Anda di halaman 1dari 8

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA S1 FARMASI DAN APOTEKER

DI APOTEK SALAH SATU KABUPATEN DI JAWA TIMUR DALAM

MENYELESAIKAN KASUS SWAMEDIKASI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Mengobati diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi berarti

mengobati segala keluhan dengan obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek

atau toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa nasehat dokter

(Muharni, 2015). Pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya yang

paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala

penyakit sebelum mereka memutuskan mencari pertolongan ke pusat pelayanan

kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI, 2008).

Swamedikasi menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat untuk

meredakan atau menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk

meningkatkan keterjangkauan akses terhadap pengobatan. Berdasarkan hasil

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011 Badan Pusat Statistik

mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan

swamedikasi. Angka ini lebih tinggi dibandingkan persentase penduduk yang

berobat jalan ke dokter (44%). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2013, 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi

(Kemenkes RI, 2014).

1
2

Berdasarkan angka statistik yang disebutkan di atas, maka dapat diketahui

bahwa angka swamedikasi yang ada di Indonesia terbilang cukup tinggi. Hal

tersebut dapat disebabkan oleh berbagai alasan, swamedikasi biasanya dilakukan

untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami

masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,

kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Salah satu

penyebab tingginya tingkat swamedikasi adalah perkembangan teknologi

informasi via internet. Alasan lain adalah karena semakin mahalnya biaya

pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau

kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan. (Gupta, et al., 2011; Hermawati,

2012).

Menurut Pratiwi, et al (2014) alasan swamedikasi atau pengobatan

sendiri yang dilakukan didasarkan pada hasil penelitian menunjukkan bahwa

faktor kepraktisan dalam pengobatan serta anggapan bahwa penyakit yang

diderita masih tergolong ringan dan mudah diobati. Selain faktor kepraktisan

terdapat faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam melakukan

swamedikasi seperti jauhnya dengan orang tua bagi mahasiswa pendatang dan

lingkungan yang membentuk seorang mahasiswa dalam menentukan tingkat

kesehatan untuk dirinya sendiri. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa

seseorang yang melakukan swamedikasi karena menganggap penyakit yang

diderita ringan. Swamedikasi juga dilakukan karena faktor jauhnya dengan

keluarga, atau kebiasaan yang sudah turun temurun dari keluarga dan

bahkan kepraktisan. Swamedikasi juga dipengaruhi oleh biaya yang ringan


3

karena hanya terbebani pembelian obat tanpa harus mengeluarkan biaya

tambahan lain.

Tingginya tingkat swamedikasi yang terjadi di masyarakat Indonesia pada

dasarnya merupakan tindakan yang wajar dan biasa terjadi, akan tetapi

swamedikasi dapat menimbulkan masalah apabila pasien belum mengetahui tata

cara pengobatan yang benar sehingga dapat menimbulkan permasalahan lain.

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami,

pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang

rasional. Kriteria obat rasional antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan

dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya

interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Muharni, 2015). Namun, dalam

kenyataannya pasien seringkali mengabaikan aspek-aspek penggunaan obat yang

sesuai kriteria seperti ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Khairunnissa dan Tanuwijaya 2017 bahwa sekitar 40,6 % masyarakat

menggunakan obat swamedikasi tidak rasional (Khairunissa 2017).

Penggunaan obat bebas atau biasa disebut Over The Counter (OTC)

semakin meningkat seiring dengan perkembangan tingkat pengetahuan

masyarakat tentang swamedikasi. Kemudahan masyarakat dalam memperoleh

OTC tidak terlepas dari peran seorang apoteker komunitas. Pemberian OTC yang

tidak disertai dengan pemberian konseling yang tepat bisa menyebabkan

penyalahgunaan obat atau menjadi penyebab timbulnya masalah lain (drug

related problems/DRP) yang dapat mengganggu proses pengobatan pasien.

Sampai saat ini di tengah masyarakat seringkali dijumpai berbagai masalah dalam
4

penggunaan obat. Diantaranya ialah kurangnya pemahaman tentang penggunaan

obat tepat dan rasional, penggunaan obat bebas secara berlebihan, serta kurangnya

pemahaman tentang cara menyimpan dan membuang obat dengan benar.

Sedangkan tenaga kesehatan masih dirasakan kurang memberikan informasi yang

memadai tentang penggunaan obat (Kemenkes RI, 2014).

Agar masyarakat dapat melakukan pasien swamedikasi dengan tepat maka

masyarakat perlu diberi akses untuk memperoleh informasi obat dan konseling

terkait swamedikasi. Konseling merupakan salah satu bentuk pelayanan

kefarmasian yang diberikan oleh seorang apoteker di apotek. (Galistiani dkk,

2013). Sangat disayangkan, kualitas pemberian konseling terkait swamedikasi

belum optimal. Dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Galistiani (2013)

bertujuan untuk mengetahui ketersediaan, kelengkapan prosedur tetap

pelayanan kefarmasian serta mengukur pengaruh keberadaan apoteker

terhadap ketersediaan prosedur tetap pelayanan kefarmasian dan mutu pelayanan

berdasarkan daftar tilik pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah

Kabupaten Banyumas. Hasil penelitian pada periode I menunjukkan sebanyak

24 (63,16%) Puskesmas di wilayah Kabupaten Banyumas tersedia prosedur

tetap pelayanan kefarmasian, sedangkan 14 (36,84 %) Puskesmas belum

tersedia prosedur tetap pelayanan. Pengambilan data pada periode II, dari

39 Puskesmas terdapat 33 (84,61 %) Puskesmas yang memiliki apoteker, 2

(6,06%) Puskesmas dikategorikan bermutu sedang dan 31 (93,94%)

dikategorikan bermutu kurang. Dari 6 (15,38%) Puskesmas yang tidak

memiliki apoteker dikategorikan bermutu kurang.


5

Pelaksanaan swamedikasi didasari karena tindakan swamedikasi harganya

lebih terjangkau dibandingkan berobat di Instansi-instansi kesehatan. Dapat

menghemat biaya, waktu dan mudah di dapat di kios, toko obat dan apotek

terdekat (Tan et al., 2010). Fasilitas apotek yang sulit dijangkau dapat

menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk mengakses layanan pengobatan

apotek sehingga lebih memilih untuk melakukan pengobatan sendiri sesuai

dengan pengalaman yang telah masyarakat dapatkan. Di samping hal tersebut

masyarakat juga mempertimbangkan waktu yang digunakan untuk melakukan

pengobatan dengan memanfaatkan fasilitas layanan umum. Dengan melakukan

pengobatan secara mandiri maka masyarakat berpikir dapat menghemat waktu.

Dalam pelaksanaan swamedikasi seringkali terjadi kesalahan-kesalahan

dalam pengobatan, dimana biasanya kesalahan ini disebabkan karena

keterbatasan ilmu pengetahuan dari masyarakat terhadap obat-obatan, baik dari

cara penggunaan obat maupun informasi lain terkait obat yg digunakan (Muharni,

Aryani and Mizzani, 2015). Swamedikasi seharusnya dilakukan dengan benar dan

sesuai dengan penyakit yang dialami pasien. Dalam pelaksanaanya harus dapat

memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, yaitu ketepatan dalam

pemilihan obat, ketepatan dari dosis obat, tidak adanya efek samping berbahaya

yang ditimbulkan, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi , dan tidak

adanya polifarmasi (Harahap.,et al,2017).

Agar tercipta swamedikasi yang rasional disini diperlukan peran dari

mahasiswa farmasi, dimana mahasiswa farmasi adalah tenaga kesehatan yang

memiliki peran signfikan dalam dispensing dan konseling obat (Rajiah, 2016).
6

Mahasiswa farmasi juga dituntut harus mampu memberikan pelayanan

pengobatan kepada pasien secara profesional dengan jaminan bahwa obat yang

akan diberikan kepada pasien adalah tepat, aman dan efektif.

Untuk dapat menjalankan perannya ini mahasiswa farmasi harus dibekali

dengan pengetahuan yang baik, dengan pengetahuan yang baik mengenai

swamedikasi maka akan membantu dalam memutuskan sikap apa yang nantinya

akan diambil dalam mengatasi masalah kesehatan seseorang. Sikap dari

seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku kesehatannya, dimana sikap yang

positif akan mengahasilkan perilaku kesehaatan yang positif juga.

Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat tingkat pengetahuan mahasiswa

S1 Farmasi dan Apoteker terkait penyelesaian kasus swamedikasi. Penelitian

mengenai tingkat pengetahuan swamedikasi terhadap S1 farmasi maupun apoteker

di Indonesia belum pernah diteliti sebelumnya sehingga peneliti tertarik meneliti

dengan judul “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa S1 Farmasi Dan Apoteker Di

Salah Satu Apotek Kabupaten Di Jawa Timur dalam Menyelesaikan Kasus

Swamedikasi”.
7

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneltian ini akan disusun untuk

menjawab masalah “Bagaimana tingkat kemampuan mahasiswa S1 farmasi dan

apoteker di salah satu Kabupaten di Jawa Timur dalam menyelesaikan kasus

swamedikasi?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adaah :

a. Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Mahasiswa S1 Farmasi dan

apoteker di salah satu apotek Kabupaten di Jawa Timur dalam

menyelesaikan kasus swamedikasi.

b. Untuk Mengetahui Perbedaan Pola Tingkat Pengetahuan antara mahasiswa

S1 Farmasi dan apoteker dalam menyelesaikan kasus swamedikasi baik

dari segi jenis obat maupun pengetahuan tentang suatu penyakit.

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi pemangku

kebijakkan Dinas kesehatan, IAI, APTFI agar dapat meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan masyarakat di bidang swamedikasi.

b. Data dan informasi dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan

dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.


8

1.5.Model Operasional Penelitian

Untuk memahami penelitian ini, maka penelitian akan disusun

berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan terdisi dari sub bab latar belakang, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan model operasional penelitian.

Bab 2 Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai landasan

teoritis yang berkaitan dengan penelitian.

Bab 3 Metode Penelitian dalam bab ini akan dibahas metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi jenis penelitian, pendekatan

penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab 4 pembahasan, pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian

yang diperoleh mengenai pengetahuan Mahasiswa S1 tekait layanan konseling

kefarmasian.

Bab 5 Penutup, pada bab ini akan dibahas mengenai kesimpuan penelitian

dan saran yang diperoleh dari hasil peneltian.

Anda mungkin juga menyukai