Anda di halaman 1dari 3

PERAN FARMASIS DALAM MEMBERIKAN INFORMASI PEMAKAIAN

OBAT YANG TEPAT PADA MASYARAKAT DI PEDESAAN


1
Nissa Pifia Aprila*, 2 Miftahul Jannah, 3 Ifmaily
*
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Perintis Indonesia
*Email Korespondensi : nissaaprila2@gmail.com

PENDAHULUAN
Apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar regulasi yang berlaku.
Standar pelayanan kefarmasian disusun sebagai pedoman praktik apoteker dalam
menjalankan profesi, meningkatkan mutu pelayanan farmasi, meningkatkan peran dan fungsi
apoteker, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi
profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Selain sebagai pedoman dalam
melaksanakan praktek profesi, peraturan dan standar tersebut sekaligus merupakan acuan
indikator untuk menilai kinerja mutu pelayanan kefarmasian itu sendiri. Tuntutan masyarakat
dan berbagai standar regulasi tersebut di atas sudah seharusnya menjadi pedoman untuk
memperbaiki sistem pendidikan calon apoteker di Indonesia dalam menghasilkan lulusan
yang kompeten dan apoteker yang profesional (Kemenkes, 2009).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027 tahun 2004, Pelayanan
kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk pelayanan dan tanggungjawab langsung
profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Salah satu bentuk pelayanan kefarmasian adalah pemberian informasi obat kepada pasien.
Manfaat dari pemberian informasi antara lain untuk menghindari masalah yang berkaitan
dengan terapi obat (Drug Therapy Problem) yang dapat mempengaruhi terapi obat dan dapat
mengganggu hasil yang diinginkan oleh pasien (Cipolle et al, 1998).
Pelaksanaan pelayanan informasi obat merupakan kewajiban farmasis yang
didasarkan pada kepentingan pasien, dimana salah satu bentuk pelayanan informasi obat yang
wajib diberikan oleh tenaga farmasis adalah pelayanan informasi yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan
rasional atas permintaan masyarakat (Anief, 2007).
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka memperbaiki
kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien. Kualitas hidup dan
pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program
pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut salah satunya disebabkan kurangnya
informasi tentang obat. Selain itu, cara pengobatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti
cara pengobatan yang diresepkan merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan
terhadap pengobatan. Selain masalah kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang
tidak diinginkan dari penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien
maka masalah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak
terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari
(Rantucci, 2007).
Beberapa tahun terakhir, pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia mengalami
banyak kemajuan, tetapi perbaikan yang terjadi tidak merata. Di banyak provinsi dan
kabupaten, perbaikan pelayanan kesehatan dasar masih terlihat lamban dan sangat bervariasi
antar daerah satu dengan yang lain. Hal ini terjadi akibat distribusi tenaga dan sarana
kesehatan lain yang tidak merata terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal
tersebut pada gilirannya akan berdampak pada perbedaan mutu pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada masyarakat. Di sisi lain, kondisi kemiskinan yang meluas, status gizi yang
buruk, kondisi geografi yang terisolasi, air bersih yang sulit, dan kebersihan lingkungan yang
tidak terpelihara juga turut berperan. Semua keadaan tersebut bersenyawa dengan kondisi
sosioekonomi di Indonesia dan pada akhirnya berkontribusi meningkatkan angka kesakitan
dan kematian (ifmaily & anggi, 2020).

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan peran farmasis dalam memberikan


informasi pemakaian obat yang tepat pada masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup
pasien di pedesaan.

Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan di pedesaan terpencil


perbatasan masih rendah. Masyarakat secara umum belum mempunyai pengetahuan dan
perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik. Penggunaan puskesmas di
daerah terpencil antara lain dipengaruhi oleh akses pelayanan yang tidak hanya disebabkan
masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor penentu (determinan) yaitu determinan penyediaan
yang merupakan faktor-faktor pelayanan, dan determinan permintaan yang merupakan faktor-
faktor pengguna (Timyan Judith, et al, 1997). Determinan penyediaan terdiri atas organisasi
pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan, ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi
petugas, biaya pelayanan serta mutu pelayanan. Sedangkan determinan permintaan yang
merupakan faktor pengguna meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya
masyarakat serta tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin.

Kebutuhan primer agar memperoleh akses pelayanan yang efektif: adalah tersedianya
fasilitas dan petugas, jarak dan finansiil terjangkau serta masalah sosial budaya yang dapat
diterima oleh pengguna. Kendala yang ada adalah jarak tempat tinggal pengguna dari tempat
pelayanan, kekurangan alat-alat dan persediaan di tempat pelayanan, kekurangan dana untuk
biaya transportasi, dan kekurangan dana untuk biaya pengobatan. Selain faktor sarana dan
prasarana transportasi, masih banyak faktor-faktor lain yang belum terungkap dengan jelas
terkait dengan keterjangkauan pelayanan yang dapat membantu menyelesaikan masalah
tersebut.

KESIMPULAN
Masyarakat pedesaan yang tinggal didaerah terpencil dengan lingkungan yang kurang
baik, akses pelayanan kesehatan yang sangat rendah dikarenakan masalah jarak, pengetahuan
dan pendidikan serta minimnya ketersediaan tenaga kerja kesehatan yang berkompeten
menjadi faktor utama rendahnya pelayanan kesehatan di pedesaan dan menurunkan kualitas
hidup pasien.
Farmasis sebagai tenaga kesehatan yang berperan penting dalam memberikan
informasi terkait penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
sangatlah dibutuhkan keberadaannya di daerah seperti ini. Pelaksanaan pelayanan informasi
obat merupakan kewajiban farmasis yang didasarkan pada kepentingan pasien, dimana salah
satu bentuk pelayanan informasi obat yang wajib diberikan oleh tenaga farmasis adalah
pelayanan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien
dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2007. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Gadjah Mada University Press.

Cipolle, RJ, Strand, LM, Morley, PC. 1998. In Pharmacetical Care Partice, identifying
resolving and preventing drug therapy problem : The pharmacist’s Responsibility.

Anggi, A & Ifmaily. 2020. Tantangan Apoteker Dalam Peningkatan Kesehatan di Pedesaan.
STIFI Perintis Padang.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009 . Peraturan Pemerintah RI No 51 Tahun


2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Rantucci, JS. 2007. Pharmacist Talking With Patient. A Guide to Patient Conseling. British
Colombia. Canada.

Anda mungkin juga menyukai