I. DEFINISI
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan
fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri
(Smeltzer & Bare, 2001).
Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di
mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini
mungkin terjadi sebagai akibat akhir dari gangguan jantung, pembuluh
darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam darah yang
mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada
erbagai organ (Ni Luh Gede Yasmin, 1993).
II. ETIOLOGI
1. Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada penderita
kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.
Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung
mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner, mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan
asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi Sistemik atau pulmonal (peningkatan after load)
meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
1
5. Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi
darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis
AV), peningkatan mendadak after load
6. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik
atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan
kontraktilitas jantung.
III. KLASIFIKASI
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi
dalam 4 kelainan fungsional :
DCFC I : Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
DCFC II : Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
DCFC III : Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
DCFC III : Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan /
istirahat
(DCFC : Decompentatio Cordis Functional Class)
2
4. karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia
yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
5. Kegelisahan atau kecemasan, Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi
jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung
tidak berfungsi dengan baik
V. PATOFISIOLOGI
Beban jantung
3
- Foto torax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema
atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
- Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan
kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari
adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah
- ECG menunjukan: adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dari
iskemi, gelombang T inversi atau hilang yang merupakan tanda dari
injuri, dan gelombang Q yang mencerminkan adanya nekrosis.
- Enzym dan isoenzym pada jantung: CK-MB meningkat dalam 4-12
jam, dan mencapai puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-
12 jam dan mencapai puncak pada 36 jam.
- Elektrolit: ketidakseimbangan yang memungkinkan terjadinya
penurunan konduksi jantung dan kontraktilitas jantung seperti hipo
atau hiperkalemia.
- Whole blood cell: leukositosis mungkin timbul pada keesokan hari
setelah serangan.
- Analisa gas darah: Menunjukan terjadinya hipoksia atau proses
penyakit paru yang kronis atau akut.
- Kolesterol atau trigliseid: mungkin mengalami peningkatan yang
mengakibatkan terjadinya arteriosklerosis.
- Echocardiogram: Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan
fungsi atau kapasitas masing-masing ruang pada jantung.
- Exercise stress test: Menunjukan kemampuan jantung beradaptasi
terhadap suatu stress/ aktivitas.
VII. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Non Farmakologis
1. Istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2. Oksigenasi
3. Dukungan diit : pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol atau
menghilangkan oedema.
4. Posisi: Tempat tidur harus dinaikan 20-30 cm, pada posisi ini aliran
balik vena ke jantung (preload) dan paru berkurang, kongesti paru
berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma menjadi minimal.
b. Terapi Farmakologis :
1. Glikosida jantung
4
2. Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasillkan: peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan
diuresis dan mengurangi oedema.
3. Terapi diuretic, diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui
ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan
hipokalemia
4. Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi
impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini
memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena
sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
5
Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB signifikan.
Pembengkakan ekstremitas bawah, diit tinggi garam penggunaan
diuretic distensi abdomen, oedema umum, dll
Hygiene : Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang.
Neurosensori
Kelemahan, pusing, lethargi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah
Interaksi social : penurunan aktifitas yang biasa dilakukan
6
- Kapiler refill lebih dari 3 detik
- Gambaran foto toraks terdapat pembesaran jantung dan kongestif paru
- HR lebih dari 100X/menit, TD 120/80 mmHg, AGD dengan : pa O2
80 mmHg, pa CO2 45 mmHg dan saturasi 80 mmHg.
- Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL
Tujuan :
Gangguan perfusi jaringan berkurang atau tidak meluas selama dilakukan
tindakan perawatan
Intervensi :
- Monitor frekuensi dan irama jantung
- Observasi perubahan status mental
- Observasi warna dan suhu kulit/membran mukosa
- Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
- Kolaborasi : berikan cairan IV sesuai indikasi
- Pantau pemeriksaan diagnostik dan lab. Missal EKG, elektrolit, GDA
(pa O2, pa CO2 dan saturasi O2), dan pemeriksaan oksigen
7
Intervensi :
- Ukur masukan/haluaran, catat penurunan, pengeluaran, sifat
konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
- Observasi adanya oedema dependen
- Timbang BB tiap hari
- Pertahankan masukan cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler
- Kolaborasi : pemberian diit rendah natrium, berikan diuretic
- Kaji JVP setelah terapi diuretic
- Pantau CVP dan tekanan darah
8
- Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh
bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1
jam setelah makan
9
DAFTAR PUSTAKA
10
SINDROM DISPEPSIA
I. DEFINISI
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk
dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000 hal : 488).
Merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual,
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa.
Dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di
sekitar garis tengah abdomen, tidak termasuk hipokondrium kiri ataupun
kanan. Familiar di masyarakat dengan istilah maag.
II. ETIOLOGI
Perubahan pola makan
Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam
waktu yang lama
Alkohol dan nikotin rokok
Stres
Tumor atau kanker saluran pencernaan
11
III. KLASIFIKASI
a) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Penyebab organik yang jelas menimbulkan gejala. Bila
penyebab teratasi, maka gejala itu hilang.
Dispepsia tukak
keluhan yang sering berupa nyeri ulu hati. Berkurang dan bertambahnya
nyeri berhubungan dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun
karena nyeri atau pedih ulu hati. Gold standar: endoskop
Dispepsia bukan tukak
keluhan mirip dispepsia tukak, biasanya ditemukan pada gastritis atau
duodenitis, pada endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
Refluks gastroesofageal
gejala klasik berupa rasa panas di dada dan regurgitasi asam, terutama
setelah makan.
12
diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal.
Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap
produksi asam lambung yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan psikis,
stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.
V. PATOFISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres,
pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong,
kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat
gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya
kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan.
13
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di
saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis
terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan
kontras ganda.
Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran
endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.
USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu
penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat
digunakan setiap saat dan pada kondisi klien yang beratpun dapat
dimanfaatkan
Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada
dispepsia fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – 40 %
kasus.
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan non farmakologis
a. Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas, obat-
obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
b. Atur pola makan Sippy diit, yaitu makan sedikit-sedikit, banyak
mengandung susu. Makanan harus lembek, mudah dicerna, tidak
merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya
dalam porsi kecil berulang kali. Dilarang makan pedas, asam dan
alkohol.
Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
A. Antasida
Berguna untuk menetralisir HCl, mengurangi rasa nyeri. Dianjurkan
dimakan diantara waktu makan. Sediaan yang suspensi lebih efektif
karena kapasitas buffering leih baik dari yang tablet.
B. Antikolinergik
Menghambat inervasi saraf kolinergik posrganglionik pada otot polos
dan memblokir aksi asetilkolin pada sel parietal sehingga akan
mengurangi sekresi asam lambung, memblokir kontraksi otot polos
dari ileum dan kandung kemih, mengurangi salivasi. Dapat
14
menghambat sekresi pepsin juga mekanisme vagal oleh histamin dan
gastrin.
C. Prokinetik
Yang sering: Metoklopramid, mempunyai efek anti-dopaminergik dan
kolinomimetik, berkhasiat sentral dan perifer, pokoknya:
(1)meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal post
ganglionik kolinergik (2)merangsang reseptor muskarinik pada
asetilkolin, (3)merupakan reseptor antagonis dopamin. Dengan
demikian metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran
makanan dan mempercepat pengosongan lambung.
D. Sitoprotektif
1. Golongan prostaglandin E, yang juga mempunyai sifat sebagai anti-
sekretorik. Prostaglandin akan merangsang sekresi bikarbonat dan
memproduksi lendir dari mukosa gastroduodenal, meningkatkan aliran
darah di mukosa, serta memperbaharui sel epitel yang rusak.
2. Golongan protektif lokal, yang mampu membentuk rintangan mekanik,
melindungi mukosa asam dan pepsin. Mekanisme sitoprotektif meliputi;
membentuk rintangan pada lapisan mukosa, merangsang sekresi
bikarbonat oleh sel epitel, meningkatkan aliran darah yang adekuat.
Contohnya sukralfat, adalah garam alumunium dan sukrose oktosulfat,
merupakan zat yang tidak dapat diserap, yang secara klinis sanagt efektif
untuk membantu penyembuhan tukak serta mencegah kekambuhan.
Sukralfat akan menungkatkan produksi PGE2, meningkatkan sekresi
mukus dan bikarbonat sehingga meningkatkan daya sitiprotektif mukosa.
E. Golongan Antagonis Histamin H2 seperti Simetidin, Ranitidin,
Famotidin.
15
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri
dari rasa tidak enak/sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan
keluhan lain, perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi,
kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual,
muntah, dan beberapa keluhan lainnya (Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal.
26)
b) Diagnosa Keperawatan
Menurut Inayah (2004) bahwa diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada
klien dengan dyspepsia
Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa
lambung.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak
enak setelah makan, anoreksia.
Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan adanya mual, muntah
Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatannya
c) Intervensi Keperawatan
a. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
Tujuan :
Terjadinya penurunan atau hilangnya rasa nyeri, dengan kriteria klien
melaporkan terjadinya penurunan atau hilangnya ras nyeri
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0 – 10)
2. Berikan istirahat dengan posisi semifowler
3. Anjurkan klien untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan
kerja asam
lambung
4. Anjurkan klien untuk tetap mengatur waktu makannya
5. Observasi TTV tiap 24 jam
6. Diskusikan dan ajarkan teknik relaksasi
7. Kolaborasi dengan pemberian obat analgesic
16
Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan
individu, dengan kriteria menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi
Intervensi Keperawatan :
a) Pantau dan dokumentasikan dan haluaran tiap jam secara adekuat
b) Timbang BB klien
c) Berikan makanan sedikit tapi sering
d) Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan,
integritas mukosa mulut,
e) kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau
diare.
f)Kaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai.
g) Monitor intake dan output secara periodik.
h) Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi
Buang Air Besar (BAB).
17
Mendemonstrasikan koping yang positif dan mengungkapkan penurunan
kecemasan, dengan kriteria menyatakan pemahaman tentang penyakitnya.
Intervensi Keperawatan :
1. Berikan dorongan dan berikan waktu untuk mengungkapkan pikiran dan
dengarkan semua keluhannya
2. Kaji tingkat kecemasan
3. Jelaskan semua prosedur dan pengobatan
4. Berikan dorongan spiritual
DAFTAR PUSTAKA
18
Price, Sylvia, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Edisi 4, Jakarta:
EGC, 1999
Smeltzer, Bare, Buku Ajar keperawatan Medical Bedah, Bruner & Suddart, Edisi 8,
Jakarta, EGC, 2001
GE (GASTROENTERITIS) / DIARE
I. DEFINISI
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak
dari biasanya (normal 100 - 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk
19
cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi
defekasi yang meningkat (Mansjoer, Arif., et all. 1999).
Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari
tiga kali sehari.
II. ETIOLOGI
Penyebab utama :
Bakteri, parasit maupun virus (E. Coli, V. Cholerae Ogawa, Aeromonas sp.).
Penyebab lain ; toksin dan obat, nutrisi enteral diikuti puasa yang berlangsung
lama, kemoterapi, impaksi fekal (overflow diarrhea) atau berbagai kondisi
lain.
III. KLASIFIKASI
Menurut Mansjoer, Arief., et all. (1999) dibagi menjadi :
Infeksi bakteri
Golongan : Golongan :
V. Cholerae Enteroinvasisive E. Coli
C. Perfringers S. Paratyphi B.
S. Aureus S. Typhimurnin
Vibro nonaglutinabel S. Enteriditis
S. Choleraesues
Shigella
Masuk ke mukosa usus halus (tak C. Perfringeus tipe C
merusak)
Sekresi aktif anion klorida ke dalam Feses bercampur lendir dan darah
lumen usus diikuti air, ion karbonat,
natrium & kalium.
20
IV. TANDA DAN GEJALA
- Hilangnya nafsu makan
- Mual
- Muntah
- BAB mencret
V. PATOFISIOLOGI
Masukan makanan/minuman yang terkontaminasi
Diare
21
a) Pemeriksaan tinja
Diperiksa dalam hal volume, warna dan konsistensinya serta diteliti
adanya mukus darah dan leukosit. Pada umumnya leukosit tidak dapat
ditemukan jika diare berhubungan dnegan penyakit usus halus. Tetapi
ditemukan pada penderita Salmonella, E. Coli, Enterovirus dan
Shigelosis. Terdapatnya mukus yang berlebihan dalam tinja
menunjukkan kemungkinan adanya keradangan kolon. PH tinja yang
rendah menunjukkan adanya malabsorbsi HA, jika kadar glukosa tinja
rendah / PH kurang dari 5,5 maka penyebab diare bersifat tidak menular.
b) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan berat
jenis plasma.
Penurunan PH darah disebabkan karena terjadi penurunan bikarbonas
sehingga frekuensi nafas agak cepat.
Elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor .
VII. PENATALAKSANAAN
- Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan.
- Jenis cairan
Pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit. Diberikan cairan
RL, bila tak tersedia dapat diberikan NaCl isotonik ditambah satu
ampul Na bikarbonat 7,5 % 50 ml.
- Jumlah cairan
Diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang dikeluarkan.
Kehilangan cairan tubuh dapat dihitung dengan beberapa cara :
Metoda Pierce :
Derajat Dehidrasi Kebutuhan cairan ( X kg BB)
Ringan 5%
Sedang 8%
Berat 10 %
- Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Dapat dipilih oral atau IV.
- Jadwal pemberian cairan
Rehidrasi dengan perhitungan kebutuhan cairan diberikan pada 2 jam
pertama. Selanjutnya dilakukan penilaian kembali status hidrasi untuk
memperhitungkan kebutuhan cairan. Rehidrasi diharapkan terpenuhi
lengkap pada akhir jam ke-3.
22
- Terapi simtomatik
Obat diare bersifat simtomatik dan diberikan sangat hati-hati atas
pertimbangan yang rasional.
- Vitamin meneral, tergantung kebutuhannya.
Vitamin B12, asam folat, vit. K, vit. A.
Preparat besi , zinc, dll.
- Terapi definitif
Pemberian edukatif sebagailangkah pencegahan. Hiegene
perseorangan, sanitasi lingkungan, dan imunisasi melalui vaksinasi
sangat berarti, selain terapi farmakologi.
23
- Eliminasi
Pada BAB juga mengalami gangguan karena terjadi peningkatan frekuensi,
dimana konsistensi lunak sampai cair, volume tinja dapat sedikit atau banyak.
Dan pada buang air kecil mengalami penurunan frekuensi dari biasanya.
e. Pemeriksaan fisik.
- Tanda-tanda vital
Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan
nadi , pernapasan.
- Bila terjadi kekurangan cairan didapatkan :
Haus
Lidah kering
Tulang pipi menonjol
Turgor kulit menurun
Suara menjadi serak
- Bila terjadi gangguan biokimia :
Asidosis metabolik
Napas cepat/dalam (kusmaul)
- Bila banyak kekurangan kalium
Aritmia jantung
- Bila syok hipovolumik berat
Nadi cepat lebih 120 x/menit
Tekanan darah menurun sampai dari tak terukur.
Pasien gelisah.
Muka pucat
Ujung-ujung ektremitas dingin
Sianosis
- Bila perfusi ginjal menurun
Anuria
Nekrosis tubular akut.
(Mansjoer, Arif., et all. 1999).
24
1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan sekunder akibat muntah dan diare.
Tujuan :
Kebutuhan volume cairan adekuat.
Intervensi general :
- Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian
- Jelaskan tentang alasan-alasan untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat
dan metoda-metoda untuk mencapai tujuan masukan cairan.
- Pantau masukan , pastikan sedikitnya 1500 ml cairan per oral setiap 24 jam.
- Pantau haluaran, pastikan sedikitnya 1000 - 1500 ml/24 jam. Pantau
terhadap penurunan berat jenis urine.
- Timbang BB setip hari dengan jenis baju yang sama, pada waktu yang sama.
Kehilangan berat badan 2 - 4 % menunjukkan dehidrasi ringan. Kehilangan
berat badan 5 - 9 % menunjukkan dehidrasi sedang.
- Pertimbangkan kehilangan cairan tambahan yang berhubungan dengan
muntah, diare, demam, drain.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan kadar elektrolit darah,
nitrogen ure darah, urine dan serum, osmolalitas, kreatinin, hematokrit dan
hemoglobin.
- Kolaborasi dengan pemberian cairan secara intravena.
2. Perubahan kenyamanan berhubungan dengan kram abdomen, diare dan muntah
sekunder akibat dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.
Tujuan :
Klien merasa nyaman.
Intervensi :
Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dnegan bantalan
penghangat di atas abdomen.
Singkirkan pemadangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari
lingkungan klien.
Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal; teh encer, air
jahe, agar-agar, air) 30 sampai 60 ml tiap 1/2 sampai 1 jam.
Instruksikan klien untuk menghindari hal ini :
1. Cairan yang panas dan dingin.
2. Maknan yang mengandung lemak dan serat (misal ; susu, buah)
3. Kafein.
Lindungi area perianal dari iritasi.
25
3. Risiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pembatasan diet, dan
tanda-tanda serta gejala komplikasi.
Tujuan :
Pengetahuan klien tentang kondisi, pembatasan diet, dan tanda-tanda serta gejala
komplikasi adekuat.
Intervensi :
Jelaskan pembatasan diet :
1. Makanan tinggi serat (sekam & buah segar).
2. Makanan tinggi lemak ( susu, makanan goreng).
3. Air yang sangat panas atau dingin.
Jelaskan pentingnya mempertahankan kesimbangan antara masukan cairan oral
dan haluaran cairan.
Jelaskan manfaat istirahat dan dorong untuk istirahat adekuat.
Instruksikan untuk mencuci tangan dan :
1. Desinfeksi area permukaan dengan desinfektan yang mengandung tinggi
alkohol.
2. Rendam peralatan makan dan termometer dalam larutan alkohol atau gunakan
alat pencuci piring untuk peralatan makan.
Tidak mengijinkan menggunkan bersama alat-alat dengan orang sakit.
Ajarkan klien dan keluarga untuk melaporkan gejala ini :
a. Urine coklat gelap menetap selama lebih dari 12 jam.
b. Feses berdarah.
Daftar Pustaka
26
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2
Jakarata : EGC
(2000). Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarata : EGC
Makalah Kuliah . Tidak diterbitkan.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran
UI : Media Aescullapius.
Pitono Soeparto, dkk. (1997). Gastroenterologi Anak. Surabaya : GRAMIK FK
Universitas Airlangga.
Price, Anderson Sylvia. (1997) Patofisiologi. Ed. I. Jakarata : EGC.
