Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

COMPOUNDING AND DISPENSING

RASIONALITAS PENGOBATAN

Disusun oleh :

1. Retno Nur Utami 1908020003


2. Fihma Amalia Ramadani 1908020007
3. Tri Fatimatul Hasanah 1908020010
4. Radita Novika Sari 1908020016
5. Dede Wiharya 1908020019

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan, diagnosis, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan
kontrasepsi termasuk produk biologi. Sampai saat ini obat merupakan salah satu
komponen yang tidak tergantungkan dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian
obat memiliki fungsi sosial dan seharusnya diutamakan dibandingkan dengan obat
sebagai komoditas perdagangan.
Penggunaan obat yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang
efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu
dengan harga yang paling meguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk
menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harud dilakukan secara rasional,
yang berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, memilih obat yang tepat, serta
meresepkan obat tersebut dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang
tepat.
Penggunaan obat rasional juga berarti menggunakan obat berdasarkan indikasi
yang manfaatnya jelas terlihat dapat diramalkan (Evidence Based Therapy). Manfaat
tersebut dinilai dengan menimbang semua bukti tertulis hasil uji klinik yang dimuat
dalam kepustakaan yang dilakukan melalui evaluasi yang sangat bijaksana.
Menimbang manfaat dan resiko tidak selalu mudah dilakukan, hal-hal yang
perlu diperhatikan untuk menentukannya yaitu derajat keparahan penyakit yang akan
diobati, efektivitas obat yang akan digunakan, keparahan dan frekuensi efek samping
yang mungkin timbul, serta efektivitas dan keamanan obat lain yang bisa dipakai
sebagai pengganti. Semakin parah suatu penyakit, semakin berani untuk mengambil
resiko efek samping, namun bila efek samping mengganggu dan relatif lebih berat
dari penyakitnya sendiri mungkin pengobatan tersebut perlu diurungkan. Semakin
remeh suatu penyakit, semakin perlu bersikap tidak menerima efek samping.
Kemampuan untuk melakukan telaah terhadap berbagai hasil uji klinik yang
disajikan menjadi amat penting dalam masalah ini. Biasanya dalam pedoman
pengobatan, pilihan obat yang ada telah melalui proses tersebut, dan dicantumkan
sebagai obat pilihan utama (Drug of Choice), pilihan kedua dan seterusnya.

B. Tujuan Rasionalitas Pengobatan


1. Mecegah pengobatan yang tidak aman
2. Mencegah kambuhnya penyakit
3. Mencegah masa sakit memanjang
4. Mencegah membahayakan dan menimbulkan kekhawatiran pasien
5. Mencegah membengkaknya biaya

C. Manfaat Rasionalitas Pengobatan


1. Mengurangi penggunaan obat yang tidak diperlukan.
2. Mengurangi bahaya dan biaya dari obat yang tidak diperlukan atau karena
polifarmasi.
3. Meningkatkan manfaat dari obat secara maksimal.
4. Adanya ledakan jumlah obat yang ada dipasaran, jika tidak ada usaha penggunaan
obat yang rasional dampaknya akan merugikan dan bahkan berbahaya.
5. Peningkatan kesadaran konsumen, regulator, pelayanan kesehatan dan
perlindungan konsumen.
BAB II
ISI

A. Pedoman dan Dasar Hukum Rasionalitas Pengobatan


Menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu :
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat
Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan / atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan / alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan / atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

