Anda di halaman 1dari 15

FARMAKOTERAPI PADA PEDIATRIK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
Aqil Andika Pratiwi 1910913120009 Desty Kartika Atni
1910913220009 Nurul Izatil Hasanah 1910913320025
Indah Yulianti 1910913320024
Muhammad Irfansyah 1910913310023 Rismayanti
1910913220037 Muhammad Sajidannor 1910913110004
Muhammad Taufiqur Rizky Al Farid 1910913310019
Novadiani Karisma Maharani 1910913120005 Pahmi
Rahman 1910913310022 Rezka Aulyan Noor
1910913120015 Silvia Nur Mayasari 171091322002
Windy Stefani Parera 1910913720001 Yuniar Agustina
1910913220036 Zahratul Zannah 1910913120012
PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT BANJARBARU
A. Pengertian Farmakoterapi
Farmakoterapi adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat
dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam farmakoterapi ini dipelajari aspek
farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat yang dimanfaatkan untuk mengobati
penyakit tertentu. Obat-obat yang digunakan pada terapi dapat dibagi dalam empat
golongan besar,yaitu obat farmakodinamik, obat kemoterapetik, obat tradisional dan
obat diagnostik. Obat farmakodinamik bekerja meningkatkan atau menghambat fungsi
suatu organ. Misalnya,furosemide sebagai diuretic meningkatkan kerja ginjal dalam
produksi urin atau hormone estrogen pada dosis tertentu dapat menghambat ovulasi
dari ovarium. Obat kemoterapetik bekerja terhadap agen penyebab penyakit, seperti
bakteri, virus, jamur atau sel kanker. Obat ini mempunyai sebaiknya memiliki
kegiatan farmakodinamika yang sekecil-kecilnya terhadap organisme tuan rumah dan
berkhasiat membunuh sebesar-besarnya terhadap sebanyak mungkin parasite (cacing,
protozoa) dan mikroorganisme (bakteri dan virus). Misalnya, pirantel pamoat
membunuh cacing pada dosis yang aman bagi manusia.
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Misalnya, daun kumis kucing, minyak ikan, ekstrak daun mengkudu, dan lain-lain.
Obat diagnostik merupakan obat pembantu untuk melakukan diagnosis (pengenalan
penyakit). Misalnya, dari saluran lambung usus (barium sulfat) dan salura empedu
(natrium miopanoat dan asam iod organik lainnya) (Indijah, 2016).

B. Pengertian Pediatrik
Pediatrik berasal dari bahasa Yunani yaitu pedos yang artinya anak dan iatrica
yang artinya pengobatan anak. Menurut American Academy of Pediatrics (AAP),
pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan
sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan
disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan
dampak penyakit pada perkembangan anak. Beberapa penyakit memerlukan
penanganan khusus pada pasien pediatrik untuk menentukan dosis obat.
Perkembangan penanganan klinik penyakit untuk pasien pediatrik sangat berarti.
Terdapat banyak prinsip farmakoterapi yang harus dipertimbangan dalam penanganan
pasien pediatrik (Nisa, 2019).
Pasien rawat inap pediatrik merupakan kelompok yang berpotensi tinggi
terkena dampak interaksi obat dibandingkan pasien dewasa. Hal ini disebabkan
beberapa hal, pertama, pasien pediatrik yang dirawat di rumah sakit bisanya menerima
lebih dari 25 obat selama masa perawatannya. Kedua, respon tubuh pasien pediatrik
dalam menerima obat berbeda dengan pasien dewasa karena ada perbedaan dalam
proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Ketiga, adanya
penggunaan obat off label. (Saula, 2019)
Terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan pediatrik, di antaranya
adalah: 1. Prematur: bayi yang dilahirkan sebelum berusia 37 minggu.
2. Neonatus: usia 1 hari sampai 1 bulan.
3. Bayi: usia 1 bulan sampai 2 tahun.
4. Anak: usia 2 tahun sampai 12 tahun.
5. Remaja: usia 12 tahun sampai 18 tahun (Nisa, 2019).

C. Farmakoterapi pada Pediatrik


Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak dalam praktek sehari hari lebih
banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada dewasa. Hal ini dapat dipahami
mengingat hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetika pada anak
masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah penentuan dosis. Sebagian besar
penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada berat badan, umur, atau luas
permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini tidak selalu benar, mengingat
berbagai perbedaan baik fisik maupun respons fisiologis yang berbeda antara anak
dan dewasa.
Sementara itu meskipun berbagai formulasi penghitungan dosis sudah banyak
dikembangkan, tetapi praktis tidak begitu saja bisa diberlakukan secara umum untuk
semua anak, dengan ras yang berbeda. Masalah pemakaian obat pada anak tidak saja
terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi
frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak
tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapidosis yang adekuat kadang
sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi penolakan lain yang
menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran yang seharusnya
diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu mempengaruhi
khasiat/kemanfaatan obat.Sedang untuk antibiotika, dengan tidak tercapainya efek
terapi, akan mempengaruhi proses penyembuhan disamping meningkatkan
kemungkinan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika. Adanya kandungan zat
lain atau pemanis pada obat perlu juga diwaspadai, meskipun tujuannya adalah
kenyamanan penggunaan pasien.
Pada penggunaan jangka panjang, obat-obat dengan pemanis (sukrosa) dapat
menyebabkan karies gigi. Meskipun obat-obat yang diberikan untuk anak umumnya
mempunyai lingkup terapi yang lebar (wide therapeutic margin), tetapi ini tidak berarti
bahwa setiap pemberian obat pada anak terjamin keamanannya. Pertimbangan
yangseksama perlu diambil, lebih-lebih jika digunakan obat-obat yang lingkup
terapinya sempit (narrow therapeutic margin), di mana perbedaan antara dosis yang
memberi efek terapetik dan efek toksik sangat kecil, seperti misalnya teofilin.Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa anak bukanlah miniatur dewasa. Mereka masih
dalam proses tumbuh kembang, sehingga fungsi organ dan keadaan fisiologis lainnya
juga masih berkembang. Dengan demikian respons anak terhadap pemberian obat juga
sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.

D. Prinsip Farmakoterapi pada Pediatrik


Konsep dasar pemberian obat adalah untuk menghilangkan gejala,
menyembuhkan penyakit, atau mencegah terjadinya penyakit. Keputusan untuk
memberi obat pada seorang anak harus diambil secara seksama dengan
mempertimbangkan rasio manfaat dan resikonya, serta dampak lain yang mungkin
terjadi akibat pengobatan. Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan
pengobatan pada anak, ada baiknya direnungkan dahulu pertanyaan-pertanyaan
berikut (Juliana, Santi, dkk. 2018).
1) Apakah obat benar di perlukan?
Sebagian besar penyakit pada anak sebetulnya dapat sembuh sendiri tanpa
pemberian obat sekalipun. Jika tidak terpaksa sekali, alternatif intervensi
nonterapi (seperti misalnya diet, istirahat, dan memperbaiki masukkan cairan)
lebih diutamakan. Kecenderungan peresepan yang semata-mata didasarkan pada
kekhawatiran dan permintaan orang tua anak tidak di benerkan sama sekali . jika
diagnosa tidak di tegakkan secara meyakinkan (tanpa dilandasi bukti-bukti kuat
yang mengarah ke diagnosis definitif), maka sebagai akibatnya pengobatanpun
cenderung tanpa alasan medik yang jelas.
2) Jika terapi obat diperlukan, obat mana yang sesuai?
Penentuan apakah obat yang diresepkan benar-benar sesuai dengan diagnosis
yang ditegakkan sangat di tentukan oleh kemampuan dan pengalaman dokter.
Namun demikian prinsip-prinsip ilmiah peresepan pada ank hendaknya tetap di
taati. Beberapa jenis obat, mutlak tidak boleh di berikan pada bayi dan anak,
beberapa lagi disertai peringatan dan ketentuamn khusus. Contohnya peresepan
tetrasiklin sangat tidk dianjurkan pada anak, oleh karena dapat merusak gigi dan
menggangu pertumbuhan tulang.
3) Jenis sediaan apa yang diperlukan?
Pembrian obat secara oral adalah yang paling dianjurkan untuk anak. Selanjutnya,
untuk menentukan apakah diperlukan obat dalam bentuk sediaan cair, tablet,
puyer, atau yang lain perlu dipertimbangkan kondisi anak, tingkat penerimaan,
dan faktor-faktor lain yang sekiranya akan mempengaruhi masuknya obat secara
komplit ke dalam tubuh, misalnya apakah anak sudah dapat menelan tablet.
4) Memperkirakan dosis obat
Penentuan dosis obat pada anak dapat dilakukan dengan mengacu pada buku-
buku standar pediatrik, pada keadaan terpaksa dapat menggunakan package
insert. Jika informasi ini tidak diperoleh, dapat digunakan formulasi berdasarkan
umur, berat badan, atau laur permukaan.
5) Lama pemberian
Untuk memutuskan berapa lama obat sebaiknya diberikan pada anak sebetulnya
tidak ada standar yang pasti, namun perlu di garis bawahi, bahwa riwayat perjalanan
penyakit menentukan berapa lama obat harus diminum. 6) Informasi pengobatan
Informasi yang seharusnya disampaikan juga tidak hanya mencakup cara minum
obat tetepi juga meliputi kemungkinan terjadinya efek samping dan
penanggulangannya. Informasi hendaknya sederhana, jelas, dan mudah dipahami
oleh orang tua si anak.
7) Ketaatan minum obat dan Pendidikan pasien
Pada anak, ketaatan minum obat ini umumnya tergantung pada ketaatan orang tua
dalam memberikan oba secara tepat dan benar.tingkat Pendidikan dan informasi
yang di terima orang tua anak juga ternyata mempunyai korelasi positif dengan
ketaatan. Dengan memberikan informasi yang jelas, umumnya ketaatan juga
meningkat. Kewaspadaan orang tua akan terpacu terhadap kemungkinan dampak
negatif yang terjadi jika obat tidak diminum sebagaimana mestinya.

E. Pertimbangan Pemberian Farmakoterapi pada Pediatrik


Kebutuhan pegobatan pada pasien anak tidak sama dengan pasien dewasa
dikarenakan fisiologi tubuh pasien anak harus dipertimbangkan berkaitan dengan
perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan. Peresepan obat pada
pasien anak berisikan banyaknya item obat dalam satu resep yang memungkinkan
terjadi polifarmasi yang akan berpotensi terjadinya interaksi antar obat (Hendera,
2018).
Masalah interaksi obat pada pasien rawat inap pediatrik membutuhkan
perhatian khusus karena adanya faktor regimen terapi yang kompleks, polifarmasi,
penyakit penyerta, dan modifikasi dalam terapi. Selain itu, interaksi obat pada anak
anak bersifat unpredictable tidak seperti pada pasien dewasa (Saula, 2019).
Interaksi obat kategori mayor yang sering terjadi adalah kombinasi gentamisin
dengan furosemid, kotrimoksazol dengan metotreksat, dan fenitoin dengan artemeter.
Kombinasi gentamisin dengan furosemid dapat meningkatkan risiko gangguan
pendengaran, telinga berdenging, vertigo, dan kerusakan ginjal. Penggunaan
metotreksat bersama dengan kotrimoksazol dapat meningkatkan risiko gangguan pada
sumsum tulang belakang sehingga memicu anemia, pendarahan, maupun infeksi.
Penggunaan artemeter bersama fenitoin tidak dianjurkan karena secara signifikan
dapat mengurangi kadar artemeter dalam darah sehingga kurang efektif dalam
mengobati malaria. Dalam studi ini disebutkan bahwa usia anak dan polifarmasi
berhubungan secara signifikan dengan kejadian interaksi obat (Saula, 2019).
Kejadian interaksi obat perlu diwaspadai dan dicegah karena kondisi tubuh
pasien pasien pediatrik berbeda dengan pasien dewasa. Efek interaksi obat yang
terjadi pada pasien dewasa bisa saja berbeda pada pasien pediatrik. Interaksi obat
dapat dicegah dengan memonitor setiap lembar resep yang mengandung dua atau
lebih obat. Dalam hal ini, kewaspadaan dari apoteker dan prescriber dituntut demi
meminimalisasi kejadian tersebut sehingga kualitas pengobatan pasien meningkat
(Saula, 2019).

F. Segi praktis pemberian farmakoterapi pada pediatric


Periode awal kelahiran
Pemberian obat dapat dilakukan dengan oral, namun harus hati-hati karena
dapat mengakibatkan aspirasi, terdapat beberapa obat yang tidak diabsorpsi secara
baik. Jika diberikan secara intramuskuler, sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah
anterior atau lateral. Penyuntikan pada pantat tidak dianjurkan mengingat masa otot
yang masih relatif kecil dan kemungkinan rusaknya saraf. Obat-obat yang dapat
menggeser bilirubin dari ikatannya pada albumin (seperti sulfonamida, diazoksida,
novobiosin dan analog vitamin K) hendaknya dihindari untuk mencegah terjadinya
kern ikterus.
Pemakaian kloramfenikol pada bulan pertama kelahiran sangat tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan grey baby syndrome' akibat tertimbunnya
kloramfenikol tak terkonjugasi (unconjugated chloramphenicol) di dalam darah.
Mekanismenya adalah sebagai berikut. Secara normal kloramfenikol terkonjugasi
dengan glukuronat oleh enzimglukuronil transferase. Pada bulan-bulan pertama
kelahiran, enzim ini belum bekerja sempurna, sementara ekskresi kloramfenikol yang
tak terkonjugasi belum adekuat. Akibatnya obat akan terakumulasi dan menyebabkan
timbulnyagejala
gejala muntah, sulit makan dan minum, pernafasan cepat dan tidak teratur, sianosis
hingga flaksid (kaku) dan hipotermia yang dapat berakhir dengan kematian. Pada
kelompok umur ini, yang perlu diperhatikan adalah pemberian obat-obat yang
metabolismenya dengan cara oksidasi dan hidroksilasi (Fase I), seperti misalnya
fenitoin, fenobarbital dan teofilin. Banyak bukti klinik menunjukkan bahwa
penggunaan obat-obat tersebut pada kelompok umur 1-10 tahun memerlukan dosis
terapetik yang relatif lebih besar dari dosis dewasa. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa pada periode ini darah dibersihkan dari obat lebih cepat dan metabolisme
obatpun berlangsung cepat. Oleh sebab itu waktu paruh obat juga lebih pendek.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah pada periode awal kelahiran : 1. Cara
pemberian obat yang efektif
Karena kemungkinan adanya reaksi penolakan untuk minum obat, maka pemakaian
obat dalam bentuk sirup sangat dianjurkan, terutama yang tidak memberikan rasa
pahit. Namun perlu diingat, pemakaian jangka panjang obat sirup dengan pemanis
dapat menyebabkan karies gigi. Frekuensi pemberian hendaknya dibuat sekreatif
mungkin, misalnya tidak lebih dari 4 kali sehari. Pemberian satu jenis obat lebih
dianjurkan, namun jika terpaksa memberikan secara kombinasi (lebih dari satu
macam) maka hendaknya dipilih obat yang dapat diberikan secara bersamaan dan
dipertimbangkan kemungkinan interaksi antar obat
2. Menghindarkan obat dari jangkauan anak
Dalam periode umur ini, anak cenderung ingin tahu obat apa yang mereka minum
dan berusaha untuk mengambil dan meminumnya sendiri. Perlu diingatkan bagi
orang tua si anak untuk menyimpan obat sebaik mungkin agar tidak mudah
dijangkau oleh anak
3. Pengobatan pada infeksi berulang
Secara umum, anak-anak dalam kelompok ini akan sering mengalami penyakit
infeksi berulang. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh virus, dimana
antibiotic sama sekali tidak diperluhkan. Namun jika terbukti disebabkan oleh
bakteri, dimana pemakaian antibiotika tidak dapat dihindarkan, cara pemberian
obat hendaknya diberitahukan sejelas mungkin pada orangtua anak. Informasi
bahwa antibiotika harus diminum sampai habis perlu ditekankan, sehingga
penghentian pemberian antibiotika tidak semata maya didasarkan pada hilangnya
gejala atau membaiknya kondisi. Sebaliknya, untuk pemberian obat-obat
simtomatik seperti analgesic-antipiretik, dihentikan jika simpton hilang. Contoh
jika gejala utamanya adalah demam, maka pemberian obat dihentikan jika gejala
demam hilang
4. Pemakaian obat untuk penyakit kronik
Dalam masa pertumbuhan, mungkin saja seorang anak menderita penyakit kronis,
misalnya epilepsy dan asma, yang memerluhkan pengobatan jangka panjang.
