4. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit dan perawatan diri
Tujuan ;
 Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi
 Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
 Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan
stress
 Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian,
tujuan dan efek samping atau efek toksik
 Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa
pemeriksaan dokter
 Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk
dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah.
 Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
 Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
 Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai
pesanan
 Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat,
jumlah yang diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang
mengandung kafein, teh serta alcohol
 Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
Hasil yang diharapkan :
 Pasien mengungkapkan pengetahuan dan keterampilan
penatalaksanaan perawatan dini
 Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai pesanan

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, 2000

10
Gunawan, Lany. Hipertensi : Tekanan Darah Tinggi , Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 2001

Sobel, Barry J, et all. Hipertensi : Pedoman Klinis Diagnosis dan Terapi, Jakarta,
Penerbit Hipokrates, 1999

Kodim Nasrin. Hipertensi : Yang Besar Yang Diabaikan, @ tempointeraktif.com,


2003

Smith Tom. Tekanan darah Tinggi : Mengapa terjadi, Bagaimana mengatasinya ?,


Jakarta, Penerbit Arcan, 1995

Semple Peter. Tekanan Darah Tinggi, Alih Bahasa : Meitasari Tjandrasa Jakarta,
Penerbit Arcan, 1996

Brunner & Suddarth. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC,
2002

Chung, Edward.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Edisi III,


diterjemahkan oleh Petrus Andryanto, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1995

Marvyn, Leonard. Hipertensi : Pengendalian lewat vitamin, gizi dan diet, Jakarta,
Penerbit Arcan, 1995

Tucker, S.M, et all . Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, diagnosis


dan evaluasi , Edisi V, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1998

STROKE

I. DEFINISI
Cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit
neurologis karena insufisiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak.
Insufisiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder terhadap
arterisklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam tubuh, atau
11
terhadap perdarahan akibat ruptur arteri (aneurisma)(l_ynda Juall Carpenito,
1995).
Menurut WHO. (1989) Stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan
gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu.

II. ETIOLOGI
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan
kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48
jam sete;ah thrombosis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan thrombosis
otak :
a. Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis
atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui
mekanisme berikut:
~ Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran
darah.
~ Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
~ Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian
melepaskan kepingan thrombus (embolus)
~ Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
robek dan terjadi perdarahan.
b. Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas /hematokrit meningkat
dapat melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis( radang pada arteri)
2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.

12
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.
(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi, keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-
waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus
kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan
terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
3. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat
terjadi karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh
darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak
yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan .sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi
otak.
Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi:
a. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital.
b. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
c. Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
d. Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh
darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
e. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan
dan
degenerasi pembuluh darah.
4. Hypoksia Umum
 Hipertensi yang parah.
b. Cardiac Pulmonary Arrest
c. Cardiac output turun akibat aritmia
 Hipoksia setempat
a. Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

13
III. KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
a. Stroke Haemorhagi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak
tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif,
namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya
menurun.
b. Stroke Non Haemorhagic
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran
umummnya baik.
Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
a. TIA (Transient Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang
terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang
timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang
dari 24 jam.
b. Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana
gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses
dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah
menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit
dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

IV. TANDA DAN GEJALA


Perbedaan Perdarahan Intra Serebral(PIS) dan Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
GEJALA PIS PSA
Timbulnya Dalam 1 jam 1-2 menit
Nyeri Kepala Hebat Sangat hebat
Kesadaran Menurun Menurun sementara
Kejang Umum Sering fokal
Tanda rangsangan Meningeal. +/- +++
Hemiparese ++ +/-
Gangguan saraf otak + +++

14
Jika dilihat bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
1. Stroke hemisfer Kanan
a. Hemiparese sebelah kiri tubuh.
b. Penilaian buruk
c. Mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan
terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
2. Stroke Hemifer kiri
a. Mengalami hemiparese kanan
b. Perilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang sebelah kanan.
d. Disfagia global
e. Afasia dan mudah frustasi.
Perbedaan antara infark dan perdarahan otak sebagai berikut:
GEJALA(ANAMNESA) INFARK PERDARAHAN
Permulaan Sub akut Sangat akut
Waktu Bangun pagi Lagi aktifitas
Peringatan + 50% TIA -
Nyeri Kepala - +
Kejang - ++
Kesadaran menurun Kadang sedikit +++
Gejala Objektif Infark Perdarahan
Koma +/- ++
Kaku kuduk - ++
Kernig - +
pupil edema - +
Perdarahan Retina - +
Pemeriksaan Laboratorium
Darah pada LP - +
X foto Skedel + Kemungkinan pergeseran
Angiografi glandula pineal
CT Scan. Oklusi, stenosi Aneurisma
Densitas berkurang AVM. massa intra
hemisfer/vasospasme.
Massa intrakranial
densitas bertambah.

15
V. PATOFISIOLOGI

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. Rontgen kepala dan medula spinalis
2. Elektro encephalografi
3. Punksi lumbal
4. Angiografi
5. Computerized Tomografi Scanning ( CT. Scan)
6. Magnetic Resonance Imaging

VII. PENATALAKSANAAN STROKE


1. Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai
berikut Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan :
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendiryang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
b. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.

16
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
PENGOBATAN KONSERVATIF
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS ) secara percobaan, tetapi
maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis , yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
KOMPLIKASI
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi , komplikasi
ini dapat dikelompokan berdasarkan:
1. Berhubungan dengan immobilisasi ; infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
2. Berhubungan dengan paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi,
deformitas dan terjatuh
3. Berhubungan dengan kerusakan otak : epilepsi dansakit kepala.
4. Hidrocephalus

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
a. Aktifitas/istirahat
Gejala : merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia). Merasa mudah lelah, susah
untuk beristirahat (nyeri atau kejang otot). Tanda: gangguan tonus otot
(flaksid, spatis): paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum,
gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
b. Sirkulasi
Gejala : adanya penyakit jantung: endokarditis bakterial, GJK Tanda :
hipertensi arterial, disritmia, perubahan EKG
c. Integritas ego

17
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan
gembira. Kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria,
distensi abdomen, bising usus
e. Makanan/cairan
Gejala: Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut (peningkatan
TIK), kehilangan sensasi pada lidah, pipi, dan tenggorokan, disfagia,
adanya riwayat DM, peningkatan lemak dalam darah
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflex palatum dan faringeal),
obesitas
f. Neurosensori
Gejala: pusing (sebelum serangan CSV/ selama TIA), sakit kepala,
penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian, gangguan rasa
pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental/kesadaran: biasanya terjadi koma pada tahap awal
hemoragik. Gangguan fungsi kognitif, ekstremitas: kelemahan atau
paralisis, afasia: gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia
motorik (kesulitan untuk mengungkapkan kata). Reseptif (afasia sensorik)
yaitu kesulitan untuk memahami kata kata secara bermakna, atau afasia
global yaitu gabungan dari kedua hal di atas. Kehilangan kemampuan untuk
mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran,
taktil (agnosia), seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh,
kewaspadaan, kelainan terhadap bagian tubuh yang terkena, gangguan
persepsi. Kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat pasien ingin
menggerakannya (apraksia). Ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dilatasi
atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan atau herniasi). Kekakuan muka
biasanya karena pendarahan, kejang biasanya karena adanya pencetus
perdarahan.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri
karotis terkena)
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot atau
fasial.
h. Pernafasan
Gejala: merokok atau faktor resiko

18
Tanda: ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas.
Timbulnya pernafasan sulit atau tak teratur, suara nafas terdengar/ronkhi
(aspirasi sekresi)
i. Keamanan
Tanda: motorik atau sensorik: masalah dengan penglihatan, kesulitan
dalam menelan, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri
j. Interaksi sosial
Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
k. Pemeriksaan Fisik
1) TTV
2) Fungsi serebral
Pembahan tingkat kesadaran (Pengukuran GCS)
a. Mata
spontan :4
spontan terhadap rangsangan suara :3
terhadap rangsangan nyeri :2
tidak ada respon :1
b. Motoris
sesuai perintah :6
karena nyeri total :5
mencari daerah nyeri :4
flexi :3
kaku :2
tidak berespon :1
c. Verbal
orientasi waktu :5
bicarakacau :4
kata-kata tidak tepat :3
tidak bermakna :2
tidak berespon :1

19
Fungsi Nervous Cranial
a. N I Olfakturus
b. N I I Optik
c. NIII Okulometer
d. NIV Motortraklear ( gerakan kebawah/kedalam
e. N V mata)
f. NVI Trigeminus (gerakan rahang, muka)
g. NVII Abdusen (lateral mata)
h. NVIII Fasial (wajah)
i. NIX Akustik (cloclea, vestibular)
j. N X Glosopharingeal (indra, faring lidah)
k. NXI Vagus (motor, palatum, faring-laring)
l. N XII Asesori Spinal (mastoid, trapezias)
Hipoglesus (motor, lidah)

20
6. Pemeriksaan motorik
Meliputi pengkajian motorik kasar, tes keseimbangan dan pengkajian
motorik halus
7. Pemeriksaan sensorik
Meliputi sensasi taktil , sensasi suhu dan nyeri, vibrasi dan
propriosepsi, dan merasakan posisi status reflek
8. Reflex bisep
Peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi, orang
yang menguji menyokong lengan bawah satu tangan sambil
menempatkan ibu jari dengan menggunakan palu reflex
9. Reflex trisep
Lengan pasien fleksi pada siku dan pronasi dan diposisikan didepan
dada. Palpasi 2,5-5cm diatas siku reflex ini menyebabkan kontraksi otot
trisep dan ekstensi siku
10. Reflex brachioradialis
Tangan klien diletakkan diatas paha dalam keadaan pronasi. Pukulkan
reflex hammer diatas tendon pergelangan tangan, amati fleksi
supinasi dari tangan klien
11. Reflex abdomen
Klien tetap dalam posisi supine tanpa mengenakan baju. Sentuhkan
ujung tajam reflex hammer kekulit bagian abdomen mulai dari arah
lateral kebagian umbilical, dan amati kontraksi otot abdomen.

12. Reflex Achilles /ankle


Pegang telapak kaki kien dengan tangan non dominan pemeriksa.
Pukul tendon Achilles dengan bagian tumpul reflex hammer dan
amati kontraksi otot kuadrisep.
13. Reflex plantar
Klien dalam posisi supine dan kedua tunngkai bawah sedikit eksternal
rotasi, stimulasi telapak kaki klien dengan ujung tajam reflex hammer.
Sentuhan dimulai dari tumit kearah luar telapak kaki klien. Amati
gerakan telapak kaki (normal jika plantar fleksi jari-jari kaki)
14. Reflex babinsky
Indikasi adanya penyakit SSP, bila bagian lateral seseorang dengan
penyakit SSP diigores, maka akan terjadi kontraksi kaki dan menarik
bersama-sama. Pada pasien yang mengalami pennyakit SSP, maka pada
system motorik jari-jari kaki menyebar dan menjauh. Pada bayi reflex ini
normal.
21
15. Reflex kernig
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90°
16. Refleks laseque
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
sudut 60-70°
17. Reflex brudzinski

22
Klien berbaring kemudian tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu
mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada klien
untuk mencegahnya diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif maka
tindakan ini mengakibatkan fleksi keduatungkai.
18. Reflex brudzinski II
Klien berbaring satu tungkai difleksikan pada persendian panggul sedangkan
tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi lurus. Bila tungkai yang
satu ikut terfleksi, maka tanda brudzinski II positif.

Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d penurunan suplay O2 ke otak,
penurunan kesadaran
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan
c. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake inadekuat
Intervensi dan rasional
a. Diagnosa 1
1) Kaji status Neurologi
2) UkurTTV
3) Posisikan kepala pasien agak tinggi dan dalam posisi anatomi.
4) Kolaborasi dalam pemberian oksigen sesuai indikasi
5) Kolaborasi dengan dokter dalam melakukan pemeriksaan analisa
gas darah
b. Diagnosa 2
1) Ubah posisi setiap 2 ja (telentang/miring), jika kemungkinan
bisa lebih sering diposisikan pda bagian yang terganggu.
2) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif pada semua
ekstremitas.
3) Tempatkan bantal dibawah aksial untuk melakukan abduksi
pada tangan .
4) Tinggikan tangan dan kaki
5) Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau
tanda-tanda lain.
c. Diagnosa 3
1) Awasi masukkan makanan, jumlah kalori.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dalam keadaan
hangat.
3) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
23
4) Anjurkan makan pada posisi duduk/kepala ditinggikan.
5) Kolaborasi dengan ahli diet untuk pemberian diet yang tepat.
6) Kolaborasi dalam pemberian IVFD sesuai indikasi
4) Berikan obat sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes M. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan "Pedoman untuk perencanaan Dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Hudak & Gallo, 1987, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (terjemahan ), Edisi VI,
Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Made Kariasa 1997. Patofisiologi Beberapa Gangguan Neurologi..
Hand Out Kursus Keperawatan Neurologi, Fakultas Ilmu Keperawatan UI.
Jakarta.
Linda Juall Carpenito, 1995, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. EGC, Jakarta.
Sylvia A. Price, 1995. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Buku 1.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

24
VERTIGO

I. PENGERTIAN
Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar.
Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan
sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan
alat keseimbangan tubuh. Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing
saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik
(nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan
pusing. Dari (http ://www.kalbefarma. com).
II. ETIOLOGI
Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :
1. Lesi vestibular :
o Fisiologik
o Labirinitis
o Meniere
o Obat; misalnya quinine, salisilat.
o Otitis media
o "Motion sickness"
o "Benign post-traumatic positional vertigo"
2. Lesi saraf vestibularis
o Neuroma akustik
o Obat; misalnya streptomycin
o Neuronitis

25
o vestibular
3. Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal
o Infark atau perdarahan pons o
Insufisiensi vertebro-basilar

26
o Migraine arteri basilaris
o Sklerosi diseminata
o Tumor
o Siringobulbia
o Epilepsy lobus temporal

III. KLASIFIKASI
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Vertigo paroksismal
Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit
atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut
dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan.
Vertigo jenis ini dibedakan menjadi : o Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis
pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii
posterior, kelainan gigi/ odontogen. o
Yang tanpa disertai keluhan telinga :
Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria
vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo
de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth). o
Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo
posisional paroksismal benigna.
2. Vertigo kronis
Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia
Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
o Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb,
labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor
serebelopontin. o Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis
pontis, sindrom pasca
komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan
okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan
endokrin. o Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik,
Vertigo servikalis.
3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur
mengurang, dibedakan menjadi :
o Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus,
labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada
auditiva interna/arteria vestibulokoklearis.
27
o Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria
vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika,
sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior
posterior.

IV. MANIFESTASI KLINIK


Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan
reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun,
lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng
(dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah,
mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.

V. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang
disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini
adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah
sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis
dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh
reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan
yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan
dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar,
akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot
mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari
posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat
keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat
berdiri/ berjalan dan gejala lainnya

VI. PEMERIKASAAN DIAGNOSTIK


1. Pemeriksaan fisik :
o Pemeriksaan mata
28
o Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
o Pemeriksaan neurologik
o Pemeriksaan otologik
o Pemeriksaan fisik umum.
2. Pemeriksaan khusus :
o ENG
o Audiometri dan BAEP
o Psikiatrik
3. Pemeriksaan tambahan : o
Laboratorium o
Radiologik dan Imaging o
EEG, EMG, dan EKG.

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) : Terdiri dari :
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Terapi rehabilitatif.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Aktivitas / Istirahat
 Letih, lemah, malaise
 Keterbatasan gerak
 Ketegangan mata, kesulitanmembaca
 Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
 Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja)
atau karena perubahan cuaca.

2. Sirkulasi
 Riwayat hypertensi
 Denyutan vaskuler, misal daerah temporal.
 Pucat, wajah tampak kemerahan.

3. Integritas Ego
 Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
 Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
 Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
29
 Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik).

4. Makanan dan cairan


 Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang,
keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus,
hotdog, MSG (pada migrain).
 Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
 Penurunan berat badan

5. Neurosensoris
 Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
 Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
 Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
 Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
 Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
 Perubahan pada pola bicara/pola pikir
 Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
 Penurunan refleks tendon dalam
 Papiledema.
6. Nyeri/ kenyamanan
 Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain,
 ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
 Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
 Fokus menyempit
 Fokus pada diri sendiri
 Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
 Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
7. Keamanan
 Riwayat alergi atau reaksi alergi
 Demam (sakit kepala)
 Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
 Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus).
8. Interaksi sosial
 Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit.
9. Penyuluhan/pembelajaran

30
 Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga o
Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi
oral/hormone, menopause.

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan aktivitas berhubungan dengan pusing, nyeri dikepala.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah

Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1. : Gangguan aktivitas berhubungan dengan pusing, nyeri
dikepala
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria Hasil:
• Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang
• Tanda-tanda vital normal
• pasien tampak tenang dan rileks.

Intervensi:
• Atur posisi pasien senyaman mungkin
Rasional : posisi yang tepat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan
otot serta mengurangi nyeri
• Kaji intensitas/skala nyeri.
Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan
keperawatan.
• Pantau tanda-tanda vital
Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan
keperawatan.
• Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgetik.
Rasional : analgetik berguna untuk mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi
lebih nyaman.
Diagnosa Keperawatan 2. : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah
Tujuan : Tidak adanya muntah, mual
Kriteria Hasil: intake adekuat baik IV ataupun oral
Intervensi:

31
• Monitor output dan intake pasien
Rasional : Evaluasi ketat kebutuhan intake dan output
• Beri cairan sesuai dengan pengeluaran
Rasional: Jumlah pengeluaran cairan yang banyak harus di imbangi
dengan masukan.
• Beri makanan dalam porsi kecil tapi
sering
Rasional : Meningkatkan nafsu makan.
• Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
antasida.
Rasional : Antasida untuk mengurangi mual, muntah.
melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999:28)

32
DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi


keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC,
Jakarta, 1999.
Marilynn E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3, EGC, Jakarta, 1999.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14415 Terapi Akupunktur
untuk Vertigo.pdf/14415TerapiAkupunkturuntukVertigo.html
Kang L S,. Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur, Cermin Dunia
Kedokteran No. 144, Jakarta, 2004.

33
LOW BACK PAIN

I. DEFINISI
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri
yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan
L5-S1.

II. ETIOLOGI
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai
masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan
ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis
tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang
tungkai). Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis,
tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik.
Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat
oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh
aktifitas.