ASMA BRONKHIALE
27
I. DEFINISI
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh
spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus.( Huddak & Gallo, 1997 )
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
( Smeltzer, 2002 : 611)
II. ETIOLOGI
Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
- Reaksi antigen-antibodi
- Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
- Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
- Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
- Iritan : kimia
- Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
- Emosional : takut, cemas dan tegang
- Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
(Suriadi, 2001 : 7)
III. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya
suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan
asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan
oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi
28
lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma
gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
2. Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi
b. Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
c. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
d. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
e. Thorak seperti barel chest
f. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
g. Sianosis
h. BGA Pa O2 kurang dari 80%
i. Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
j. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
(Halim Danukusumo, 2000, hal 218-229)
V. PATOFISIOLOGI / PATHWAYS
29
Spasme otot Sumbatan Edema Inflamasi
bronchus mukus dinding
bronchus
Perubahan nutrisi
Hyperventilasi kurang dari
kebutuhan tubuh
Retensi CO2
Asidosis respiratorik
30
7. Foto dada
8. Analisis gas darah
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya
sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan
bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik:
Memberikan penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pemberian cairan
Fisiotherapy
Beri O2 bila perlu.
2. Pengobatan farmakologik :
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2
golongan :
a. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
- Orsiprenalin (Alupent)
- Fenoterol (berotec)
- Terbutalin (bricasma)
b. Santin (teofilin)
Nama obat :
- Aminofilin (Amicam supp)
- Aminofilin (Euphilin Retard)
- Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat.
31
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan
asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering
merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan.
Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma.
Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anakanak. Kromalin
biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat
setelah pemakaian satu bulan.
Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya
diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
32
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d bronkospasme : peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental : penurunan
energi/kelemahan
Kerusakan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen, kerusakan
alveoli
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan
masukan oral
Kurang pengetahuan b.d kurang informasi/tidak mengenal sumber
informasi
33
-Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat
kemampuan /situasi
Intervensi
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori,
nafas bibir, ketidak mampuan bicara/berbincang
Tingguikan kepala tempat tidur, pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan / nafas bibir sesuai
kebutuhan / toleransi individu.
Dorong mengeluarkan sputum : penguapan bila diindikasikan.
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan / bunyi
tambahan.
Awasi tingkat kesadaran / status mental, selidiki adanya perubahan.
Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
Awasi tanda vital dan irama jantung.
Awasi / gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
Berikan oksigen yang ssi idikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
Intervensi :
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan, catat derajat kesulitan makan,
evaluasi BB.
Avskultasi bunyi usus.
Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
Dorong periode istirahat, 1jam sebelum dan sesudah makan berikan makan
porsi kecil tapi sering.
Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
Hindari maknan yang sangat panas / dingin.
Timbang BB sesuai induikasi.
Kaji pemeriksaan laboratorium, ex : alb.serum.
34
D. DP : Kurang pengetahuan
Tujuan : Pengetahuan miningkat
KH : - Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan tindakan.
- Mengidentifikasi hubungan tanda / gejala yang ada dari proses
penyakit dan menghubung dengan faktor penyebab.
- Melakukan perubahan pola hidup dan berparisipasi dalam
program pengobatan.
Intervensi:
Jelaskan proses penyakit individu dan keluarga
Instrusikan untuk latihan nafas dan batuk efektif.
Diskusikan tentang obat yang digunakan, efek samping, dan reaksi yang
tidak diinginkan
Beritahu tehnik pengguanaan inhaler ct : cara memegang, interval
semprotan, cara membersihkan.
Tekankan pentingnya perawatan oral/kebersihan gigi
Beritahu efek bahaya merokok dan nasehat untuk berhenti merokok pada
klien atau orang terdekat
Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas.
35
DAFTAR PUSTAKA
Heru Sundaru(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
BalaiPenerbit FKUI. Jakarta.
36
TIFOID
(THYPUS ABDOMINALIS, ENTERIC FEVER)
I. DEFINISI
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah
Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
cerna, gangguan kesadaran. (Mansjoer, Arif 1999).
II. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil gram
negatif, berflagel, anaerob, dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup
dengan baik sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yanng lebih rendah
sedikit, namun mati pada suhu 70o C maupun oleh antiseptik.
Salmonella Typhosa memiliki 3 macam antigen, yaitu:
antigen O (Ohhne Hauch): merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk
grup Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga merupakan
somatik antigen yang tidak menyebar.
antigen H : terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
antigen Vi : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
antigen O terhadap fagositosis.
III. PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam
usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (teutama Plak
Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Satelah menyebabkan peradangan dan
nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah menuju ke
organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang
biak dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada
perabaan. Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah
(bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar
limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak
tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.
Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai
peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang. Demam
37
tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang sintesa
dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini
akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus
yang menimbulkan gejala demam.
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
38
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan
yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
39
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
VI. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan.
Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila
ada komplikasi perdarahan.
b. Diet.
Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
c. Obat-obatan.
Klorampenikol
Tiampenikol
Kotrimoxazol
Amoxilin dan ampicillin
40
VII. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas
Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, no. Registerasi, status perkawinan, agama, pekerjaan,
tinggi badan, berat badan, tanggal MR.
Keluhan Utama
Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan
kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah
tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam,
anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat
(anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan
kesadaran berupa somnolen sampai koma.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid
atau sakit yang lainnya.
Riwayat Psikososial
Psiko sosial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien,
dengan timbul gejala-gejala yang dalami, apakah pasien dapat
menerima pada apa yang dideritanya.
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan
masalah dalam kesehatannya.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit,
lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat
mempengaruhi status nutrisi berubah.
c. Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik
serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat
penyakitnya.
d. Pola tidur dan aktifitas
41
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan
yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
e. Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi
karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan.
f. Pola reproduksi dan sexual
Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah
menikah akan terjadi perubahan.
g. Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya
i. Pola penanggulangan stress
Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
j. Pola hubungan interpersonil
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam
menjalankan perannya selama sakit.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya
akan terganggu.
Pemeriksaan Fisik
o Keadaan umum
Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas,
pucat, mual, perut tidak enak, anorexia.
o Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal,
konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir
kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran
normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
o Dada dan abdomen
42
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah
abdomen ditemukan nyeri tekan.
o Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak
terdapat cuping hidung.
o Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan
darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat
pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
o Sistem integument
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak,
akral hangat.
o Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk
kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N
½ -1 cc/kg BB/jam.
o Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak
ada gangguan.
o Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar
toroid dan tonsil
o Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma,
dalam penderita penyakit thypoid.