Mengingat adanya perubahan respons terhadap obat dalam masa tumbuh kembang
ini, maka penilaian terhadap besar dosis, frekuensi, cara dan lama pemberian,
hendaknya ditinjau kembali dari waktu ke waktu. Jika perlu, dapat dilakukan
monitoring kadar obat dalam darah
Periode Remaja
Bukti klinik mengenai bertambahnya disposisi obat karena perubahan
hormonal sebagai akibat tumbuh kembang pada masa pubertas masih perlu diteliti.
Masalah yang mungkin timbul pada pengobatan golongan umur ini adalah 1. Masalah
ketidaktaatan
Hal ini mungkin tidak begitu berarti untuk penyakit penyakit yang akut dan
sembuh sendiri (self-limiting illnesses) seperti tonsillitis dan faringitis akut. Tetapi
ketaatan
minum obat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas penyembuhan penyakit
penyakit kronis seperti epilepsy, diabetes mellitus, dan asma
2. Penyalahgunaan obat
Kecenderungan untuk menggunakan obat sendiri (self-medication) tanpa indikasi
yang jelas, sangat besar pada kelompok umur ini. Untuk itu, obat-obat yang
menyebabkan adiksi sebaiknya diberikan hanya jika benar-benar diperluhkan
G. Efek Farmakoterapi pada Pediatrik
Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan
(efek sekunder), namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan)
tergantung dari kondisi dan situasi pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini
dapat juga membahayakan jiwa pasien. Efek samping obat ini pada dasarnya terjadi
setelah pemberian obat tersebut, yang kejadiannya dapat diramalkan atau belum dapat
diramalkan sebelumnya. Sebagai contoh, penggunaan kortikosteroid (deksametason)
dalam waktu lama dapat menimbulkan efek moonface dan peningkatan nafsu makan.
Beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan kontraindikasi (atau
menimbulkan efek samping obat) adalah:
1) Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun). 2)
Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).
3) Reaksi hipersensitivitas (alergi) terhadap obat tertentu.
4) Interaksi membahayakan dengan senyawa kimia atau obat – obatan lain.
5) Kondisi hamil dan menyusui.
6) Perbedaan ras dan genetika.
7) Jenis kelamin.
8) Polifarmasi (pengobatan yang tidak rasional).
Pada pasien anak-anak (khususnya bayi) sistem metabolismenya belum
sempurna sehingga kemungkinan terjadinya efek samping dapat lebih besar, begitu
juga pada pasien geriatrik (lansia) yang kondisi tubuhnya sudah menurun.
Dalam dunia farmasi dan kedokteran, beda antara obat dan racun ada pada
dosis. Jika obat digunakan pada dosis yang melebihi dosis terapinya, obat tersebut
akan berefek sebagai racun. Obat bisa menyebabkan keracunan pada berbagai
anggota tubuh terutama anggota tubuh yang banyak dilewati oleh aliran darah.
Contonhya adalah ginjal (oleh obat cefalexin, cisplatin, gentamisin); hati (contoh obat
parasetamol, isoniazid, clorpromazin); paru-paru (contoh amiodaron, bleomisin);
sistem reproduksi (contoh obat kanker bisa menimbulkan fertilitas pada pria); dan
lain-lain.
1. Efek lokal dan Sistemik.
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa kaustik,
misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau
uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel
sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan tersebar ke
bagian lain tubuh. Pada umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau
beberapa organ saja. Organ seperti itu dinamakan “organ sasaran”. Kadar toksikan
dalam organ sasaran tidak selalu yang paling tinggi. Contohnya, organ sasaran
metil merkuri adalah SSP, tetapi kadar metil merkuri di hati dan ginjal jauh lebih
tinggi.
2. Efek berpulih dan Nirpulih.
Efek toksik disebut berpulih (reversibel) jika efek itu dapat hilang dengan
sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (ireversibel) akan menetap atau justru
bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih diantaranya
karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Beberapa efek digolongkan
nirpulih walaupun kadang dapat hilang beberapa waktu setelah pajanan toksikan
dihentikan. Misalnya efek insektisida golongan penghambat kolinesterase yang
disebut “ireversibel”, karena menghambat aktivitas enzim untuk jangka waktu yang
sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk sintesis dan mengganti enzim tersebut.