B. Kriteria Rasionalitas Pengobatan


1. Tepat Diagnosis
Contoh :
Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus diagnosis amoehiasis
→ R/ Metronidazole.
2. Tepat Indikasi
Contoh :
Infeksi bakteri → Antibiotik.
3. Tepat Pemilihan Obat
Contoh :
Demam untuk kasus infeksi dan inflamasi → Parasetamol (paling aman).
Sedangkan asam mefenamat dan ibuprofen (anti inflamasi non steroid) → demam
yang terjadi akibat proses peradangan / inflamasi.
4. Tepat Dosis
Contoh :
Untuk obat yang bersifat narrow therapeutic margin (rentang terapi yang sempit)
seperti teofilin, digitalis → beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya jika dosis terlalu kecil tidak menjamin terapi yang diinginkan.
5. Kepatuhan Pasien
Ketidaktaatan minum obat terjadi pada keadaan :
a. Jenis / jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.
b. Frekuensi pemberian obat perhari terlalu sering.
c. Jenis sediaan obat terlalu beragam (contoh : sirup, tablet, dan lain-lain).
d. Pemberian obat dalam jangka panjang (contoh : DM dan hipertensi).
e. Pasien tidak mendapatkan penjelasan cukup cara minum dan lain-lain.
f. Timbulnya efek samping.
6. Tepat penilaian terhadap kondisi pasien

C. Faktor-faktor yang mempegaruhi rasionalitas pengobatan


Terjadinya ketidakrasionalan terapi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu dari peresepan yang ditulis oleh dokter, pasien (ditinjau dari ketaatannya
mengkonsumsi obat), dan dari sistem pelayanan kesehatan.
Contoh :
Ditinjau dari segi sistem pengelolaan obat di satu puskesmas di Kabupaten Gunung
Kidul, terkadang asisten apoteker kurang mengkonsultasikan kepada dokter jika stok
obat telah habis. Berdasarkan hasil wawancara dengan asisten apoteker, apabila obat
yang diresepkan dari dokter tidak ada atau habis, asisten apoteker langsung mengganti
dengan alternatif obat yang lain atau asisten apoteker mengurangi jumlah obat (hemat
obat) agar ketersediaan obat mencukupi sampai batas waktu yang telah ditentukan.
D. Ciri-ciri ketidakrasionalitas pengobatan
1. Peresepan berlebih (over prescribing) yaitu memberikan obat yang sebenarnya
tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.
2. Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh
virus).
3. Pemberian obat dengan dosis yang lebih dari yang dianjurkan.
4. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit
tersebut.
5. Peresepan kurang (under prescribing) yaitu jika pemberian obat kurang dari yang
seharusnya diperlukan, baik dosis, jumlah maupun lama pemberian.
Contoh :
a. Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA Pneumonia.
b. Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
6. Peresepan majemuk (multiple prescribing) yaitu jika memberikan beberapa obat
untuk suatu indikasi penyakit yang sama, pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh : Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek, berisi :
a. Amoksisilin
b. Parasetamol
c. GG
d. Deksametason
e. CTM dan Luminal
7. Peresepan salah (incorrect prescribing) yaitu pemberian oba untuk indikasi yang
keliru dengan resiko efek samping.
Contoh :
a. Pemberian antibiotik golongan kuinolon (Ciprofloxacin dan Ofloxacin) untuk
wanita hamil.
b. Meresepkan Asam Mefenamat untuk demam pada anak < 2 tahun.

E. Dampak Ketidakrasionalitas Pengobatan


Dampak negatif beragam dan bervariasi (efek samping dan biaya mahal) yang
lebih luas (resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu), mutu pelayanan secara
umum.
1. Dampak mutu pengobatan dan pelayanan.
Menghambat upaya penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit.
Contoh : Penyakit diare akut non spesifik umumnya mendapat antibiotik dan obat
injeksi sementara → pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) → kurang banyak
dilakukan resiko terjadinya dehidrasi pada anak → membahayakan keselamatan.
ISPA non pneumonia pada anak umumnya mendapat antibiotik yang sebenarnya
tidak perlu. Tidak mengherankan angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan
diare masih cukup tinggi di Indonesia.
2. Dampak terhadap biaya pengobatan.
a. Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas.
b. Pemakaian obat sama sekali tidak memerlukan terapi obat, merupakan
pemborosan dan membebani pasien.
c. Peresepan obat mahal.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak
diharapkan.
a. Resiko terjadinya penularan penyakit (misal : hepatitis dan HIV) meningkat
pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis yaitu 1 jarum suntik digunakan
untuk lebih dari 1 pasien.
b. Kebiasaan memberikan injeksi → meningkatkan syok anafilaksis.
c. Terjadi resistensi kuman → antibiotik berlebih (over prescribing), kurang
(under prescribing), pemberian yang bukan indikasi (misal : virus).
4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat.
a. Seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang
terjadi antibiotik telah dibagi rata kesemua pasien yang sebenarnya tidak
memerlukan.
b. Dengan mengganti jenis antibiotik, pasien tidak sembuh (karena antibiotik
yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum anti bakteri untuk penyakit
tersebut.
5. Dampak psikososial.

