Anda di halaman 1dari 33

PENGOBATAN RASIONAL

( Dosen Pengampu : Dra. Herdini,.M.Si )

KELOMPOK 2

1. ADI MUSWARMAN (21340111)


2. AFRINIA MELIA ZANKI (21340112)
3. ELLA YUNITA (21340113)
4. NERI NOVIYANA (21340114)
5. TRINDA IRENE ARUNG (21340115)
6. FAJRIYATUR RIZQI RAMADANTI (21340116)
7. HASNUL HIDAYAT (21340117)
8. FRADHINKA HERFI SYARIFAH (21340118)
9. RIA FITRIANI (21340119)
10. ANDRI FEBRIANSYAH (21340120)

KELAS : Compounding and Dispensing ( C )


APOTEKER 42
TOPIK PEMBAHASAN
01 Pendahuluan

02 Tahapan dalam Pengobatan rasional

03 Berbagai bentuk intervensi terapeutik

04 Berbagai penyebab problem terapi dengan obat

05 Pengertian resep dan peresepan rasional

10/23/2021 2
01 Pendahuluan
PENDAHULUAN
 Penggunaan obat dikatakan rasional bila (WHO, 1985) bila pasien menerima
obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan
dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat.
 WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat.
 WHO : Pengertian rasional , apabila
1. Sesuai dengan keperluan klinik
2. Dosis sesuai dengan kebutuhan pasien
3. Diberikan dalam jangka yang sesuai
4. Dengan biaya termurah bagi pasien dan komunitasnya
GAMBARAN PENGGUNAAN PENGOBATAN RASIONAL
Beberapa Pertimbangan Dalam Pemilihan Obat

1. Manfaat (efecacy)
2. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti
(safety)
3. Resiko pengobatan yang paling kecil dan seimbang
dengan manfaat dan keamanan yang sama dan
terjangkau oleh pasien (affordable)
4. Kesesuaian/suittability (cost)
Upaya Implementasi Pengobatan Rasional
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan
obat yaitu:
 Upaya regulasi
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan berperan dalam pengaturan yang
dapat mendukung penggunaan obat yang rasional
 Upaya pendidikan
Pengajaran penggunaan obat rasional dalam kurikulum Fakultas Kedokteran. Bagi para
dokter dapat diberikan post service training melalui berbagai program pelatihan dan
penyegaran mengenai penggunaan obat rasional. Pendidikan dan pelatihan juga
diberikan bagi petugas pelayanan kesehatan lain serta masyarakat.
 Upaya manajerial
Dalam upaya ini termasuk pembentukan Komisi farmasi dan Terapi (KFT) di RS,
Penetapan daftar Obat Essensial, penyusunan pedoman pengobatan.
02 Tahapan dalam Pengobatan rasional
A. Tepat Diagnosis
 Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
B. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang
spesifik. Antibiotik.
Misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.
Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala
adanya infeksi bakteri.
C. Tepat Pemilihan Obat
 Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
 Contoh :
Gejala demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan
inflamasi. Untuk sebagian besar demam, pemberian paracetamol lebih
dianjurkan, karena disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling
aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinfl
amasi non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam
yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
D. Tepat Dosis
 Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.

E. Tepat Cara Pemberian


 Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivtasnya.
F. Tepat Interval Waktu Pemberian
 Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.

G. Tepat lama pemberian


 Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
H. Waspada terhadap efek samping
 Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah
setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.

I. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan


mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga
yang terjangkau.
 Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat
esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis.
J. Tepat penilaian kondisi pasien

 Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena
resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
 Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan
pemberian obat:
1. Anti-inflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita
asma, karena obat golongan ini terbukti dapat terjadi serangan asma.
2. Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid, aminoglikosida
dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati, karena waktu paruh
obat-obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya
juga meningkat pada pemberian secara berulang.
K. Tepat informasi
 Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapi
 Sebagai contoh:
Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut
harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1
course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda
atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat,
bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat
penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal
yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
L. Tepat penyerahan obat (dispensing)
 Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser/apoteker sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep
dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas,
apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep
pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses
penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat
juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
03 Berbagai bentuk intervensi terapeutik
a. Risk awareness: kemampuan mengidentifi kasi sumber
error
Hal yang penting dalam pendekatan terhadap patient safety adalah kesadaran oleh individu, tim dan organisasi entangtingkat
safety mereka. Instrumen sederhana bagi staf individual atau tim untuk memahami tingkat safety adalah seperti yang
diajukan oleh James Reason. Model ini disebut three buckets model. Instrumen self-review ini meminta setiap individu (bisa
juga diterapkan pada tim) agar memberi skor sehubungan dengan 3 faktor, yaitu self, context, dan task. Mereka memberi skor
1 untuk risiko rendah, 2 untuk risiko sedang, atau 3 untuk risiko tinggi. Semakin banyak isi bucket, semakin besar
kemungkinan error atau patient safety incident terjadi. Bucket yang penuh tidak selalu berarti tindakan yang tidak aman akan
benar-benar terjadi, demikian pula bucket yang kosong tidak memastikan bahwa benar-benar aman.

Ketiga faktor tersebut dipertimbangkan dalam hal berikut :

 self, yaitu seberapa aman anda bisa bekerja.

 context, yaitu seberapa aman lingkungan kerja anda.

 task, yaitu seberapa besar tugas yang anda lakukan rentan terhadap error.
B. Upaya mitigasi jika terjadi error
Sesudah kejadian suatu medication error dengan luaran pasien yang serius, staf perlu melakukan
beberapa tindakan sekaligus. Kebijakan organisasi harus membuat kerangka untuk strategi respons dini.
Hal tersebut mencakup :

 Memberikan perawatan yang cepat dan tepat pada pasien yang terkena.

 Membatasi risiko rekurensi kejadian dalam waktu dekat. Segera sesudah insiden terkait obat.

 Mengamankan evidence/bukti. Untuk belajar dari error dan memahami mengapa error terjadi, penting
untuk mengetahui dengan tepat apa yang terjadi. Mengamankan bukti adalah kuncinya.

 Mengkomunikasikan dan mendokumentasikan insiden. Dokumentasi dan komunikasi internal dan


eksternal serta penyampaian fakta pada pihak-pihak relevan, sesuai permintaan hukum, akreditor,
asuransi dan lain-lain, juga harus dipertimbangkan segera sesudah insiden.
c. Pelaporan medication error sebagai pembelajaran

Pelaporan dan monitoring insiden melibatkan pengumpulan dan analisis informasi tentang setiap
peristiwa yang bisa atau telah memberikan harm pada pasien di rumah sakit, klinis, atau organisasi
pelayanan kesehatan. Sistem pelaporan insiden adalah komponen mendasar dari suatu kemampuan
organisasi untuk belajar dari error. Pelajaran ini memungkinkan suatu organisasi untuk mengidentifi
kasi dan mengeliminasi error trap. Frekuensi pelaporan dan cara menganalisis insiden
(menggunakan systems approach, dan bukan person approach) sangat tergantung pada
kepemimpinan dan budaya dalam suatu organisasi. Organisasi dengan budaya pelaporan yang kuat
akan mudah belajar dari error, karena staf merasa bebas melaporkan masalah aktual atau potensial
tanpa takut diejek atau ditegur.
d. Keterlibatan pasien dan petugas dalam medication safety
practices
 Pasien yang mendapatkan informasi lengkap adalah peserta kunci dalam upaya meningkatkan kualitas
dan keamanan 106| Kurikulum Pelatihan Penggunaan Obat Rasional (POR) perawatan kesehatan.
 Upaya informasi dan edukasi masyarakat masyarakat yang agresif diperlukan untuk meningkatkan
pemahaman tentang bagaimana medication error terjadi dan langkah-langkah apa yang bisa mereka
ambil untuk mencegah error.
 Selain informasi pada pasien, informasi juga diperlukan untuk tenaga profesional keehatan, fasilitas dan
sistem pelayanan untuk memastikan bahwa mereka mengerti ruang lingkup masalah medication error
dan dampaknya. Survey menunjukkan bahwa banyak dokter, perawat, dan lain-lain yang bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan tidak percaya bahwa medication error memberikan ancaman yang signifi
kan pada pasien.
 Persepsi umum adalah bahwa proses sertifi kasi tenaga kesehatan dan akreditasi institusi memberikan
keyakinan akan kualitas pelayanan. Penting bahwa masyarakat profesional, badan akreditasi, dan
organisasi pemberi lisensi menggunakan peran mereka dalam pempromosikan patient safety dengan
meyakinkan bahwa mereka yang diberi sertifi kasi dan akreditasi Kurikulum Pelatihan Penggunaan Obat
Rasional (POR) | 107 memang mempunyai pengetahuan tentang isu safety dan mengimplementasikan
perubahan-perubahan prosedural yang terbukti menurunkan kemungkinan error.
04. Berbagai penyebab problem terapi
dengan obat
a. Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit
yang bersangkutan.

Contoh:
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh
virus)

- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
b. Peresepan kurang (underprescribing)
 Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan,
baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak
diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga
termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
 Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit
yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari
satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat.
 Contoh: Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi: -
Amoksisilin, - Parasetamol, - Gliseril guaiakolat, - Deksametason, -
CTM, dan - Luminal.
d. Peresepan salah (incorrect prescribing)
 Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi
yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat,
memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar,
pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan
kepada pasien, dan sebagainya.
 Contoh :
 - Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin &
ofl oksasin) untuk anak.
 - Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol
yang lebih aman
05 Pengertian resep dan peresepan
rasional
PENGERTIAN RESEP
 Menurut Permenkes No 72 tahun 2016 Resep adalah permintaan tertulis
dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan yang berlaku.
 Dengan kata lain, penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan
dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut
kaidah dan peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker
di apotek agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apoteker
berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi terutama
yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih
rasional, artinya tepat, aman, efektif, dan ekonomis.
PERESEPAN RASIONAL
 Peresepan yang rasional meliputi tepat indikasi, tepat
pemilihan obat, tepat dosis, tepat waktu pemberian, tepat rute
dan cara pemberiannya yang keseluruhannya tercantum dalam
format penulisan yang benar.
 Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien
menerima obat yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang
memenuhi kebutuhan untuk jangka waktu yang cukup, dan dengan
biaya yang terjangkau baik untuk individu maupun masyarakat.
 Konsep tersebut berlaku sejak pertama pasien datang kepada
tenaga kesehatan, yang meliputi ketepatan penilaian kondisi
pasien, tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat
dosis, tepat cara dan lama pemberian, tepat informasi,
dengan memperhatikan keterjangkauan harga, kepatuhan
pasien, dan waspada efek samping. Pasien berhak
mempertanyakan hal-hal itu kepada tenaga kesehatan.
 Oleh karena itu, penggunaan obat rasional meliputi dua
aspek pelayanan yaitu pelayanan medik oleh dokter dan
pelayanan farmasi klinik oleh apoteker. Untuk itu perlu sekali
adanya kolaborasi yang sinergis antara dokter dan apoteker
untuk menjamin keselamatan pasien melalui penggunaan
obat rasional.
LITERATUR

Anda mungkin juga menyukai