Diagnosa keperawatan
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella
Typhi
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
(diare/muntah).
43
Intervensi dan Implementasi
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhi
Tujuan :
suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil :
Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh
Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh.
Turgor kulit membaik
Intervensi :
Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu
tubuh
Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
Batasi pengunjung
Observasi TTV tiap 4 jam sekali
Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum
Memberikan kompres dingin
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx antibiotik dan antipiretik
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia
Tujuan :
Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
Nafsu makan meningkat
Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang
diberikan
Intervensi
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi..
Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak
merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat
masih hangat.
Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi
parenteral.
Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral
sangat kurang.
44
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest
Tujuan :
pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil :
Kebutuhan personal terpenuhi
Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi
tubuh.
Memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi.
Intervensi :
Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi
sebatas kemampuan (missal. Miring kanan, miring kiri)
Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).
Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan
dengan cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan
Kriteria hasil :
Turgor kulit meningkat
Wajah tidak nampak pucat
Intervensi :
Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan
keluarga.
Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Anjurkan pasien untuk banyak minum
Observasi kelancaran tetesan infuse.
Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
Evaluasi
Dari hasil intervensi yang telah tertulis, evaluasi yang diharapkan :
Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella
typhii
Evaluasi : suhu tubuh normal (36 oC) atau terkontrol.
Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia.
45
Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest
Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)
optimal.
Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan
(diare/muntah)
Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi
46
DAFTAR PUSTAKA
47
ANEMIA
I. DEFINISI
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta hemoglobin dalam
1 mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang dipadatkan (packed red cells
volume) dalam 100 ml darah (Ngastiyah.1997.Hal : 358)
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan
penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999).
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah
merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer,
2002 : 935). Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel
darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells
(hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
II. ETIOLOGI
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam
folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan,
kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
Penyebab umum dari anemia:
1. Perdarahan hebat
2. Akut (mendadak)
3. Kecelakaan
4. Pembedahan
5. Persalinan
6. Pecah pembuluh darah
7. Penyakit Kronik (menahun)
8. Perdarahan hidung
9. Wasir (hemoroid)
10. Ulkus peptikum
11. Kanker atau polip di saluran pencernaan
12. Tumor ginjal atau kandung kemih
13. Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
14. Berkurangnya pembentukan sel darah merah
15. Kekurangan zat besi
48
16. Kekurangan vitamin B12
17. Kekurangan asam folat
18. Kekurangan vitamin C
19. Penyakit kronik
20. Meningkatnya penghancuran sel darah merah
21. Pembesaran limpa
22. Kerusakan mekanik pada sel darah merah
23. Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
24. Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
25. Sferositosis herediter
26. Elliptositosis herediter
27. Kekurangan G6PD
28. Penyakit sel sabit
29. Penyakit hemoglobin C
30. Penyakit hemoglobin S-C
31. Penyakit hemoglobin E
32. Thalasemia
(Burton, 1990).
Faktor congenital : sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan
bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan
ginjal dan lain sebagainya.
Faktor didapat
a) Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb, Obat :
kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin
(antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran,
methrotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine dansebagainya),
obat anti tumor (nitrogen mustard), anti microbial.
b) Radiasi : sinar roentgen, radioaktif.
Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain ± lain.·
Infeksi : tuberculosis milier, hepatitis dan lain ± lain.
Keganasan , penyakit ginjal, gangguan endokrin, dan idiopatik.
(Mansjoer.2005.Hal:494)
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:
1. Anemia hipoproliferatif yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah
merah disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
49
a) Anemia aplastik
Penyebab:
agen neoplastik/sitoplastik terapi radiasi antibiotic tertentu
obat anti konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason benzene infeksi
virus (khususnya hepatitis)
Gejala-gejala: Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)
Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran
cerna, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf pusat.
Morfologis: anemia normositik normokromik
b) Anemia pada penyakit ginj al
Gejala-gejala:
Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl Hematokrit turun
20-30%
Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi.
Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel
darah merah maupun defisiensi eritopoitin
50
infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen
kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi,
pecandu alkohol.
Sintesis DNA terganggu
4
Gangguan maturasi inti sel darah merah
4
Megaloblas (eritroblas yang besar)
4
Eritrosit immatur dan hipofungsi
2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan
oleh destruksi sel darah merah: Pengaruh obat-obatan tertentu Penyakit Hoodgin,
limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik kronik
Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria
Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit
4
Antigesn pada eritrosit berubah
4
Dianggap benda asing oleh tubuh
4
sel darah merah dihancurkan oleh limposit
4
Anemia hemolisis
51
7) Peningkatan tekanan sistolik
8) Takikardia
9) Penurunan pengisian kapler
10) Sesak
11) Demam
12) Purpura
13) Petekie
14) Hepatosplenomegalio
15) Limfadenopati
(Tierney,dkk.2003.Hal:95 Iktisar gejala klinis dan hematologis Anemia
Aplastik Sumsum Tulang Darah tepi)
Gejala klinis
1. Aplasia eritropoesis
2. Retikulositopenia kadar Hb, Ht dan eritrosit rendah
3. Anemia (pucat) anoreksia, pusing.
4. Aplasia granulopesis Granulositopenia, leucopenia Panas (demam). Panas
terjadi karena infeksi sekunder akibat granulositopenia.
5. Aplasia trombopoetik Trombositopenia
6. Diatesis hemoragi. Perdarahan dapat berupa ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi.
7. Relatif aktif limfopoesis
8. Limfositosis, biasanya tidak lebih dari 80% Relatif aktif RES (sel plasma,
fibrosit, osteoklas, sel endotel) Mungkin terdapat sel plasma, monosit
bertambah . Gambaran umum: sel sangat kurang, banyak jaringan
penyokong dan lemak
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2005.Hal:453)
V. PATOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan
sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat
terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau
kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat
hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat
defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah
yang menyebabkan destruksi sel darah merah.Lisis sel darah merah (disolusi)
terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system retikuloendotelial,
52
terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang
akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah
(hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma
(konsentrasi normal < 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik
pada sclera). Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi,
(pada kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk
mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan
kedalam urin (hemoglobinuria). Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia
pada pasien disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel
darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasanl.
hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah
muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat
dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
Anemia
4
viskositas darah menurun
4
resistensi aliran darah perifer
4
penurunan transport 02 ke jaringan
4
hipoksia, pucat, lemah
4
beban jantung meningkat
4
kerja jantung meningkat
4
payah jantung
53
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
2. Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume
korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan
mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP).
3. Pansitopenia (aplastik).
4. Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons
sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis)
5. Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat
mengindikasikan tipe khusus anemia).
6. LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan
kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
7. Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia,
misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup
lebih pendek.
8. Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
9. SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin
meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
10. Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi
(hemolitik)
11. Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
12. Bilirubin serum (tak terkonjugasi) : meningkat (AP, hemolitik).
13. Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan
dengan defisiensi masukan/absorpsi
14. Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
15. TBC serum : meningkat (DB)
16. Feritin serum : meningkat (DB)
17. Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
18. LDH serum : menurun (DB)
19. Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
20. Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster,
menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
21. Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya
asam hidroklorik bebas (AP).
22. Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah
dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia,
54
misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel
darah (aplastik).
23. Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan:
perdarahan GI
(Doenges, 1999).
VII. PENATALAKSANAAN
Implikasi keperawatan Pencegahan infeksi silang:
a) Istirahat untuk mencegah perdarahan, terutama perdarahan otak
b) Tempatkan anak pada posisi terlentang untuk meningkatkan sirkulasi serebral
c) Pertahankan suhu tubuh dengan memberikan selimut dan mengatur suhu ruangan
d) Berikan dukungan emosional kepada orang tua dan anak
e) Berikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan orang tua dan anak
f) Berikan informasi adekuatmengenai keadaan, pengobatan dan kemajuan
kesehatan anak serta bimbingan untuk perawatan dirumah.
(Pillitteri.2002.Hal:24)
Tindakan Kolaborasi
1. Medikamentosa
1. Prednisolon (kortikosteroid) dosis 2 ± 5 mg/kgBB/hari per oral
2. Testoteron dengan dosis 1 ± 2mg/kgBB/hari secara parenteral.
Testoteron diganti dengan oksimetolon yang mempunyai daya
anabolic dan merangsang system hemopoetik lebih kuat, dosis
diberikan 1 ± 2 mg/kgBB/hari per oral. (Ngastiyah.1997.Hal:364)
3. Untuk pasien dengan neutropenia sebagai abnormalitas dominan,
efektif diberikan myeloid growth factors G-CSF (filgastrim)
dengan dosis 5µg/kg/hari atau GM-CSF (sargramostim) dengan
dosis 250 µg/m2/hari untuk meningkatkan angka neutrofil dan
menurunkan infeksi. (Tierney.2003.Hal:96)
2. Transfusi darah : diberikan jika diperlukan saja karena pemberian transfusi
darah terlampausering akan menimbulkan depresi sumsum tulang atau akan
menimbulkan reaksi hemolitik sebagai akibat dibentuknya antibodi terhadap
sel ± sel darah tersebut.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder. Untuk mencegah infeksi sebaiknya
anak diisolasi dalam ruangan yang steril. Pemberian obat antbiotika dipilih
yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan.
55
4. Makanan: umumnya diberikan dalam bentuk lunak. Jika harus menggunakan
NGT harus hati-hati karena dapat menimbulkan luka / perdarahan pada waktu
pemasangan.(Ngastiyah.1997.Hal:365)
5. Transplantasi sumsum tulang: sumsum tulang diambil dari donor dengan
beberapa kali pungsihingga mendapatkan sedikitnya 5 x 108 sel berinti /
kgBB resipien. Keberhasilan pencangkokan terjadi dalam waktu 2 hingga 3
minggu.(Sodeman.1995.Hal:278)
6. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
7. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan
oksigen.
8. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
9. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang
diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
Pemberian preparat fe Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan
pemberian cairan dan transfusi darah.
56
Palpitasi (takikardia kompensasi)
Nutrisi
Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia
Adanya penurunan berat badan
Integument
Membrane mukosa kering, pucat
Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis
Stomatitis, Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah
Ptekie, ekimosis
Neurosensori
Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan
berkonsentrasi Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis Tidak mampu berespon lambat dan
dangkal
Abdomen
Nyeri abdomen samar
Pernapasan
Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
Takipnea, ortopnea dan dispneu
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
b. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau
penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi
nutrient yang diperlukanuntuk pembentukan sel darah merah
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen(pengiriman) dan kebutuhan
e. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
perubahan sirkulasidan neurologist.
f. Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet;
perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
57
g. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ;
salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.
3. Intervensi/Implementasi keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yangdiperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
Tujuan :
peningkatan perfusi jaringan
Kriteria hasil :
menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.
Intervensi & Implementasi
a. Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa,
dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
c. Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.
d. Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.
e. Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
f. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
58
7. Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau
tanpa demam.
8. Amati eritema/cairan luka.
9. Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)
10. Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
Menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai
laboratorium normal.
Tidak mengalami tanda mal nutrisi.
Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan ataumempertahankan berat badan yang sesuai.
Intervensi & Implementasi
a) Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
b) Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
c) Timbang berat badan setiap hari.
d) Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara
waktu makan.
e) Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang
berhubungan.
f) Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik sebelum dan sesudah makan, gunakan
sikatgigi halus untuk penyikatan yang lembut.
g) Berikan pencuci mulut yang di encerkan bilamukosa oral luka.
h) Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
i) Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.
59
Kriteria hasil :
Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-
hari)
Menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi,
pernapasan, dan tekanandarah masih dalam rentang normal.
Intervensi & Implementasi
o Kaji kemampuan ADL pasien.
o Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan
otot.
o Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
o Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara bising,
pertahankan tirah baring bila di indikasikan.
o Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila terjadi
kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas
semampunya (tanpa memaksakan diri).
60
Tujuan :
Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
Kriteria hasil :
menunjukkan perubahan perilaku/pola hidup, yang diperlukan
sebagai penyebab, factor pemberat.
Intervensi & Implementasi
o Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
o Auskultasi bunyi usus.
o Awasi intake dan output (makanan dan cairan).
o Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
o Hindari makanan yang membentuk gas.
o Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan kondisi kulit atau mulai
kerusakan.
o Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.
o Kolaborasi ahli gizi untuk diet siembang dengan tinggi serat dan bulk.
o Berikan pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk
atau enema sesuaiindikasi. Pantau keefektifan. (kolaborasi)
o Berikan obat antidiare, misalnya Defenoxilat Hidroklorida dengan
atropine (Lomotil) dan obat mengabsorpsi air, misalnya Metamucil.
(kolaborasi).
61
o Pengetahuan menurunkan ansietas.Kaji tingkat pengetahuan klien dan
keluarga tentang penyakitnya.
o Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
o Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
o Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah
diberikan.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien dengantujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan
lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
Infeksi tidak terjadi
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan
ambulasi/aktivitas
Peningkatan perfusi jaringan.
Dapat mempertahankan integritas kulit.
Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit,
prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.
Burton, J.L. 1990. Segi Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Binarupa Aksara :
Jakarta
Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed.
2. EGC : Jakarta
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC :
Jakarta
Effendi , Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
Hassa. 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI : Jakarta
Noer, Sjaifoellah. 1998. Standar Perawatan Pasien. Monica Ester : Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7.
EGC :Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia
http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0611/30/104458.htm
63
HEPATITIS
I. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta
bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis,
biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)
II. ETIOLOGI
A. Virus
Type A Type B Type C Type D Type E
Metode Fekal-oral Parenteral Parenteral Parenteral Fekal-
transmisi melalui seksual, jarang perinatal, oral
orang lain perinatal seksual, memerlukan
orang ke koinfeksi
orang, dengan type B
perinatal
Keparahan Tak Parah Menyebar Peningkatan Sama
ikterik luas, dapat insiden kronis dengan D
dan berkem-bang dan gagal hepar
asimtoma sampai kronis akut
tik
Sumber Darah, Darah, saliva, Terutama Melalui darah Darah,
virus feces, semen, melalui darah feces,
saliva sekresi saliva
vagina
B. Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.
C. Obat-obatan
64
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan
hepatitis akut.
III. KLASIFIKASI
1. Hepatitis A
a. Virus hepetitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung
berukuran 27 nm
b. Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara
manusia, dibawah oleh air dan makanan
c. Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari
d. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi
yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.
2. Hepetitis B (HBV)
a. Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus yang bercangkang ganda yang
memiliki ukuran 42 nm
b. Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi
akut, kontak seksual dan fekal-oral. Penularan perinatal dari ibu kepada
bayinya.
c. Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari.
d. Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi,
perawat dan terapis respiratorik, staf dan pasien dalam unit hemodialisis
serta onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam
hubungan seksual dan para pemaki obat-obat IV juga beresiko.
3. Hepatitis C (HCV)
a. Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak
yang diameternya 30 – 60 nm.
b. Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga
oleh kontak seksual.
c. Masa inkubasi virus ini 15 – 60 hari dengan rata – 50 hari
d. Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B
4. Hepatitis D (HDV)
a. Virus hepatitis B (HDP) merupakan virus RNA berukuran 35 nm
b. Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki
kebiasaan memakai obat terlarang dan penderita hemovilia
c. Masa inkubasi dari virus ini 21 – 140 hari dengan rata – rata 35 hari
65
d. Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B.
5. Hepattitis E (HEV)
a. Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya + 32
– 36 nm.
b. Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia
dimungkinkan meskipun resikonya rendah.
c. Masa inkubasi 15 – 65 hari dengan rata – rata 42 hari.
d. Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan
makan makanan, minum minuman yang terkontaminasi.
66
V. PATOFISIOLOGI
Nyeri Anoreksia
Gglikogenesis Glukoneogenesis
menurun menurun
Perubahan Nutrisi :
Glikogen dalam hepar berkurang
Kurang Dari Kebutuhan
Glikogenolisis menurun
67
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Laboratorium
1. Pemeriksaan pigmen
urobilirubin direk
bilirubun serum total
bilirubin urine
urobilinogen urine
urobilinogen feses
2. Pemeriksaan protein
protein totel serum
albumin serum
globulin serum
HbsAG
3. Waktu protombin
respon waktu protombin terhadap vitamin K
4. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
AST atau SGOT
ALT atau SGPT
LDH
Amonia serum
Radiologi
foto rontgen abdomen
pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang
berlabel radioaktif
kolestogram dan kalangiogram
arteriografi pembuluh darah seliaka
Pemeriksaan tambahan
Laparoskopi
biopsi hati
VII. PENATALAKSANAAN
68
Penatalaksanaan pada klien dengan hepatitis dapat dilakukan dengan istirahat, diet,
dan pengobatan medikamentosa.
a. Istirahat. Pada periode akut dan keadaan lemah klien harus banyak
istirahat karena dapat mempercepat proses penyembuhan.
b. Diet. Jika pasien mual, napsu makan menurun atau muntah-muntah,
sebaiknya diberikan infus. Jika tidak dapat diberikan makanan yang
mengandung cukup kalori (30-35 kal/kg BB) dengan protein cukup (1
g/kg BB).
c. Medikameentosa. Obat-obat yang dapat diberikan adalah :
Kortikosteroid, dapat diberikan pada kolestasis yang berkepanjangan
dimana transminase serum telah kembali normal. Pada keadaan ini
dapat diberikan prednison 3 x 10 mg selama 7 hari. Vitamin K
diberikan bila ada perdarahan. Berikan obat-obat yang bersifat
melindungi hati.
69
3. Letargi
4. Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
1. Kram abdomen
2. Nyeri tekan pada kuadran kanan
3. Mialgia
4. Atralgia
5. Sakit kepala
6. Gatal ( pruritus )
7. Keamanan
1. Demam
2. Urtikaria
3. Lesi makulopopuler
4. Eritema
5. Splenomegali
6. Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
1. Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan,
perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan
metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi
kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar
yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder
terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap
hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular
dari agent virus
INTERVENSI
70
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan
tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme
pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik
karena anoreksia, mual dan muntah.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai
tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal
nutrisi.
1. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan
tawarkan pagi paling sering
3. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
5. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
71
Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap
hepatitis
- Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
- Sarankan klien untuk tirah baring
- Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-
kemampuan dan minat-minat
- Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu
puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan
keletihan
- Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap
asertif, teknik relaksasi)
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan
pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Hasil yang diharapkan :
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
1. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
2. Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan
(kadtril, lanolin)
3. Keringkan kulit, jaringan digosok
4. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu
ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
5. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan
tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
6. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
72
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus
Hasil yang diharapkan :
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
1. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat
untuk menangani semua cairan tubuh
o Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau
spesimen
o Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
o Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang
tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara
apapun
2. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh
dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan
yang terkontaminasi
3. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien,
keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
4. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen
kesehatan yang tepat
73
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC,
Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan
Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart.
Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono,
Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga,
Balai Penerbit FKUI, jakarta.
74
CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )
I. DEFINISI
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi
ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992;
812)
II. ETIOLOGI
Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik,asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik misalnya: DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.
Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
III. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
A. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
B. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
C. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
75
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG :
Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
76
Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot
ekstremitas.
Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
a. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopen
77
V. PATOFISIOLOGI
GGK
78
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi
antara lain :
1.Pemeriksaan lab. darah
1. hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
2. RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
3. LFT (liver fungsi test )
4. Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
5. koagulasi studi
PTT, PTTK
6. BGA
2. Urine
- urine rutin
- urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler
- ECG
- ECO
4. Radiodiagnostik
- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG ( retio pielografi )
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi 3 yaitu :
- Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
- Dialysis
79
a) peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut adalah CAPD
( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
b) Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
c) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
d) Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )
- Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal
b. INTERVENSI
f. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi
jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler
80
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-
renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
81
i. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan:
Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
c. Atur posisi senyaman mungkin
d. Batasi untuk beraktivitas
82
- Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami.
- Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan
gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ).
- Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.
- Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.
- Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.
83
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
84
DIABETES MELLITUS
I. DEFINISI
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
II. ETIOLOGI
Diabetes tipe I:
1. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya
DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA.
2. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan
asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin
endogen.
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.
Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
1. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
85
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Diabetes mellitus gestasional (GDM)
86
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang
tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan
inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan,
akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak
terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada
pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi
akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan
timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi,
kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang
biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat
banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi
sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala
kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak
lebih jelas.
87
V. PATOFISIOLOGI/PATHWAYS
Defisiensi Insulin
glukoneogenesis hiperglikemia
Kekurangan volume
ketonemia Nitrogen urine ↑ Dehidrasi cairan
- Koma Aterosklerosis
- Kematian
Makrovaskuler Mikrovaskuler
Retina Ginjal
Retinopati Nefropati
diabetik
Miokard Infark Stroke Gangren
Resiko Injury
88
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
a. Plasma vena < 100 100-200 >200
b. Darah kapiler <80 80-200 >200
Kadar glukosa darah puasa
c. Plasma vena <110 110-120 >126
d. Darah kapiler <90 90-110 >110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan :
- Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
- Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
- Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi
vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah
mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan
89
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat
terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau
tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
- Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
- Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada
ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,
perubahan tekanan darah
- Integritas Ego
Stress, ansietas
- Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
- Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus,
penggunaan diuretik.
- Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parestesia,gangguan penglihatan.
- Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
- Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
- Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Masalah Keperawatan
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
Kekurangan volume cairan
Gangguan integritas kulit
Resiko terjadi injury
Intervensi
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein,
lemak.
90
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
o Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
o Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
o Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
o Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien.
o Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung,
mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan
keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
o Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui
oral.
o Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan
indikasi.
o Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran,
kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit
kepala.
o Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
o Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
o Kolaborasi dengan ahli diet
Intervensi :
o Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
o Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
o Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
o Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
o Pantau masukan dan pengeluaran
91
o Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam
batas yang dapat ditoleransi jantung
o Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
o Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB,
nadi tidak teratur
o Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa
dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
92
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa
YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut
jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
93
DHF (DENGUE HEMORAGIC FEVER)
I. DEFINISI
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus (arthro podborn virus) dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk AEDES (AEDES ALBOPICTUS dan AEDES
AEGEPTY)
II. ETIOLOGI
Penyebab DHF adalah Arbovirus (Arthropodborn Virus) melalui gigitan nyamuk
Aedes (Aedes Albopictus dn Aedes Aegepty)
IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi DHF menurut WHO
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan (uji tourniquet
positif )
Derajat II
Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.
94
Derajat III
Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20
mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )
Derajat IV
Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur
V. PATOFISIOLOGI /PATHWAYS
Virus Dengue
Viremia
Manifestasi
1. Anoreksia perdarahan Permebilitas kapiler
2. Muntah meningkat
Kehilangan plasma
Syok
Kematian
95
VII. PENATALAKSANAAN
A. Medik
DHF tanpa Renjatan
a. Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
b. Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
c. Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th
dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang
belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th
dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.
d. Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat
DHF dengan Renjatan
a. Pasang infus RL
b. Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 –
30 ml/ kg BB )
c. Tranfusi jika Hb dan Ht turun
B. Keperawatan
- Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam
Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
1. Observasi intik output
- Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital
tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter
– 2 liter per hari, beri kompres
- Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb,
Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat,
tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
- Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2
pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi
productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
- Resiko Perdarahan
- Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
- Catat banyak, warna dari perdarahan
- Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal
96
- Beri minum banyak
- Berikan kompres
Diagnosa Keperawatan
- Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler , perdarahan, muntah, dan demam
- Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, tidak ada nafsu makan
- Hipertermi berhubungan dengan proses infeksivirus
- Perubahan proses proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak
Intervensi
a) Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler , perdarahan, muntah, dan demam
- Mengobservasi tanda – tanda vital paling sedikit setiap 4 jam
- Monitor tanda – tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak
elastis, ubun – ubun cekung, produktie urin menurun
- Mengobservasi dan mencatat intake dan output
- Memberikan hidrasi yang adekwat sesuai dengan kebutuhan tubuh
- Memonitor nilai laboratorium : elektrolit / darah BJ urin , serum tubuh
- Mempertahankan intake dan output yang adekwat
- Memonitor dan mencatat berat badan
- Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
- Mengurangi kehilangan cairan yang tidak telihat ( insesible water
loss / IWL )
b) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan
- Mengkaji dan mencatat tanda – tanda Vital ( kualitas dan Frekwensi
denyut nadi, tekanan darah , Cappilary Refill )
97
- Mengkaji dan mencatat sirkulasi pada ektremitas ( suhu , kelembaban
dan warna )
- Menilai kemungkinan terjadinya kematian aringan pada ekstremitas
seperti dingin , neri , pembengkakan kaki )
98
Pencegahan DHF
Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan
cara:
1. Rumah selalu terang
2. Tidak menggantung pakaian
3. Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya
minimal 4 hari sekali
4. Kubur barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat
terkumpulnya air hujan
5. Tutup tempat penampungan air
Perencanaan pemulangan dan PEN KES
6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
7. Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping
8. Menjelaskan gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi gejala
9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
99
DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo
Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.
100