F. Penggunaan obat yang tidak rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari


1. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh : Pemberian Robaransia untuk perangsang nafsu makan pada anak
interverensi gizi jauh lebih bermanfaat.
2. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh : Pemberian Injeksi Vitamin B12 untuk keluhan pegel linu.
3. Pemberian obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh : Pemberian Ampisilin setelah makan dan frekuensi pemberian
amoksisilin 4 kali sehari, bukannya 3 kali.
4. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas yang lebih besar dari obat lain
dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman.
Contoh : Pemakaian antibiotik golongan aminoglikosida pada penderita usia lanjut
dapat menyebabkan resiko toksisitas dan nefrotoksik, sementara antibiotik lain
yang aman tersedia.
5. Penggunaan obat yang harga nya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang
sama dan harga yang lebih murah tersedia.
Contoh : Peresepan obat paten relative mahal, padahal ada obat generik yang lebih
murah dan manfaat sama.
6. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah kemanfaatan dan
keamanannya.
Contoh : Obat baru yang belum teruji manfaat, keamananya sementara obat lain
telah teruji tersedia.
7. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan / persepsi yang
keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh : Kebiasaan pemberian injeksi roboransia pada penderita dewasa akan
mendorong selalu meminta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.
Penggunaan obat yang tidak rasional yaitu pemberian ijeksi vitamin B12 untuk
keluhan pegel linu.

G. Upaya Meningkatkan Rasionalitas Pengobatan


1. Upaya pendidikan (Educational Strategies)
a. Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)
b. Sesudah menjalankan praktek kepropesian (past-service)
c. Pendidikan past-service antara lain :
 Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)
 Informasi pengobatan (academic based detailing)
 Seminar-seminar, buletin dan lain-lain.
d. Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi :
 Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
 Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliah, seminar
 Media lain : televisi, video dan lain-lain
2. Upaya peningkatan pengelolaan (Managerial strategies)
a. Pengendalian kecukupan obat → sistem informasi manajemen obat → LP –
LPO
b. Perbaikan sistem suplai melalui penerapan → DOEN
c. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat → buku pedoman
penggunaan obat dan lain-lain.
3. Intervensi regulasi (Regulatory strategies)
Sifatnya mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum.
Contoh : Obat yang beredar harus teregistrasi, keharusan pemakaian obat generik
dan lain-lain.
4. Informasi / sumber-sumber informasi
Upaya informasi
a. Intervensi informasi bagi dokter.
Informasi ilmiah → menunjang praktek keprofesian bebas dari pengaruh
promosi industri farmasi.
b. Intervensi apoteker → mengenai obat
c. Intervensi informasi bagi pasien / masyarakat
Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain :
1) Penyakit yang diderita.
2) Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
3) Informasi mengenai cara, frekuensi, lama pemberian obat.
4) Kemungkinan resiko efek samping.
5) Cara penanggulagan efek samping.
6) Apa yang harus dilakukan, jika dalam periode tertentu belum
memberikan hasil yang diharapkan.
7) Informasi yang harus dilakukan, selain pengobatan yang diberikan
seperti : banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan
minum secukupnya → common cold.
BAB III

KESEMPULAN

Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu terapi obat terpenting
terhadap pasien. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati
pasien yang memiliki masalah kesehatan. Walaupun obat menguntungkan pasien dalam
banyak hal, beberapa obat yang menimbulkan efek yang berbahaya akibat efek samping yang
ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon dan membantu pasien
menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan akan dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai