Anda di halaman 1dari 6

Pentingnya Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Farmasi Dalam Pelayanan Kefarmasian

Terhadap Masyarakat Untuk Mencegah Drug Related Problems (DRPs)

Farmasi sebagai salah satu bidang keilmuan yang ada di dunia kesehatan memiliki beberapan peran
yang penting. Salah satunya yaitu pelayanan kefarmasian, dimana pelayanan kefarmasian ini
adalah suatu bentuk pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh farmasis yang bertanggung
jawab kepada seluruh pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang berupa pengobatan dan
penggunaan obat – obatan. Pengobatan dan penggunaan obat – obatan ini dilakukan untuk mecapai
hasil yang pasti demi meningkatkan mutu hidup pada pasien. Pelayanan kefarmasian meliputi
beberapa aspek, misalnya mutu dari Sumber Daya Manusia (SDM), aspek sarana dan aspek
prasarana. Adapaun hal lain dalam pelayanan farmasi yang perlu diketahui adalah aspek
administrasi dimana pada aspek ini memuat penerimaan dari resep, proses peracikan obat,
penyerahan, pemberian informasi dan metode tatalaksana yang sesuai dalam upaya mencapai
tujuan untuk meningkatkan mutu hidup pasien. (Kemenkes, 2019).

Dalam PP No. 51 Tahun 2009 dijelskan bahwa apoteker sebagai bagian dari pelayanan kefarmasian
memiliki wewenang dan juga kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, dimana
pekerjaan kefarmasian yang dumaksudkan disini meliputi pembuatan sediaan, pengendalian mutu
sediaan, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan juga penyaluran obat. Apoteker sebagai
tenaga kefarmasian harus dapat memahami dan menyadari kemungkina terjadinya kesalahan pada
saat proses pelayanan maupun dalam pengobatan yang dapat menyebabkan medication error.
Medication error merupakan suatu kejadian pada pasien yang bersifat merugikan yang dimana hal
ini diakibatkan oleh penggunaan obat – obatan selama penanganan pasien yang dapat yang dicegah.
Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas – tugasnya apoteker maupun farmasis dituntut untuk
dapat memahami dan menjalankan segala bentuk pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar
yang ada untuk menghindari kejadian tersebut. Disamping itu dilihat dari Permenkes RI tahun
2016 bahwaprogram Indonesia sehat dilaksanakan untuk meningkatkan derajat Kesehatan dari
seluruh masyarakat Indonesia melalui berbagai upaya Kesehatan dan pemberdayaan dari
masyarakat yang didukung oleh pemerataan pelayanan Kesehatan.

Drug Related Problems atau DRPs yang biasnaya juga disebut sebagai masalah terkait obat –
obatan dimana ini merupakan bagian dari asuhan kefarmasian yang menyatakan sauatu kejadian
atau keadaan dimana farmasis dapat menilai adanya kesalahan ataupun ketidaksesuaian baik dari
obat maupun pengobatan yang dialami atau diperoleh pasien dalam mecapai terapi yang
diinginkan. Drug Related Problems atau DRPs berupa permasalahan yang sering muncul atau
sering terjadi pada saat masa pengobatan pasien yang menyebabkan terapi yang diperoleh pasien
tidak dapat bekerja secara maksimal atau data pula disebut dengan kejadian – kejadian yang terkait
dengan penggunaan obat yang tidak diinginkan baik secara actual maupun potensial dapat
mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan terapi pasien. Ada beberapa jenis dari Drug
Related Problems atau DRPs yaitu meliputi adanya indikasi tanpa terapi, adanya terapi tanpa
indikasi, obat salah, adanya interaksi obat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, Adverse Drug
Reaction dan kegagalan pasien dalam menerima obat (Herman, M. J., & Sari, I. D. 2019).

Menurut World Health Organization atau WHO masalah terkait Drug Related Problems ini sudah
banyak terjadi dan berada di kisaran lebih dari 50% dimana itu termasuk akibat peresepan obat
yang menimbulkan masalah, yang menjadi pokok bahasan utama yaitu adanya pengobatan yang
tidak rasional dan tidak terkontrol yang menyebabkan kegagalan pasien dalam mencapai terapi
yang diinginkan. Berdasarkan penelitian di Riyadh Military Hospital, terdapat 56 pasien yang
mengalami DRPs di masukkan kedalam ruang gawat darurat. Adapun pada penelitian selanjutnya,
dimana penelitian ini di 15 negara yang berbeda dimana pada tiap negara menunjukkan persentase
sebanyak 7,1% peningkatan keparahan pasien akibat hubungannya dengan Drug Related
Problems atau DRPs dan ada pula persentase sebanyak 59% yang diantaranya ini dapat dicegah.
Kejadian yang berakibat masalah ini dikaitkan dengan adanya kecenderungan tentang informasi
yang tidak cukup mengenai efek samping penggunaan obat – obatan selama terapi, adanya
pemakaian obat yang tidak terkontrol oleh pasien, akibat penulisan resep yang salah, atapun dapat
disebabkan oleh pelayanan kefarmasian yang tidak memadai (Kotvitska & Surikova, 2020).

