Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI OBAT


STUDI KASUS TERPADU

DOSEN PENGAMPU:
Luh Putu Febryana Larasanty, S.Farm., M.Sc., Apt.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III

Ni Putu Intan Satya Dewi (1908551066)


Ketut Yuantarisa Kartika Putri (1908551067)
Ni Made Udayani Dwi Yadnya (1908551068)
Ni Made Marisa Kumala Sari (1908551069)
Komang Tri Wahyu Widiantari (1908551070)
Gst A. A. Khania Adysti (1908551071)
I Made Saka Palguna (1908551072)
Putu Elsabella Putri Utami (1908551073)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
A. PENDAHULUAN
1.1 Pemberian Obat Rasional
Pemberian obat rasional memiliki tujuan menjamin pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat
dengan harga yang terjangkau. WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari
seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan
separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Maka dari itu pemberian obat
rasional harus diperhatikan guna menghindari terjadinya medication error. Penggunaan
obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Peresepan obat
tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara, dan lama pemberian yang keliru, serta
peresepan obat yang mahal merupakan sebagian contoh dari ketidakrasionalan
peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak
negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya (Kemenkes RI,
2011). Dampak negatif yang dimaksud berupa:
• Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman)
• Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)
Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi
sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat.
Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi
yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang
terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat antasida seharusnya dikunyah duhulu baru kemudia ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk
tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah
setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang
yang sedang tumbuh
i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada
beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan
kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindari, karena resiko
terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
j. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi.
k. Tepat Tindak Lanjut (Follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping.
l. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat
penyerahan obat di puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang
dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas
harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien (Kemenkes RI, 2011).
Pada pemberian obat rasional Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan
mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif
dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan
obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas,
keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk
jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di
Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB (Kemenkes RI, 2011).
1.2 Hipertensi
Salah satu penyakit tidak menular yang saat ini menjadi prioritas dalam dunia
kesehatan secara global adalah hipertensi. Menurut American Society of Hypertension
(ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang
progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan
(Nuraini, 2015). Berdasarkan rekomendasi Join National Committee dalam The Eighth
Report of Join National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa tekanan darah tinggi (hipertensi)
merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang ≥140 mmHg (sistolik)
dan/atau ≥ 90 mmHg (Ansar dkk., 2019) setelah dua kali pengukuran terpisah (Nuraini,
2015).
Hipertensi disebut pembunuh gelap atau silent killer karena merupakan penyakit
mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejala terlebih dahulu sebagai peringatan bagi
penderita. Gejala yang muncul sering dianggap gangguan biasa sehingga penderita
terlambat menyadari akan datangnya penyakit. Hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu hipertensi primer atau hipertensi esensial (90- 95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Hipertensi primer yaitu tidak ditemukan penyebab dari
peningkatan tekanan darah tersebut. Hipertensi primer merupakan penyakit
multifaktorial yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan yang dapat
diperparah oleh faktor obesitas, stres, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan lain-lain.
Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti penyakit gagal
ginjal kronik, hiperaldosteonisme, renovaskular, dan penyebab lain yang diketahui
(Anggriani, 2016).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII (Nuraini, 2015).

Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik


Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage-1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi stage-2 ≥160 mmHg ≥ 100 mmHg

Gejala yang sering ditemukan pada peninggian tekanan darah adalah sakit kepala,
epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata
berkunang-kunang, dan pusing. Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat
penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-
pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya
tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk, mengadopsi pola makan
DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium,
diet rendah natrium, aktifitas fisik, dan mengonsumsi alkohol sedikit saja. Pada
sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi, seperti mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien
dari menggunakan obat (Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan
mortalitas akibat tekanan darah tinggi dengan menurunkan tekanan darah serendah
mungkin sampai tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup,
sambil dilakukan pengendalian faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Untuk
membuat penggunaan obat antihipertensi yang rasional, tempat dan mekanisme
kerjanya harus dimengerti (Tyashapsari dan Zulkarnain, 2012). Panduan dalam
pemilihan dosis obat antihipertensi dimulai dengan satu obat kemudian dititrasi hingga
mencapai dosis maksimal. Jika tujuan tekanan darah tidak dicapai dengan penggunaan
satu obat meskipun titrasi dengan dosis maksimum yang disarankan, tambahkan obat
kedua dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB) dan titrasi sampai
dengan maksimum yang disarankan dosis obat kedua untuk mencapai tujuan tekanan
darah (Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga dari daftar
(thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan kombinasi ACEI
dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga untuk maksimum dosis yang dianjurkan untuk
mencapai tujuan tekanan darah. Mulailah dengan 2 obat pada saat yang sama, memulai
terapi dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2 yang terpisah atau sebagai
kombinasi pil tunggal. Titrasi obat ketiga sampai dengan maksimum dosis yang
dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah. Berdasarkan panduan kombinasi
dengan > 2 obat dilakukan ketika tekanan darah sistolik > 160 mmhg dan atau tekanan
darah diastolik > 100 mmhg. Pertimbangkan kombinasi lainnya apabila tekanan darah
sistolik > 20 mmhg di atas target dan atau tekanan darah diastolik > 10 mmhg di atas
target (Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) bekerja
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga bekerja dengan
menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan noradrenalin,
menghambat pelepasan endotelin, meningkatkan produksi substansi vasodilatasi
seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan menurunkan retensi sodium dengan
menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang mungkin terjadi adalah batuk
batuk, skin rash, hiperkalemia. Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria merupakan
efek samping yang jarang. Contoh golongan ACEI adalah captopril, enlapril dan
Lisinopril. Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB) menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume plasma),
menurunkan hipertrofi vaskular sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Efek
samping yang dapat muncul meliputi pusing, sakit kepala, diare, hiperkalemia, rash,
batuk-batuk (lebih kurang dibanding ACE-inhibitor), abnormal taste sensation
(metallic taste). Contoh golongan ARB adalah candesartan, losartan dan valsartan
(Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Tabel 2. Panduan Dosis obat-obatan antihipertensi (Yulanda dan Lisiswanti, 2017).

Golongan obat beta bloker bekerja dengan mengurangi isi sekuncup jantung,
selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan rennin
dari ginjal sehingga mengurangi sekresi aldosteron. Efek samping meliputi kelelahan,
insomnia, halusinasi, menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Contoh
golongan beta bloker adalah atenolol dan metoprolol (Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Golongan obat calcium canal bloker (CCB) memiliki efek vasodilatasi,
memperlambat laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan tekanan darah. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,
bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP dan SGPT, dan gatal gatal juga
pernah dilaporkan. Contoh golongan CCB adalah nifedipine, amlodipine dan diltiazem
(Yulanda dan Lisiswanti, 2017).
Golongan obat Thiazid diuretic bekerja dengan meningkatkan ekskresi air dan
Na+ melalui ginjal yang menyebabkan berkurangnya preload dan menurunkan cardiac
output. Selain itu, berkurangnya konsentrasi Na+ dalam darah menyebabkan sensitivitas
adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau
resistensi perifer menurun. Efek samping yang mungkin timbum meliputi peningkatan
asam urat, gula darah, gangguan profil lipid dan hiponatremia. Contoh golongan
Thiazid diuretic adalah hidroclorotiazid dan indapamide (Yulanda dan Lisiswanti,
2017).
1.3 Dislipidemia
Dislipidemia adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi kolesterol total, kolesterol Low-Density Lipoprotein (LDL), atau
trigliserida, dan/atau penurunan kolesterol High-Density Lipoprotein (HDL) dan
merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner. Dislipidemia merupakan
gangguan umum yang disebabkan oleh kebiasaan gaya hidup di negara-negara maju
dan berkembang dan merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner.
Dislipidemia dihasilkan dari abnormalitas pada metabolisme lipid atau transportasi
lipid plasma atau gangguan dalam sintesis dan degradasi lipoprotein plasma dan
merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi
kolesterol total, kolesterol Low-Density Lipoprotein (LDL), atau trigliserida, dan/atau
penurunan kolesterol High-Density Lipoprotein (HDL) (Anneke dan Sulistiyaningsih,
2018).
Dislipidemia umumnya tidak bergejala sehingga sering diabaikan dan tidak
membawa pasiennya untuk mengunjungi dokter, oleh karena itu deteksi secara dini
sangat diperlukan khususnya pada kelompok yang berisiko tinggi. Pemeriksaan dan
evaluasi kelainan lipid plasma masih terbatas karena kurangnya tingkat kesadaran
masyarakat. Pengobatan dislipidemia meliputi terapi farmakologis dan non
farmakologis (Nanis dan Bakhtiar, 2020). Pasien dengan penyakit dislipidemia
dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh sampai
< 7-10% total energi. Penggantian makanan sumber kolesterol dan lemak jenuh dengan
makanan alternatif lainnya misal produk susu rendah lemak. Pasien disarankan
mengonsumsi makanan padat gizi (sayuran, kacang-kacangan, dan buah) serta
dianjurkan untuk menghindari makanan tinggi kalori (makanan berminyak dan soft
drink) konsumsi makanan suplemen contohnya asam lemak omega 3, makanan tinggi
serat dan sterol. Meskipun begitu, upaya perubahan pola diet harus dilakukan secara
bertahap. Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan pemberian statin, bile acid
sequestrants, asam fibrat, asam nikotinik (niacin), ezetimibe, inhibitor PCSK9, ssam
lemak omega-3 (minyak ikan) (Saragih, 2020).
Mekanisme kerja statin adalah mengurangi pembentukan kolesterol di hati
dengan menghambat secara kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA reduktase.
Pengurangan konsentrasi kolesterol intraseluler meningkatkan ekspresi reseptor LDL
pada permukaan hepatosit yang berakibat meningkatnya pengeluaran K-LDL dari
darah dan penurunan konsentrasi dari K-LDL dan lipoprotein apo-B lainnya termasuk
trigliserid. Golongan statin pada umumnya diminum sekali sehari pada waktu malam
hari. Sediaan statin yang saat ini tersedia dipasaran adalah: simvastatin 5-80 mg,
atorvastatin 10-80 mg, rosuvastatin 5-40 mg, pravastatin 10-80 mg, fluvastatin 20-40
mg (80 mg extended release), lovastatin 10- 40 mg (10-60 mg extended release) dan
pitavastatin 1-4 mg (Saragih, 2020).
Asam empedu disintesa oleh hati dari kolesterol. Asam empedu selanjutnya
disekresikan kedalam lumen usus, namun sebagian besar akan dikembalikan ke hati
melalui absorbsi secara aktif pada daerah ileum terminalis. Mekanisme kerja obat ini
adalah menurunkan kolesterol melalui hambatan tarhadap abrosbsi asam empedu pada
sirkulasi enterohepatik dengan akibat sintesis asam empedu oleh hati sebagian besar
akan berasal dari cadangan kolesterol hati sendiri. Proses katabolisme kolesterol oleh
hati tersebut akan dikompensasi dengan peningkatan aktivitas reseptor LDL yang pada
akhirnya akan menurunkan K-LDL dalam sirkulasi darah. Terdapat tiga jenis obat bile
acid sequestrants yaitu cholestyramine, colestipol dengan dosis 2 takar 2 -3 kali sehari
dan golongan terbaru adalah colsevelam 625 mg 2 kali 3 tablet sehari (3,8 gram/hari).
Obat-obatan tersebut juga terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pasien
hiperglikemik, namun mekanisme kerja sebagai obat anti hiperglikemik dari obat ini
belum diketahui dengan pasti (Saragih, 2020).
Pada terapi asam fibrat, terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat,
ciprofibrat, dan fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan
sintesis trigliserid di hati. Obat ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang
kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar trigliserid, obat ini juga
meningkatkan kadar kolesterol-HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I,
dan A-I. Pada saat ini yang banyak dipasarkan di Indonesia adalah gemfibrozil 600 mg
2 kali sehari dan fenofibrat dengan dosis 45-300 mg (tergantung pabrikan) dosis sekali
sehari (Saragih, 2020).
Terapi yang lainnya yaitu asam nikotinik. Obat ini diduga bekerja menghambat
enzim hormone sensitive lipase di jaringan adiposa, dengan demikian akan mengurangi
jumlah asam lemak bebas. Diketahui bahwa asam lemak bebas ada dalam darah
sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber pembentukkan VLD.
Dengan menurunnya sintesis VLDL di hati, akan mengakibatkan penurunan kadar
trigliserid, dan juga kolesterol-LDL di plasma. Pemberian asam nikotinik ternyata juga
meningkatkan kadar kolesterol-HDL. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
flushing yaitu perasaan panas dan kemerahan pada daerah wajah bahkan di badan.
Dosis niacin bervariasi antara 500-750 mg hingga 1-2 gram yang diberikan pada malam
hari dalam bentuk extended realise (Saragih, 2020).
Obat golongan ezetimibe bekerja dengan menghambat absorbsi kolesterol oleh
usus halus. Kemampuannya moderate didalam menurunkan kolesterol LDL (15-25%).
Pertimbangan penggunaan ezetimibe adalah untuk menurunkan kadar LDL, terutama
pada pasien yang tidak tahan terhadap pemberian statin. Pertimbangan lainnya adalah
penggunaannya sebagai kombinasi dengan statin untuk mencapai penurunan kadar
LDL yang lebih banyak (Saragih, 2020).
Inhibitor PCSK9 merupakan obat golongan obat baru yang disetujui
penggunaannya oleh FDA pada tahun 2015 dengan target utama menurunkan K -LDL.
Merupakan antibodi monoklonal yang berfungsi untuk menginaktivasi Proprotein
Convertase Subtilsin-kexin Type 9 (PCSK9). PCSK9 sendiri berperan dalam proses
degradasi dari reseptor LDL (LDLR), sehingga bila dihambat maka akan meningkatkan
ekspresi dari LDLR pada hepatosit yang pada akhirnya menurunkan kadar K-LDL.
Obat golongan ini diberikan melalui suntikan secara subkutan. Terdapat dua jenis obat
inhibitor PCSK9 yang sudah dipasarkan yaitu alirocumab dengan dosis 75 mg setiap
dua minggu sekali atau 300 mg setiap 4 minggu sekali dan evolocumab dengan dosis
140 mg setiap 2 minggu sekali atau 420 mg sekali sebulan (Saragih, 2020).
Golongan obat asam lemak omega-3 mempunyai efek utama menurunkan kadar
trigliserid, namun tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap K-LDL dan K-HDL.
Laporan dari penelitian-penelitian terbaru mendapatkan bahwa asam lemak omega-3
tidak menyebakan penurunan risiko kardiovaskular pada pasien sindroma metabolik
maupun pada pasien diabetes melitus (Saragih, 2020).
B. DESKRIPSI KASUS
a. Kasus
Tuan Jon Stark datang ke apotek dengan membawa resep sebagai berikut:
R/ Furosemide tab XXX
s.1.d.d.1 pc
R/ Kaptopril 12,5 mg tab LX
s.2.d.d.1 pc
R/ Simvastatin tab XXX
s.1.d.d.1 malam
R/ Aspilet tab XXX
s.1.d.d.1
R/ Sohobion XXX
s.1.d.d.1 ac
Tuan Jon Stark datang dari poli penyakit dalam RSU, usia 55 tahun, BB 67 kg, TB 168
cm. Memiliki riwayat hipertensi st II sejak 8 tahun yang lalu, dislipidemia sejak 2 tahun
yang lalu. Pasien dengan asuransi kesehatan dari pemerintah (PNS).
Hari ini datang untuk kontrol rutin bulanan, mengeluh akhir – akhir ini agak lemas,
pusing dan kaku di tengkuk dan sering kesemutan.
TTV :
TD 150/90 mmHg, RR 20, HR 90, T dbn
Diagnosa :
HT st II dengan dislipidemia
b. Deskripsi
Pasien pria bernama Jon Stark datang ke apotek dengan membawa resep dari
dokter. Dari resep tersebut diketahui identitas pasien yaitu pasien berumur 55 tahun
dengan berat badan 67 kg dan tinggi badan 168 cm. Pasien memiliki riwayat hipertensi
derajat II sejak 8 tahun yang lalu, dan dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu. Pasien
tersebut datang ke poli penyakit untuk kontrol rutin bulanan. Pasien memiliki keluhan
akhir-akhir ini agak lemas, pusing dan kaku di tengkuk serta sering kesemutan. Tanda-
tanda vital pasien meliputi tekanan darah (TD) yaitu 150/90 mmHg, respiratory rate
(RR) pasien 20, dan heart rate (HR) pasien 90. RR dan HR pasien masih dalam rentang
normal, namun TD darah pasien telah melebihi batas normal. Berdasarkan hal tersebut
maka pasien didiagnosis dengan hipertensi tipe II disertai dislipidemia. Hipertensi
merupakan keadaan saat tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg. Sementara dislipidemia merupakan kondisi yang terjadi
saat kadar lipid (lemak) di dalam darah terlalu tinggi atau terlalu rendah. Dokter
spesialis penyakit dalam memberikan resep furosemide diminum 1 kali sehari 1 tablet
setelah makan yang berfungsi sebagai obat diuretik tipe loops, kaptropril sebanyak 60
tablet dikonsumsi 2 kali sehari 1 tablet setelah makan sebagai antihipertensi golongan
ACE inhibitor, 30 tablet simvastatin diminum 1 kali sehari 1 tablet pada malam hari
sebagai penurun kolesterol darah, aspilet sebanyak 30 tablet diminum 1 kali sehari
sebagai antiplatelet, dan suplemen vitamin sohobion diminum 1 kali sehari sebelum
makan sebagai suplemen vitamin neurotropik.
C. ANALISA DAN PENYELESAIAN
Kajian Informasi Obat:
Data Subyektif
1. Pasien memiliki riwayat hipertensi stadium II sejak 8 tahun yang lalu
2. Pasien memiliki riwayat dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu.
3. Keluhan pasien yaitu merasa agak lemas, pusing dan kaku di tengkuk, serta sering
kesemutan.
Data Objektif
1. Usia: 55 tahun
2. Berat Badan: 67 kg
3. Tinggi Badan:168 cm
4. Tekanan Darah: 150/90 mmHg
5. Respiration Rate (RR): 20
6. Heart Rate (HR): 90
Interpretasi Kasus:
Pasien Tuan Jon Stark tergolong kelompok pasien dewasa; BMI (Body Mass Index)
pasien adalah sebesar 23,7387 dan ini masih tergolong kategori normal (tidak obesitas);
Respiration Rate (RR) dan Heart Rate (HR) masih tergolong normal. Pasien didiagnosa
mengalami Hipertensi Stadium II dengan dislipidemia.
1. Tepat Indikasi
- Furosemide: Obat ini digunakan untuk diuretik kuat, namun bukan pilihan yang ideal
untuk hipertensi kecuali diperlukan juga terapi untuk udema (Tjay dan Rahardja,
2015).
- Kaptropil: Obat ini digunakan sebagai antihipertensi lini pertama (Golongan ACE
Inhibitor) (Katzung et al., 2012).
- Simvastatin: Obat ini digunakan sebagai anti kolesterol dan lemak jahat (Golongan
Statin) (BPOM RI, 2017).
- Aspilet: Merupakan aspirin dosis rendah untuk antiplatelet, yang digunakan untuk
mencegah angina pektoris dan infark miokard (MIMS, 2015).
- Sohobion: Obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit karena
kekurangan vitamin B1, B6, dan B12.
Jadi, berdasarkan data indikasi obat di atas dan dikaitkan dengan kondisi pasien yang
akan diterapi, maka semua obat yang telah diresepkan sudah tepat indikasi.
2. Tepat Pasien
Kontraindikasi dari furosemide antara lain gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan
koma hepatik, defisiensi elektrolit, hipovolemia, hipersensitivitas. Diketahui pula pasien
tidak memiliki alergi atau penyakit penyerta selain hipertensi stadium 2 dan
dislipidemia. Selain itu, pasien tergolong kelompok dewasa sehingga tidak memerlukan
penyesuaian dosis. Sehingga semua obat yang diberikan tidak dikontraindikasikan pada
kondisi pasien sehingga peresepan ini telah memenuhi kriteria tepat pasien.
3. Tepat Pemilihan Obat
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat hipertensi stage II sejak 8 tahun yang lalu.
Biasanya, pada pasien hipertensi stage II akan diberikan obat kombinasi diuretik tipe
Thiazide dengan ACEI, ARB, maupun CCB. Namun, perlu diperhatikan penggunaan
dari Thiazide dapat menyebabkan pasien mengalami hiperlipidemia, sehingga
disarankan menggunakan diuretik tipe Loops, seperti Furosemide. Maka, dapat
disimpulkan penggunaan Kaptopril dengan Furosemide untuk menangani hipertensi
pada kasus ini sudah tepat.
Pada kasus ini, pasien juga mengalami dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu.
Kemudian, pasien diberikan obat simvastatin. Simvastatin merupakan terapi lini pertama
dari golongan statin yang berfungsi untuk menurunkan kolesterol dan lemak jahat
(seperti LDL, trigliserida) (Hellosehat, 2021). Sedangkan, pemberian aspilet pada pasien
berfungsi untuk meminimalisir adanya stroke dan pendarahan pada pasien akibat dari
hipertensi stage II. Aspilet merupakan aspirin dosis rendah untuk antiplatelet (MIMS,
2021). Berdasarkan hal tersebut, penggunaan aspirin sebagai antiplatelet dalam kasus ini
dinilai sangat tepat untuk mencegah adanya penyakit kardiovaskuler akibat tekanan
darah yang tinggi.
Pemilihan obat yang akan diberikan kepada pasien perlu adanya perhatian khusus,
seperti adanya interaksi antar obat. Aspilet jika digunakan bersamaan dengan kaptopril
akan menurunkan efek dari kaptopril. Penurunan efek dari kaptopril ini dikarenakan
adanya mekanisme dari aspilet yang dapat menghambat siklooksigenase, penekanan
sintesis prostaglandin dan menekan efek hemodinamik yang dimediasi oleh kelompok
obat ACEI. Rekomendasi yang diberikan adalah dengan memonitoring tekanan darah
jika kedua obat ini sangat diperlukan atau dengan penggunaan dosis aspirin kurang dari
100 mg/hari. Pemberian penjedaan pada penggunaan kaptopril dan aspirin bisa
dilakukan untuk manajemen interaksi obat (Tatro, 2009).
Tidak hanya itu, pada kasus juga digunakan sohobion, yakni suplemen yang
digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit saraf karena kekurangan
vitamin B1, B6, B12 (BPOM RI, 2021). Pasien juga merasakan lemas serta kesemutan
pemberian sohobion merupakan pemilihan obat yang tepat karena sohobion merupakan
suplemen vitamin B kompleks (Pionas, 2015).
4. Tepat Dosis, Tepat Cara Pemberian, Tepat Interval Waktu Pemberian, Tepat
Lama Pemberian
1. Furosemid
Furosemide dikonsumsi dengan dosis 20-80 mg, dengan pengonsumsian 1 atau 2
kali sehari dengan dosis maksimal pemberian adalah 600 mg, karena pada kasus
tidak tertera dosis yang diminta sehingga menyesuaikan dengan dosis yang di
pasaran yaitu 40 mg sehingga sudah sesuai dengan dosis yang ditentukan. Furosemid
diberikan secara oral pada pagi hari setelah makan (BPOM RI, 2021). Pemberian
furosemide dengan interval waktu 24 jam dan diberikan pada pagi hari setelah
makan. Pada umumnya obat ini dikonsumsi hingga tekanan darah pasien menjadi
normal. Sehingga pemberian resep untuk sebulan dapat dikatakan tepat. sebanyak 1
tablet dengan interval waktu 24 jam. Obat ini disimpan pada suhu ruangan, jauhkan
dari cahaya langsung serta tempat yang lembab.
2. Kaptopril
Dosis dewasa untuk Kaptopril Tablet jika digunakan bersama diuretika dan pada usia
lanjut awalnya 12,5 mg sebanyak 2 kali sehari dan untuk dosis penunjang lazim 25
mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (BPOM RI, 2021). pada kasus
berdasarkan resep dosis yang diberikan adalah 12,5 mg dengan pengonsumsian 2
kali dalam sehari (Tepat dosis). Kaptopril tablet diberikan secara oral, dengan
pengonsumsian 2 kali sehari pada pagi dan malam hari setelah makan. Pemberian
kaptopril diberikan dengan interval 2 hingga 4 minggu. Obat ini umumnya
digunakan hingga tekanan darah pasien kembali normal. Sehingga pemberian resep
kaptopril untuk 1 bulan sudah dapat dikatakan tepat lama pemberian. Cara
penyimpanannya setelah disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung
dan tempat yang lembab. Hindari minum alkohol pada saat mengkonsumsi kaptopril
karena akan dapat menurunkan tekanan darah dan dapat meningkatkan efek samping
kaptopril.
3. Simvastatin
Simvastatin dikonsumsi dengan dosis 5-20 mg, aturan pakai obat ini adalah diminum
satu tablet setiap hari pada malam hari, dapat diminum dengan atau tanpa makanan.
Lama penggunaannya adalah selama 30 hari. Karena pada kasus tidak diberikan
dosis, sehingga dapat menggunakan dosis yang yang beredar di pasaran yaitu 10 mg
dan 20 mg, sehingga pemberian dosis sudah tepat. Simvastatin diberikan secara oral
dengan pengonsumsian 1 kali sehari yaitu pada malam hari dengan interval 24 jam.
Simpan obat ini pada kotak obat atau pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya dan
tempat yang lembab. Hindari makan grapefruit atau minum jus grapefruit saat
menggunakan obat ini karena dapat meningkatkan jumlah obat di aliran darah.
4. Aspilet
Aspilet dikonsumsi dengan dosis 80 mg, dengan pengonsumsian sekali sehari,
karena pada kasus tidak diberikan dosis yang diinginkan maka akan diberikan dosis
sesuai yang beredar di pasaran yaitu 80 mg, sehingga pemberian dosis sudah tepat.
Obat ini dikonsumsi dengan air mineral dan dikonsumsi setelah makan. Hindari
konsumsi alkohol dan juga kafein pada saat mengkonsumsi obat ini. Pemberian
aspilet diberikan secara oral setelah makan sebanyak 1 kali sehari dengan interval
24 jam (Brunton et al., 2008). Pada umumnya obat digunakan sebagai terapi
pencegahan yang berkaitan dengan penyakit Jantung. Sehingga pemberian obat ini
dapat dikonsumsi resep (tepat dosis). Aspilet paling baik disimpan pada suhu
ruangan dan dijauhkan dari paparan cahaya langsung serta tempat yang lembab.
Jangan menyimpan aspilet di kamar mandi atau membekukannya. Aspilet dapat
berinteraksi dengan kafein dan salah satu jenis alkohol yaitu etanol. Oleh sebab itu,
kurangi penggunaan kafein dan alkohol saat tidak mengkonsumsi obat ini agar
terhindar dari risiko efek samping.
5. Sohobion
Vitamin B1, B6 dan B12 umumnya dikonsumsi per oral berturut-turut 50-250
mg/hari, 50-500 mg/hari dan 1000 µg/hari. Sohobion diberikan secara oral, dengan
pengonsumsian sebelum makan sesuai dengan resep dokter. Sohobion diberikan
sebelum makan sebanyak 1 kali sehari dengan interval 24 jam. Pemberian sohobion
selama 30 hari sudah tepat. Sohobion paling baik disimpan pada suhu ruangan,
simpan dibawah Suhu 25 derajat Celcius. Jauhkan dari cahaya langsung dan tempat
yang lembab. Jangan disimpan di kamar mandi dan jangan dibekukan.
5. Waspada Terhadap Efek Samping Obat
a. Furosemide
Efek samping Furosemide diantaranya gangguan GI, SSP dan jantung,
hiperglikemia, glukosuria, hiperurisemia, gangguan ginjal (MIMS, 2016)
b. Kaptopril
Efek samping Kaptopril diantaranya proteinuria, idiosinkrasi, rashes, neutropenia,
anemia, trombositopenia, hipotensi (IAI, 2017).
c. Simvastatin
Efek samping simvastatin diantaranya abdominal pain, konstipasi, flatulens,
asthenia, sakit kepala, miopati, repdomiolisis (IAI, 2017).
d. Aspilet
Aspilet mengandung asam asetilsalisilat atau asetosal yang dapat menyebabkan efek
samping yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan risikk
tukak lambung dan pendarahan samar (occult) (Tjay dan Rahardja, 2007).
e. Sohobion
Sohobion mengandung sianokobalamin yang dapat menyebabkan efek samping
berupa reaksi alergi akibat kobal, antara lain eczem dan exanten (Tjay dan Rahardja,
2007).
6. Tepat Informasi
Dalam memberikan suatu terapi atau pengobatan, maka pasien perlu diberikan
informasi mengenai tujuan terapi atau pengobatan tersebut, apakah digunakan untuk
terapi kausatif atau terapi simtomatik. Selain itu, pasien juga harus dijelaskan mengenai
indikasi, aturan pakai, cara penggunaan obat yang benar, lama penggunaan obat, efek
samping yang umum terjadi, aktivitas makanan atau minuman yang harus dihindari,
serta cara penyimpanan obat. Seperti berikut:
a. Furosemide
• Tujuan terapi : Hipertensi
• Aturan pakai : 1 kali sehari setelah makan
• Cara Penggunaan : Obat diminum sekitar 30 menit setelah makan dengan
air putih sebanyak 1 tablet dengan interval waktu 24
jam
• Lama penggunaan obat : 30 hari
• Cara penyimpanan : Obat ini paling baik disimpan pada suhu ruangan,
jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang lembab
• Aktivitas makanan atau minuman : Hindari minum alkohol dengan furosemide
karena dapat menyebabkan efek samping.

(Hellosehat, 2021).
b. Kaptopril
• Tujuan terapi : Hipertensi
• Aturan pakai : 2 kali sehari setelah makan
• Cara penggunaan : Diminum kaptoril 1 jam setelah makan. Pastikan ada
jarak waktu yang cukup antara satu dosis dengan dosis
berikutnya. Usahakan untuk mengonsumsi captopril
pada jam yang sama setiap hari untuk memaksimalkan
efektifitas obat.
• Lama penggunaan : 30 hari
• Cara penyimpanan : Kaptopril disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari
cahaya langsung dan tempat yang lembab
• Aktivitas makanan atau minuman : Hindari minum alkohol pada saat
mengkonsumsi kaptopril karena dapat
menurunkan tekanan darah dan dapat
meningkatkan efek samping kaptopril
tertentu.
(Hellosehat, 2017)
c. Simvastatin
• Tujuan terapi : Untuk pengobatan dislipidemia pasien
• Aturan pakai : 1 tablet setiap hari pada malam hari
• Cara penggunaan : Minum obat ini melalui mulut sekali sehari di malam
hari dapat minum dengan atau tanpa makanan. Untuk
mempermudah mengingat konsumsi obat pada jam
yang sama setiap harinya.
• Lama penggunaan : 30 hari
• Cara penyimpanan : Simpan pada kotak obat atau pada suhu ruang jauhkan
dari cahaya dan tempat yang lembab
• Aktivitas makanan atau minuman : Hindari makan grapefruit (buah anggur)
atau minum jus grapefruit saat
menggunakan obat ini karena dapat
meningkatkan jumlah obat di aliran darah
(Medscape, 2021; WebMD, 2021)
d. Aspilet
• Tujuan terapi : Meredakan nyeri pada otot dan sendi, sakit kepala (IAI,
2019).
• Aturan pakai : 1 kali sehari setelah makan
• Cara penggunaan : Obat diminum sekali sehari setelah makan dengan
interval waktu 24 jam.
• Lama penggunaan : 30 hari
• Cara penyimpanan : Aspilet paling baik disimpan pada suhu ruangan dan
dijauhkan dari paparan cahaya langsung serta tempat
yang lembab. Jangan menyimpan aspilet di kamar
mandi atau membekukannya
• Aktivitas makanan atau minuman : Aspilet dapat berinteraksi dengan kafein
dan salah satu jenis alkohol, yaitu ethanol.
Oleh sebab itu, kurangi penggunaan kafein
dan alkohol saat sedang mengkonsumsi
obat ini agar terhindar dari risiko efek
samping.
(Hellosehat, 2021)
e. Sohobion
• Tujuan terapi : Meredakan kesemutan
• Aturan pakai : 1 kali sehari sebelum makan
• Cara penggunaan : Obat diminum sekali sehari sebelum makan dengan
interval waktu 24 jam
• Lama penggunaan : 30 hari
• Cara penyimpanan : Sohobion paling baik disimpan pada suhu ruangan.
Simpan di bawah suhu 25℃. Jauhkan dari cahaya
langsung dan tempat yang lembab. Jangan disimpan di
kamar mandi. Jangan dibekukan.
• Aktivitas makanan atau minuman : Mengonsumsi alkohol atau tembakau dapat
menyebabkan terjadinya interaksi obat.
Selain hal-hal tersebut, pasien juga
diberikan saran dari aspek non-
farmakologis seperti menjalankan pola
hidup sehat dengan cara menjaga pola
makan, serta meningkatkan aktivitas fisik
sehari-hari.
7. Tepat Tindak Lanjut (Follow up)
Tindak lanjut yang diperlukan berdasarkan kasus tersebut adalah dengan
melakukan kontrol rutin terhadap beberapa hal sebagai berikut:
a. Tekanan darah
Aktivitas mengontrol tekanan darah dilakukan oleh penderita hipertensi dalam
mengontrol tekanan darah di pelayanan kesehatan kontrol tekanan darah pada pasien
hipertensi penting karena tekanan darah tidak terkontrol merupakan faktor risiko
terjadinya komplikasi penyakit lain seperti stroke, aterosklerosis, sindroma
metabolik, dan penyakit ginjal.
b. Profil lipid
Tindak lanjut yang dapat dilakukan yaitu dengan mengontrol rutin tekanan darah dan
profil lipid seperti trigliserida (TG), low-density lipoproteins (LDL), high-density
lipoprotein (HDL) dan kolesterol total dengan cara menerapkan pola hidup sehat
yaitu mengurangi asupan lemak jenuh seperti makanan berminyak dan berlemak,
serta meningkatkan aktivitas fisik dengan berolahraga ringan seperti berjalan cepat,
menyapu halaman, dan membersihkan rumah (PERKI, 2013).
c. Tindakan lainnya yang diperlukan
Selain itu tindak lanjut lain yang perlu diperhatikan yaitu dengan memantau ada
tidaknya masalah yang ditimbulkan terkait terapi yang telah diberikan.
8. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penyerahan obat diberikan kepada Tuan Jon Stark selaku pembawa resep.
Penyiapan obat yang akan diserahkan dilakukan dengan standar operasional prosedur
(SOP) yang sesuai sehingga pasien mendapat obat yang tepat. Adapun SOP penyerahan
obat dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Petugas obat memanggil nama pasien dan memastikan identitas dan alamat pasien
yang lengkap.
b. Petugas memeriksa ulang identitas pasien.
c. Petugas obat memeriksa bahwa yang menerima adalah pasien atau keluarga.
d. Petugas memastikan kendala bahasa dalam penyampaian obat.
e. Petugas obat menyerahkan obat disertai pemberian informasi obat.
f. Petugas obat memberikan informasi cara penggunaan obat dan efek samping obat.
g. Petugas obat mengkonfirmasikan apabila ada alergi obat segera kembali ke
pelayanan kesehatan untuk ditindak lanjuti.
h. Petugas obat menerima/keluarga pasien mengulang cara penggunaan obat yang telah
disampaikan.
i. Petugas memastikan pasien memahami informasi obat yang telah disampaikan
dengan cara meminta pasien untuk mengulang informasi yang sudah diberikan.
Petugas obat meminta pasien untuk menandatangani resep.
(Nylidia, dkk., 2018).
D. PEMBAHASAN
Pasien yang tidak patuh dalam pengobatan adalah satu dari sekian masalah yang
sering dihadapi dalam terapi pasien penyakit kronis. Ketidakpatuhan pasien dapat
menyebabkan kegagalan terapi sehingga dapat memicu progresifitas maupun komplikasi
penyakit (Larasanty dkk., 2016). Studi kasus terpadu bertujuan agar dapat melakukan
kajian terhadap informasi obat secara lengkap dan luas dalam melakukan suatu
penyelesaian kasus berdasarkan prinsip penggunaan obat yang rasional.
Pengobatan yang rasional merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis,
dimana terkait komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan dan penentuan dosis obat,
penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara
pengemasan, pemberian label, dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita. Komponen
paling penting dari penggunaan obat secara rasional adalah pemilihan dan penentuan dosis
lewat peresepan yang rasional. Peresepan yang rasional, selain akan menambah mutu
pelayanan kesehatan akan menambah efektifitas dan efisiensi. Melalui obat yang tepat,
dosis yang tepat dan cara pemakaian yang tepat penyakit dapat disembuhkan lebih cepat
dengan resiko yang lebih kecil kepada penderita. Penggunaan obat yang rasional meliputi
tepat indikasi, tepat pasien, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat
interval waktu, tepat lama pemberian waspada efek samping obat. Dalam pelaksanaan
penggunaan obat yang rasional hal yang harus diperhatikan yaitu tepat informasi, tepat
tindak lanjut (follow up) dan tepat penyerahan obat (dispensing).
Tepat indikasi adalah apabila terdapat indikasi yang benar untuk penggunaan obat
tersebut sesuai diagnosa dan manfaat terapinya sudah terbukti. Dari kasus tersebut, Tuan
Jon Stark diberikan lima obat, antara lain furosemide, kaptopril, simvastatin, aspilet, dan
sohobion. Furosemide (diuretik) adalah obat untuk mengurangi cairan berlebih dalam
tubuh (edema) yang disebabkan oleh kondisi seperti gagal jantung, penyakit hati, dan
ginjal. Obat ini juga digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi (Hellosehat, 2021).
Kaptopril juga berfungsi untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi). Kaptopril
masuk ke dalam kelompok obat-obatan jantung yang disebut ACE inhibitors. Obat ini
bekerja dengan menghambat enzim pengubah angiotensin yang kemudian menurunkan
jumlah angiotensin II (hormon yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan
meningkatkan tekanan darah). Selain untuk mengobati hipertensi, kaptopril juga membantu
mencegah stroke, serangan jantung, nefropati diabetes, dan masalah ginjal (Hellosehat,
2021). Dalam kasus Tuan Jon Stark, penggunaan kombinasi furosemide dan kaptopril dapat
menyebabkan interaksi farmakodinamik dimana efek hipotensi meningkat (Mahamudu
dkk., 2017). Interaksi obat antara furosemid dan kaptopril adalah kombinasi yang paling
tepat untuk mengobati hipertensi, artinya kedua obat ini sudah tepat indikasi.
Golongan obat statin merupakan obat yang paling aman dan paling efektif dalam
mengatasi dislipidemia (Clark, 2003). Simvastatin adalah obat yang berfungsi menurunkan
kolesterol dan lemak jahat (seperti LDL, trigliserida). Obat ini juga dapat membantu
meningkatkan kolesterol baik (HDL) dalam darah (Hellosehat, 2021). Untuk terapi
dislipidemia pada kasus Tuan Jon Stark sudah tepat indikasi, namun terlepas dari keamanan
dan kemanjuran obat statin, banyak pasien yang menjalani terapi statin gagal mencapai
tujuan pengobatan seringkali karena penggunaan yang kurang optimal, masalah
tolerabilitas, atau kurangnya kepatuhan, maka dari itu pelayanan informasi obat oleh
apoteker sangat diperlukan untuk mencegah hal-hal tersebut terjadi.
Hipertensi st II beresiko tinggi terkena penyakit jantung koroner, yang dapat
menyebabkan serangan jantung atau stroke. Aspilet merupakan obat golongan antiplatelet.
Dan berfungsi untuk mengencerkan darah dan mencegah penggumpalan di pembuluh
darah. Selain itu aspilet dapat mencegah penyakit stroke iskemik, transient ischemic attack
(stroke ringan), myocardial infarct akut stroke, angina pektoris tidak stabil dan angina
pektoris stabil kronis (Hellosehat, 2021). Aspilet dosis rendah dapat digunakan untuk
mencegah penyakit kardiovaskular pada pasien dengan tekanan darah terkontrol.
Penggunaan aspirin pada pasien dengan tekanan darah tidak terkontrol dapat meningkatkan
risiko stroke hemoragik (JNC 7, 2003). Dalam kasus Tuan Jon stark, penggunaan aspilet
sudah tepat indikasi untuk mencegah resiko hipertensi st II. Tetapi interaksi antara aspilet
dengan kaptopril menyebabkan indikasi yang moderate (Drugs.com, 2021). Sebelum
minum aspilet, informasikan dokter yang bersangkutan jika pasien juga menggunakan
kaptopril dalam waktu yang bersamaan. Kombinasi kedua obat ini memerlukan
penyesuaian dosis atau tes khusus agar aman. Kemudian dilakukan monitoring terhadap
tekanan darah pasien dan fungsi ginjal.
Pemberian sohobion dapat mengatasi gejala atau keluhan neuropati perifer yang
ditandai dengan nyeri, rasa terbakar, kesemutan dan mati rasa (Dewi dkk., 2016).
Penurunan gejala neuropati dengan farmakoterapi yang dapat digunakan antara lain dengan
antikonvulsan, antidepresan dan neurotropik yang termasuk didalamnya adalah vitamin B1,
B6, dan B12. Vitamin ini berfungsi menormalkan fungsi saraf dengan memperbaiki
gangguan metabolisme saraf melalui pemberian asupan yang dibutuhkan. Sohobion
merupakan suplemen vitamin B kompleks dengan komposisi vitamin B1 100 mg, vitamin
B6 200 mg, vitamin B12 200 mcg (MIMS, 2021). Pada kasus Tuan Jon Stark, pemberian
sohobion sudah tepat indikasi.
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam, maka dari itu pemilihan obat
harus tepat dengan kondisi pasien. Kontraindikasi dari furosemide antara lain: gagal ginjal
dengan anuria, prekoma dan koma hepatik, defisiensi elektrolit, hipovolemia,
hipersensitivitas. Kaptopril memiliki kontraindikasi yaitu, hipersensitif terhadap
penghambat ACE (termasuk angioedema), penyakit renovaskular (pasti atau dugaan),
stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung, kehamilan, porfiria. Terdapat
juga kontraindikasi pada simvastatin seperti hipersensitivitas, penyakit hati, kehamilan atau
akan hamil, menyusui, gagal ginjal berat. Kontraindikasi dari aspilet, antara lain tidak boleh
dikonsumsi oleh usia dibawah 16 tahun dengan infeksi virus (seperti influenza dan
varicella) karena berkaitan dengan sindrom Reye, ibu menyusui, tukak peptik aktif,
hemofilia, gangguan perdarahan, hipersensitivitas, polip nasal yang berkaitan dengan asma.
Dan untuk suplemen vitamin B kompleks sohobion tidak dianjurkan dikonsumsi oleh
pasien yang alergi terhadap kandungan di dalamnya. Berdasarkan riwayat dan diagnosa
Tuan Jon Stark, kelima obat ini sudah tepat pasien. Namun, peresepan dalam kasus tersebut
kurang lengkap dari segi dosis maka dari itu untuk menindaklanjuti peresepan yang kurang
lengkap, diharapkan menghubungi dokter penulis resep.
Penggunaan obat yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif yang besar yang
merugikan unit atau instansi pelayanan kesehatan pasien maupun masyarakat sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pemilihan dan penggunaan obat secara tepat, sehingga intervensi obat
dapat mencapai sasarannya (penyembuhan penderita) dengan efek samping obat seminimal
mungkin dan instruksi penggunaan obat dapat dipatuhi oleh pasien (Pahlawan dkk., 2013).
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat hipertensi stage II sejak 8 tahun yang lalu.
Furosemid dan kaptopril memiliki indikasi sebagai antihipertensi, namun dari golongan
yang berbeda. Kombinasi antihipertensi digunakan pada hipertensi stage II dan pada kasus
hipertensi dengan penyakit penyerta. Kombinasi dua obat hipertensi umumnya dilakukan
antara diuretik tiazid dengan obat golongan ACEI atau ARB atau beta bloker atau CCB.
Selain itu, adapun kombinasi antara kaptopril dengan furosemid (Lutfiyati, 2017).
Furosemid obat golongan diuretik dari kelas loop diuretic bekerja menghambat
reabsorbsi Na dan Cl menyebabkan naiknya ekskresi air, Na, dan Ca (Prasetyo dkk., 2015).
Sedangkan, Kaptopril merupakan golongan ACEI yang dianggap sebagai lini kedua setelah
diuretik (Adrian, 2019). ACE Inhibitor dapat diberikan untuk pengobatan tunggal maupun
secara kombinasi, karena keefektifan dan keamanannya. Obat ini efektif pada sebagian
besar pasien dan kombinasi ACE inhibitor dengan diuretik memberikan efek sinergistik.
Kaptopril sering digunakan pada hipertensi ringan sampai berat dan pada dekompensasi
jantung, dimana kombinasinya dengan diuretika akan memperkuat efeknya (Lutfiyati,
2017; Tjay dan Rahardja, 2015). Dalam kasus ini, kombinasi antara furosemid dan
kaptopril merupakan salah satu Fixed-dose Combination yang paling efektif untuk terapi
hipertensi (Binfar, 2006). Maka, dapat disimpulkan penggunaan kaptopril dengan
furosemid untuk menangani hipertensi pada kasus ini sudah tepat.
Pada kasus ini, pasien juga mengalami dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu.
Kemudian, pasien diberikan obat simvastatin. Simvastatin merupakan terapi lini pertama
dari golongan statin yang berfungsi untuk menurunkan kolesterol dan lemak jahat (seperti
LDL, trigliserida) (Hellosehat, 2021). Pada kasus ini, pemberian simvastatin dikatakan
sudah tepat obat untuk pengobatan dislipidemia yang diderita pasien. Sedangkan,
pemberian aspilet pada pasien berfungsi untuk meminimalisir adanya stroke dan
pendarahan pada pasien akibat dari hipertensi stage II. Aspilet merupakan aspirin dosis
