Anda di halaman 1dari 7

1|Page

DASAR TEORI

Kimia Farmasi Analisis adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari tentang
penggunaan sejumlah teknik dan metode untuk memperoleh aspek kualitatif,
kuantitatif, dan informasi struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya, dan
bahan kimia pada umumnya. Analisis kualitatif merupakan analisis untuk
melakukan identifikasi elemen, spesies, dan/atau senyawa-senyawa yang ada di
dalam sampel. Dengan kata lain, analisis kualitatif berkaitan dengan cara untuk
mengetahui ada atau tidaknya suatu analit yang dituju dalam suatu sampel.
Sedangkan analsis kuantitatif adalah analisis untuk menentukan jumlah kadar
absolut atau relatif dari suatu elemen atau senyawa yang ada di dalam sampel
(Gandjar, 2007).

ANALGESIK

Analgetika merupakan senyawa yang dapat menekan fungsi sistem syaraf


pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa menghilangkan
kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa
nyeri (Siswandono dan Suekarjo, 1995).

Menurut Anwar dan Yahya (1973) analgetika dapat dibagi dalam dua
golongan besar, yakni:

1. Analgetika non-narkotik, yaitu obat-obat yang dapat menghilangkan rasa


sakit, nyeri somatik dan tidak dapat menghilangkan rasa sakit jeroan kecuali bila
digabungkan dengan obat-obat lain, tidak menimbulkan adiksi, tidak berkhasiat
terhadap rasa sakit yang hebat.

2. Analgetika narkotika, yaitu bahan-bahan yang dapat menimbulkaN


analgesia yang amat kuat dan dapat menimbulkan kecanduan/adiksi. Pada
2|Page

umumunya bahan-bahan ini didapat dari opium sehingga sering juga disebut
analgetika-opiat.

Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set


point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan
prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus
(Sweetman, 2008). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam
namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena
bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan
antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar
dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).

Paracetamol merupakan turunan senyawa sintesis dari p-aminofenol yang


memberikanefek analgesia dan antipiretika. Senyawa ini dikenal dengan nama lain
asetaminofen, merupakan senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak
memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Senyawa ini memilik nama
kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol atau 4’-
hidroksiasetanilida (Depkes RI, 1979).

Parasetamol merupakan zat aktif pada obat yang banyak digunakan dan
dimanfaatkan sebagai analgesik dan antipiretik. Parasetamol dimetabolisir oleh hati
dan dikeluarkan melalui ginjal. Parasetamol tidak merangsang selaput lendir
lambung atau menimbulkan pendarahan pada saluran cerna. Diduga mekanisme
kerjanya adalah menghambat pembentukan prostaglandin. Obat ini digunakan
untuk melenyapkan atau meredakan rasa nyeri dan menurunkan panas tubuh.
Analisis parasetamol dilakukan untuk memastikan bahwa tablet parasetamol sesuai
dengan kriteria yang tertera pada Farmakope Indonesia dan memastikan bahwa
3|Page

parasetamol dapat memberikan efek farmakologi yang diharapkan pada


pasien (Ansel, 1989).

ASETOSAL

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
merupakan salah satu senyawa yang secara luas digunakan, aspirin digunakan
sebagai obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan.
(Wilmana,1995).

MEKANISME KERJA ASETOSAL

Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan daya absorbsi 70%
dalam bentuk utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorbsi terjadi dalam
usus halus bagian atas. Sebagian AAS dihidrolisa, kemudian didistribusikan ke
seluruh tubuh. Salisilat segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan transeluler
setelah diabsorbsi. Kecepatan absorbsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan
disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Salisilat
dapat ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur dan air susu. Kadar
tertingggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Wilmana, 1995).
4|Page

ANTALGIN

Antalgin merupakan obat analgetik-antipiretik dan antiinflamasi. Analgesik


adalah obat untuk menghilangkan rasa nyeri dengan cara meningkatkan nilai
ambang nyeri di sistem syaraf pusat tanpa menekan kesadaran, sedangkaN
antipiretik merupakan obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi
analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Sedangkan antiinflamasi adalah mengatasi
inflamasi atau peradangan (Tjay dan Kirana, 2007).

Farmakologi antalgin

Antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut
dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam
menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik.
Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa
sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

Farmakodinamika antalgin

Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas
rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik
opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang
merugikan. Sebagai antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam. Kerja analgetik antalgin lebih besar dibandingkan dengan kerja
antipiretik yang dimilikinya. Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah
(Ganiswara,1981).

Farmakokinetik antalgin
5|Page

Fase farmakokinetik adalah perjalanan antalgin mulai titik masuk ke dalam


badan hingga mencapai tempat aksinya. Antalgin mengalami proses ADME yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara simultan
langsung atau tidak langsung melintasi sel membrane (Anief, 1990).

Efek yang tidak diharapkan

Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama
penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat
menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama
penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur (Lukmanto, 1986).

Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia,


trombopenia. Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan
edema. Pada kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot
meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang
cerebral (Widodo, 1993).

DAFTAR PUSTAKA :

1. Anief, M. (1990). Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
6|Page

2. Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi keempat,


Universitas Indonesia Press, Jakarta.
3. Anwar, J. dan Yahya, M. L., 1973, Farmakologi I, Penerbit: Farmakologi
Fakultas Kedokteran USU, Medan.
4. Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Ganiswara, S., 1981, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
6. Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
7. Hammond, R.N., and Boyle, R.N. 2011, Pharmacological versus
nonpharmacological antipyretic treatments in febrile critically ill adult
patients: A systematic review and meta- analysis, Australian Critical
Care.
8. Lukmanto, H., 1986, Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia,
Edisi II,Jakarta.

9. Siswandono dan Soekardjo, B., (2000). Kimia Medisinal. Edisi 2.


Surabaya: Airlangga University Press.
10.Sweetman, S.,C.,2008, Martindale: The Complete Drug Reference, 36th
Ed,The Pharmaceutical Press, London.
11.Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima.
Jakarta: Gramedia.
12.Widodo., J. Bircher., E. Lotterer. (1993). Kumpulan Data Klinik
Farmakologik. Penerjemah: Untung Widodo. Yogyakarta: Penerbit
Gadjah Mada University Press.
7|Page

13.Wilmana, P., (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi


Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Farmakologi dan Terapi. Editor :
Ganiswara, S.G., Edisi IV. Jakarta: UI-Press.

Anda mungkin juga menyukai