Permasalahan obat yang merugikan telah menjadi masalah bagi masyarakat yang melakukan
pengobatan di rumah sakit. Masalah ini berkaitan dengan adanya penggunaan obat tanpa indikasi,
adanya indikasi tanpa obat, serta adanya ketidaktepatan dosis pada obat. Peran peningkatan
kemampuan mahasiswa farmasi disini dimaksudkan untuk dapat meminimalisir kejadian –
kejadian yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengobatan yang dapat
menyebabkan medication error. Maka hal utama yang dapat dilakukan seorang mahasiswa farmasi
adalah meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pelayanan kefarmasian, dengan
menguasai terlebih dahulu bagaiamana standar pelayanan kefarmasian yang sesuai di Indonesia.
Sehubungan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan juga teknologi di bidang kefarmasian
mengalami perubahan orientasi. Pelayanan kefarmasian berfokus pada pengelolaan obat untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebagai akibat dari perubahan orientasi, maka tenaga
kesehatan terutama farmasis agar dapat meningkatkan kompetensinya dalam beberapa hal
misalnya dalam hal keterampilan, pengetahuan, dan juga dapat meningkatkan perilaku untuk dapat
melakukan interaksi langsung yang baik dengan pasien. Realisasi dari interaksi ini meliputi
farmasis melakukan pemberian informasi, monitoring dari penggunaan obat dan untuk mengetahui
tujuan sesuai harapan yang baik. Saat sekarang ini, dengan ditetapkannya standar – standar maka
diharapkan masyarakat dapat menerima segala bentuk kuliatas pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kefarmasian yang baik. Nyatanya, apoteker atau farmasi adalah tenaga kesehatan yang
berhubungan langsung dengan pasien namun dalam pelayanan sekarang ini sering dijumpai bahwa
farmasis atau apoteker tidak ada di tempat prakateknya. Padahal disamping itu, ada beberapa
masyarakat yang mungkin ingin mengkomunikasikan tentang pengobatan atau obat – obatan yang
digunakan untuk terapi penyakitnya (Depkes, 2019).

Sebagai calon professional perawatan kesehatan di bidang kefarmasian pada masa yang akan
datang, mahasiswa – mahasiswi farmasi memiliki kontribusi yang sangat besar dalam hal
penangan kasus pada berbagai penyakit. Pada studi yang dilakukan Hanna, Bakir, & Hall (2018)
menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan pelayanan
kefarmasian, yang pertama kali dan yang terpenting adalah mahasiswa farmasi diharapkan untuk
bisa memiliki pandangan yang positif terhadap pasien dengan berbagai penyakit, setelah itu
mahasiswa diharapkan untuk bisa mengetahui pengaruh dari stigma, sikap, dan juga keyakinan
terhadap kemauan mahasiswa farmasi dalam memberikan pelayanan individu kepada pasien
dengan berbagai penyakit. Sebagai strategi untuk meningkatkan mutu dari pelayanan kefarmasian
yaitu dengan memahami terlebih dahulu pemanahan komperensif tentang Program Indonesia
Sehat dan Program Kefarmasian yang saling bersinergi untuk meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian yang berbasis tim maupun individu.

Seperti yang telah diketahui bahwa system dari bidang kefarmasian ini terdiri dari 3 pilar, yaitu
pilar pertama mengenaiketersediaan pemerataan obat – obatan, pilar kedua menjamin keamanan
khasiat dan mutu obat serta melakukan penjaminan keamanan dari Tindakan penyalahgunaan obat,
serta pilar ketiga yaitu penggunaan obat – oabatan yang rasioanl. Sebagai penggerak bidang
Kesehatan, mahasiswa farmasi juga diharapkan untuk mampu memiliki jaringan kompetensi.
Selain menjadi apoteker dimasa yang akan datang, mahasiswa – mahasiswa farmasi juga
diharapkan agar bisa memiliki kompetensi sebagai peneliti, sebagai pengajar, maupun sebagai
farmasis yang dapat berinteraksi dengan bidang – bidang lainnya. Sesuai dengan Permenkes
tantang standar pelayanan kefarmasian yang merupaka upaya seorang apoteker atau pun farmasis
dalam membantu masyarakat dalam menyelesaikan masalah terkait dengan Kesehatan dan
pengobatannya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien selain memberikan
pengobatan dan obat – obatan yang terbaik adalah dengan melakukan konseling terkait
penggunaan obat yang benar.

Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya Drug Related Problems atau DRPs adalah dengan
melakukan konseling kepada pasien menyangkut cara penggunaan obat yang benar. Seperti yang
telah diketahui bahwa salah satu kategori dari DRPs ini adalah adanya indikasi tanpa obat, adanya
obat tanpa indikasi, dan dosis obat yang tidak tepat. Dimana kategori – kategori DRPs tersebut
terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap obat yang digunakan sendiri. Untuk
meminimalisir kurangnya pengetahuan pasien terhadap obatnya maka dapat dilakukan konseling.
Konseling ini adalah suatu proses interaktif antara apoteker atau farmasis dengan pasien maupun
dengan keluarga pasien untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kepatuhan sehingga
terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dimana yang dimaksud disini adalah pasien
dapat menggunakan obat kebih baik dan lebih terarah (Muharni, 2018). Pada kegiatan konseling
ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, misalnya agar farmasis dapat membangun hubungan
kepercayaan dengan pasien, untuk mengatur pasien dapat beradaptasi dengan penyakit dan
obatnya, membantu memberitahu pasien mengenai cara penggunaan obat yang benar, mampu
membantu menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan pengobatan serta mencegah efek
sampung yang dapat menyebabkan terjadinya Drug Related Problems atau DRPs. Mahasiswa
farmasi yang melakukan pelayanan kefarmasian juga perlu mengetahui terlebih dahulu siapa saja
yang perlu untuk diberikan konseling, karena ada beberapa pasien yang memang perlu untuk
diberikan konseling misalnya pasien dengan kondisi yang khusus (pediatri, geriatric, gangguan
fungsi ginjal atau jantung, ibu hamil dan mnyusui), pasien dengan terapi jangka Panjang atau
dengan penyakit kronis misalnya Diabetes Militus (DM), selanjutnya pasien dengan riwayat
penggunaan obat dengan intruksi khusus, pasien pengguna obat dengan indeks sempit, pasuen
polifarmasi, dan juga pasien dengan tingkat kepatuhan yang sangat rendah.
Di Indonesia mahasiswa yang mengenyam Pendidikan S1 farmasi dan profesi apoteker harus
memberikan perawatan pada pasien untuk mengoptimalkan kerja obat dalam tubuh pasien, untuk
mempromosikan dan juga untuk mempromosikan Kesehatan serta pencegahan penyakit. Hal – hal
yang dapat diilakukan oleh farmasis maupun oleh apoteker salah satunya adalah dengan
melakukan penyuluhan maupun promosi Kesehatan serta bagaimana cara pencegahan penyakit.
Namun untuk melakukan hal tersebut, mahasiswa farmasi diharapkan sudah mengasa skill dalam
bidang pelayanan kefarmasian dimana dengan dilakukannya penyuluhan maupun promosi
Kesehatan oleh para mahasiswa farmasi dapat untuk menumbuhkan bentuk kesadaran pada
masyarakat akan pentingnya hidup sehat, bagaimana cara pencegahan suatu penyakit dan terapi –
terapi non – medikamentosa yang dapat digunakan dimana dalam penggunaannya ini dibantu oleh
para pelayanan Kesehatan pada mayarakat. Itulah alasan mengapa penting bagi mahasiswa
kefarmasian dalam meningkatkan kempampuannya dalam pelayanan kefarmasian terhadap
masyarakat untuk mencegah terjadinya Drug Related Problems atau DRPs pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2009) Undang-undang Republik Indonesia No. 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Herman, M. J., & Sari, I. D. (2019). Analysis of Drug Related Problems in Five Hospital

Conducted in 2017. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 10(2), 163–169.

Kotvitska, A., & Surikova, I. (2020). Rationale of the methodology classification of medication

related errors during the retail sales of drugs in Ukraine. ScienceRise: Pharmaceutical
Science, 23(1), 4–9. https://doi.org/10.15587/2519-4852.2020.197342

Kemenkes RI (2019) Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI.

Muharni, S., Fina, A., dan Maysharah, M. (2018) Gambaran Tenaga Kefarmasian dalam

Memberikan Informasi Kepada Pelaku Swamedikasi di Apotek- Apotek Kecamatan


Tampan, Pekanbaru. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. Vol.2, No.1, hlm: 47-53

WHO, 2020, Developing pharmacy practice : A Focus On Patient Care Handbook-2006 edittion,

Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai