NPM : 482012410009P
MK : Swamedikasi
dengan menggunakan obat, obat tradisional, atau cara lain tanpa nasihat tenaga kesehatan. Dalam upa
ya pemeliharaan kesehatan pengobatan sendiri merupakan upaya pertama dan yang terbanyak dilakuk
an masyarakat untuk mengatasi beberapa keluhan kesehatannya sehingga peranannya tidak dapat diab
aikan begitu saja (Fuaddah, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi diartika
n sebagai penggunaan dan pemilihan obat, termasuk pengobatan herbal dan tradisional oleh individu u
ntuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala penyakit. Sampai saat ini ditengah masyarakat seri
ngkali dijumpai berbagai masalah dalam penggunaan obat yang tepat dan rasional, penggunaan obat b
ebas secara berlebihan serta kurangnya pemahaman tentang cara penggunaan, menyimpan dan memb
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2017 terdapat 69,43% penduduk Indonesia yan
g melakukan swamedikasi dibandingkan penduduk yang berobat jalan 46,32%. Angka ini meningkat
pada tahun 2016 sebanyak 63,77% terus meningkat sampai tahun 2019 sebesar 71,46% menunjukkan
Sekarang ini, sudah semakin banyak beredar makanan-makanan instan. Makanan tersebut memili
ki komposisi yang berasal dari bahan tambahan pangan sintetik. Penggunaan bahan tambahan pangan
sintetik dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan tubuh, terutama pada kesehatan pencernaa
n, salah satu dampak yang diakibatkan adalah timbulnya penyakit diare. Data nasional Depkes menye
butkan setiap tahunnya di Indonesia 100.000 balita meninggal dunia karena diare, sejumlah (1-2%) pe
nderita jika tidak tertangani akan jatuh kedalam dehidrasi dan jika tidak segera ditolong 50-60% diant
aranya dapat meninggal. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka tersebut adalah penget
ahuan ibu tentang diare (Dwi, 2014). Beberapa hal yang menyebabkan kejadian diare adalah mengkon
sumsi makanan yang tidak pasti kebersihannya. Makanan atau jajanan yang sering dikonsumsi anak s
ekolah sangat rentan terhadap pencemaran, yang bersumber dari bahan tambahan pangan berupa pewa
rna tekstil, zat pengawet, dan pemanis buatan. (Prasistyani, 2006). Diare juga dapat disebabkan oleh e
fek samping dari penggunaan obat terutama antibiotik, selain itu bahan – bahan pemanis buatan sepert
i sorbitol dan manitol yang ada dalam permen karet serta produk – produk bebas gula lainnya menimb
ulkan diare. Hal ini terjadi pada anak – anak dan dewasa muda yang memiliki daya tahan tubuh yang l
emah, orang tua berperan besar dalam menentukan penyebab anak terkena diare (Soekidjo, 2005). Ku
man penyebab diare berkembang biak di lingkungan yang lembab dan kebersihan yang kurang, serta p
ada air minum yang tidak terjaga kebersihannya. Faktor lingkungan yang meliputi air bersih dan sanit
asi ini memiliki peranan sangat penting sebagai media penularan dan dominan dalam siklus penularan
penyakit diare. Biasanya anak-anak mudah dan sering terkena diare, klasifikasi usia anak yang dimaks
udkan adalah antara usia 5-11 tahun menurut Depkes RI (2009). Dikarenakan anak-anak senang sekali
jajan sembarangan yang tentunya makanan tersebut tidak terjamin kebersihan serta keamanan makana
nnya sehingga anak tersebut mengalami diare. Anak usia sekolah pada umumnya juga belum paham b
etul akan arti kesehatan bagi tubuhnya. Oleh karena itu, alasan penulis melakukan penelitian mengena
i pengetahuan ibu tentang swamedikasi diare pada anak untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu dal
am menangani diare pada anak sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut oleh tenaga keseh
atan. Semakin banyak pengetahuan seorang ibu tentang swamedikasi diare anak, diharapkan dapat me
nurunkan tingkat mortalitas anak akibat diare serta dapat menigkatkan kwalitas hidup anak di daerah t
Konseling merupakan bagian dari aspek pelayanan kefarmasian di apotek. Peran penti
ng konseling pasien adalah memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan y
ang bermutu untuk pasien (Rantucci, 2009). Banyak penelitian yang membuktikan keefektifa
n penyediaan informasi dan pemberian konseling oleh apoteker. Pemberian konseling dan inf
ormasi kepada pasien sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepatuhan dan mencegah kegag
Apoteker harus mengetahui secara rinci obat yang sering dipakai dalam pengobatan dan
mampu menginformasikannya kepada konsumen, karena tidak semua konsumen tahu dan sad
ar yang harus dilakukan tentang obat-obatan (Depkes RI, 2006). Untuk memberikan informas
i tentang obat, apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, pengetahua
n untuk mencari literatur dan jalan untuk mengakses literatur tersebut (Tietze, 2004). Aspek p
elayanan kefarmasian mengharuskan adanya informasi obat yang benar dan jelas (Handayani
dkk., 2006). Dalam melaksanakan konseling, dibutuhkan fasilitas berupa buku atau literatur k
husus yang membahas obat dan penyakit yang masuk dalam kriteria konseling (Purwanti dkk.