rendah untuk antiplatelet (MIMS, 2021). Pasien juga merasakan lemas serta kesemutan
pemberian sohobion merupakan pemilihan obat yang tepat karena sohobion merupakan
suplemen vitamin B kompleks (Pionas, 2015). Penelitian mengenai pengaruh pemberian
vitamin B1, B6 dan B12 pada pasien hipertensi belum banyak tersedia Namun penelitian
pada pasien neuropati perifer akibat diabetes, pemberian kombinasi vitamin B1, B6 dan
B12 digunakan untuk mengatasi gejala neuropati perifer yang ditandai dengan nyeri, rasa
terbakar, kesemutan dan mati rasa (Dewi dkk., 2016). Berdasarkan hal tersebut, pemberian
sohobion pada pasien dapat disimpulkan tepat obat untuk mengatasi gejala kaku tengkuk
dan sering kesemutan yang diderita pasien.
Pemilihan obat yang akan diberikan kepada pasien perlu adanya perhatian khusus,
seperti adanya interaksi antar obat. Berdasarkan resep obat yang diterima pasien,
penggunaan aspilet yang digunakan bersamaan dengan kaptopril akan menurunkan efek
dari kaptopril. Penurunan efek dari kaptopril ini dikarenakan adanya mekanisme dari
aspilet yang dapat menghambat siklooksigenase, penekanan sintesis prostaglandin dan
menekan efek hemodinamik yang dimediasi oleh kelompok obat ACEI. Rekomendasi yang
diberikan adalah dengan memonitoring tekanan darah jika kedua obat ini sangat diperlukan
atau dengan penggunaan dosis aspirin kurang dari 100 mg/hari. Pemberian penjedaan pada
penggunaan kaptopril dan aspirin bisa dilakukan untuk manajemen interaksi obat (Tatro,
2009).
Berdasarkan resep yang telah diberikan kepada pasien, dapat dilihat bahwa
keterangan dosis penggunaan untuk obat yang diresepkan belum terlalu jelas. Maka, perlu
dilakukan konfirmasi kembali kepada dokter penulis resep dan didokumentasikan pada
resep bahwa dokter telah dihubungi. Ketepatan dosis penggunaan bagi pasien sangat
berpengaruh dalam pengobatan pasien khususnya dalam potensi terjadinya efek samping,
kontraindikasi, atau tanda-tanda toksisitas. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian
terhadap dosis penggunaan yang sesuai dengan pasien.
Furosemide dikonsumsi dengan dosis 20-80 mg, dengan pengonsumsian 1 atau 2 kali
sehari dengan dosis maksimal pemberian adalah 600 mg, karena pada kasus tidak tertera
dosis yang diminta sehingga menyesuaikan dengan dosis yang di pasaran yaitu 40 mg
sehingga sudah sesuai dengan dosis yang ditentukan. Furosemide diberikan secara oral
pada pagi hari setelah makan (BPOM RI, 2021). Pemberian furosemide dengan interval
waktu 24 jam dan diberikan pada pagi hari setelah makan. Pada umumnya obat ini
dikonsumsi hingga tekanan darah pasien menjadi normal. Sehingga pemberian resep untuk
sebulan dapat dikatakan tepat.
Dosis dewasa untuk kaptopril tablet jika digunakan bersama diuretika dan pada usia
lanjut awalnya 12,5 mg sebanyak 2 kali sehari dan untuk dosis penunjang lazim 25 mg 2
kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (BPOM RI, 2021). Pada kasus berdasarkan resep
dosis yang diberikan adalah 12,5 mg dengan pengonsumsian 2 kali dalam sehari (tepat
dosis). Kaptopril tablet diberikan secara oral, dengan pengonsumsian 2 kali sehari pada
pagi dan malam hari setelah makan. Pemberian kaptopril diberikan dengan interval 2
hingga 4 minggu. Obat ini umumnya digunakan hingga tekanan darah pasien kembali
normal. Sehingga pemberian resep kaptopril untuk 1 bulan sudah dapat dikatakan tepat
lama pemberian. Karena penggunaan kaptopril dan furosemid bersamaan dapat
menimbulkan interaksi yang dapat menurunkan kerja kaptopril, maka sehingga
pemberiannya tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau memerlukan adanya
pengaturan waktu pemberian masing-masing obat. Simvastatin dikonsumsi dengan dosis
5-20 mg, dengan pengonsumsian 1 kali sehari pada malam hari, karena pada kasus tidak
diberikan dosis, sehingga dapat menggunakan dosis yang yang beredar di pasaran yaitu 10
mg dan 20 mg, sehingga pemberian dosis sudah tepat. Simvastatin diberikan secara oral
dengan pengonsumsian 1 kali sehari yaitu pada malam hari dengan interval 24 jam.
Obat yang diresepkan untuk pasien selanjutnya adalah aspilet. Obat ini dikonsumsi
dengan dosis 80 mg, dengan pengonsumsian sekali sehari, karena pada kasus tidak
diberikan dosis yang diinginkan maka akan diberikan dosis sesuai yang beredar di pasaran
yaitu 80 mg, sehingga pemberian dosis sudah tepat. Obat ini dikonsumsi dengan air mineral
dan dikonsumsi setelah makan. Hindari konsumsi alkohol dan juga kafein pada saat
mengkonsumsi obat ini. Pemberian aspilet diberikan secara oral setelah makan sebanyak 1
kali sehari dengan interval 24 jam (Brunton et al., 2008). Pada umumnya obat digunakan
sebagai terapi pencegahan yang berkaitan dengan penyakit Jantung. Sehingga pemberian
obat ini dapat dikonsumsi resep (tepat dosis). Vitamin B1, B6 dan B12 umumnya
dikonsumsi per oral berturut-turut 50-250 mg/hari, 50-500 mg/hari dan 1000 µg/hari.
Sohobion diberikan secara oral, dengan pengonsumsian sebelum makan sesuai dengan
resep dokter. Sohobion diberikan sebelum makan sebanyak 1 kali sehari dengan interval
24 jam. Pemberian sohobion selama 30 hari sudah tepat.
Selain memberikan efek terapi, obat juga mempunyai efek samping yang dapat
merugikan. Berkaitan dengan itu perlu dilakukan monitoring terhadap efek samping obat.
WHO (World Health Organization) juga menyetujui pentingnya dilakukan pemantauan
dengan dikumpulkannya data efek samping obat yang pernah dilaporkan dari seluruh dunia
(Almasdy dkk., 2018). Berdasarkan obat yang diresepkan pada pasien, perlu dilakukan
pengkajian terkait efek samping obat dengan tujuan akhir pasien daapat mengenali gejala
yang muncul setelah penggunaan obat dan dapat menghubungi dokter atau apoteker terkait
penanganan lebih lanjut. Efek samping yang umunnya dapat terjadi akibat penggunaan
furosemide diantaranya gangguan GI, SSP dan jantung, hiperglikemia, glukosuria,
hiperurisemia, gangguan ginjal (MIMS, 2016). Sedangkan, efek samping penggunnaan
kaptopril diantaranya proteinuria, idiosinkrasi, rashes, neutropenia, anemia,
trombositopenia, hipotensi (IAI, 2017).
Adapun efek samping dari penggunaan simvastatin diantaranya abdominal pain,
konstipasi, flatulens, asthenia, sakit kepala, miopati, repdomiolisis (IAI, 2017).
Berdasarkan hal tersebut, apabila selama penggunaan obat terdapat gejala yang tidak biasa
seperti yang telah disebutkan diatas, apoteker dapat menyampaikan kepada pasien bahwa
harap untuk segera berkonsultasi agar dapat dilakukan penanganan untuk mengatasinya.
Karena aspilet mengandung asam asetilsalisilat atau asetosal yang dapat menyebabkan efek
samping yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan risiko tukak
lambung dan pendarahan samar (occult) (Tjay dan Rahardja, 2007). Pemberian obat-obatan
yang dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung sebaiknya dihindari jika pasien memiliki
riwayat tukak lambung. Namun, apabila pasien tidak memiliki riwayat tersebut, dapat
dilakukan pencegahan dengan menyediakan antasida untuk menetralisir lambung. Selain
itu, pasien dapat dihimbau agar tidak melewatkan jam makan karena dapat meningkatkan
produksi asam lambung (maag) yang dikhawatirkan memicu risiko tukak lambung.
Kemudian, untuk mengatasi gejala kaku tengkuk dan sering kesemutan yang diderita pasien
maka diberikan sohobion yang mengandung kombinasi vitamin B1, B6 dan B12. Meskipun
berupa kombinasi vitamin, sohobion mengandung sianokobalamin yang juga dapat
menyebabkan efek samping diantaranya reaksi alergi akibat kobal, antara lain eczem dan
exanten (Tjay dan Rahardja, 2007).
Pemberian informasi kepada pasien merupakan hal yang sangat penting berkaitan
dengan pemakaian obat karena berpengaruh terhadap keamanan dan efektivitas
pengobatan. Dalam pemberian suatu informasi kepada pasien, dapat disampaikan secara
lisan ataupun demonstrasikan langsung di hadapan pasien, agar pasien semakin paham
terhadap informasi yang diberikan. Jika dalam proses pengobatan ada sebuah informasi
yang susah diingat oleh pasien alangkah baiknya bila disampaikan secara tertulis (berupa
etiket), karena akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan
(Rusly, 2016). Dalam penyampaian informasi, ada beberapa informasi yang perlu
disampaikan kepada pasien, meliputi tujuan terapi obat, aturan pakai masing-masing obat,
cara penggunaan obat yang benar, cara penyimpanan obat yang benar serta aktivitas
makanan dan minuman yang harus dihindari. Berdasarkan kasus yang diberikan
penggunaan kaptopril dan furosimed pada resep ditujukan untuk mengobati hipertensi,
simvastatin ditujukan untuk pengobatan dislipidemia. Aspilet pada resep sebagai
antiplatelet yang dapat menghambat agregasi platet, pencegahan terjadinya komplikasi ke
sistem kardiovaskuler akibat faktor risiko dari hipertensi dan dislipidemia yaitu terapi
profilaksis risiko stroke dan sohobionm merupakan vitamin yang digunakan untuk
mencegah dan mengobati kekurangan vitamin B1, B6, B12 pada penderita beri-beri,
neuritis perifer (gangguan yang terjadi akibat kerusakan pada sistem saraf) dan neuralgia
(gangguan rasa sakit yang disebabkan oleh masalah pada sinyal saraf)..
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap informasi pada resep terdapat beberapa
informasi yang diberikan kurang tepat pada beberapa obat. Pada obat furosemide kurang
dijelaskan mengenai waktu pengonsumsiannya, apakah diminum pada pagi atau malam
hari, karena pemberian furosemide pada malam hari dapat mengganggu waktu istirahat
karena dapat meimbulkan efek diuresis. Pemberian kaptopril tidak diberikan informasi
terkait pengomsumsiannya setelah atau sebelum makan, berdasarkan MIMS (2016)
kaptopril diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan, sehingga obat akan
lebih mudah diabsorpsi, sehingga pasien tepat waktu dalam mengonsumsi obat kaptopril.
Pada resep juga terdapat aspilet yang digunakan sebagai antiplatelet sehingga pemberian
aspilet tidak boleh diberikan bersamaan dengan kaptopril karena dapat menyebabkan
penurunan efek kaptopril. Penurunan efek tersebut karena mekanisme aspirin dapat
menghambat siklooksigenase penekan sintesis prostaglandin dan menekan efek
hemodinamik yang dimediasi oleh kaptropril. Pemberian penjedaan pada penggunaan
kaptopril dan aspilet dapat dilakukan untuk mencegah interaksi obat yang merugikan.
Tahapan berikutnya adalah tepat tindak lanjut, Tahapan ini dilakukan untuk
mengecek mengenai perkembangan penyakit yang dialami pasien. Tujuan dilakukannya
tahapan ini adalah untuk menjamin keamanan pasien (patient safety) dan keamanan
pengobatan (medication safety). Berdasarkan pengobatan yang telah dilakukan, tindak
lanjut ini meliputi, pengkajian tepat tindak lanjut pemantauan ada tidaknya masalah yang
ditimbulkan terkait pengobatan yang diberikan. Berdasarkan kasus yang diberikan dapat
dilihat bahwa, belum tepat tindak lanjut, hal tersebut dikarenakan pemberian kaptopril
belum tepat dosis dan interval waktu pemberian selain itu, aspirin yang digunakan secara
bersamaan dengan kaptopril, akan menyebabkan penurunan efek dari kaptopril yang
dikonsumsi. Kombinasi kaptopril dan furosemid dapat menyebabkan penurunan efek
furosemid (loop diuretic) karena penghambatan angiotensin II dari ACEi.
Selain tindak lanjut yang dilakukan pada pengobatan, perlu juga melakukan tindak
lanjut terhadap kondisi pasien meliputi penyakit hipertensi yang dialami pasien, karena
ditakutkan dapat menimbulkan komplikasi meliputi stroke, aterosklerosis, aneurisma,
sindroma metabolik, dan penyakit ginjal (Roesmono dkk., 2017). Sehingga tindak lanjut
yang dilakukan pasien sudah tepat untuk penyakit hipertensi yang diderita, karena pasien
sudah melakukan kontrol tekanan darah secara rutin, pada kasus tersebut terlihat bahwa
pasien memiliki TD 150/90 mmHg. Selain pemerikasaan tekanan darah diperlukan juga
dilakukan pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital seperti RR (laju pernafasan) 20 x/menit,
HR (nadi) 90 x/menit untuk menganalisis potensi stroke dan tindak lanjut (follow up)
dilakukan juga pemeriksaan profil lipid. Berdasarkan kasus terdapat beberapa tindak lanjut
yang belum dilakukan oleh pasien, sehingga ada beberapa tindak lanjut yang belum tepat
sehingga masih perlu dikaji.
Tahap terakhir yang dilakukan adalah penyerahan obat kepada pasien, penggunaan
obat rasional melibatkan dispenser (apoteker) sebagai penyerah obat dan pasien itu sendiri
yaitu Tuan Jon Stark selaku pembawa resep. Penyiapan obat dilakukan dengan standard
operasional prosedur yang sesuai sehingga pasien mendapat obat yang tepat. Prinsip dalam
pemberian obat menurut (Hidayat dan Uliyah, 2014) meliputi benar pasien dimana sebelum
memberikan obat cek kembali identitas pasien, benar obat, sebelum memberikan obat
kepada pasien, label pada botol atau kemasan harus di periksa minimal 3 kali. Benar dosis
dalam memberikan obat harus memeriksa dosis obat dengan hati-hati dan teliti, benar
cara/rute, artinya ada banyak rute/cara dalam memberikan obat, harus teliti dan berhati-hati
agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat dan benar waktu, dimana sangat penting
khususnya bagi obat yang efektivitas tergantung untuk mencapai atau mempertahankan
darah yang memadai, ada beberapa obat yang diminum sesudah atau sebelum makan, juga
dalam pemberian antibiotik tidak oleh di berikan bersamaan dengan susu, karna susu dapat
mengikat sebagian besar obat itu,sebelum dapat di serap tubuh. Benar dokumentasi, setelah
obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu
diberikan, dan jika pasien menolak pemberian obat maka harus didokumentasikan juga
alasan pasien menolak pemberian obat (Feriani, 2020).
Berdasarkan resep, dalam menyerahkan obat petugas harus memberikan informasi
yang tepat kepada pasien yaitu bapak Tuan Jon Stark selaku pembawa resep. Dalam resep
beberapa informasi yang diperlukan untuk penyerahan obat sudah sesuai, sehingga pada
saat dilakukan penyerahan obat tidak terjadi kesalahan, misalnya kesalahan saat
pemanggilan nama pasien karena kemiripan nama. Pada kasus juga ada beberapa hal yang
perlu diberikan juga terkait waktu pengonsumsian obat yang kurang spesifik pada resep
sehingga pada saat penyerahan obat hendaknya apoteker selaku pengelola memberikan
informasi yang lebih spesifik pada pasien, sehingga dalam penggunaannya tidak terjadi
reaksi antar obat yang diresepkan. Untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penyerahan
obat, etiket merupakan suatu hal yang sangat penting, hal tersebut karena etiket berisikan
informasi terkait terapi yang akan dilakukan oleh pasien. Warna etiket juga perlu
diperhatikan, karena menandakan cara pemberian obat, misalnya pada resep ini etiket yang
digunakan berwarna putih karena diberikan secara oral. Berikut merupakan gambar etiket
berdasarkan resep pada kasus:
APOTEK FARMASI UDAYANA
Bukit Jimbaran, Bali
Telp. (0361) 7831630

