Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang
sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil
tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Anonima, 2006).
5) Tepat cara pemberian.
Cara pemberian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetik, yaitu cara atau rute
pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian, dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara
pemakaian yang paling mudah diikuti pasien, aman dan efektif untuk pasien (Munaf, 2004).
6) Tepat interval waktu pemberian.
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati
oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat perhari semakin rendah tingkat ketaatan
minum obat (Anonima, 2006).
7) Tepat lama pemberian.
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. (Anonima,2006).
8) Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (Anonima, 2006).
9) Penilaian terhadap kondisi pasien.
Ketepatan penilaian diperlukan terhadap kontraindikasi, pengaruh faktor konstitusi, penyakit
penyerta dan riwayat alergi (Sastramihardja, 1997).
10) Tepat informasi.
Ketepatan informasi menyangkut informasi cara penggunaan obat, efek samping obat dan
cara penanggulangannya serta pengaruh kepatuhan terhadap hasil pengobatan
(Sastramihardja, 1997).
11) Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut.
Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut
yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Jika hal
ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti (Anonima,
2006).
12) Obat yang efektif, aman, dan mutu terjamin dan terjangkau.
Untuk efektif dan aman, dan terjangkau digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial.
Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan
efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar dibidang pengobatan dan klinis
(Anonima, 2006).
13) Tepat penyerahan obat
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien
sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di
pukesmas, apoteker/asisten apoteker/petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah
dokter/peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien
(Anonima, 2006).
14) Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Ketidak taatan minum obat umumnya terjadi pada kejadian berikut:
a) Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.
b) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.
c) Jenis sediaan obat terlalu beragam
d) Pemberian obat dalam jangka panjang.
e) Pasien tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai cara minum
atau menggunakan obat.
f) Timbul efek samping (Anonima, 2006).
tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis proses penggunaan obat yang
sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis adalah penggunaan obat melalui
bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien.
Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis
menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan
indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare
yang disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses
penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi tidak
akan menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter.
Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai peran sebagai second
opinion untuk pasien yang telah memiliki self-diagnosis.
2. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan
obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan
diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus
merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya
Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
4. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau
kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus
dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida
pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus
dihindari.
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai
karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat
di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari
segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
6. Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan dan
kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat.
Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan
sirup.
Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat
dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang
menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam
penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen
yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian
harus tepat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk
peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia
dan diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta
dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat
mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan
Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah
sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
9. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin
menyebabkan jantung berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis
rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh
obat dengan harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang
tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.
Pustaka
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
2006, Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 Depkes RI, Jakarta
Mashuda A(Ed), 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik (CPFB)/Good
Pharmacy Practice (GPP), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia dan Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta
https://yunisulityaningsih.wordpress.com/2014/03/04/penggunaan-obat-rasional-por/