Efek toksikan dapat berpulih bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk
waktu yang singkat. Sementara, efek nirpulih dapat dihasilkan pada pajanan
dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lama.
3. Efek Segera dan Tertunda.
Banyak toksikan menimbulkan efek segera, yaitu efek yang timbul segera setelah
satu kali pajanan. Contohnya, keracunan sianida. Sedangkan efek tertunda timbul
beberapa waktu setelah pajanan. Pada manusia, efek karsinogenik pada umumnya
baru nyata jelas 10-20 tahun setelah pajanan toksikan. Pada hewan pengerat pun
dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk timbulnya efek karsinogenik.
4. Efek Morfologis, Fungsional, dan Biokimia.
Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada
morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia,
bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan
berpulih pada fungsi organ sasaran. Oleh karena itu pada penelitian toksikologi,
fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa (misalnya, laju ekskresi zat warna). Oleh
karena efek fungsional biasanya berpulih, sedangkan efek morfologis tidak,
beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan fungsional
dapat diketahui lebih dini, atau dapat dideteksi pada hewan dalam dosis yang lebih
rendah daripada dosis yang menyebabkan perubahan morfologis. Walaupun semua
efek toksik berkaitan dengan perubahan biokimiawi, pada uji toksisitas rutin, yang
dimaksud dengan “efek biokimiawi” adalah efek toksik yang tidak menyebabkan
perubahan morfologis. Contohnya, penghambatan enzim kolinesterase setelah
pajanan insektisida organofosfat dan karbamat.
5. Reaksi Alergi dan Idiosinkrasi.
Reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas atau sensitisasi) terhadap toksikan
disebabkan oleh sensitisasi sebelumnya oleh toksikan itu atau bahan yang mirip
secara kimiawi. Bahan kimia itu bekerja sebagai hapten dan bergabung dengan
protein endogen membentuk antigen yang akan merangsang pembentukan
antibodi. Pajanan berikutnya akan menghasilkan interaksi antigen-antibodi berupa
reaksi alergi. Jadi reaksi ini berbeda dengan efek toksik biasa.
Pertama, karena dibutuhkan pajanan awal, dan kedua, karena kurva dosis-respons
yang khas, yang berbentuk sigmoid, tidak muncul pada reaksi alergi. Walaupun
demikian, pada sensitisasi kulit, dapat diperlihatkan adanya dosis ambang untuk
induksi (pajanan awal) maupun untuk pajanan kedua.
Pada umumnya, reaksi idiosinkrasi didasari oleh faktor keturunan yang
menyebabkan reaktivitas abnormal terhadap bahan kimia tertentu. Contohnya, pada
orang yang kekurangan NADH methemoglobinemia reduktase yang sangat peka
terhadap nitrit dan bahan kimia lain sehingga terjadi methemoglobinemia.
6. Respon Bertingkat dan Respon Kuantal.
Pengaruh terhadap berat badan, konsumsi makanan, dan pengambatan enzim
merupakan contoh respon bertingkat. Sedangkan mortalitas dan pembentukan
tumor adalah contoh respon kuantal (ada atau tidak sama sekali). Reaksi ini
mengikuti kurva hubungan dosis-respons. Jadi jika dosisnya naik, begitu pula
responsnya, baik dari segi proporsi populasi yang bereaksi, maupun dari segi
keparahan respon bertingkat tadi. Bahkan efek toksik tambahan akan timbul kalau
dosisnya meningkat. Contohnya kekurangan vitamin C akan mengakibatkan gejala
defisiensi, tetapi kelebihan vitamin akan segera dibuang melalui urin(Kemenkes,
2017).
DAFTAR PUSTAKA

Indijah Sujati Woro, dan Purnama Fajri. Buku Farmakologi. Cetakan pertama,
Desember 2016.
Nisa, A. A. (2019). GAMBARAN PERESEPAN OBAT KORTIKOSTEROID PADA
PASIEN ANAK DI POLI RAWAT JALAN RS PRIMA HUSADA
MALANG (Doctoral dissertation, Akademi Farmasi Putera Indonesia
Malang).
Saula, L. S., & Hilmi, I. L. (2019). POTENSI INTERAKSI OBAT PADA RESEP
PASIEN RAWAT INAP PEDIATRIK: STUDI RETROSPEKTIF DI
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK.
Katzung. 2010. Basic and Clinical Pharmacology, 3rd edition. Lange Medical Book,
California.
Juliana, Santi, dkk. 2018. Terapi Obat Pada Anak. Institut Sains dan Teknologi
Nasional. Jakarta
Hendera, H. (2018). Interaksi Antar Obat pada Peresepan Pasien Rawat Inap Pediatrik
Rumah Sakit X dengan Menggunakan Aplikasi Medscape. JCPS (Journal of
Current Pharmaceutical Sciences), 1(2), 75-80.
Saula, L. S., & Hilmi, I. L. (2019). POTENSI INTERAKSI OBAT PADA RESEP
PASIEN RAWAT INAP PEDIATRIK: STUDI RETROSPEKTIF DI
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK.
Katzung BG.1987. Basic and Clinical Pharmacology, 3rd edition. Lange Medical
Book, California
Speight TM. 1987. Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical
Pharmacology, 3rd edition. ADIS Press, Auckland WHO. 1987. Drugs for
Children. EHO Europe, Copenhagen
Nuryati. 2017. Farmakologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
PERTANYAAN
1. Pada anak remaja atau periode remaja ada salah satu trend dalam
penyalahgunaan obat, untuk efek yang bisa kita lihat seperti kepuasan yang
dirasakan si anak sendiri, tetapi untuk anak yang menggunakn
penyalahgunaan obat tersebut apakah memiliki efek samping untuk usia
tua nanti?
2. Pada kelompok umur periode awal kelahiran, disbeutkan bahwa adalah
pemberian obat-obat yang metabolismenya dengan cara oksidasi dan
hidroksilasi (Fase I), seperti misalnya fenitoin, fenobarbital dan teofilin perlu
diperhatikan. Karena penggunaan obat-obat tersebut pada kelompok umur 1-
10 tahun memerlukan dosis terapetik yang relatif lebih besar dari dosis
dewasa. Dan juga disebutkan periode ini darah dibersihkan dari obat lebih
cepat dan metabolisme obatpun berlangsung cepat, sehingga waktu paruh obat
juga lebih pendek. Walaupun demikian, apakah tidak berbahaya atau
tidak terdapat efek pada anak jika obat-obat tersebut diberikan dengan
dosis yang lebih besar dari dewasa?
3. Orang tua tak jarang sering kali memberikan obat kepada anaknya apabila
dilihat tanda gejala anak sedang sakit, misal sakit kepala, pucat atau demam.
Kecenderungan untuk menggunakan obat sendiri ini (self-medication) tanpa
indikasi yang jelas, apakah akan berpengaruh pada tingkat keefektivitasan
(resistens) obat tersebut, mengingat orang tua yang selalu khawatir pada saat
anaknya sakit? Apa efek samping/dampak dari perilaku penggunaan obat
seperti itu?
4. Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa obat untuk anak yang
rasanya pahit contohnya obat puyer. Agar anak mau minum obat, seringkali
orang tua mencampurkan obat tersebut dengan sirup. Apakah hal tersebut
dapat mengakibatkan karies gigi pada anak karena sirup sendiri bersifat
kariogenik? Dan apakah obat yang dicampur sirup memiliki efek pada
kinerja obat tersebut?
5. Pada anak remaja atau periode remaja ada salah satu trend dalam
penyalahgunaan obat, untuk efek yang bisa kita lihat seperti kepuasan yang
dirasakan si anak sendiri, Saat ini sangat banyak ditemui anak remaja yang
menyalahgunakan obat-obatan untuk mencari kepuasan tersendiri dan
untuk memenuhi Hasrat keinginantahuannya, contohnya seperti
mengkonsumsi obat carnophen dalam jumlah yang tidak wajar agar
mendapatkan efek memabukkan. Bagaimana caranya mengobati anak
yang sudah terlanjur menjadi pecandu dan susah untuk diajak bicara
selain dengan cara rehabilitasi oleh pihak yang berwajib?

Anda mungkin juga menyukai