III. KLASIFIKASI
Pembagian berdasarkan sistem anatomi :
a. LBP Viserogenik (organ abdomen)
Kelainan berasal dari ginjal, viscera pelvis, omentum minor, tumor
retroperitoneal, fibroid retrouteri
b. LBP Verkulogenik (pembuluh darah)
Aneurisme diabdomen, penyakit vaskuler perifes, insufiensi dari arteri glutea
superior
c. LBP Neuvogenik
Tumor-tumor letaknya ekstradural maupun intradural ekstra medullar sering
menyebabkan LBP oleh karena juga menekan radik.
d. LBP Spondilogenik
34
Berasal dari :
 Tulang koluma spinalis (trauma, radang, tumor, metabolic dan
spondilolistesis)
 Sendi-sendir sakroiliakan
 Jaringan lunak (degenerasi diskus, aptur diskus, penjepitan akar
saraf akibat stenosis spinalis.
e. LBP Psikogenik
Dapat disebabkan oleh keadaan depresi, kecemasan maupun neurosis

IV. TANDA DAN GEJALA


Pasien biasanya mengeluh nyeri punngung akut maupun nyeri punggung kronis
dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan
penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan
pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan
persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya.
Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri
menunjukkan iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis
(peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai
hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas
tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal
akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.
Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan
dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah
bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap
stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri
punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable
lingkungan dan situasi kerja.

V. PATOFISIOLOGI
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi
sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut
sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat
dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua
orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri
yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi
orang lain.
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons
hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli
35
tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras
multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan
asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel
mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut
kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan
berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ
internal yang lebih besar. Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan
substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek
yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang
berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan
enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat.
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori,
dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi nyeri.
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna
vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas
banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain
oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi
punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang
belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada
saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang
belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas
mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur
pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan
berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah
tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan
matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak
teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung
biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat
mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis,
yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut.

36
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung
bawah. Sinar X- vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi,
infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk
mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak
tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis.
USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI
memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang.

VII. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6
minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap
ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3
hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar
yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat
tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring
miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal
diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat
lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif
aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban
traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot
tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi
bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah,
kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi ,
gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi
kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler
karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul.
Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan
ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik
narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang
digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme,
sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri.
Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah
timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia.

37
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
 Gejala : riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk,
mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan/matras waktu tidur,
penurunan rentang gerak dari ekstrimiter pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
 Tanda : Atropi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam
berjalan.
b. Eliminasi 
 Gejala : Konstribusi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya
inkontenensia/retensi urine
c. Integritas Ego
 Gejala : Ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan,
finansial keluarga. 
 Tanda : Tampak cemas, defresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat
d. Neurosensori
 Gejala : Kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/kaki
 Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotania, nyeri
tekan/spasme pavavertebralis, penurunan persesi nyeri (sensori)
e. Nyeri/kenyamanan
 Gejala : Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan
adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat defekasi,
mengangkat kaki, atau fleksi pada leher, nyeri yang tidak ada hentinya atau
adanya episode nyeri yang lebih berat secara interminten; nyeri menjalar ke
kaki, bokong (lumbal) atau bahu/lengan; kaku pada leher (servikal).
Terdengar   adanya suara “krek” saat nyeri baru timbul/saat trauma atau
merasa “punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi/membungkuk
kedepan
 Tanda : Sikap: dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena,
perubahan cara berjalan: berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang
terangkat pada bagian tubuh yang terkena, nyeri pada palpasi.
f. Keamanan
 Gejala    : Adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi

g. Penyuluhan dan pembelajaran


38
 Gejala   :  Gaya hidup ; monoton atau hiperaktif 
 Pertimbangan   : DRG menunjukan rata-rata perawatan:10,8 hari
 Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan batuan transportasi, perawatan
diri dan penyelesaian tugas-tugas.

Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan adanya Trauma jaringan dan reflek
spasme otot, Inflamasi, Kompresi saraf 
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan,
spasme otot, terapi testriktif, kerusakan neuromuskular
c. Ansietas/koping individu tak efektif berhubungan dengan krisis situasi, status
kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi, gangguan berulang dengan
nyeri terus menerus, ketidakadekuatan metode koping
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, pragnosis, dan
tindakan berhubungan dengan kesalahan informasi/kurang pengetahuan,
kesalahan interpretasi informasi kurang mengungat, tidak mengenal sumber-
sumber informasi

Intervensi Keperawatan
Diagnosis I
a. Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor
pencetus yang memperberat, minta pasien untuk menetapkan pada
skala 0–10
b. Pertahankan tirah baring selama fase akut, peletakan pasien pada
posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam
keadaan fleksi, posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan
kepala 10-30 derajat atau pada posisi lateral 
c. Gunakan logirdi (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan Brace/korset
e. Batas aktivitas selama sesuai kebutuhan
f. Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang
mudah dijangkau/diraih oleh pasien.

Diagnosis II
a. Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi spesifik
b. Catat respon-respon emosi/perilaku pada imobilisasi berikan aktivitas
yang disesuaikan dengan klien
c. Ikuti aktivitas/prosedur dengan periode istirahat, anjurkan pasien
untuk tetap berperan serta dalam aktivitas sehari-hari
39
d. Berikan/bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan
aktif 
e. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
f. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti alat bantu jalan,
tongkat

Diagnosis III
a. Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani
masalahnya di masa yang lalu dan bagaimana pasien melakukan
koping dengan masalah sekarang.
b. Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
c. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan masalahnya
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan
untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhan
e. Catat perilaku dari orang terdekat/keluarga yang meningkat “peran
sakit” pasien.

Diagnosis IV
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognisis serta pembatasan
kegiatan
b. Berikan infomasi tentang berbagai hal dan instruksikan pasien untuk
melakukan perubahan “mekanika tubuh” tanpa bantuan dan juga
melakukan latihan
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan juga efek sampingnya, seperti
halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat
(analgetik, relaksasi otot)
d. Diskusikan mengenai kebutuhan diet
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Lihat kembali pemakaian kakolar leher yang lunak

40
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot,
Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta,
1997

TETANUS

41
I. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus
adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit
infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, yang ditandai dengan
gejala kekakuan dan kejang otot (Ritharwan, 2004).

II. ETIOLOGI
            Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat
masuk melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak
dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang
tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman
Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.

III. KLASIFIKASI
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas
dan spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul
mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan
sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot
somatic meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode
relaksasi.
3. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari
terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol
adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti
tetanus umum.

Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu:


1. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
42
IV. TANDA DAN GEJALA
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini
menjadi nyata dengan gejala umum:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu
anterior
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering
merupakan gejala dini)
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior
dala keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap
sadar, spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian
tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang
terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring.
Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
cairan otak.

V. PATOFISIOLOGI

Terpapar kuman Clostridium tetani

Eksotoksin
43
Pengangkutan toksin melewati saraf motorik
Ganglion Sumsum
Tulang Belakang Otak Saraf Otonom
Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis
Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan


pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
Hilangnya keseimbangan tonus otot
-Aritmia
-Takikardi
Kekakuan otot

Hipoksia berat
Sistem Pencernaan Sistem Pernafasan

 O2 di otak
Kesadaran 
-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia
-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya pengetahuan
Ortu

-Dx,Prognosa, Perawata
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
 Darah Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
 BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
 Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi
kejang kalium (normal 3,80 - 5,00 meq/dl).
 Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya
lesi.
 EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.

44
VII. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
 Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru
diberikan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
 Anti kejang (antikonvulsan)
 Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-
mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max.
200mg/hari).
 Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6
mg/kg BB.
 Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
 Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin
1gr/hari/1.V. Dapat memusnahkan tetani tetapi tidak mempengaruhi
proses neurologiknya.
2. Non-farmakologi
 Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
 Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus,
diberikan lewat sonde parenteral.
 Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
 Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.
 Mengatur cairan dan elektrolit.

 V. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.
2. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan
membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat
pemotong tali pusat, tempat persalinan.
3. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi
tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara
gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of
onset).
4. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah
imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir
5. Riwayat psiko sosial.
5.1. Kebiasaan anak bermain di mana
5.2. Hygiene sanitasi
45
6. Pemeriksaan fisik.
o Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus,
bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi
sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan
kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi tali pusat kotor. Hipoksia
dan sianosis.
o Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan
kesukaran untuk membuka mulut (trismus).
o Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan
otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut
mulut keluar dan ke bawah.
o Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung,
otot pinggang, semua trunk muscle.
o Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula
terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.
o Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau
gigitan binatang.
Diagnosa Keperawatan
1. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium tetani di system
saraf di otak
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum.
3. Pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot pernafasan.
4. Hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia).
5. Gangguan rasa percaya diri berhubungan dengan kesulitan berbicara.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah.
7. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang kurang daan oliguria.
8. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gerak peristaltic usus.
9. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan spasme otot
pengunyah.
Intervensi Keperawatan
Kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium tetani di system saraf di
otak
Tujuan : tidak terjadi kejang
Criteria hasil: frekuensi kejang berkurang,pasien lebih tenang
No. Intervensi
1. Mandiri

46
1. Anjurkan keluarga agar menahan tubuh pasien saat kejang
2. Anjurkan keluarga untuk memasang sendok ke mulut pasien saat
pasien kejang
2. Kolaborasi
Memberikan obat anti kejang kepada pasien
 
Diagnose: bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumlasi sputum.
Tujuan: jalan nafas efektif.
Kriteria hasil: AGD normal, tidak ada suara nafas ronkhi, tidak ada sputum.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Bebaskan jalan nafas dengan memberikan posisi kepala ekstensi.
2. Lakukan pemerikasaan fisik khususnya auskultasi tiap 2-4 jam
sekali.
3. Lakukan suction.
4. Observasi TTV tiap 2 jam.
2. Kolaborasi:
Berikan obat pengencer secret atau mukolitik.
 
Diagnose: pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas tergaggu akibat
spasme otot pernafasan.
Tujuan: pola nafas teratur daan normal.
Criteria hasil: tidak sesak nafas, RR dalam rentang normal, tidak ada retraksi dinding
dada, dan tidak ada pernafasan cuping hidung.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Monitor irama nafas & RR.
2. Berikan posisi semi fowler.
3. Observasi tanda & gejala sianosis.
  Kolaborasi:
1. Anjurkan klien untuk melakukan pemeriksaan gas darah.
2. Berikan oksigenasi.

 Diagnose: hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia).


Tujuan: suhu tubuh normal.
Criteria hasil: suhu tubuh dalam rentang normal, hasil lab sel darah putih dalam
rentang normal (5.000-10.000 mm3).
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Anjurkan klien banyak minum.
2. Berikan kompres dingin.
3. Pantau suhu tiap 2 jam.
4. Bila ada luka, berikan tindakan aseptic dan antiseptic.
2. Kolaborasi:
1. Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik.
2. Pemeriksaan lab sel darah putih secara berkala.

47
Diagnose: gangguan rasa percaya diri berhubungan dengan kesulitan berbicara.
Tujuan: pasien tidak lagi malu untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Criteria hasil: pasien menunjukkan sikap kooperatif saat diperiksa atau diajak bicara.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dialami.
2. Anjurkan klien dan keluarga untuk sering berkomunikasi.
3. Berikan support pada klien untuk terus berlatih berbicara.
 
Diagnose: intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah.
Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas rutin.
Criteria hasil: klien tidak tamapak lemas, tampak bersemangat, mampu melakukan
aktivitas rutin dan memenuhi KDM tanpa bantuan orang lain.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Bantu klien untuk memenuhi KDM selama klien masih lemah.
2. Minta keluarga untuk membantu klien dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
3. Anjurkan klien untuk banyak makan dan banyak minum.
 
Diagnose: resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
intake yang kurang dan oliguria.
Tujuan: cairan dan elektrolit seimbang.
Criteria hasil: turgor kulit baik, pasien bisa BAK, output normal.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Anjurkan klien banyak minum (8-10 gelas/hari).
2. Pantau turgor kulit.

 Diagnose: konstipasi berhubungan dengan penurunan gerak peristaltic usus.


Tujuan: pasien bisa BAB dengan lancar.
Criteria hasil: pasien tidak mengeluh sakit saat BAB, konsistensi BAB lunak.
No. Intervensi
1. Mandiri:
1. Anjuran klien banyak minum.
2. Anjurkan minum yang hangat-hangat.
2. Kolaborasi:
1. Berikan obat laksatif.
2. Berikan diet tinggi serat.
 Diagnose: perubahan nutris kurang dari kebutuhan berhubungan dengan spasme
otot pengunyah.
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Criteria hasil: intake adekuat, makanan selalu dihabiskan.

48
No. Intervensi
1. Mandiri:
Jelaskan pada klien penyebab kesulitan makan dan pentingnya
makanan bagi tubuh.
2. Kolaborasi:
1. Berikan diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar.
2. Berikan cairan IV line.
3. Lakukan pemasangan NGT bila perlu.
 
Evaluasi
1. Bersihan jalan nafas efektif.
2. Pola nafas tertaur.
3. Suhu tubuh normal.
4. Tidak adanya gangguan rasa percaya diri.
5. Mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan.
6. Cairan dan elektrolit tubuh seimbang.
7. Tidak adanya konstipasi.
8. Nutrisi terpenuhi.

49
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes M. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan "Pedoman untuk perencanaan


Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
Hudak & Gallo, 1987, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (terjemahan ),
Edisi VI, Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Linda Juall Carpenito, 1995, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. EGC,
Jakarta.
Sylvia A. Price, 1995. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4.
Buku 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Anonim. http://www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc
(02 februari 2012)

EPILEPSI
50
I. DEFINISI
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnosa ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).

II. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
  Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
 

51
III. KLASIFIKASI
 Berdasarkan penyebabnya
1. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
2. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
-   Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
-  Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
-   Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
-   Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
-   Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
-        Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
-        Visual : terlihat cahaya
-        Auditoris : terdengar sesuatu
-        Olfaktoris : terhidu sesuatu
-        Gustatoris : terkecap sesuatu
-        Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
-        Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
-        Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-        Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-        Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-        Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
-        Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
 

2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


52
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
-        Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
-        Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
 
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan
kesadaran.
-        Hanya dengan penurunan kesadaran
-        Dengan automatisme
 
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.

Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
53
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.

IV.  TANDA DAN GEJALA


a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
b. Kelainan gambaran EEG
c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-
bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya)
e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa
yang tidak normal seperti pada keadaan normal
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus
tersebut lewat
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
k. Gigi geliginya terkancing
l. Hitam bola matanya berputar- putar
m. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
 

V. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron.
54
Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat
yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
i. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
ii. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
iii. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
iv. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan

55
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
 
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

VII. PENATALAKSANAAN
Manajemen Epilepsi :
a. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b. Melakukan terapi simtomatik
c. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
 
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
56
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg
biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada
saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.

 2. Setelah Kejang


a. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
c. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat.
g. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut
h. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
 
VIII.  ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
1) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
2) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
57
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila
diajak bicara.
3) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
4) Riwayat penyakit dahulu:
 Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
 Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
 Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
 Tumor Otak
 Kelainan pembuluh darah
 demam,
 stroke
 gangguan tidur
 penggunaan obat
 hiperventilasi
 stress emosional
5) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat
dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
6) Riwayat psikososial
 Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
 Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
7) Pemeriksaan fisik (ROS)
 B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
 B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
 B3 (brain): penurunan kesadaran
 B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
 B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
 B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang

Diagnosa dan Intervensi


1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan :

58
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Intervensi
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Pantau status neurologis setiap 8 jam
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien
saat terjadi kejang
Pasang penghalang tempat tidur pasien
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman,
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama
pasien kejang
 
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan :
jalan nafas menjadi efektif

Intervensi
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu
atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar

59
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
 
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
Mengurangi rendah diri pasien
Intervensi
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi
sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi
dan sebagainya.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi
tidak menular

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih

60
Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa
Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor
edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.
Ashari, Irwan. Kasus Gangguan Neurologi.
http://www.irwanashari.com/391/kasus-gangguan-neurologi.html. (11
Februari 2012)

MENINGITIS

I. DEFINISI
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak
dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur
(Smeltzer, 2001).
61
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan
oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok,
Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal
dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Rita, 2001).

II. ETIOLOGI
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan
wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan

III. KLASIFIKASI
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

IV. TANDA DAN GEJALA


Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :

62
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut
dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah
satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata

V. PATOFISIOLOGI
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian
atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah
saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan
dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang
di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
63
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak),
edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps
sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel
dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip
terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya
negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi
bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah
pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.

VII. PENATALAKSANAAN
A.  Penatalaksanaan Umum
a. Pasien diisolasi
b. Pasien diistirahatkan / bad rest
c. Kontrol hipetermia dengan kompres, pemberian antipiretik seperti
parasetamol, asam salisilat. Kontrol kejang: diazepam atau fenobarbital.
d. Kontrol peningkatan tekanan intrakranial: Manitol, kortikosteroid
e. Pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi.
B.  Pemberian Antibiotik
64
Antibiotik diberikan 10-14 hari atau sedikitnya 7 hari bebas panas. Antibiotik
yang umum diberikan adalah Penicillin G, Ampicillin, Gentamysin, kloromfenikol
dan sefalosporin.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a) Biodata klien
b) Riwayat kesehatan yang lalu
(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c) Riwayat kesehatan sekarang
(1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan,
gerakan involunter.
(2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda
: tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat,
taikardi, disritmia.
(3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
(4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia,
muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
(5) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
(6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia,
ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai
kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan
memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal,
hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas
nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek
kremastetik hilang pada laki-laki.
(7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah,
menangis.
(8) Pernafasan
65
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja
pernafasan.

2. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata
hematogen dari patogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan
dengan edema serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal,
kelemahan umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata
hematogen dari patogen.
Mandiri
 Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
 Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
 Pantau suhu secara teratur
 Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus
menerus
 Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan
nfas dalam
 Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
 Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol,
gentamisin.
b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
 Tirah baring dengan posisi kepala datar.
 Pantau status neurologis.
 Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
 Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan
dan haluaran.
 Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
66
Kolaborasi.
 Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
 Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
 Pantau BGA.
 Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen
c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal,
kelemahan umum vertigo.
Mandiri
 Pantau adanya kejang
 Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan
nafas buatan
 Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin,
diaepam, venobarbital.

d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.


Mandiri.
 Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan
posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak
aktif atau pasif dan masage otot leher.
 Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
 Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
 Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul
Kolaborasi
 Berikan anal getik, asetaminofen, codein

e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.


 Kaji derajat imobilisasi pasien.
 Bantu latihan rentang gerak.
 Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
 Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau
air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
 Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
 Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan,
sensorik dan proses pikir.
 Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
 Observasi respons perilaku.
 Hilangkan suara bising yang berlebihan.
 Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
67
 Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
 Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
 Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
 Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan
prosedur.
 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
 Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta
petunjuk sumber penyokong.
Evaluasi
Hasil yang diharapkan
1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi
endogen atau keterlibatan orang lain.
2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi
motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan
mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan
kekuatan.
6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan
keakuratan pengetahuan tentang situasi.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih
Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa
Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.(1996). Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada


University Press.

Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor
edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.
68
Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis,
And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan; 1996.

SPACE OCCUPYING LESSION ( SOL )

I. DEFINISI
SOL merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang
intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ; 130 )
Dalam Laporan Pendahuluan ( LP ) ini, penulis batasi pada Tumor Otak
Adapun definisi Tumor Otak adalah proses pertumbuhan termasuk benigna dan
maligna yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang (Bullock, 1996 ).

II. ETIOLOGI
Faktor Resiko, tumor otak dapat terjadi pada setiap kelompok Ras,
insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia terutama pada dekade
69
kelima, keenam dan ketujuh. Faktor resiko akan meningkat pada orang yang
terpajan zat kimia tertentu (Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas), namun
hal tersebut belum bisa dipastikan.Pengaruh genetik berperan serta dalam
tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.

III. KLASIFIKASI
Berdasarkan jenis tumor dapat dibagi menjadi :
a. Jinak
Acoustic neuroma
Meningioma
Pituitary adenoma
Astrocytoma ( grade I )
b. Malignant
Astrocytoma ( grade 2,3,4 )
Oligodendroglioma
Apendymoma
Berdasarkan lokasi tumor dapat dibagi menjadi :
a. Tumor intradural
Ekstramedular
Cleurofibroma
Meningioma intramedural
Apendimoma
Astrocytoma
Oligodendroglioma
Hemangioblastoma
b. Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer.

IV. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala peningkatan TIK :
 Sakit kepala
 Muntah
 Papiledema
Gejala terlokalisasi ( spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena ) :
a. Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak
pada satu sisi tubuh ( kejang jacksonian )

70
b. Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral ( hilang
Penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang
berlawanan dengan tumor ) dan halusinasi penglihatan
c. Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan
dengan kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot otot tidak
terkoordinasi dan nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak
disengaja )
d. Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadia, perubahan status
emosional dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental., pasien
sering menjadi ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat diri
e. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli
(gangguan saraf kedelapan ), kesemutan dan rasa gatal pada wajah
dan lidah ( saraf kelima ), kelemahan atau paralisis ( saraf kranial
keketujuh ), abnormalitas fungsi motorik.
f. Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.

V. PATOFISIOLOGI
Pada fase awal, abses otak ditandai dengan edema local, hyperemia,
infiltrasi leukosit / melunaknya parenkim trombosis sepsis dan edema, beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses uque fraction atau dinding kista
berisi pus. Kemudian rupture maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa
timbul meningitis ( long, 1996 : 193 ).
Terjadi proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal secara sangat cepat
pada daerah central nervus ( CNS ). Sel ini akan terus berkembang mendesak
jaringan otak yang sehat disekitarnya mengakibatkan terjadi gangguan neurologis
( Gangguan Fokal Akibat Tumor Dan Peningkatan TIK ).
Tumor – tumor otak primer menunjukkan kira – kira 20 % dari penyebab
semua kematian kanker. Tumor – tumor otak jarang bermetastase ke otak,
biasanya dari paru – paru, payudara, cairan glastrointestinal bagian bawah,
pankreas, ginjal, dan kulit ( melanoma ).
Insiden tertinggi pada tumor otak dewasa terjadi pada dekade ke 5, 6, 7
dengan tingginya insiden pada pria usia dewasa tumor otak banyak dimulai dari
sel gelia ( sel untuk mebuat struktur dan mendukung sistem otak dan medula
spinalis ) dan merupakan supratentorial ( Terletak Diatas Penutup Cerebellum )
jelasnya neoplastik dalam palastik menyebabkan kematian yang mengganggu
fungsi vital, seperti pernafasan atau adanya peningkatan TIK.

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan edema serebral


71
Aktivitas kejang dan tanda – tanda neurologis fokal

Hidrosefalus

Gangguan fungsi hipofisis

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. CT Scan ; memberi informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran,
kepadatan, jejas tumor dan meluasnya odema cerebral serta memberi
informasi tentang sistem vaskuler
2. MRI ; membantu dalam mendeteksi tumor didalam batang otakdan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang
menggunakan CT Scan
3. Biopsi Stereotaktik ; dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam
dan untuk memberi dasar pengobatan serta informasi prognosis.
4. Angiografi ; memberi gambaran pembuluh darahserebral dan letak tumor
5. Elektro ensefalografi ; mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah
yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi
lobus temporal pada waktu kejang ( Doenges, 2000 )

VII. PENATALAKSANAAN
 Diureik
 Neuroprotektor
 Elektrolit dan cairan
 Hiperventilasi
 Pembedahan stereotaktik

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
 Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat,
golongan darah, penghasilan
 Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu,
riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis
TB dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul

72
 Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang
keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat,
adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas,
keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
 Sirkulasi, gejala : nyeri kepala pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan
pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
 Integritas Ego, Gejal : faktor stres, perubahan tingkah laku atau
kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
 Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
 makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami
perubahan selera. Tanda : muntah ( mungkin proyektil ), gangguan menelan
( batuk, air liur keluar, disfagia )
 Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan
penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti,
kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak
seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi,
kejang, sensitiv terhadap gerakan
 Nyeri / Kenyamanan, Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda
dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
 Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea,
potensial obstruksi.
 Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
 Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
 Keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen,
pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
 Seksualitas, gejala: masalah pada seksual (dampak pada hubungan,
perubahan tingkat kepuasan)
 Interaksi sosial : ketidakadekuatan sitem pendukung, riwayat perkawinan
(kepuasan rumah tangga, dukungan), fungsi peran.
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
dibuktikan dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubaan
respon motorik / sensori, gelisah dan perubahan tanda vital
73
Tujuan : Pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran , perbaiakan kognisi,
fungsi motorik / sensorik, TTV stabil, tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi :
a. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
b. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nila
standar ( GCS )
c. Pantau TTV
d. Kaji perubahan penglihatan dan keadan pupil
e. Kaji adanya reflek ( menelan, batuk, babinski )
f. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Auskultasi suara napas, perhatikan adananya hipoventilasi, dan suara
tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
a. Pantau analisa gas darah
b. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
c. Berikan oksigenasi

Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan neurovaskuler,


kerusakan kognitif.
Tujuan : pasien dapat, dipertahanakan pola nafas efektif, bebas sianosis,
dengan GDA dalam batas normal
Intervensi :
a. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai atuiran / posisi miringsesuai indikasi
c. Anjurkan utuk bernapas dalam, jika pasien sadar
d. Lakukan penghisapan lendir dengan hati hati jangan lebih dari 10 – 15
detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan sekret
e. Pantau pengguanaan obat obatan depresan seperti sedatif
Kolaborasi:
a. Berikan O2 sesuai indikasi
b. Lakaukan fisioterapi dada jika ada indikasi
Nyeri ( akut ) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh SOL,
peningkatan TIK, ditandai dengan : menyetakan nyeri oleh karena perubahan
posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah condong keposisi
sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas, penyempitan fokus pad dirisendiri,
wajah menahan nyeri, perubahna pla tidur, menarik diri secara fisik
Tujuan : pasien melaporkannyeri berkurang, menunjukan perilaku untuk
mengurangi kekambuhan atau nyeri .
Intervensi :
74
a. kaji keluhan nyeri
b. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah,
menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung,
pernapasan dan tekanan darah.
c. Anjurkan untuk istirahat denn tenang
d. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai
kebutuhan
e. Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien dapat
toleransi terhadap sentuhan
f. Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya sembuh “
atau “ saya suka hidup ini “
Kolaborasi :
a. Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
b. Berikan antiemetiksesuai indikasi
Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan atau
integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai denagg disorientasi,
perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan pola
komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu, konsentrasi buruk,
perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan, perubahan pola perilaku
Tujuan : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan fuingsi
persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya
keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
a. Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara, afektif,
sensoris dan proses pikir
b. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda
tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan letak tubuh,
perhatkian adanya masalah penglihatan
c. Observasi repon perilaku
d. Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
e. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil,
pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
a. pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
b. konsultasi dengan ahli fisioterapi / okupasi
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d peningkatan TIK, konsekuensi
kemoterapi, radiasi, pembedahan, ( anoreksia, iritasi, penyimpangan rasa mual)
dibuktikan oleh : keluhan masukan makan tidak adekuat, kehilangan sensai
pengecapan, kehilangan minat makan, ketidakmampuan untk mencerna yang
75
dirasakan / aktual, berat badan 20 % atau lebih dibawah badan ideal untuk
tinggi dan bentuk tubuh, penurunan penumpukn lemak / masa otot, sariawab,
rongga mulut terinflamasi, diare,konstipasi, kram abdomen.
Krieteria evaluasi : pasien dapat mendemonstrasikan berat badan stabil,
mengungkapkan pemasukan adekuat, berpartisipasi dalam intervensi spesifik
untuk merangsang nafsu makan
Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
b. Ukur BB setiap hari sesui indikasi
c. Dorong pasien untuk makandiit tinggi kalori kaya nutrien sesui program
d. Kontrol faktor lingkungan ( bau, bising ) hindari makanan terlalu manis,
berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
e. Identifikasipasien yang mengalami mual / muntah
Kolaborasi :
f. Pemberian anti emetik dengan jadwal reguiler
g. Vitamin A, D, E dan B6
h. Rujuk kepada ahli diit
i. Pasang / pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah.
EGC, Jakarta
Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius
function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 ,
EGC, jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan ,
ed 6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik
proses- proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta

76
GBS (GUILLAIN BARRE SINDROME)

I. DEFINISI
Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan
penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses
imunologik.

II. ETIOLOGI
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit
autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului
dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum
diketahui, diduga oleh karena :
1. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya
2. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B,
Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf,
coxakie)
3. Vaksin : rabies, swine flu
4. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa,
Brucellosis, campylobacter jejuni
5. Keganasan : Hodgkin’s disease, carcinoma, lymphoma

77
III. KLASIFIKASI
Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS
dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain. Guillain Bare syndrome
termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya
berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu:
1. Guillain barre syndrome (GBS)
Fase progresif sampai 4 minggu
2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP)
Fase progresif dari 4-8 minggu
3. • Gejala klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
• Neurofisiologi : demyelinisasi
• Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
• Fase progresif > 12 minggu
• Dibagi dalam 2 bentuk
a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)

IV. TANDA DAN GEJALA


Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala
awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan
gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus
GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS
yang lebih berat.
2. Fase plateau.  Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita
umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai.
78
3. Fase penyembuhan Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama
pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan
dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri,
yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.

V. PATOFISIOLOGI

79
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Cairan serebrospinal (CSS) 
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS
normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat
tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2.      Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal)
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90%
kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG
menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya
aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan
yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih
dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3.      Pemeriksaan darah 
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala.
4.      Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat

80
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari
10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat
infeksi CMV ataupun EBV.
5.      Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang
T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS
kadang dijumpai, namun tidak sering.
6.      Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending)
7.      Pemeriksaan patologi anatomi
umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung,
dan organ lainnya.

VII. PENATALAKSANAAN
 Pemeliharaan sistem pernapasan
 Mencegah kontraktur
 Pemeliharaan ROM
 Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
 Re-edukasi otot
 Dilakukan sedini mungkin
 Deep breathing Exercise
 Mobilisasi ROM
 Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
 Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
 Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah
kontraktur
 Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
 Edukasi terhadap keluarga

81
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
- Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
- Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
- Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi /
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
a. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya
kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis
(kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus
turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.

Rencana keperawatan
Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek
menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak
terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau
SpO2 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
82
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA

Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan
infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan
penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
83
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
• Sonde pediasuer 6 X 50 cc
• Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis

Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan
yang lama
Tujuan :
- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan
yang akan dilakukan
Tindakan :
- HE tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
- HE tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan
dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan
dilakukan oleh petugas

84
DAFTAR PUSTAKA

Doengos. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. EGC: Jakarta
Long . BC. 1996. Perawatan Medical Bedah. VI APK : Bandung
Underwood. L.C.E. 1999. Patologi Umum dan sistemik. EGC: Jakarta
Wong. DC. 2003. Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. EGC : Jakarta.

85
SAKIT KEPALA (HEADACHE)

I. DEFINISI
Nyeri kepala (headache atau chepalgia) merupakan keluhan yang sangat umum pada
pasien. Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama pada
manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat
menunjukkan penyakit organik (neurologi atau penyakit lain), respon stress,
vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang) atau kombinasi
respon tersebut. Karena nyeri kepala sering menyertai pada penyakit-penyakit
lainnya, terkadang pasien mengobati sendiri nyeri kepalanya, padahal banyak nyeri
kepala yang disebabkan karena penyakit serius seperti infeksi dan tumor intracranial,
meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia serebral, atau penyakit kronis dan
akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri kepala terjadi ketika area sensitif
pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di
daerah distribusi syaraf yang bersangkutan. Area-area tersebut diantaranya kulit
kepala, periosteum, syaraf kranial V, IX, X, daerah meningen (Tarwono, 2007).

II. ETIOLOGI
        a. Migren
Faktor-faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya migren:
1. Perubahan hormone. Estrogen dan progesterone merupakan hormone utama
yang berkaitan dengan serangan migren, baik pada saat maupun di luar
periode menstruasi. Penurunan konsentrasi estrogen dan progesteron pada
fase luteal siklus menstruasi merupakan saat terjadinya serangan migren.
Nyeri kepala migrain dipicu oleh turunnya kadar 17-b estradiol plasma saat
akan haid. Serangan migrain berkurang selama kehamilan karena kadar
estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minngu pertama post
partum, 40% pasien mengalami serangan yang hebat, karena turunnya kadar
estradiol. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan serangan migrain.

86
2. Makanan. Makanan yang sering menyebabkan nyeri kepala pada beberapa
orang antara lain: makanan yang bersifat vasodilator (histamin, contoh:
anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor (tiramin, contoh: keju;
feniletilamin, contoh: coklat; kafein), dan zat tambahan pada makanan
(natrium nitrit, monosodiaum glutamat/MSG, dan aspartam).
3. Stres
4. Rangsangan sensorik.
 Sinar yang terang dan sinar yang menyilaukan.
 Bau menyengat, termasuk bau yang tidak menyenangkan seperti tinner dan
asap rokok.
5. Faktor fisik.
 Kegiatan fisi yang berlebihan termasuk aktivitas seksual.
 Perubahan pola tidur, termasuk terlalu banyak tidur atau terlalu sedikit tidur,
dan gangguan saat tidur.
6. Perubahan lingkungan. Seperti: cuaca, musim, tingkat dataran tinggi, tekanan
barometer, atau zona waktu.
7. Alkohol.
8. Merokok.
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
1. Peristiwa stres tertentu
Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus sekitar
87%, exacerbasi maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi
life time depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi
dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya.
2. depresi
3. kecemasan
4. kurang tidur atau perubahan pola tidur rutin
Jadwal tidur yang berubah juga bisa membuat sakit kepala, misalnya tidur
terlambat. Sebisa mungkin tidur teratur.
5. tidak makan
Hindari makan atau minum sesuatu yang sensitif, khususnya sebelum
melakukan kegiatan fisik. Rasa lapar juga bisa membuat kita sakit kepala.
Pasalnya, pembuluh darah akan melebar setiap kali kadar gula darah turun.
Jadi, sebisa mungkin makan secara teratur.
6. Posisi tubuh yang salah saat tidur
Sakit kepala karena tegang. Gejalanya diawali dengan ketegangan di otot
leher, bahu, dan tengkorak akibat tekanan emosional. Sakitnya selalu berawal
dari kepala belakang, merambat ke depan, lalu ke kedua sisi kepala.
7. Bekerja dalam posisi yang tidak enak
87
Leher tegang akibat bekerja sambil duduk yang terlalu lama, misalnya
mengetik dengan komputer.
8. kurangnya aktifitas fisik
9. kegiatan fisik yang intens, termasuk aktifitas seksual, perubahan hormonal
yang berhubungan dengan menstruasi, kehamilan, atau penggunaan hormon,
10. penggunaan obat untuk sakit kepala yang berlebihan.

c. Cluster
Penyebab pasti sakit kepala cluster tidak diketahui, tetapi ketidak normalan pada
hypothalamus sepertinya berperan. Serangan cluster terjadi seperti rutinitas harian,
dan siklus periode cluster sering mengikuti musim dalam setahun. Pola ini
menunjukkan pola jam biologis tubuh terlibat. Pada manusia, jam biologis tubuh
terdapat pada hypothalamus, yang berada di dalam pada tengah otak.
Ketidaknormalan hypothalamus menerangkan waktu dan siklus alami sakit kepala
cluster. Penelitian mendeteksi peningkatan aktifitas pada hypothalamus menajdi
sumber sakit kepala cluster. Faktor lain yang mungkin juga terlibat adalah:
 Hormon
Orang dengan sakit kepala cluster memiliki ketidaknormalan tingkat hormon
tertentu, seperti melatonin dan cortisol, terjadi saat periode cluster.
 Neurotransmitter
Berubahnya tingkat beberapa reaksi kimia yang membawa impuls syaraf pada otak
(neurotransmitter), seperti serotonin, mungkin memiliki peran dalam tumbuhnya
sakit kepala cluster.
Tidak seperti migrain atau sakit kepala karena ketegangan, sakit kepala cluster
umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan hormon atau
stress. Tapi sekali periode cluster mulai, mengkonsumsi alkohol dapat dengan cepat
memicu pecahnya sakit kepala karena alkohol adalah pemicu tercepat terjadinya
sakit kepala selama periode klaster dan juga dapat memiliki efek bahkan sebelum
minuman pertama selesai. Untuk alasan ini, banyak orang dengan sakit kepala cluster
menghindari alkohol pada saat durasi periode cluster. Pemicu lain yang mungkin
juga termasuk adalah penggunaan obat medis, seperti nitroglycerin, obat yang
digunakan untuk penyakit jantung.

III. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari  International
Headache Society (IHS) yang terbaru tahun 2004, nyeri kepala Primer terdiri atas
Migraine, Tension type Headache, Cluster Headache dan other trigeminal-autonomic
cephalalgias dari Other Primary.
2.  Pembagian klinis nyeri kepala (Anthony, 1988)
88
A. Sakit kepala akut
• Intrakranial
– Meningitis / ensefaliti
– Perdarahan subaraknoid
– Hematoma subdural
– Tumor intrakranial
• Ekstrakranial
– Migren
– Sakit kepala tandan (cluster)
– Sakit kepala post trauma
– Glaucoma
– Neuritis optika
– Insufisiensiserebro-vaskuler
3. Pembagian nyeri kepala, neuralgia cranial dan nyeri fasial (Oleson,1988).
a) Migrain
b) Ketegangan-jenis sakit kepala
c) sindrom sakit kepala Cluster
d) Sakit kepala yang berhubungan dengan trauma kepala
e) gangguan Vascular
f) Sakit kepala yang berhubungan dengan nonvascular intrakranial gangguan
g) Sakit kepala yang berhubungan dengan zat atau mereka
penarikan
Dalam hal ini yang dibahas hanya sebatas migren, tension, dan cluster

a. Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala
berulang dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyer biasanya
sesisi (unilateral), sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat,
diperhebat oleh aktivitas dan dapat disertai mual dan atau muntah dan
perubahan  visual. Fotopobia, dan fonofobia.
Secara umum migren dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Migren tanpa aura (migren umum), pada migren yang jenis ini tidak
ditemukan aura, tetepi dapat ditemukan adanya gejala prodromal.
2. Migren dengan aura (migren klasik), pada migren jenis ini nyeri kepala
didahului oleh adanya gejala neurology fokal yang berlangsung sementara
atau disebut juga aura. Aura dapat berupa gangguan visual, hemisensorik,
hemiparesis atau disfasia, ataupun kombinasi dari semua gangguan tadi
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang,seperti di tekan atau di ikat)

89
Tension-type headache adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi leher
atau rasa tidak nyaman di kepala, kulit kepala, atau leher yang biasanya
berhubungan dengan ketegangan otot di daerah ini.
Tension type headache dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Episodic Tension-type Headache
Sekurang-kurangnya terdapat 10 serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria di
bawah ini dan dengan jumlah hari nyeri kepala <15 hari/bulan. Nyeri kepala
berlangsung antara 30 menit hingga 7 hari. Sekurang-kurangnya terdapat 2
karakteristik nyeri di bawah ini:
 Terasa seperti ditekan atau diikat namun tidak berdenyut.
 Intensitasnya ringan ataupun sedang (dapat menganggu aktivitas tetapi tidak
menghalangi aktivitas).
 Lokalisasinya bilateral.
 Tidak bertambah berat saat naik tangga ataupun aktivitas fisik yang rutin
dilakukan.
 Tidak ada mual ataupun muntah.
 Fotopobia dan fonofobia tidak ada atau hanya salah satu.
 Tidak ada nyeri kepala akibat sebab lain.
2.Chronic Tension-type Headache          
     Frekuensi dan rata-rata nyeri kepala > 15 hari/bulan dan berlangsung > 6 bulan
serta memenuhi kriteria diatas.
3. Cluster
Nyeri kepala cluster merupakan nyeri kepala vaskuler, dikenal dengan
istilah nyeri kepala Harton,nyeri kepala histamine, migren merah. Nyeri kepala
ini dirasakan sesisi seperti ditusuk-tusuk pada separuh kepala, pada area bola
mata, pipi, hidung, langit-langit, gusi, dan menjalar ke frontal, temporal, dan
oksipital. Sisi yang terkena konjungtivanya menjadi merah, timbulnya lakrimasi,
ptosis, edema mata, sebelah hidung tersumbat, dan hipersaliva.
            Nyeri kepala ini terjadi pada waktu-waktu tertentu, umumnya pada dini
harri dan biasanya pasien akan terbangun karena nyeri. Serangan ini berlangsung
15 menit sampai 5 jam dan terjadi beberapa kali selama 2-6 minggu. Factor
pencetus nyeri kepala cluster adalah makanan dan minuman yang beralkohol.

IV. TANDA DAN GEJALA


A. Migren
Tanda dan gejala migren bervariasi di antara penderita. Terdapat 4 fase yang umum
terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya tidak harus selalu dialami oleh
penderita. (Wikipedia)
 Fase-fase tersebut antara lain:
90
1. Fase Prodromal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya berupa
perubahan mood, iritabel, depresi atau euforia, perasaan lemah, letih, lesu,
tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (coklat) dan gejala
lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri kepala.
Fase in memberi pertanda kepada penderita atau keluarga bahwa akan terjadi
serangan  migren.
2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului
atau menyertai serangan migren. Fase ini mucul bertahap selama 5-20 menit,
dan bertahan kurang dari 60 menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual,
sensorik, motorik, atau kombinasi dari aura-aura tersebut.
Aura visual muncul pada 64% kasus dan merupakan gejala neurologis yang paling
umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah scintillating scotoma: tampak bintik-
bintik kecil yang banyak, gangguan visual homonim, gangguan salah satu sisi
lapangan pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang bergerak pelan
(fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adnya skotoma ( fenomena
negatif) yang bisa timbul pada salah satu mata atau kedua mata. Kedua fenomena ini
bisa timbul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada migren biasanya hilang
dalam beberapa menit dan kemudian diikuti dengan periode laten sebelum timbul
nyeri kepala. Walaupun ada juga yang melaporkan tanpa periode laten.
1. Fase Nyeri Kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral dan
awalnya berlokasi di daerah frontotemporalis dan okular, kemudian setelah 1-
2 jam menyebar secara difus ke arah posterior. Serangan berlangsung selama
4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak berlangsung pada 1-
48 jam. Intensitas nyeri nerkisar dari sedang sampai berat dan dapat
mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Fase Postdromal. Pasien mungkin merasa lelah, iritabel, konsentrasi
terganggu, dan perubahan mood. Akan tetapi, beberapa orang merasa ‘segar’
atau euforia setelah serangan, sedangkan yang lainnya merasa depresi dan
lemas.
B. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
            Gejala klinis yang dapat ditemukan pada tension-typeheadache adalah:
1. Tidak ada gejala prodnormal atupun aura.
2. Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat.
3. Tumpul, seperti ditekan atau diikat. Tidak berdenyut.
4. Menyeluruh atau difus (tidak hanya pada satu titik atau satu sisi), nyeri lebih
hebat di daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang leher.
5. Terjadi secara spontan.
6. Memburuk atau dicetuskan oleh stres dan kelelahan.
7. Adanya insomnia.
91
8. Iritabilitas.
9. Gangguan konsentrasi.
10.  Kadang-kadang disertai vertigo.
11. Beberapa orang mengeluh rasa tidak nyaman didaerah leher, rahang, dan
temporomandibular.

C. Cluster
Tanda dan gejala kususnya adalah :
1. Sakit yang mengerikan, biasanya terdapat pada atau sekitar mata, tapi dapat
merambat pada area lain di wajah, kepala, leher dan pundak.
2. Sakit pada satu sisi
3. Kegelisahan
4. Keluar air mata secara berlebihan
5. Mata merah sebagai efek samping
6. Lendir atau basah pada lubang hidung sebagai efek samping pada wajah
7. Berkeringat, kulit pucat pada wajah
8. Bengkak di sekitar mata sebagai efek samping pada wajah
9. Ukuran pupil yang mengecil
10. Kelopak mata yang layu

V. PATOFISILOGI
   Menurut  Buku Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Persarafan, patofisiologi headache sebagai berikut:
       a. Migren
Migren headache merupakan gangguan nyeri kepala ditandai  dengan adanya
serangan nyeri  yang berkepanjangan dan tiba-tiba dengan vasokonstriksi yang
diikuti dengan vasodilatasi. Migren headache dapat diawali dengan adanya aura atau
berbagai sensasi prodromal seperti silau, penglihatan ganda dsb dimana ini
merupakan indikasi adanya disfungsi serebral fokal. Berkenaan dengan migren ini
dikatakan bahwa kemungkinan disebabkan oleh ketegangan emosional yang 
berkepanjangan. Ini akan menyebabkan reflek vasospasmus dari beberapa arteri di
kepala termasuk arteri yang mensuplai otak. Vasospasmus akan menyebabkan
sebagian otak menjadi iskemik dan menyebabkan gejala prodromal. Iskemik yang
berkepanjangan menyebabkan dinding vaskular menjadi flasik dan tidak mampu
mempertahankan tonus vaskular. Desakan darah menyebabkan pembuluh darah
berdilatasi dan terjadi peregangan dinding arteri sehingga menyebabkan nyeri atau
migren.
        b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)

92
            Tension headache merupakan nyeri kepala yang pada umumnya disebabkan
oleh ketegangan dan kontraksi otot-otot leher dan kepala. Ini akan menyebabkan
tekanan pada serabut syarafdan konstriksi pembuluh darah pada dasar leher yang
pada gilirannya akan makin menambah tekanan dan menyebabkan buangan sisa
(asam laktat) menumpuk. Akumulasi ini menyebabkan timbulnya nyeri. Ketegangan
otot ini pada umumnya merupakan reaksi yang tidak disadari terhadap stres. Akan
tetapi, aktifitas-aktifitas yang membutuhkan kepala harus bertahan pada satu posisis
dapat menyebabkan nyeri kepala jenis ini, ataupun tidur dengan letak leher yang
tidak benar(tegang)dapat merpakan penyebab tension headache.
 c. Cluster
Focus patofisiologi di arteri karotis intrakavernosus yang merangsang pleksus
perikarotis. Pleksus ini mendapat rangsangan dari cabang 1 dan 2 nervus trigeminus,
ganglia servikalis superior/SCG (simpatetik) dan ganglia sfenopalatinum/SPG
(parasimpatetik). Diperkirakan focus iritatif di dan sekitar pleksus membawa impuls-
impuls ke batang otak dan mengakibatkan rasa nyeri di daerah periorbital,
retroorbital dan dahi.