2004). Suatu informasi mengenai obat yang lengkap, jelas, tidak menyesatkan dan dapat dipe
rtanggungjawabkan berupa buku literatur, jurnal penelitian dan panduan pengobatan sangat di
butuhkan oleh tenaga kesehatan dan dapat menginformasikannya kepada masyarakat yang he
Pentingnya peran apoteker saat ini yang harus menjalankan praktik sesuai standar dan tida
k sekedar berorientasi pada drug oriented tetapi juga patient oriented, sehingga apoteker ditun
tut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi langsu
ng dengan pasien dalam memberikan konseling sehingga tujuan dari pengobatan pasien tarca
pai (Depkes 3 RI, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untu
k mengevaluasi persepsi apoteker saat ini tentang konseling yang seharusnya diterapkan sesu
Padahal menurut standar pelayanan farmasi komunitas, informasi yang seharusnya didapa
tkan pasien antara lain khasiat obat, lama penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek sam
ping yang mungkin timbul, tindakan bila ada efek samping, tindakan bila terjadi salah dosis,
pantangan obat untuk penyakit tertentu dan pantangan makanan saat minum obat yang seharu
snya diberikan oleh apotek dan merupakan hak pasien. Jadi informasi yang didapatkan pasien
tidak hanya harga obat, cara dan aturan pakai obat. Informasi yang lengkap dan jelas akan me
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan analisis keadaan diatas, maka secara umum kepentingan untuk membaha
s masalah swamedikasi tidak lepas dari kenyataan kebiasaan dalam praktek pengobatan, di ma
na umum sekali untuk melakukan pengobatan sendiri swamedikasi pengobatan tidak selaman
ya merugikan, tetapi jika kemungkinan terjadi interaksi ini haruslah diwaspadai pada masyara
kat, maka terjadinya dampak negatif yang merugikan akan lebih besar. Permasalahan tersebut
2. Bagaimana pasien dapat membedakan tanda-tanda diare non spesifik dan swamedikasi pad
a anak-anak?
Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun. Sebagaimana terurai
dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk diagnosa, pencegahan penyakit, meny
embuhkan atau memelihara kesehatan, yang hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tep
at, namun dapat bersifat sebagai racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobat
an dengan dosis yang berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapa
t menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk penyembuhan p
Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya dianggap dan
ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan jika mengikuti aturan me
Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat b
ebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983).
3.1.1 Obat Bebas
Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa diperoleh di a
potek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran
hitam dengan latar berwarna hijau. Contohnya Parasetamol (Pereda nyeri dan demam), dan pr
oduk-produk vitamin.
Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun dalam
penggunaannya harus memperhatikan peringatan-peringatan tertentu. Obat ini juga dapat dipe
roleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan
lingkaran hitam dengan latar berwarna biru, juga disertai peringatan dengan latar belakang wa
rna hitam. Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu. Adapun peringatan yang dicantum
kan ada 6 macam sesuai dengan aturan pemakaian masing-masing obatnya, yaitu :
2. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan
3. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari bad
an
6. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan (Widodo, 20
04).
bat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apote
k tanpa resep dokter. Berikut beberapa ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam member
ta pasien, mencakup nama, alamat, umur, dan penyakit yang sedang dideritanya.
2. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus jumlah yang bis
a diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang diatur oleh
Keputusan Pemerintah Kesehatan tentang daftar obat wajib apotek (OW A).
3. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat yang disera
fek samping yang tidak diinginkan yang paling dimungkinkan akan timbul sekaligus
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun d
2. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus melibatkan
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan unt
Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati secara swamed
ikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan gastritis (Supardi,2006).
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,
dan frekuensinya tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokk
an dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infeksi parasit), malabsor
psi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di l
apangan ataupun secara klinis adalah diare karena keracunan. Berdasarkan laporan UNICEF dan WH
O tahun 2009, diare merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas anak-anak dibawah lima tahun ter
tinggi kedua setelah pneumonia. Dilaporkan sebanyak 18% (1,5 juta dari 9 juta) kematian pada anak d
i bawah lima tahun di dunia terjadi karena diare setiap tahunnya. Penyakit diare dibagi menjadi dua je
nis yaitu diare akut dan diare persisten, yang memiliki cara penanganan dan pengobatan yang berbed
a-beda. Penanganan dan pengobatan diare yang tidak tepat dapat menjadi masalah yang serius. Sejak t
ahun 2004, WHO dan UNICEF menandatangani kebijakan bersama dalam hal pengobatan diare yaitu
pemberian oralit dan zinc selama 10-14 hari. Hal ini didasarkan pada penelitian selama 20 tahun (198
0-2003) yang menunjukkan bahwa pengobatan diare dengan pemberian oralit disertai zinc lebih efekti
f dan terbukti menurunkan angka kematian akibat diare pada anak-anak sampai 40%.
a) Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen bingung memilih antar
b) Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan mediamedia lain mempuny
ai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep.
c) Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pen
didikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkemb
d) Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya
mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melau
i internet. Kemudahan semacam ini juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya,
2011).
Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat dapat bersifat sebagai ra
cun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997). Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasi
onal bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan ha
rga yang terjangkau. Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008) adalah :
1.Tepat diagnosis. Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakka
2. Tepat indikasi penyakit. Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.
3. Tepat pemilihan obat. Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
4. Tepat dosis. Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila salah
satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
5. Tepat Jumlah. Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.
6. Tepat cara pemberian. Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya di
kunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena
akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan efekti
fitasnya.
7. Tepat interval waktu pemberian. Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungki
n dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus dimin
um 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
8. Tepat lama pemberian. Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masi
ng. Untuk Tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan, sedangkan untuk kusta
paling singkat 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 – 14 hari.
9. Tepat penilaian kondisi pasien. Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara
lain harus memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia
atau bayi.
10. Waspada terhadap efek samping. Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual, munt
11. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau Untuk mencapai k
12.Tepat tindak lanjut (followup). Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berla
13.Tepat penyerahan obat (dispensing). Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat d
an pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan ob
at di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi y
ang tepat.
5. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat
Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: kete
patan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi
dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk indik
Menurut Anief (1997), keuntungan melakukan swamedikasi yaitu lebih mudah, cepat, hemat,
tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri.
Kekurangan swamedikasi yaitu : obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunaka
n sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan
kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, efek samping atau resistensi, penggunaan obat y
ang salah akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat
Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali keseriusan gangguan. Keseriusan dapa
t dinilai salah satu atau mungkin tidak dikenali, sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu la
ma. Gangguan bersangkutan dapat memperhebat 13 keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan oba
t-obat yang lebih keras. Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat bisa diguna
kan secara salah, terlalu lama atau dalam takaran yeng terlalu besar. Guna mengatasi resiko tersebut,
tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan kefarmasian, perbekalan kes
ehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut definisi tersebut dapat diketahui bahwa apotek m
erupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya d
erajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat peng
abdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 20
ang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan per
undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai ap
oteker. Menurut definisi tersebut seorang apoteker merupakan lulusan perguruan tinggi farma
si yang memenuhi ciri profesi yaitu memiliki pengetahuan yang berbatas jelas dan pendidikan
khusus berbasis keahlian pada jenjang perguruan tinggi (Depkes RI, 2004).
eh apoteker yang bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sekaligus sebagai
Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dapat diselenggarakan juga apoteker bekerjasama dengan pe
milik sarana, apoteker bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA) sedang pihak lain
seorang apoteker atau tidak yang bertindak sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dalam hal
ini apoteker menggunakan sarana pihak lain sehingga penggunaan sarana didasarkan atas perj
anjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana (Depkes RI, 1993).
merupakan bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan
kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Menurut PP 51 Ta
hun 2009, pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan y
ang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat n
amun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk m
endukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk men
getahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error)
Pelayanan farmasi yang baik akan mendukung keberhasilan suatu terapi, sehingga ber
hasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tet
api juga kepatuhan (compliance) pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan. Kepatu
han pasien telah ditentukan oleh beberapa hal antara lain persepsi tentang kesehatan, pengala
man mengobati sendiri, pengalaman dari terapi sebelumnya, lingkungan, adanya efek sampin
g obat, keadaan ekonomi, interaksi dengan tenaga kesehatan dan informasi penggunaan obat
Konseling
Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang yang membutuh
kan (klien) dan orang yang memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa
sehingga klien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah (Dep
komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberik
an konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehin
gga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya p
enyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya (De
rang tidak hanya berorientasi pada obat (drug oriented), tetapi juga harus berorientasi pada pa
sien (patient oriented) sehingga terwujud konsep pharmaceutical care. Tujuan dari konseling
efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan menghormati pilihan pasien dalam menjal
Prinsip dasar konseling adalah menjalin hubungan atau korelasi antara apoteker denga
n pasien sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela dalam rangka meningkat
kan keberhasilan terapi. Pendekatan apoteker dalam memberikan konseling kapada pasien ber
pasien
ya
ga pasien, pendamping pasien, perawat pasien atau yang bertanggung jawab dalam perawatan
pasien. Pemberian konseling melalui perantara dilakukan jika pasien tidak dapat mengenali o
bat dan terapi seperti pasien pediatrik dan pasien geriatrik (Depkes RI, 2006).
Konseling dapat dilakukan kepada semua pasien, akan tetapi karena keterbatasan wakt
u pelaksanaan konseling dilakukan pada pasien dengan keadaan khusus sebagai berikut :
c. Pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pemanta
uan.
e. Pasien lansia.
g. Pasien yang mengalami masalah berkaitan dengan obat atau Drug Related Problems
Konseling dilakukan oleh tenaga profesi apoteker yang mempunyai kompetensi dalam
pemberian konseling obat. Apoteker yang melakukan kegiatan konseling harus memahami as
pek farmakoterapi maupun teknik berkomunikasi dengan pasien agar komunikasi yang terjadi
b. Sarana penunjang
Sarana penunjang terdiri dari ruang atau tempat konseling dan alat bantu koseling (De
pkes RI, 2006). Konseling hendaknya dilakukan di ruangan tersendiri yang dapat terhindar da
a. Pembukaan, hubungan yang baik antara apoteker dan pasien akan menimbulkan pe
mbicaraan yang menyenangkan. Apoteker memulai dengan memperkenalkan diri dan menget
ahui identitas pasien. Apoteker juga harus menjelaskan kepada pasien tentang tujuan dan lam
a konseling.
c. Diskusi untuk mencegah dan memecahkan masalah, sebaiknya pasien dilibatkan unt
uk mempelajari keadaan yang dapat menimbulkan masalah potensial dalam pengobatan, sehi
d. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh. Bertujuan juga untu
e. Menutup diskusi, sebelum ditutup sebaiknya apoteker bertanya kepada pasien hal-h
an dokumentasi kegiatan konseling agar perkembangan pasien dapat dipantau (Depkes RI, 20
06).
Aspek konseling yang harus disampaikan kepada pasien menurut Omnibus Budget Re
conciliatiaon Act of 1990 (OBRA ’90), hal yang harus didiskusikan dalam melaksanakan kon
seling antara lain: nama dan deskripsi obat, cara pemakaian, dosis, bentuk sediaan dan durasi
pemakaian obat. Selain itu OBRA ’90 juga mengamanatkan kepada apoteker untuk mendisku
sikan tindakan khusus dan pencegahan untuk penyiapan, administrasi dan penggunaan obat ol
eh pasien, mendiskusikan efek samping atau efek samping yang parah atau interaksi dan kont
raindikasi yang mungkin terjadi termasuk pantangan dan tindakan yang harus dilakukan jika t
erjadi, teknik pemantauan terapi obat mandiri, penyimpanan, informasi pengobatan kembali d
ng dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen K
esehatan RI tahun 2006, aspek yang harus disampaikan dalam melaksanakan konseling antara
lain:
a. Deskripsi dan kekuatan obat, apoteker harus memberikan informasi kepada pasien
mengenai bentuk sediaan dan cara pemakaian, nama dan zat aktif obat, kekuatan obat.
b. Jadwal dan cara penggunaan, penekanan dilakukan untuk obat denga instruksi khus
us seperti waktu minum sebelum atau sesudah makan, pantangan obat dengan makanan.
c. Mekanisme kerja obat, banyaknya obat yang multi indikasi mengharuskan apoteker
dapat memilih mekanisme mana yang harus dijelaskan sesuai dengan indikasi obat dan penya
d.Dampak gaya hidup, apoteker harus menanamkan kepercayaan pada pasien mengen
bat-obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lainnya.
tau alasan terjadinya efek samping sederhana. Penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang
menyebabkan perubahan warna urin, kekeringan mukosa mulut dan lainnya. Pasien juga dibe
apakah pasien tersebut mengerti apa yang disampaikan setelah kita memeberikan penjelasan mrngenai
obat yang dipilih seperti simpton apa yang hendak dihilangkan, tujuan terapi, perubahan lifestyle,
cara pakai ( berapa kali sehari, berapa banyak, berapa lama, cara penyimpanan obat ) dan harapan
kesembuhan.
Pertanyaan ini membuat pasien terlibat secara aktif dalam proses konseling. Prime Questions
dibuat sedemikian rupa menghindari rasa malu pasien, dengan cara menanyakan bagaimana
2. Membentuk sikap kepedulian masyarakat tentang swamedikasi yang benar pada pengo
V. MANFAAT KEGIATAN
1. Masyarakat dapat termotivasi kesadarannya dalam penggunaan obat sehingga efek terapi
2. Masyarakat dapat terhindar dari bahaya efek samping obat atau efek toksik obat sehingga
apabila penggunaan obat yang tepat telah dilakukan oleh masyarakat maka peningkatkan
Pasien : Tidak
VII. PEMBAHASAN
Kegiatan konseling pengobatan swamedikasi diare non spesifik pada anak dilaksanakan
di apotek. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarak
at tentang swamedikasi atau pengobatan sendiri tentang pengobatan diare non- spesifik pada a
nak. Selain itu juga untuk membentuk sikap kepedulian masyarakat tentang swamedikasi atau
pengobatan sendiri secara benar pada pengobatan diare non spesifik pada anak. Sehingga kegi
atan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat agar dapat termotivasi kesadarannya dalam penggu
naan obat sehingga efek terapi obat dapat dirasakan dan pengobatan tidak sia-sia. Selain itu ag
ar masyarakat dapat terhindar dari bahaya efek samping obat atau efek toksik obat sehingga a
pabila penggunaan obat telah tepat dilakukan oleh masyarakat maka peningkatkan kesehatan
Sesi dialog/percakapan ini berjalan santai dan lancar karena keluarga pasien bebas bertan
ya tentang obat-obat yang sering mereka gunakan untuk pengobatan diare non-spesifik pada a
nak. Hasil yang didapat dari konseling ini mengarah pada diare akut non-spesifik
DAFTAR PUSTAKA
1. Aries Meryta, dkk, 2015, Gambaran Pengetahuan tentang Swamedikasi Diare pada Anak,
Social Clinical Pharmay Indonesia Jorunal (Vol. 1, No.1, 2016), Universitas 17 Agustus 1
945, Jakarta
2. Ratna Kurnia Illahi, dkk, 2016, Tingkat Pendidikan Ibu dan Penggunaan Oralit dan Zink p
ada Penanganan Pertama kasus Diare Anak Usia 1-5 tahun; studi kasus di Puskesmas Jant