Anda di halaman 1dari 19

UTS SWAMEDIKASI DIARE NON SPESIFIK PADA ANAK

NAMA : Desniar Alyah

NPM : 482012410009P

PRODI : Alih Program S1 Farmasi

MK : Swamedikasi

DOSEN : Mayaranti Wilsya S. Farm., Apt M. Sc

STIKES SITI KHADIJAH PALEMBANG


PRODI FARMASI 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Swamedikasi dalam pengertian umum adalah upaya yang dilakukan untuk mengobati diri sendiri

dengan menggunakan obat, obat tradisional, atau cara lain tanpa nasihat tenaga kesehatan. Dalam upa

ya pemeliharaan kesehatan pengobatan sendiri merupakan upaya pertama dan yang terbanyak dilakuk

an masyarakat untuk mengatasi beberapa keluhan kesehatannya sehingga peranannya tidak dapat diab

aikan begitu saja (Fuaddah, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartika

n sebagai penggunaan dan pemilihan obat, termasuk pengobatan herbal dan tradisional oleh individu u

ntuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala penyakit. Sampai saat ini ditengah masyarakat seri

ngkali dijumpai berbagai masalah dalam penggunaan obat yang tepat dan rasional, penggunaan obat b

ebas secara berlebihan serta kurangnya pemahaman tentang cara penggunaan, menyimpan dan memb

uang obat dengan benar. (Kemenkes RI, 2015).

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2017 terdapat 69,43% penduduk Indonesia yan

g melakukan swamedikasi dibandingkan penduduk yang berobat jalan 46,32%. Angka ini meningkat

pada tahun 2016 sebanyak 63,77% terus meningkat sampai tahun 2019 sebesar 71,46% menunjukkan

swamedikasi sering dilakukan masyarakat.

Sekarang ini, sudah semakin banyak beredar makanan-makanan instan. Makanan tersebut memili

ki komposisi yang berasal dari bahan tambahan pangan sintetik. Penggunaan bahan tambahan pangan

sintetik dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan tubuh, terutama pada kesehatan pencernaa

n, salah satu dampak yang diakibatkan adalah timbulnya penyakit diare. Data nasional Depkes menye

butkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000 balita meninggal dunia karena diare, sejumlah (1-2%) pe

nderita jika tidak tertangani akan jatuh kedalam dehidrasi dan jika tidak segera ditolong 50-60% diant

aranya dapat meninggal. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka tersebut adalah penget

ahuan ibu tentang diare (Dwi, 2014). Beberapa hal yang menyebabkan kejadian diare adalah mengkon

sumsi makanan yang tidak pasti kebersihannya. Makanan atau jajanan yang sering dikonsumsi anak s

ekolah sangat rentan terhadap pencemaran, yang bersumber dari bahan tambahan pangan berupa pewa
rna tekstil, zat pengawet, dan pemanis buatan. (Prasistyani, 2006). Diare juga dapat disebabkan oleh e

fek samping dari penggunaan obat terutama antibiotik, selain itu bahan – bahan pemanis buatan sepert

i sorbitol dan manitol yang ada dalam permen karet serta produk – produk bebas gula lainnya menimb

ulkan diare. Hal ini terjadi pada anak – anak dan dewasa muda yang memiliki daya tahan tubuh yang l

emah, orang tua berperan besar dalam menentukan penyebab anak terkena diare (Soekidjo, 2005). Ku

man penyebab diare berkembang biak di lingkungan yang lembab dan kebersihan yang kurang, serta p

ada air minum yang tidak terjaga kebersihannya. Faktor lingkungan yang meliputi air bersih dan sanit

asi ini memiliki peranan sangat penting sebagai media penularan dan dominan dalam siklus penularan

penyakit diare. Biasanya anak-anak mudah dan sering terkena diare, klasifikasi usia anak yang dimaks

udkan adalah antara usia 5-11 tahun menurut Depkes RI (2009). Dikarenakan anak-anak senang sekali

jajan sembarangan yang tentunya makanan tersebut tidak terjamin kebersihan serta keamanan makana

nnya sehingga anak tersebut mengalami diare. Anak usia sekolah pada umumnya juga belum paham b

etul akan arti kesehatan bagi tubuhnya. Oleh karena itu, alasan penulis melakukan penelitian mengena

i pengetahuan ibu tentang swamedikasi diare pada anak untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dal

am menangani diare pada anak sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut oleh tenaga keseh

atan. Semakin banyak pengetahuan seorang ibu tentang swamedikasi diare anak, diharapkan dapat me

nurunkan tingkat mortalitas anak akibat diare serta dapat menigkatkan kwalitas hidup anak di daerah t

empat dilakukannya penelitian.

Konseling merupakan bagian dari aspek pelayanan kefarmasian di apotek. Peran penti

ng konseling pasien adalah memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan y

ang bermutu untuk pasien (Rantucci, 2009). Banyak penelitian yang membuktikan keefektifa

n penyediaan informasi dan pemberian konseling oleh apoteker. Pemberian konseling dan inf

ormasi kepada pasien sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepatuhan dan mencegah kegag

alan terapi obat pasien (Monita, 2009).

Apoteker harus mengetahui secara rinci obat yang sering dipakai dalam pengobatan dan

mampu menginformasikannya kepada konsumen, karena tidak semua konsumen tahu dan sad
ar yang harus dilakukan tentang obat-obatan (Depkes RI, 2006). Untuk memberikan informas

i tentang obat, apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, pengetahua

n untuk mencari literatur dan jalan untuk mengakses literatur tersebut (Tietze, 2004). Aspek p

elayanan kefarmasian mengharuskan adanya informasi obat yang benar dan jelas (Handayani

dkk., 2006). Dalam melaksanakan konseling, dibutuhkan fasilitas berupa buku atau literatur k

husus yang membahas obat dan penyakit yang masuk dalam kriteria konseling (Purwanti dkk.

2004). Suatu informasi mengenai obat yang lengkap, jelas, tidak menyesatkan dan dapat dipe

rtanggungjawabkan berupa buku literatur, jurnal penelitian dan panduan pengobatan sangat di

butuhkan oleh tenaga kesehatan dan dapat menginformasikannya kepada masyarakat yang he

ndak melakukan swamedikasi.

Pentingnya peran apoteker saat ini yang harus menjalankan praktik sesuai standar dan tida

k sekedar berorientasi pada drug oriented tetapi juga patient oriented, sehingga apoteker ditun

tut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi langsu

ng dengan pasien dalam memberikan konseling sehingga tujuan dari pengobatan pasien tarca

pai (Depkes 3 RI, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untu

k mengevaluasi persepsi apoteker saat ini tentang konseling yang seharusnya diterapkan sesu

ai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), menurut apoteker pelaksanaan konseli

ng pasien harus dilaksanakan atau tidak.

Padahal menurut standar pelayanan farmasi komunitas, informasi yang seharusnya didapa

tkan pasien antara lain khasiat obat, lama penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek sam

ping yang mungkin timbul, tindakan bila ada efek samping, tindakan bila terjadi salah dosis,

pantangan obat untuk penyakit tertentu dan pantangan makanan saat minum obat yang seharu

snya diberikan oleh apotek dan merupakan hak pasien. Jadi informasi yang didapatkan pasien

tidak hanya harga obat, cara dan aturan pakai obat. Informasi yang lengkap dan jelas akan me

ngurangi resiko terjadinya medication error (Handayani dkk., 2009).


II. RUMUSAN MASALAH

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan analisis keadaan diatas, maka secara umum kepentingan untuk membaha

s masalah swamedikasi tidak lepas dari kenyataan kebiasaan dalam praktek pengobatan, di ma

na umum sekali untuk melakukan pengobatan sendiri swamedikasi pengobatan tidak selaman

ya merugikan, tetapi jika kemungkinan terjadi interaksi ini haruslah diwaspadai pada masyara

kat, maka terjadinya dampak negatif yang merugikan akan lebih besar. Permasalahan tersebut

dapat diuraikan lebih spesifik menjadi :

1. Bagaimana swamedikasi untuk pengobatan diare non spesifik pada anak-anak ?

2. Bagaimana pasien dapat membedakan tanda-tanda diare non spesifik dan swamedikasi pad

a anak-anak?

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi

Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun. Sebagaimana terurai

dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk diagnosa, pencegahan penyakit, meny

embuhkan atau memelihara kesehatan, yang hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tep

at, namun dapat bersifat sebagai racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobat

an dengan dosis yang berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapa

t menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk penyembuhan p

enyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997; Ditjen POM, 1997).

Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya dianggap dan

ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan jika mengikuti aturan me

makainya (Anief, 1997).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat b

ebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983).
3.1.1 Obat Bebas

Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa diperoleh di a

potek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran

hitam dengan latar berwarna hijau. Contohnya Parasetamol (Pereda nyeri dan demam), dan pr

oduk-produk vitamin.

3.1.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun dalam

penggunaannya harus memperhatikan peringatan-peringatan tertentu. Obat ini juga dapat dipe

roleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan

lingkaran hitam dengan latar berwarna biru, juga disertai peringatan dengan latar belakang wa

rna hitam. Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu. Adapun peringatan yang dicantum

kan ada 6 macam sesuai dengan aturan pemakaian masing-masing obatnya, yaitu :

1. Peringatan no.1: Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pakainya !

2. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan

3. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari bad

an

4. Peringatan no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar

5. Peringatan no.5: Awas! Obat Keras. Tidak Boleh Ditelan

6. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan (Widodo, 20

04).

3.2. Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990 Tentang O

bat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apote

k tanpa resep dokter. Berikut beberapa ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam member

ikan obat wajib apotek kepada pasien.

1. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar mengenai da

ta pasien, mencakup nama, alamat, umur, dan penyakit yang sedang dideritanya.
2. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus jumlah yang bis

a diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang diatur oleh

Keputusan Pemerintah Kesehatan tentang daftar obat wajib apotek (OW A).

3. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat yang disera

hkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan, dan e

fek samping yang tidak diinginkan yang paling dimungkinkan akan timbul sekaligus

tindakan yang disarankan apabila hal itu memang benar-benar terjadi.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan ta

npa resep adalah:

1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun d

an orang tua di atas 65 tahun.

2. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak memberikan risiko pada kelanjutan

penyakit.

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus melibatkan

4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan unt

uk pengobatan sendiri (Zeenot, 2013).

3.3. Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi

Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati secara swamed

ikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan gastritis (Supardi,2006).

Diare Non Spesifik pada anak-anak

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,

dan frekuensinya tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokk

an dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infeksi parasit), malabsor

psi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di l

apangan ataupun secara klinis adalah diare karena keracunan. Berdasarkan laporan UNICEF dan WH

O tahun 2009, diare merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas anak-anak dibawah lima tahun ter

tinggi kedua setelah pneumonia. Dilaporkan sebanyak 18% (1,5 juta dari 9 juta) kematian pada anak d
i bawah lima tahun di dunia terjadi karena diare setiap tahunnya. Penyakit diare dibagi menjadi dua je

nis yaitu diare akut dan diare persisten, yang memiliki cara penanganan dan pengobatan yang berbed

a-beda. Penanganan dan pengobatan diare yang tidak tepat dapat menjadi masalah yang serius. Sejak t

ahun 2004, WHO dan UNICEF menandatangani kebijakan bersama dalam hal pengobatan diare yaitu

pemberian oralit dan zinc selama 10-14 hari. Hal ini didasarkan pada penelitian selama 20 tahun (198

0-2003) yang menunjukkan bahwa pengobatan diare dengan pemberian oralit disertai zinc lebih efekti

f dan terbukti menurunkan angka kematian akibat diare pada anak-anak sampai 40%.

Masalah-Masalah Pada Swamedikasi

a) Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen bingung memilih antar

a obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.

b) Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan mediamedia lain mempuny

ai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep.

c) Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pen

didikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkemb

angan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat.

d) Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya

mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melau

i internet. Kemudahan semacam ini juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya,

2011).

Penggunaan Obat yang Rasional

Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat dapat bersifat sebagai ra

cun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997). Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasi

onal bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan ha

rga yang terjangkau. Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008) adalah :

1.Tepat diagnosis. Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakka

n dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

2. Tepat indikasi penyakit. Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.
3. Tepat pemilihan obat. Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.

4. Tepat dosis. Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila salah

satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

5. Tepat Jumlah. Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.

6. Tepat cara pemberian. Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya di

kunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena

akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan efekti

fitasnya.

7. Tepat interval waktu pemberian. Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungki

n dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari

(misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus dimin

um 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

8. Tepat lama pemberian. Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masi

ng. Untuk Tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan, sedangkan untuk kusta

paling singkat 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 – 14 hari.

9. Tepat penilaian kondisi pasien. Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara

lain harus memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia

atau bayi.

10. Waspada terhadap efek samping. Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual, munt

ah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.

11. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau Untuk mencapai k

riteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.

12.Tepat tindak lanjut (followup). Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berla

njut konsultasikan ke dokter.

13.Tepat penyerahan obat (dispensing). Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat d

an pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan ob
at di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi y

ang tepat.

14.Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :

1. Jenis sediaan obat beragam

2. Jumlah obat terlalu banyak

3. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

4. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

5. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat

6. Timbulnya efek samping

Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: kete

patan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi

dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk indik

asi penyakit yang sama (Hermawati, 2012).

Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi

Menurut Anief (1997), keuntungan melakukan swamedikasi yaitu lebih mudah, cepat, hemat,

tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri.

Kekurangan swamedikasi yaitu : obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunaka

n sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan

kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, efek samping atau resistensi, penggunaan obat y

ang salah akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat

di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi, dkk., 2005).

Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali keseriusan gangguan. Keseriusan dapa

t dinilai salah satu atau mungkin tidak dikenali, sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu la

ma. Gangguan bersangkutan dapat memperhebat 13 keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan oba

t-obat yang lebih keras. Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat bisa diguna
kan secara salah, terlalu lama atau dalam takaran yeng terlalu besar. Guna mengatasi resiko tersebut,

maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut (Tjay dan Raharja, 1993).

.Apotek dan Apoteker

Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu

tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan kefarmasian, perbekalan kes

ehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut definisi tersebut dapat diketahui bahwa apotek m

erupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya d

erajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat peng

abdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 20

04). Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi y

ang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan per

undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai ap

oteker. Menurut definisi tersebut seorang apoteker merupakan lulusan perguruan tinggi farma

si yang memenuhi ciri profesi yaitu memiliki pengetahuan yang berbatas jelas dan pendidikan

khusus berbasis keahlian pada jenjang perguruan tinggi (Depkes RI, 2004).

Menurut PerMenKes No.922/MENKES/PER/X/1993 apotek dapat diselenggarakan ol

eh apoteker yang bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sekaligus sebagai

Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dapat diselenggarakan juga apoteker bekerjasama dengan pe

milik sarana, apoteker bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) sedang pihak lain

seorang apoteker atau tidak yang bertindak sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dalam hal

ini apoteker menggunakan sarana pihak lain sehingga penggunaan sarana didasarkan atas perj

anjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana (Depkes RI, 1993).

Peran apoteker adalah melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) yang

merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan

kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Menurut PP 51 Ta
hun 2009, pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan y

ang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat n

amun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk m

endukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk men

getahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error)

(Depkes RI, 2009).

Pelayanan farmasi yang baik akan mendukung keberhasilan suatu terapi, sehingga ber

hasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tet

api juga kepatuhan (compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan. Kepatu

han pasien telah ditentukan oleh beberapa hal antara lain persepsi tentang kesehatan, pengala

man mengobati sendiri, pengalaman dari terapi sebelumnya, lingkungan, adanya efek sampin

g obat, keadaan ekonomi, interaksi dengan tenaga kesehatan dan informasi penggunaan obat

dari apoteker (Depkes RI, 2006).

Konseling

Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuh

kan (klien) dan orang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa

sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah (Dep

kes RI, 2006).

Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 konseling adalah suatu proses

komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan

memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberik

an konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehin

gga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya p

enyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya (De

pkes RI, 2004).


Konseling pasien merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian, karena apoteker seka

rang tidak hanya berorientasi pada obat (drug oriented), tetapi juga harus berorientasi pada pa

sien (patient oriented) sehingga terwujud konsep pharmaceutical care. Tujuan dari konseling

adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko

efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan menghormati pilihan pasien dalam menjal

ankan terapi (Depkes RI, 2006).

Prinsip dasar konseling adalah menjalin hubungan atau korelasi antara apoteker denga

n pasien sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela dalam rangka meningkat

kan keberhasilan terapi. Pendekatan apoteker dalam memberikan konseling kapada pasien ber

ubah dari medical model menjadi helping model, yaitu:

Tabel 1. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Apoteker (Depkes RI, 2006)

Medical model Helping model

 Pasien pasif Pasien terlibat aktif

Kepercayaan didasarkan karena profe Kepercayaan didasarkan dari hubunga

si sebagai apoteker n yang terjalin antara apoteker dengan

pasien

Mengidentifikasi masalah dan peneta Menggali semua masalah dan memili

pan solusi oleh apoteker h cara pemecahan masalah bersama

Pasien bergantung pada apoteker Pasien mengembangkan rasa percaya

dirinya untuk memecahkan masalahn

ya

Hubungan seperti ayah dan anak, sehi Hubungan setara

ngga pasien bergantung pada apoteker


Konseling dapat diberikan langsung kepada pasien atau melalui perantara yaitu keluar

ga pasien, pendamping pasien, perawat pasien atau yang bertanggung jawab dalam perawatan

pasien. Pemberian konseling melalui perantara dilakukan jika pasien tidak dapat mengenali o

bat dan terapi seperti pasien pediatrik dan pasien geriatrik (Depkes RI, 2006).

Konseling dapat dilakukan kepada semua pasien, akan tetapi karena keterbatasan wakt

u pelaksanaan konseling dilakukan pada pasien dengan keadaan khusus sebagai berikut :

a. Pasien dengan penyakit kronik seperti : diabetes, TB, dan asma.

b. Pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan.

c. Pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pemanta

uan.

d. Pasien dengan multirejimen obat.

e. Pasien lansia.

f. Pasien pediatrik melalui orang tua atau pengasuhnya.

g. Pasien yang mengalami masalah berkaitan dengan obat atau Drug Related Problems

(DRP) (Monita, 2009).

Infrastruktur konseling meliputi:

a. Sumber daya manusia

Konseling dilakukan oleh tenaga profesi apoteker yang mempunyai kompetensi dalam

pemberian konseling obat. Apoteker yang melakukan kegiatan konseling harus memahami as

pek farmakoterapi maupun teknik berkomunikasi dengan pasien agar komunikasi yang terjadi

lebih efektif dan intensif (Depkes RI, 2006)

b. Sarana penunjang
Sarana penunjang terdiri dari ruang atau tempat konseling dan alat bantu koseling (De

pkes RI, 2006). Konseling hendaknya dilakukan di ruangan tersendiri yang dapat terhindar da

ri macam interupsi (Rantucci, 2009).

Kegiatan konseling memerlukan beberapa tahapan yang meliputi:

a. Pembukaan, hubungan yang baik antara apoteker dan pasien akan menimbulkan pe

mbicaraan yang menyenangkan. Apoteker memulai dengan memperkenalkan diri dan menget

ahui identitas pasien. Apoteker juga harus menjelaskan kepada pasien tentang tujuan dan lam

a konseling.

b. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah tentang masalah y

ang potensial terjadi saat pengobatan.

c. Diskusi untuk mencegah dan memecahkan masalah, sebaiknya pasien dilibatkan unt

uk mempelajari keadaan yang dapat menimbulkan masalah potensial dalam pengobatan, sehi

ngga masalah dapat diminimalisasi.

d. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh. Bertujuan juga untu

k mengoreksi kesalahan penerimaan informasi.

e. Menutup diskusi, sebelum ditutup sebaiknya apoteker bertanya kepada pasien hal-h

al yang masih ingin ditanyakan, mengulang pertanyaan dan mempertegasnya.

f. Follow up diskusi bertujuan untuk memantau keberhasilan terapi, sehingga diperluk

an dokumentasi kegiatan konseling agar perkembangan pasien dapat dipantau (Depkes RI, 20

06).

Aspek konseling yang harus disampaikan kepada pasien menurut Omnibus Budget Re

conciliatiaon Act of 1990 (OBRA ’90), hal yang harus didiskusikan dalam melaksanakan kon

seling antara lain: nama dan deskripsi obat, cara pemakaian, dosis, bentuk sediaan dan durasi

pemakaian obat. Selain itu OBRA ’90 juga mengamanatkan kepada apoteker untuk mendisku

sikan tindakan khusus dan pencegahan untuk penyiapan, administrasi dan penggunaan obat ol
eh pasien, mendiskusikan efek samping atau efek samping yang parah atau interaksi dan kont

raindikasi yang mungkin terjadi termasuk pantangan dan tindakan yang harus dilakukan jika t

erjadi, teknik pemantauan terapi obat mandiri, penyimpanan, informasi pengobatan kembali d

an tindakan jika terjadi salah dosis (OBRA, 1990.

Berdasarkan Pedoman Konseling Pelayanan dan Kefarmasian di Sarana Kesehatan ya

ng dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen K

esehatan RI tahun 2006, aspek yang harus disampaikan dalam melaksanakan konseling antara

lain:

a. Deskripsi dan kekuatan obat, apoteker harus memberikan informasi kepada pasien

mengenai bentuk sediaan dan cara pemakaian, nama dan zat aktif obat, kekuatan obat.

b. Jadwal dan cara penggunaan, penekanan dilakukan untuk obat denga instruksi khus

us seperti waktu minum sebelum atau sesudah makan, pantangan obat dengan makanan.

c. Mekanisme kerja obat, banyaknya obat yang multi indikasi mengharuskan apoteker

dapat memilih mekanisme mana yang harus dijelaskan sesuai dengan indikasi obat dan penya

kit/gejala yang sedang diobati

d.Dampak gaya hidup, apoteker harus menanamkan kepercayaan pada pasien mengen

ai perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kepatuhan pasien

e.Penyimpanan, cara penyimpanan obat harus diberitahukan kepada pasien terutama o

bat-obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lainnya.

f. Efek potensial yang tidak diinginkan, apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme a

tau alasan terjadinya efek samping sederhana. Penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang

menyebabkan perubahan warna urin, kekeringan mukosa mulut dan lainnya. Pasien juga dibe

ritahukan tentang tanda dan gejala keracunan (Depkes RI, 2006).

Metode Three Prime Question


Meliputi pertanyaan untuk pasien baru seperti beberapa pertanyaan ulangan untuk mengetahui

apakah pasien tersebut mengerti apa yang disampaikan setelah kita memeberikan penjelasan mrngenai

obat yang dipilih seperti simpton apa yang hendak dihilangkan, tujuan terapi, perubahan lifestyle,

cara pakai ( berapa kali sehari, berapa banyak, berapa lama, cara penyimpanan obat ) dan harapan

kesembuhan.

1. Bagaimana penjelasan dokter mengenai obat Anda ?

2. Bagaimana penjelasan dokter mengenai cara pakai obat Anda ?

3. Bagaimana penjelasan dokter mengenai harapan setelah minum obat ini ?

Pertanyaan ini membuat pasien terlibat secara aktif dalam proses konseling. Prime Questions

dibuat sedemikian rupa menghindari rasa malu pasien, dengan cara menanyakan bagaimana

dokter menjelaskan, bukan bagaimana pengertian anda.

Prime Questions ini dapat dikembangkan sebagai berikut :

1. Bagaimana penjelasan dokter mengenai obat Anda ?

--> Nama obat

--> Tujuan pemakaian obat

2. Bagaimana penjelasan dokter mengenai cara pakai obat Anda ?

--> Jadwal minum obat

--> instruksi tambahan

--> lama terapi

--> saran penyimpanan

3. Bagaimana penjelasan dokter mengenai harapan setelah minum obat ini ?

-->hasil yang diharapkan

-->yang harus diwaspadai

--> kemungkinan efek samping

IV. TUJUAN KEGIATAN

Pengabdian masyarakat ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :


1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang swamedikasi pengoba

tan diare non spesifik yang terjadi pada anak-anak

2. Membentuk sikap kepedulian masyarakat tentang swamedikasi yang benar pada pengo

batan diare non spesifik pada anak-anak

V. MANFAAT KEGIATAN

Manfaat dari kegiatan pengabdian ini :

1. Masyarakat dapat termotivasi kesadarannya dalam penggunaan obat sehingga efek terapi

obat dapat dirasakan sehingga pengobatan tidak sia-sia

2. Masyarakat dapat terhindar dari bahaya efek samping obat atau efek toksik obat sehingga

apabila penggunaan obat yang tepat telah dilakukan oleh masyarakat maka peningkatkan

kesehatan masyarakat itu sendiri dapat terwujud

VI. METODE KEGIATAN

Metode kegiatan dilaksanakan dalam bentuk percakapan / dialog dengan tanya-jawab.

Farmasi : Apa keluhan utama yang anak ibu rasakan?

Pasien : Anak saya menderita diare

Farmasi : Berapa kali sehari ?

Pasien : Sudah 6 kali sehari

Farmasi : Bagaimana bentuk massa feses/kotoran anak ibu ?

Pasien : Lembek dan cair

Farmasi : Apa diare anak ibu disertai darah?

Pasien : Tidak

Farmasi : Apa ada lendir ?

Pasien : Tidak ada

Farmasi : Sejak kapan anak ibu menderita diare ini ?

Pasien : Kemarin pagi

Farmasi : Apa ada keluhan lain ?


Pasien : Ada, anak saya merasa haus dan lemas.

VII. PEMBAHASAN

Kegiatan konseling pengobatan swamedikasi diare non spesifik pada anak dilaksanakan

di apotek. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarak

at tentang swamedikasi atau pengobatan sendiri tentang pengobatan diare non- spesifik pada a

nak. Selain itu juga untuk membentuk sikap kepedulian masyarakat tentang swamedikasi atau

pengobatan sendiri secara benar pada pengobatan diare non spesifik pada anak. Sehingga kegi

atan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat agar dapat termotivasi kesadarannya dalam penggu

naan obat sehingga efek terapi obat dapat dirasakan dan pengobatan tidak sia-sia. Selain itu ag

ar masyarakat dapat terhindar dari bahaya efek samping obat atau efek toksik obat sehingga a

pabila penggunaan obat telah tepat dilakukan oleh masyarakat maka peningkatkan kesehatan

masyarakat itu sendiri dapat terwujud.

Sesi dialog/percakapan ini berjalan santai dan lancar karena keluarga pasien bebas bertan

ya tentang obat-obat yang sering mereka gunakan untuk pengobatan diare non-spesifik pada a

nak. Hasil yang didapat dari konseling ini mengarah pada diare akut non-spesifik

DAFTAR PUSTAKA

1. Aries Meryta, dkk, 2015, Gambaran Pengetahuan tentang Swamedikasi Diare pada Anak,

Social Clinical Pharmay Indonesia Jorunal (Vol. 1, No.1, 2016), Universitas 17 Agustus 1

945, Jakarta

2. Ratna Kurnia Illahi, dkk, 2016, Tingkat Pendidikan Ibu dan Penggunaan Oralit dan Zink p

ada Penanganan Pertama kasus Diare Anak Usia 1-5 tahun; studi kasus di Puskesmas Jant

i Malang, Pharmaceutical Journal Of Indonesia 2016.2(1):1-6,ISSN:2461-114X

Anda mungkin juga menyukai