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


 Deskripsi sakit. Pemeriksa dapat belajar banyak tentang sakit kepala dari
deskripsi pasien akan jenis rasa sakit, termasuk beratnya, lokasi, frekuensi
dan durasi, dan tanda-tanda dan gejala lain yang mungkin ada.
 Tes pencitraan. Jika sakit kepala tidak  biasa atau rumit, dokter mungkin
melakukan tes untuk menyingkirkan penyebab sakit kepala serius, seperti
tumor atau aneurisma. Dua tes yang umum digunakan untuk
menggambarkan otak adalah computerized tomography (CT) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan.
 Sebuah kalender sakit kepala. Salah satu hal yang paling bermanfaat yang
dapat dilakukan adalah memperhatikan kalender sakit kepala. Setiap kali
mendapatkan sakit kepala, tuliskan keterangan tentang rasa sakit, antara
lain seberapa parah, di mana letaknya dan berapa lama berlangsung. Juga
perhatikan semua obat yang diminum. Sebuah kalender sakit kepala dapat
memberikan petunjuk yang berharga yang dapat membantu dokter
mendiagnosis jenis khusus sakit kepala dan menemukan mungkin pemicu
sakit kepala.

VII. PENATALAKSANAAN
       a. Migren
Terdiri dari 2 macam, yaitu:
1. Pengobatan akut/segera (abortif). Jenis obat yang dipakai adalah:
93
 Aspirin dan NSAID dosis tinggi (900 mg) untuk serangan ringan serta
sedang.
 Kombinasi analgesik dan antiemetik, contoh: aspirin dengan metoklopramid
atau parasetamol dengan domperidon untuk serangan ringan sampai sedang.
 Analgesik yang mengandung opiat, contoh: almotriptan, eletriptan,
frovatriptan, naratriptan, sumatriptan, rizatriptan, zolmitriptan yang terdapat
dalam bentuk sediaan oral, semprotan hidung, subkutan, dan rektal
supositoria. Sediaan oral sesuai untuk intensitas nyeri kepala ringan sampai
sedang untuk menjaga absorbsinya. Obat ini harus diberikan dengan dosis
optimal dan sebaiknya diulang setiap 2 jam (untuk naratriptan setiap 4 jam),
sampai nyeri kepala hilang sepenuhnya atau telah mecapai dosis maksimal.
Golongan triptan sebaiknya tidak digunakan dalam 24 jam setelaj pemakaina
triptan jenis lain.
 Dihidroergotamin (DHE) untuk semua jenis serangan.
2. Pengobatan preventif (profilaksis). Macam-macam obat pilihan pertama yang
dianggap efektif dalam pengobatan preventif adalah:
 Penyekat-ß misalnya atenolol, bisoprolol, metoprolol, nadolol, propanolol,
dan timolol.
   Pemakaian penyekat –β dikontraindikasikan pada sinus bradikardi, penyakit paru
obstruktif (asma), dan DM.
 Antagonis serotonin (5-HT2), misalnya: metisergid dan siproheptadin.
 Antidepresan trisiklik, misalnya amitriptilin.
 Penyekat-Ca, misalnya: flunarisin dan verapramil
   Meningkatkan ambang rangsang nyeri .
 Antikomvulsan, misalnya:Na valproat dan topiramat.

       b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)


Terapi Non-farmakologi
 melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya 20 sampai 30
menit
 perubahan posisi tidur
 pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang lain
 Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah :
 Pencahayaan yang tepat untuk membaca, bekerja, menggunakan komputer,
atau saat menonton televisi
 Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising
 Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari   
Terapi farmakologi

94
 Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat nyeri.
Contoh : Obat-obat OTC seperti aspirin, acetaminophen, ibuprofen atau
naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein dapat meningkatkan efek
analgesik
 Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti mengenai
penyebabnya, misalnya karena anxietas atau depresi pilihan obatnya adalah
antidepresan, seperti amitriptilin atau antidepresan lainnya. Hindari
penggunaan analgesik secara kronis
 memicu rebound headache
c. Cluster
Sasaran terapi : menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah serangan
(profilaksis)
Strategi terapi : menggunakan obat NSAID, vasokonstriktor cerebral
Obat-obat terapi abortif:
 Oksigen
 Ergotamin
 Dosis sama dengan dosis untuk migrain
 Sumatriptan
Obat-obat untuk terapi profilaksis:
 Verapamil
 Litium
 Ergotamin
 Metisergid
 Kortikosteroid
 Topiramat

Terapi Nonfarmakologi headache:


1. Terapi Akupuntur
Penggunaan akupuntur dilakukan di titik-titik yang direkomendasikan
menggunakan 10 sampai 12 jarum, 30 menit per minggu, selama 10 hingga 12
minggu.
2. Latihan fisik
Latihan fisik mengurangi intensitas dan bahkan membebaskan sakit kepala
sebagian pasien hingga enam bulan. Selain itu juga bisa dilakukan latihan
olahraga yang mengarah pada otot-otot bahu dan leher, masing-masing selama
100 kali, dan ditambah pula dengan mengayuh sepeda ergonomik serta
peregangan.

3. Latihan relaksasi
95
Latihan relaksasi mencakup latihan pernapasan, teknik mengendalikan
stres, serta bagaimana bersikap rileks selama beraktivitas dan dalam menjalani
hidup sehari-hari.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
KELUHAN UTAMA:
Nyeri kepala
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
     Nyeri kepala bisa berkepanjangan ataupun hilang timbul yang dating tiba-tiba.
Keluhan pasien tentang nyeri sangat berperan dalam menentukan diagnose medis dan
penatalaksanaan
 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:
Pasien pernah mengalami serangan nyeri kepala namun mungkin tidak separah saat
dating membutuhkan pertolongan petugas kesehatan. 
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Dalam satu keluarga bias saja ada yang menderita sakit kepala yang sama. 
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital:
Suhu, Nadi, RR, Tensi
Keadaran: Compos Mentis
B1 (breathing)     : Normal
B2 (blood)           : Normal
B3 (brain)            : Nilai GCS, kesadaran, dan fungsi saraf-saraf kranial.
B4 (bladder)        : Normal
B5 (bowel)           : porsi makan kemungkinan menurun disebabkan pasien terfokus
dengan nyeri kepalanya
B6 (bone)             : kelemahan otot dan malaise
Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa         : Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala
No Intervensi
1 Pantau dan catat tanda-tanda awal nyeri kepala, penurunan, lokasi,
lamanya, dan tanda-tanda lainnya
2 Anjurkan pasien untuk mencatat perkembangan tingkat nyeri
3 Anjurkan pada klien untuk mengurangi aktivitas yang berat dan
menambah waktu istirahat
4 Massage kepala dan leher
5 Kompres hangat atau dingin pada daerah kepala
6 Kolaborasi pemberian obat:
aspirin dengan metoklopramid
Tujuan             : Rasa nyeri berkurang
96
Kriteria hasil   : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau tidak merasa
  Ekspresi wajah pasien tidak nampak kesakitan skala nyeri = 0
TTV (Nadi 60-100 x/menit, RR 16-20x/menit)
 
2. Diagnosa : Tidak efektifnya koping individu berhubungan dengan nyeri   dan
perubahan gaya hidup
Tujuan             :  Koping individu menjadi efektif
Kriteria hasil    :
Pasien menyatakan mengerti cara mengatasi nyeri kepala yang benar
Perubahan perilaku pasien kearah positif
Pasien mengatakan lebih nyaman

No Intervensi
1 Observasi perilaku pasien dan perubahan yang terjadi saat nyeri
2 Pantau mekanisme koping pasien saat terjadi serangan
3 Dorong pasien untuk mengekspresikan masalah yang dihadapi sekarang
seperti rasa takut
4 Berikan support dan berikan informasi yang realistik
 
3. Diagnosis        : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan suplai  
O2 di seluruh tubuh
Tujuan             : Toleransi aktifitas
Kriteria hasil    : Kelemahan berkurang
                          Toleransi terhadap aktifitas meningkat
                          Mampu beraktifitas secara mandiri
 No Intervensi
1 Rancang jadwal harian pasien
2 Tingkatkan aktifitas secara bertahap dengan periode istirahat diantara dua
aktifitas misalnya duduk dulu sebelum berjalan setelah tidur
3 Observasi respon individu terhadap aktivitas
4 Bantu aktivitas dan motivasi klien untuk melakukan aktivitas sesuai
kemampuan

97
DAFTAR PUSTAKA

           Wartonah,Tarwono.2007.Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


SistemPersyarafan.Jakarta: Sagung Seto
            Dewanto,George.2007.Panduan Praktik Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Syaraf.Jakarta: ECG
           Anonim.http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Ilmu%20Penyakit
%20Saraf/Chepalgia%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf (09 Des 2010,
19:30)
           Anonim.http://www.jawaban.com/index.php/money/detail/id/67/news/
090328230810/limit/0/  (09 Des 2010, 20:15)
           Anonim. http://www.scumdoctor.com/Indonesian/pain/headache/cluster-
headaches/Home-Remedies-For-Cluster-Headaches.html. (06 Des 2010,11:10)
            Anonim. http://traditionalmedicine.m-user.biz/?p=177#more-177. (09 Des
2010,21.00)

98

Anda mungkin juga menyukai