APA : PUTU ELSABELLA PUTRI UTAMI


SIPA : 1908551073
SIA : GOLONGAN C
No. 1 Tgl. 31 Mei 2021

Tuan John Stark (55 Tahun)


1x sehari, 1 tablet

Sesudah Makan

TIDAK BOLEH DIULANG TANPA RESEP BARU


DARI DOKTER
Gambar 1. Etiket Furosemide
APOTEK FARMASI UDAYANA
Bukit Jimbaran, Bali
Telp. (0361) 7831630

APA : PUTU ELSABELLA PUTRI UTAMI


SIPA : 1908551073
SIA : GOLONGAN C
No. 1 Tgl. 31 Mei 2021

Tuan John Stark (55 Tahun)


2x sehari, 1 tablet (12,5 mg)

Sesudah Makan

TIDAK BOLEH DIULANG TANPA RESEP BARU


DARI DOKTER

Gambar 2. Etiket Kaptopril

APOTEK FARMASI UDAYANA


Bukit Jimbaran, Bali
Telp. (0361) 7831630

APA : PUTU ELSABELLA PUTRI UTAMI


SIPA : 1908551073
SIA : GOLONGAN C
No. 1 Tgl. 31 Mei 2021

Tuan John Stark (55 Tahun)


1x sehari, 1 tablet (malam hari)

Sesudah Makan

TIDAK BOLEH DIULANG TANPA RESEP BARU


DARI DOKTER

Gambar 3. Etiket Simvastatin

APOTEK FARMASI UDAYANA


Bukit Jimbaran, Bali
Telp. (0361) 7831630

APA : PUTU ELSABELLA PUTRI UTAMI


SIPA : 1908551073
SIA : GOLONGAN C
No. 1 Tgl. 31 Mei 2021

Tuan John Stark (55 Tahun)


1x sehari, 1 tablet

TIDAK BOLEH DIULANG TANPA RESEP BARU


DARI DOKTER

Gambar 4. Etiket Aspilet


APOTEK FARMASI UDAYANA
Bukit Jimbaran, Bali
Telp. (0361) 7831630

APA : PUTU ELSABELLA PUTRI UTAMI


SIPA : 1908551073
SIA : GOLONGAN C
No. 1 Tgl. 31 Mei 2021

Tuan John Stark (55 Tahun)


1x sehari, 1 tablet

Sebelum Makan

Gambar 5. Etiket Sohobion


E. HASIL TANYA JAWAB
1. Kapan waktu yang tepat untuk penggunaan furosemide?
Furosemide digunakan untuk mengurangi cairan berlebih dalam tubuh (edema)
disebabkan oleh kondisi seperti gagal jantung, penyakit hati, dan ginjal. Selain itu,
furosemide digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Furosemide sebaiknya
diberikan pada pagi hari karena dapat menimbulkan efek diuresis yang dapat mengangu
waktu istirahat jika digunakan pada malam hari. Jika digunakan pada malam hari,
sebaiknya jangan menggunakan obat ini dalam 4 jam sebelum tidur agar tidak
terbangun untuk buang air kecil (Hellosehat, 2021).
2. Bagaimana interaksi antara kaptopril dengan aspilet (aspirin)?
Aspilet jika digunakan bersamaan dengan kaptopril akan menurunkan efek dari
kaptopril. Penurunan efek dari kaptopril ini dikarenakan adanya mekanisme dari aspilet
yang dapat menghambat siklooksigenase, penekanan sintesis prostaglandin dan
menekan efek hemodinamik yang dimediasi oleh kelompok obat ACEI. Rekomendasi
yang diberikan adalah dengan memonitoring tekanan darah jika kedua obat ini sangat
diperlukan atau dengan penggunaan dosis aspirin kurang dari 100 mg/hari. Pemberian
penjedaan pada penggunaan kaptopril dan aspirin bisa dilakukan untuk manajemen
interaksi obat (Tatro, 2009).
F. KESIMPULAN
Penggunaan obat rasional merupakan hal yang sangat berperan penting dalam
keberhasilan terap. Adapun beberapa hal dalam proses penggunaan obat rasional ada yang
perlu diperhatikan meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat pemilihan obat, tepat dosis,
tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, dan tepat lama pemberian.
Berdasarkan resep pada kasus, hampir semua tahapan terapi sudah rasional proses
pengobatan, namun terdapat beberapa hal yang perlu dikaji kembali mengenai adanya
interaksi obat yang merugikan antara kaptropil dengan furosemide dan aspilet pada
penggunaan secara bersamaan sehingga harus diberikan jeda waktu pemberian. Adapun
beberapa obat yang waktu pengonsumsian obat kurang spesifik yaitu furosemide, dimana
pada resep tidak dijelaskan dikonsumsi pada pagi atau malam hari karena, pemberian
furosemide pada malam hari dapat mengganggu waktu istirahat karena dapat meimbulkan
efek diuresis, sehingga perlu dijelaskan dengan spesifik. Selain itu, dapat disimpulkan pula
bahwa pada kasus belum tepat tindak lanjut karena pada pemeriksaan lipid total yang dilihat
dari tidak terdapat pemeriksaan parameter yang berkaitan dengan dislipidemia meliputi
trigliserida (TG), low-density lipoproteins (LDL), high-density lipoprotein (HDL) dan
kolesterol total.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, S. J. T. 2019. Hipertensi Esensial: Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru pada Dewasa.
CDK-247. 46(3): 172-178.
Almasdy, D., Y. O. Sari, H. T. Ilahi, dan N. Kurniasih. 2018. Pengembangan Instrumen
Pemantauan Efek Samping Obat: Efek Samping Obat pada Pasien Strok Iskemik.
Jurnal Sains Farmasi & Klinik. 5(3):225–232
Anggriani, L. M. 2016. Deskripsi Kejadian Hipertensi Warga Rt 05/Rw 02 Tanah Kali
Kedinding Surabaya. Jurnal Promkes. 4(2): 151-164.
Anneke, R., dan Sulistiyaningsing. 2018. Review: Terapi Herbal Sebagai Alternatif
Pengobatan Dislipidemia. Farmaka. 16(1): 316-323.
Ansar, J., I. Dwinata, dan M. Apriani. 2019. Determinan Kejadian Hipertensi Pada Pengunjung
Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Ballaparang Kota Makassar. Journal Nasional
Ilmu Kesehatan (JNIK). 1(3): 28-35.
BPOM RI. 2017. Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2021. FUROSEMIDE. Tersedia pada situs http://pionas.pom.
go.id/monografi/furosemid. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
BPOM RI. 2021. ASPILET. Tersedia pada situs: http://pionas.pom.go.id/obat/thrombo-
aspilets. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Brunton, L., K. Parker., D. Blumenthal, I. Buxton. 2008. Goodman & Gilman’s Manual of
Pharmacology and Therapeutics. USA: The McGraw-Hill Companies, lnc.
Clark L. T. 2003. Treating dyslipidemia with statins: the risk-benefit profile. American heart
journal. 145(3): 387–396.
Dewi, R. S. K., R. T. Pinzon, S. Priatmo. 2016. Pemberian Kombinasi Vitamin B1, B6 dan
B12 sebagai Faktor Determinan Penurunan Nilai Total Gejala pada Pasien Neuropati
Perifer Diabetik. Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas. 13(2): 97-104.
Dirjen BinFar. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.
Drugs.com. 2021. Drug interaction report. Tersedia pada situs:
https://www.drugs.com/interactions-check.php?drug_list=243-0,493-0. Diakses pada
tanggal 5 Juni 2021.
Feriani, P. 2020. Ketepatan Pemberian Obat oleh Perawat Dipengaruhi Budaya Organisasi Di
Ruang Rawat Inap RSUD Kanujoso Balikpapan. Borneo Nursing Journal (BNJ). 2(1):
39-45.
Hellosehat. 2020. Jangan Sembarangan, Berikut Cara Menyimpan Obat Padat yang Benar.
Tersedia pada situs: https://hellosehat.com/obat-suplemen/cara-menyimpan-obat-
padat-yang -benar/. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Hellosehat. 2021. Aspilet. Tersedia pada situs: https://hellosehat.com/obat-suplemen/aspilet-
aspilets/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2021.
Hellosehat. 2021. Captopril dan Hydrochlorothiazide. Tersedia pada situs:
https://hellosehat.com/obat-suplemen/captopril-hydrochlorothiazide/. Diakses pada
tanggal 5 Juni 2021.
Hellosehat. 2021. Furosemide. Tersedia pada situs: https://hellosehat.com/obat-
suplemen/furosemide/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2021.
Hellosehat. 2021. Simvastatin. Tersedia pada situs: https://hellosehat.com/obat-suplemen/sim
vastatin/. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Hidayat, A. A. A., dan M. Uliyah. 2014. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2017. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: ISFI.
Joint National Committee (JNC) 7. 2003. Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure. USA: National Institutes of Health Publication.
Katzung, B. G., S. B. Masters, A. J. Trevor. 2012. Basic & Clinical Pharmacology. 12th
Edition. New York: McGraw-Hill.
Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunan Obat Rasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Larasanty, L. P. F., N. L. P. D. Wulandari, dan R. A. D. Sari. 2016. Pengaruh Metode
Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Mahasiswa Farmasi Dalam
Aspek Informasi Obat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 19(3): 211-217.
Lutfiyati, H., F. Yuliastuti, dan A. Khotimah. 2017. Pola Pengobatan Hipertensi pada Pasein
Lansia di Puskesmas Windusari, Kabupaten Magelang. Jurnal Farmasi Sains dan
Praktis. 3(2): 14-18.
Mahamudu, Y. S., G. Citraningtiyas, dan H. Rotinsulu. 2017. Kajian Potensi Interaksi Obat
Antihipertensi pada Pasien Hipertensi Primer di Instalasi Rawat Jalan RSUD Luwuk
Periode Januari - Maret 2016. Pharmacon. 6(3): 1-9.
MIMS. 2015. MIMS Petunjuk Konsultasi. Edisi 15. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
MIMS. 2016. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Medidata Indonesia.
MIMS. 2021. Aspilets. Tersedia pada situs: https://www.mims.com/indonesia
/drug/info/aspilets. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
MIMS. 2021. Captopril. Tersedia pada situs: https://www.mims.com/indonesia/drug/info/
captopril?mtype=generic. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
MIMS. 2021. Furosemide. Tersedia pada situs: https://www.mims.com/indonesia/drug/info/
farsix?type=brief&lang=id. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
MIMS. 2021. Simvastatin. Tersedia pada situs: https://www.mims.com/indonesia/drug/info/
simvastatin?mtype=generic. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
MIMS. 2021. Sohobion. Tersedia pada situs:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/sohobion. Diakses pada tanggal 31 Mei
2021.
Medscape. 2021. Simvastatin. Tersedia pada situs:
https://reference.medscape.com/drug/zocor-simvastatin-342463#91. Diakses pada
tanggal 31 Mei 2021.
Nanis, A. T. A., dan R. Bakhtiar. 2020. Dislipidemia dengan Riwayat Pengobatan Tradisional:
Studi Kasus Dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga. Jurnal Kedokteran
Mulawarman. 7(3): 34-39.
Nuraini, B. 2015. Risk Factors of Hypertension. Journal Majority. 4(5): 10-19.
Nylidia, E., M. Afqary, dan Ariansyah. 2018. Evaluasi Standard Operational Procedure
Pelayanan Resep di Puskesmas Cibungbulang Kabupaten Bogor Periode Maret s/d
April 2018. Jurnal Farmamedika. 3(1): 53-63.
Pahlawan, M. K., Y. Astri, dan I. Saleh. 2013. Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien
Hipertensi di Bagian Rawat Jalan RS Muhammadiyah Palembang Periode Juli 2011–
Juni 2012. Syifa’ Medika. 4(1): 22-35.
PERKI. 2013. Pedoman Tatalaksana Dislipidemia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Pionas. 2015. Sohobion. Tersedia pada situs: http://pionas.pom.go.id/obat/sohobion. Diakses
pada tanggal 31 Mei 2021.
Roesmono, B., H. Hamsah., dan I. Irwan. 2017. Hubungan Perilaku Mengontrol Tekanan
Darah dengan Kejadian Hipertensi. JIKP Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah. 6(2): 70-
75.
Rusly. 2016. Farmasi Rumah Sakit dan Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Saragih, A. D. 2020. Terapi Dislipidemia Untuk Mencegah Resiko Penyakit Jantung Koroner.
Indonesian Journal of Nursing and Health Sciences. 1(1): 15-24.
Tatro D. 2009. Drug Interaction Fact: The Authority Drug Interactions. Fact and Comparison:
Wolter Kluwers, St Louis.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2015. Obat-Obat Penting. Edisi ke-7 Cetakan Pertama. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Tyashapsari, MM. W. E., dan A. K. Zulkarnain. 2012. Penggunaan Obat pada Pasien
Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Majalah Farmaseutik. 8(2): 145-151.
Yulanda, G., dan R. Lisiswanti. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority. 6(1): 25-
33.
WebMD. 2021. Simvastatin. Tersedia pada situs: https://www.webmd.com/drugs/2/drug-
6105/simvastatin-oral/details. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
LAMPIRAN
LAPORAN HASIL PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI OBAT
STUDI KASUS TERPADU

Kelompok : III C
Nama Praktikan : Ni Putu Intan Satya Dewi (1908551066)
Ketut Yuantarisa Kartika Putri (1908551067)
Ni Made Udayani Dwi Yadnya (1908551068)
Ni Made Marisa Kumala Sari (1908551069)
Komang Tri Wahyu Widiantari (1908551070)
Gst A. A. Khania Adysti (1908551071)
I Made Saka Palguna (1908551072)
Putu Elsabella Putri Utami (1908551073)
Dosen Pengampu : Luh Putu Febryana Larasanty, S.Farm., M.Sc., Apt.
KASUS:
Tuan Jon Stark datang ke Apotek dengan membawa resep sebagai berikut :
R/ Furosemide tab XXX
s.1.d.d.1 pc
R/ Kaptopril 12,5 mg tab LX
s.2.d.d.1 pc
R/ Simvastatin tab XXX
s.1.d.d.1 malam
R/ Aspilet tab XXX
s.1.d.d.1
R/ Sohobion XXX
s.1.d.d.1 ac
Tuan Jon Stark datang dari poli penyakit dalam RSU, usia 55 tahun, BB 67 kg, TB 168 cm.
Memiliki riwayat hipertensi st II sejak 8 tahun yang lalu, dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien dengan asuransi kesehatan dari pemerintah (PNS).
Hari ini datang untuk kontrol rutin bulanan, mengeluh akhir – akhir ini agak lemas, pusing dan
kaku di tengkuk dan sering kesemutan.
TTV :
TD 150/90 mmHg, RR 20, HR 90, T dbn
Diagnosa :
HT st II dengan dislipidemia
I. Berdasarkan kasus yang anda peroleh lakukan kajian berikut:
1. Tepat Indikasi
- Furosemide: Obat ini digunakan untuk diuretik kuat, namun bukan pilihan yang ideal
untuk hipertensi kecuali diperlukan juga terapi untuk udema (Tjay dan Rahardja,
2015).
- Kaptropil: Obat ini digunakan sebagai antihipertensi lini pertama (Golongan ACE
Inhibitor) (Katzung et al., 2012).
- Simvastatin: Obat ini digunakan sebagai antikolesterol dan lemak jahat (Golongan
Statin) (BPOM RI, 2017).
- Aspilet: Merupakan aspirin dosis rendah untuk antiplatelet, yang digunakan untuk
mencegah angina pektoris dan infark miokard (MIMS, 2015).
- Sohobion: Obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit karena
kekurangan vitamin B1, B6, dan B12.
Jadi, berdasarkan data indikasi obat di atas dan dikaitkan dengan kondisi pasien yang
akan diterapi, maka semua obat yang telah diresepkan sudah tepat indikasi.
2. Tepat Pasien
Kontraindikasi dari furosemide antara lain gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan
koma hepatik, defisiensi elektrolit, hipovolemia, hipersensitivitas, sehingga semua obat
yang diberikan tidak dikontraindikasikan pada kondisi pasien sehingga peresepan ini
telah memenuhi kriteria tepat pasien.
3. Tepat Pemilihan Obat
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat hipertensi stage II sejak 8 tahun yang lalu.
Biasanya, pada pasien hipertensi stage II akan diberikan obat kombinasi diuretik tipe
Thiazide dengan ACEI, ARB, maupun CCB. Namun, perlu diperhatikan penggunaan
dari Thiazide dapat menyebabkan pasien mengalami hiperlipidemia, sehingga disarankan
menggunakan diuretik tipe Loops, seperti Furosemide. Maka, dapat disimpulkan
penggunaan Kaptopril dengan Furosemide untuk menangani hipertensi pada kasus ini
sudah tepat.
Pada kasus ini, pasien juga mengalami dislipidemia sejak 2 tahun yang lalu.
Kemudian, pasien diberikan obat simvastatin. Simvastatin merupakan terapi lini pertama
dari golongan statin yang berfungsi untuk menurunkan kolesterol dan lemak jahat
(seperti LDL, trigliserida) (Hellosehat, 2021). Sedangkan, pemberian aspilet pada pasien
berfungsi untuk meminimalisir adanya stroke dan pendarahan pada pasien akibat dari
hipertensi stage II. Aspilet merupakan aspirin dosis rendah untuk antiplatelet (MIMS,
2021). Pasien juga merasakan lemas serta kesemutan pemberian sohobion merupakan
pemilihan obat yang tepat karena sohobion merupakan suplemen vitamin B kompleks
(Pionas, 2015).
Pemilihan obat yang akan diberikan kepada pasien perlu adanya perhatian khusus,
seperti adanya interaksi antar obat. Aspilet jika digunakan bersamaan dengan Kaptopril
akan menurunkan efek dari Kaptopril. Penurunan efek dari Kaptopril ini dikarenakan
adanya mekanisme dari aspilet yang dapat menghambat siklooksigenase, penekanan
sintesis prostaglandin dan menekan efek hemodinamik yang dimediasi oleh kelompok
obat ACEI. Rekomendasi yang diberikan adalah dengan memonitoring tekanan darah
jika kedua obat ini sangat diperlukan atau dengan penggunaan dosis Aspirin kurang dari
100 mg/hari. Pemberian penjedaan pada penggunaan Kaptopril dan Aspirin bisa
dilakukan untuk manajemen interaksi obat (Tatro, 2009).
4. Tepat Dosis, Tepat Cara Pemberian, Tepat Interval Waktu Pemberian, Tepat
Lama Pemberian
1. Furosemid
Furosemide dikonsumsi dengan dosis 20-80 mg, dengan pengonsumsian 1 atau 2 kali
sehari dengan dosis maksimal pemberian adalah 600 mg, karena pada kasus tidak
tertera dosis yang diminta sehingga menyesuaikan dengan dosis yang di pasaran yaitu
40 mg sehingga sudah sesuai dengan dosis yang ditentukan. Furosemid diberikan
secara oral pada pagi hari setelah makan (BPOM RI, 2021). Pemberian furosemide
dengan interval waktu 24 jam dan diberikan pada pagi hari setelah makan. Pada
umumnya obat ini dikonsumsi hingga tekanan darah pasien menjadi normal. Sehingga
pemberian resep untuk sebulan dapat dikatakan tepat.
2. Kaptopril
Dosis dewasa untuk Kaptopril Tablet jika digunakan bersama diuretika dan pada usia
lanjut awalnya 12,5 mg sebanyak 2 kali sehari dan untuk dosis penunjang lazim 25
mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (BPOM RI, 2021). pada kasus
berdasarkan resep dosis yang diberikan adalah 12,5 mg dengan pengonsumsian 2 kali
dalam sehari (Tepat dosis). Kaptopril tablet diberikan secara oral, dengan
pengonsumsian 2 kali sehari pada pagi dan malam hari setelah makan. Pemberian
kaptopril diberikan dengan interval 2 hingga 4 minggu. Obat ini umumnya digunakan
hingga tekanan darah pasien kembali normal. Sehingga pemberian resep kaptopril
untuk 1 bulan sudah dapat dikatakan tepat lama pemberian.
3. Simvastatin
Simvastatin dikonsumsi dengan dosis 5-20 mg, dengan pengonsumsian 1 kali sehari
pada malam hari, karena pada kasus tidak diberikan dosis, sehingga dapat
menggunakan dosis yang yang beredar di pasaran yaitu 10 mg dan 20 mg, sehingga
pemberian dosis sudah tepat. Simvastatin diberikan secara oral dengan
pengonsumsian 1 kali sehari yaitu pada malam hari dengan interval 24 jam.
4. Aspilet
Aspilet dikonsumsi dengan dosis 80 mg, dengan pengonsumsian sekali sehari, karena
pada kasus tidak diberikan dosis yang diinginkan maka akan diberikan dosis sesuai
yang beredar di pasaran yaitu 80 mg, sehingga pemberian dosis sudah tepat. Obat ini
dikonsumsi dengan air mineral dan dikonsumsi setelah makan. Hindari konsumsi
alkohol dan juga kafein pada saat mengkonsumsi obat ini. Pemberian aspilet diberikan
secara oral setelah makan sebanyak 1 kali sehari dengan interval 24 jam (Brunton et
al., 2008). Pada umumnya obat digunakan sebagai terapi pencegahan yang berkaitan
dengan penyakit Jantung. Sehingga pemberian obat ini dapat dikonsumsi resep (tepat
dosis).
5. Sohobion
Vitamin B1, B6 dan B12 umumnya dikonsumsi per oral berturut-turut 50-250 mg/hari,
50-500 mg/hari dan 1000 µg/hari. Sohobion diberikan secara oral, dengan
pengonsumsian sebelum makan sesuai dengan resep dokter. Sohobion diberikan
sebelum makan sebanyak 1 kali sehari dengan interval 24 jam. Pemberian sohobion
selama 30 hari sudah tepat.
5. Waspada Terhadap Efek Samping Obat
a. Furosemide
Efek samping Furosemide diantaranya gangguan GI, SSP dan jantung, hiperglikemia,
glukosuria, hiperurisemia, gangguan ginjal (MIMS, 2016)
b. Kaptopril
Efek samping Kaptopril diantaranya proteinuria, idiosinkrasi, rashes, neutropenia,
anemia, trombositopenia, hipotensi (IAI, 2017).
c. Simvastatin
Efek samping simvastatin diantaranya abdominal pain, konstipasi, flatulens, asthenia,
sakit kepala, miopati, repdomiolisis (IAI, 2017).
d. Aspilet
Aspilet mengandung asam asetilsalisilat atau asetosal yang dapat menyebabkan efek
samping yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan risikk tukak
lambung dan pendarahan samar (occult) (Tjay dan Rahardja, 2007).
e. Sohobion
Sohobion mengandung sianokobalamin yang dapat menyebabkan efek samping
berupa reaksi alergi akibat kobal, antara lain eczem dan exanten (Tjay dan Rahardja,
2007).
6. Tepat Informasi
Dalam memberikan suatu terapi atau pengobatan, maka pasien perlu diberikan
informasi mengenai tujuan terapi atau pengobatan tersebut, apakah digunakan untuk
terapi kausatif atau terapi simtomatik. Selain itu, pasien juga harus dijelaskan mengenai
indikasi, aturan pakai, cara penggunaan obat yang benar, lama penggunaan obat, efek
samping yang umum terjadi, aktivitas makanan atau minuman yang harus dihindari, serta
cara penyimpanan obat. Obat tidak boleh terpapar oleh sinar matahari secara langsung,
penyimpanan yang tidak tepat, seperti di tempat yang lembab, dapat menyebabkan
penurunan efektivitas obat, meskipun belum mencapai tanggal kadaluarsa. Jauhkan
semua obat-obatan dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan (Hellosehat, 2020).
Selain hal-hal tersebut, pasien juga diberikan saran dari aspek non-farmakologis seperti
menjalankan pola hidup sehat dengan cara menjaga pola makan, serta meningkatkan
aktivitas fisik sehari-hari.
7. Tepat Tindak Lanjut (follow up)
Tindak lanjut yang dapat dilakukan yaitu dengan mengontrol rutin tekanan darah
dan profil lipid seperti trigliserida (TG), low-density lipoproteins (LDL), high-density
lipoprotein (HDL) dan kolesterol total dengan cara menerapkan pola hidup sehat yaitu
mengurangi asupan lemak jenuh seperti makanan berminyak dan berlemak, serta
meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari dengan berolahraga ringan seperti berjalan cepat,
menyapu halaman, dan membersihkan rumah (PERKI, 2013). Selain itu tindak lanjut lain
yang perlu diperhatikan yaitu dengan memantau ada tidaknya masalah yang ditimbulkan
terkait terapi yang telah diberikan.
8. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)
Penyerahan obat diberikan kepada Tuan Jon Stark selaku pembawa resep.
Penyiapan obat yang akan diserahkan dilakukan dengan standar operasional prosedur
(SOP) yang sesuai sehingga pasien mendapat obat yang tepat. Adapun SOP penyerahan
obat dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Petugas obat memanggil nama pasien dan memastikan identitas dan alamat pasien
yang lengkap.
b. Petugas memeriksa ulang identitas pasien.
c. Petugas obat memeriksa bahwa yang menerima adalah pasien atau keluarga.
d. Petugas memastikan kendala bahasa dalam penyampaian obat.
e. Petugas obat menyerahkan obat disertai pemberian informasi obat.
f. Petugas obat memberikan informasi cara penggunaan obat dan efek samping obat.
g. Petugas obat mengkonfirmasikan apabila ada alergi obat segera kembali ke
pelayanan kesehatan untuk ditindak lanjuti.
h. Petugas obat menerima/keluarga pasien mengulang cara penggunaan obat yang
telah disampaikan.
i. Petugas memastikan pasien memahami informasi obat yang telah disampaikan
dengan cara meminta pasien untuk mengulang informasi yang sudah diberikan.
Petugas obat meminta pasien untuk menandatangani resep.
(Nylidia, dkk., 2018).
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2017. Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2021. ASPILET. Tersedia pada situs : http://pionas.pom.go.id/obat/thrombo-
aspilets . Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
BPOM RI. 2021. FUROSEMIDE. Tersedia pada situs
http://pionas.pom.go.id/monografi/furosemid. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Brunton, L., K. Parker., D. Blumenthal, I. Buxton. 2008. Goodman & Gilman’s Manual of
Pharmacology and Therapeutics. USA: The McGraw-Hill Companies, lnc.
Hellosehat. 2020. Jangan Sembarangan, Berikut Cara Menyimpan Obat Padat yang Benar.
Diunduh pada: https://hellosehat.com/obat-suplemen/cara-menyimpan-obat-padat-yang
-benar/. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Hellosehat. 2021. Simvastatin. Tersedia pada situs: https://hellosehat.com/obat-
suplemen/simvastatin/. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2017. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: ISFI.
Katzung, B. G., S. B. Masters, A.J. Trevor. 2012. Basic & Clinical Pharmacology. 12th
Edition. New York: McGraw-Hill.
MIMS. 2015. MIMS Petunjuk Konsultasi. Edisi 15. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
MIMS. 2016. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Medidata Indonesia.
MIMS. 2021. Aspilets. Tersedia pada situs:
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/aspilets. Diakses pada tanggal 31 Mei 2021.
Nylidia, E., M. Afqary, dan Ariansyah. 2018. Evaluasi Standard Operational Procedure
Pelayanan Resep di Puskesmas Cibungbulang Kabupaten Bogor Periode Maret s/d April
2018. Jurnal Farmamedika. 3(1): 53-63.
PERKI. 2013. Pedoman Tatalaksana Dislipidemia. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Pionas. 2015. Sohobion. Tersedia pada situs: http://pionas.pom.go.id/obat/sohobion. Diakses
pada tanggal 31 Mei 2021.
Tatro D. 2009. Drug Interaction Fact: The Authority Drug Interactions. Fact and Comparison:
Wolter Kluwers, St Louis.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2015. Obat-Obat Penting. Edisi ke-7 Cetakan Pertama. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai