Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong
masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan
kualitas hidup yang lebih baik. Tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas
bagi masyarakat menjadi hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah
sebagai salah satu upaya dalam pembangunan di bidang kesehatan. Pelayanan
kesehatan kepada masyarakat bertujuan membentuk masyarakat yang sehat.
Diperlukan upaya-upaya kesehatan yang menyeluruh dan terpadu untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan tersebut.
Apotek merupakan tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian untuk membantu mewujudkan tercapainya
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Untuk menunjang fungsi tersebut
apotek dituntut menyelenggarakan pelayanan farmasi yang berkualitas.
Standar pelayanan farmasi ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari
pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat
yang tidak wajar, sebagai pedoman apoteker, dan untuk meningkatkan mutu
pelayanan farmasi di apotek.
Dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan di bidangkefarmasian,
mendorong terjadinya perubahan pada apoteker. Perubahan telah menggeser arah
orientasi apoteker yang pada awalnya drug oriented menjadi patient oriented yang
terjadi secara alamiah. Perubahan ini diharapkan dapat mendorong apoteker untuk
memperbaiki mutu pelayanannya kepada masyarakat ke arah yang lebih baik
sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan. Pergeseran orientasi
pelayanan kefarmasian berdampak terhadap tugas seorang apoteker tidak hanya
meracik obat tetapi juga diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan
dengan obat yang tanpa disadari profesi apoteker harus mempunyai suatu
kemampuan baru seperti communicator, teacher, sertacosultant. Perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya ilmu pengetahuan dan
teknologi mempengaruhi kompetensi profesi apoteker dalam pelayanan

1
kesehatannya. Perubahan-perubahan dalam kompetensi profesi apoteker juga
terjadi di negara-negara lain, khususnya negara maju. Dengan demikian akan
memberikan dampak terhadap profesi apoteker dalam negeri. Maka dari itu
makalah ini membahas tentang Aspek-aspek yang mendukung peningkatan sikap
profesional seorang farmasis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada makalah ini
adalah :
1. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat layanan kefarmasian?
2. Apa saja aspek-aspek yang mendukung peningkatan sikap profesional seorang
farmasis?
3. Bagaimana upaya peningkatan profesionalisme farmasis, aspek regulasi,
organisasi profesi?
4. Bagaimana continuing professional development untuk profesi farmasi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat layanan
kefarmasian
2. Untuk mengetahui aspek-aspek yang mendukung peningkatan sikap
profesional seorang farmasis
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan profesionalisme farmasis, aspek
regulasi, organisasi profesi
4. Untuk mengetahui continuing professional development untuk profesi farmasi

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Layanan Kefarmasian
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 027/Menkes/SK/IX/2004 tentang
standar pelayanan kefarmasian di Apotek adalah pelayanan yang saat ini
orientasinya telah bergeser dari obat kepada pasien yang disebut dengan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical Care). Dengan pergeseran orientasi tersebut, maka
apoteker dituntut untuk lebih aktif dalam berinteraksi langsung dengan pasien dan
memberikan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. Pelayanan
kefarmasian antara lain pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan
pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap
perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan konsultasi,
informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait
terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan
memiliki dokumentasi yang baik. Oleh karena itu, apoteker perlu untuk terus
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku sehingga diharapkan dapat
meningkatkan derajat kesehatan pasien (Depkes RI, 2008).
Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk digunakan
sebagai pedoman oleh apoteker dalam menjalankan praktek keprofesiannya,
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pelayananyang tidak
profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek. Apoteker
dituntut untuk melakukan pelayanan kefarmamsian yang bertanggung jawab dan
professional sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai dan kualitas hidup
pasien meningkat (Depkes RI, 2008).
Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan
yang berorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien
tentang kebiasaan/pola hidup untuk mendukung tercapainya
keberhasilan pengobatan, memberikan informasi tentang program pengobatan
yang dijalani oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan dan bekerja sama
dengan profesi lain untuk mendukung tercapainya kualitas hidup pasien yang
lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, untuk menjamin mutu pelayanan

3
kefarmasian kepada masyarakat maka dikeluarka Kepmenkes Nomor:
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Dalam standar tersebut menyebutkan bahwa yang berhak melakukan pelayanan
kefarmasian adalah tenaga kefarmasian yaitu asisten apoteker sebagai tenaga
teknis kefarmasian dan apoteker sebagai penanggung jawab dalam pengobatan
kepada pasien. Walaupun standar mutu pelayanan kefarmasian telah ditetapkan
sejak tahun 2004, namun sampai saat ini mutu pelayanan kefarmasian masih
dibawah standar. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mendukung
dan menghambat pelayanan kefarmasian dimasyarakat.
a. Faktor Pendukung
Diketahui bahwa faktor pendukung pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian yaitu :
1. Motivasi apoteker dalam bekerja
2. Dukungan PSA dan seluruh staf di apotek
3. Dukungan dan komitmen bersama stakeholder terkait yaitu pembuat
kebijakan dan regulasi
4. Instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan.
5. Perguruan tinggi
6. Organisasi profesi
b. Faktor Penghambat
Sedangkan beberapa faktor penghambat pelaksanaan pelayanan kefarmasian
yang optimal yaitu :
1. Apoteker belum berperan di instalasi farmasi
2. Lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen instalasi,
termasuk pengadaan sarana dan prasarana.
3. Kurangnya sosialisasi, legilasi.
4. Lemahnya kontrol regulasi oleh aparat terkait
5. Pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih
belum memadai
6. Kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi
7. Sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik

4
8. Kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja
instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi
Adapun fakotr-faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian oleh
apoteker di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan
kepemilikan apotek.
a. Kehadiran APA
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian yaitu sebagaitempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker (Depkes RI, 2009). Apoteker
bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan di apotek mulai dari pelayanan obat
maupun resep, dispensing obat, memberikan KIE kepada pasien, pengelolaan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, kegiatan administrasi di apotek hingga
melakukan monitoring terhadap obat yang diberikan kepada pasien sehingga
tujuan pengobatan dapat tercapai (IAI, 2014). Oleh karena itu, kehadiran apoteker
menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas pelayanan
kefarmasian di sarana pelayanan kesehatan seperti apotek. APA yang lebih sering
hadir di apotek mempunyai skor pelayanan kefarmasian lebih tinggi dibandingkan
dengan APA yang jarang hadir di apotek. Semakin tinggi tingkat kehadiran APA
diapotek, kualitas pelayanan kefarmasiannya semakin baik (Harianto, dkk, 2008).
b. Motivasi APA
Motivasi APA merupakan alasan yang menjadikan dorongan APAuntuk hadir
dan melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Motivasi merupakan kekuatan
yang dapat membangkitkan dorongan seseorang. Motivasi berupa rangsangan
keinginan dan pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja
seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala
upayanya untuk mencapai kepuasaan (Hasibuan, 2007). Kurangnya motivasi
karyawan dalam bekerja dapat mempengaruhi produktivitas, sehingga
mengakibatkan karyawan bekerja tidak optimal dan tujuan perusahaan tidak
tercapai. Dengan meningkatkan produktivitas diharapkan akan tercapai tujuan
dari perusahaan serta dapat meningkatkan barang atau jasa yang dihasilkan
( Adryanto, 2012).

5
c. Status APA
Status APA merupakan status pekerjaan apoteker penanggung jawab apotek
dalam menjalankan praktek profesinya dalam beberapa tempat atau posisi. Status
APA dapat dikategorikan menjadi status APA merangkap dan APA tidak
merangkap. Status APA adalah beberapa posisi dan tanggung jawab yang
diduduki oleh apoteker, misalnya sebagai pegawai negeri, apoteker di apotek lain
ataupun pegawai swasta. Jika APA melakukan pekerjaan profesinya sebagai
apoteker di apotek lain atau APA memiliki pekerjaan lain selain sebagai
penanggung jawab apotek, maka apoteker tersebut dikategorikan sebagai APA
status merangkap, sedangkan jikaAPA hanya melakukan praktek kefarmasiannya
pada 1 apotek tanpa ada pekerjaan lain di luar pekerjaan profesinya maka
dikategorikan sebagai APA tidak merangkap. Berdasarkan PP51 tentang
pekerjaan kefarmasian dinyatakan bahwa apoteker sebagai penanggung jawab
hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit. Sedangkan untuk apoteker pendamping dapat
melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit (Depkes RI, 2009). Kualitas pelayanan kefarmasian
pada kelompok APA yang tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan
kualitas pelayanan kefarmasian pada APA yang merangkap (Handayani, 2006).
d. Kepemilikan Apotek
Kepemilikan apotek merupakan status kepemilikan dari sarana dan prasarana
yang ada di apotek. APA yang memiliki sebagian atau seluruhsaham di apotek
cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik dibandingkan
dengan apotek yang seluruhnya dimiliki olek pemilik modal (PMA) (Harianto,
dkk, 2008). Struktur kepemilikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
kinerja perusahaan. Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham perusahaan
maka semakin baik kinerja perusahaan (Ardianingsih, 2010).

6
2.2 Aspek-Aspek yang Mendukung Peningkatan Sikap Profesional Seorang
Farmasis
Kualitas pelayanan kefarmasian di apotek sangat dipengaruhi oleh perilaku
dari apotekernya, yaitu sejauh mana apoteker tersebut mau dan mampu untuk
melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker memiliki peranan yang sangat
penting untuk terciptanya kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik.
Apoteker yang memiliki tanggung jawab terhadap obat yang diserahkan kepada
pasien. Apoteker juga berperan sentral di apotek yaitu sebagai pelaksana
pelayanan resep. Sehingganya seorangapoteker dituntut untuk memiliki sikap
professional dalam melayani pasien, agar tercipta pelayanan kefarmasian yang
optimal. Adapun beberapa aspek yang dapat mendukung peningkatan
sikap professional seorang farmasis yaitu :
a. Kesejahteraan
Seorang Apoteker dalam menjalankan tugasnya tentunya juga perlum
emikirkan proses kelangsungan hidupnya sehingga hal ini mempengaruhi kinerja
seorang Apoteker. Jika gaji/material yang didapatkannya harus sebanding dengan
usaha keprofesionalan seorang Apoteker.
b. Standar Kompetensi Knowledge
Ketika seorang Apoteker mempunyai loyalitas dan integritas
denganmenjunjung tinggi keprofesiannya untuk bermanfaat bagi masyarakat maka
kemampuan untuk berbicara dan memberikan pendapat mengenai obat kepada
pasien harus di landasi dengan pengetahuan yang luas serta pengalaman yang
banyak. Sehingga dengan selalu berkeinginan untuk  penambah pengetahuan
seorang Apoteker dengan pedenya dapat berbicara baik kepada pasien, teman
sejawat (dokter, perawat dsb), dan teman petugas kesehatan lainnya.
c. Kode Etik
Seorang Apoteker dalam menjalankan tugas keprofesiannya harusmenjunjung
tinggi kode etika apoteker, yang mana hal ini berkaitan dengan kewajiban umum,
kewajiban apoteker terhadap pasien, kewajiban apoteker terhadap teman sejawat,
dan kewajiban apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya. Sehingga

7
jika bekerja berdasarkan kode etik yang berlaku maka tingkat keprofesionalan
seseorang Apoteker  bekerja tanpa menyalahi aturan yang ada.
d. Standar Kompetensi Soft Skill
Seorang Apoteker harus mempunyai soft skill untuk menjalankan
keprofesiannya, seperti bisa berbicara, dan mengajukan pendapat serta memberi
saran akan suatu hal khususnya mengenai obat-obatan. Tentunya dengan soft skill
yang dimiliki dan sudah terbiasa untuk berbicara, sehingga kepercayaan seseorang
akan Apoteker dapat meningkat ketika dapat memberikan solusi akan sebuah
permasalahan tentunya dengan soft skill yang dimiliki.
e. Identitas Profesi Apoteker
Terkait nama profesi kita di masyarakat tentunya menjadi hal yang sangat
perlu karena ketika bekerja atas nama profesi Apoteker dan masyarakat
menghargai kita sebagai seorang yang bias dibilang ahli dalam obat-obatan
sehingga kepercayaan masyarakat adanya profesi Apoteker menjadi lebih dihargai
ketika melaksanakan tugas, dengan Tanya Obat Tanya Apoteker.
2.3 Upaya Peningkatan Profesionalisme Farmasi, Aspek Regulasi, dan
Organisasi Profesi
2.3.1 Profesi
Profesi sebagai suatu kelompok pekerjaan yang mempunyai karakteristik
tertentu termasuk didalamnya keahlian tehnik tingkat tinggi, berkomitmen untuk
melakukan pelayanan, monopoli pekerjaan dan mempunyai otonomi atas semua
pekerjaannya. Profesi juga mempunyai penghargaan dan status tinggi.
Profesionalisme, lebih bermakna sebagaistrategi dari satu kelompok pekerjaan
untuk mencapai dan memelihara profesinya (Harding dkk, 1993).
Profesional menurut rumusan Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005Bab
I Pasal 1 ayat 4 digambarkan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, dan kecakapan yang memenuhi standarmutu dan norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.(Sekretariat Negara, 2005: 6).
Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia,
karangan J.S. Badudu (2003), definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan

8
tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional.
Sementara kata profesional sendiri berarti bersifat profesi, memiliki keahlian dan
keterampilan karena pendidikan dan latihan, beroleh bayaran karena keahliannya
itu.
2.3.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi
Apakah farmasi dianggap sebuah profesi perlu dilakukan analisis secara
mendalam. Berbagai literatur secara luas memperdebatkan sosiologi profesi, apa
sebenarnya profesi itu, atribut apa dari suatu pekerjaan yang umumnya diterima
sebagai pembeda sebuah profesi. Pertanyaan seperti mengapa beberapa pekerjaan
naik ke status profesi sedangkan yang lain tidak adalah teka-teki sosiologis yang
membutuhkan penjelasan. Sejak Parsons (1939), menerbitkan makalahnya
berjudul Profesi dan Struktur Sosial, banyak teori telah dipostulasikan. Sampai
tahun 1970-an, kebanyakan penulis mencoba untuk menjelaskan profesi sebagai
posisi unik dalam masyarakat dengan cara memberikan definisi. Mereka mencoba
mengidentifikasi atau mendefinisikan karakteristik dari suatu pekerjaan yang
khusus atau khas dengan status profesional. Ini mengakibatkan berkembangnya
atribut profesi, yang diantaranya dikemukakan oleh Goode (1960) yaitu 10 atribut
ideal sebagai ciri yang paling sering dikutip sebagai berikut:
1. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan dan pelatihan
2. Mahasiswa profesional mengalami proses pelatihan ekstensif dansosialisasi
3. Praktik profesional diakui secara legal dalam bentuk lisensi
4. Pemberian lisensi dan proses masuk sebagai profesional diatur olehanggota
profesi
5. Kebanyakan undang-undang yang mengatur profesi dibentuk oleh profesi
6. Profesi memiliki pendapatan, kekuatan, dan status yang tinggi, dandapat
menuntut pendatang baru berkemampuan lebih tinggi
7. Profesional relatif bebas dari evaluasi secara awam
8.  Norma-norma praktik ditegakkan oleh profesi seringkali lebih ketatdaripada
kontrol hukum
9. Anggota profesi memiliki rasa identifikasi dan afiliasi yang kuatdengan
kelompok kerja mereka

9
10. Sebuah profesi menjadi pekerjaan seumur hidup
Menurut Benner dan Beardsley (2000), profesi adalah sebuah pekerjaan yang
memiliki 10 karakteristik sebagai berikut:
1. Pelatihan terspesialisasi yang lama dalam sebuah badan ilmu pengetahuan
2. Berorientasi pelayanan
3. Sebuah ideologi yang didasarkan atas keyakinan orisinil yang dianutoleh para
anggotanya
4. Sebuah etika yang mengikat para praktisinya
5. Sebuah badan ilmu pengetahuan yang unik bagi para anggotanya
6. Seperangkat kepiawaian yang membentuk teknik profesi.
7. Sebuah serikat dari mereka yang berhak mempraktikkan profesitersebut
8. Kewenangan yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk lisensidan
sertifikasi
9. Pengaturan yang diakui ketika profesi dipraktikkan
10. Berupa teori tentang manfaat sosial yang bersumber dari ideologi
Seorang profesional adalah seorang anggota profesi yang menampilkan 10
karakteristik sebagai berikut (Benner and Beardsley,2000; Chisholm, dkk., 2006;
ASHP Board, 2008):
1. Pengetahuan dan keterampilan dari sebuah profesi
2. Komitmen untuk memperbaiki diri dalam pengetahuan danketerampilan
3. Orientasi pelayanan.
4. Kebanggaan profesi
5. Hubungan yang terikat perjanjian dengan klien
6. Kreativitas dan inovasi
7. Hati nurani dan keterpercayaan
8. Akuntabilitas atas karyanya
9. Pengambilan keputusan mendalam yang etis
10. Kepemimpinan
Beberapa sosiolog menyatakan bahwa profesi tertentu telah
mencapaistatusnya, karena profesi tersebut melakukan fungsi-fungsi penting
untuk kerja masyarakat industri modern. Sosiolog melihat hal tersebut sebagai

10
penjelasan struktural-fungsional. Pandangan struktural-fungsional masyarakat
analog dengan organ ketika semua bagian organ berfungsi menjamin
kesejahteraan organ itu. Analogi ini dapat diibaratkan dengan sistem fisiologis
tubuh manusia. Semua lembaga sosial menggunakannya, jika tidak, mereka akan
berhenti memiliki fungsi dan dengan cepat akan menghilang.
Masyarakat industri yang kompleks membutuhkan pengetahuan pakar,dan
profesi melaksanakan fungsi menerapkan keahlian mereka untuk kepentingan
masyarakat. Pendekatan baik sifat maupun fungsional telah dikalahkan oleh
analisis yang lebih kritis dan realistis, profesi dapat dikatakan memiliki
karakteristik inti atau sifat tertentu, dan memenuhi fungsisosial yang penting.
Profesionalisme juga dapat didefinisikan sejauh mana suatu profesi atau
anggota dari suatu profesi memperlihatkan karakteristik profesi (Hammer, dkk.,
2000). Menurut American Board of Internal Medicine (2001) ada 6 prinsip
profesionalisme :
1. Altruisme yaitu melayani kepentingan pasien di atas kepentingan mereka
sendiri. Ini berarti pelayanan tidak dikompromikan atau dikurangi dalam hal
kualitas oleh karena ketidakmampuan pasien untuk membayar.
2. Akuntabilitas yaitu akuntabel atau dapat diandalkan untuk memenuhi
perjanjian tersirat dengan pasien mereka. Mereka juga akuntabel untuk
mengatasi kebutuhan kesehatan masyarakat dan untuk mematuhi kodeetik
profesi farmasi.
3. Keunggulan yaitu berkomitmen untuk belajar sepanjang hayat dan akuisisi
atau pencarian pengetahuan untuk melayani pasien. Ini termasuk ingin
melebihi harapan, dan menghasilkan kerja yang berkualitas.
4. Tugas yaitu berkomitmen untuk menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya bahkan ketika situasi tidak menyenangkan, advokat untuk asuhan
yang tepat tanpa memandang situasi
5. Kehormatan dan Integritas yaitu adil, jujur, menjaga kata-kata, memenuhi
komitmen, dan lugas.
6. Menghormati yang lain yaitu menghormati teman sejawat profesional,
profesional kesehatan lain, pasien, dan keluarga mereka.

11
2.3.3 Karakteristik Inti Profesi
Farmasis ternyata suatu profesi khusus yang berkembang sangat luasdalam
rangka pelayanan kesehatan dan dapat sangat bermanfaat bagimasyarakat seiring
perkembangan Farmasi Sosial (Sudjaswadi, 2002). Peranan profesi farmasis telah
mengalami perubahan yang sangatsignifikan dalam dua puluh tahun terakhir ini
dengan berkembangnyaruang lingkup pelayanan kefarmasian. Peranan farmasis
yang digariskanoleh WHO yang dikenal dengan istilah seven stars pharmacist.
1. Care-giver
Farmasis sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis,
teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan,
farmasis harus berinteraksidengan pasien secara individu maupun kelompok.
Farmasis harusmengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan
kesehatansecara berkesimabungan dan pelayanan farmasis yang dihasilkanharus
bermutu tinggi.
2. Decision-maker
Farmasis mendasarkan pekerjaannya padakecukupan, keefikasian dan biaya
yang efektif dan efisiensi terhadapseluruh penggunaan sumber daya manusia,
obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dan lain-lain. Untuk mencapai
tujuantersebut kemampuan dan ketrampilan farmasis perlu diukur untukkemudian
hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan yang
diperlukan.
3. Communicator
Farmasis mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien
maupun profesi kesehatan yang lain, olehkarena itu harus mempunyai
kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi
komunikasi verbal, non verbal,mendengar, dan kemampuan menulis dengan
menggunakan bahasasesuai kebutuhan.
4. Leader
Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemapuanmengkomunikasikan dan mengelola keputusan.

12
5. Manager
Farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya(manusia, fisik,
anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpindan memimpin orang lain
dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagifarmasis mendatang harus tanggap terhadap
kemajuan teknologiinformasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan
hal-hallain yang berhubungan dengan obat.
6. Life-long learner
Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dansemangat belajar harus
selalu dijaga walaupun sudah bekerja untukmenjamin bahwa keahlian dan
ketrampilan yang selalu baru (up-date)dalam melakukan praktek profesi. Farmasis
juga harus mempelajaricara belajar yang efektif.
7. Teacher
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mendidik danmelatih farmasis
generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanyadalam berbagai ilmu pengetahuan
baru satu sama lain, tetapi jugakesempatan memperoleh pengalaman dan
peningkatan ketrampilan
2.3.4 Aspek Regulasi
Pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pada pasal 53 ayat (2)
disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Penjelasan atas
pasal 53 ayat (2); Standar profesi adalah pedomanyang harus dipergunakan
sebagai petunjuk dalam menjalankan profesisecara baik.
Pada penjelasan pasal 50 Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dinyatakan bahwa yang dimaksud standar profesi adalah batasan
kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus
dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukankegiatan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat olehorganisasi profesi.
Pada Sistem Kesehatan Nasional tahun 2004 pada Bab VI tentang
Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan menyatakan bahwa pembinaan dan
pengawasan praktik profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji
kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan;

13
registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; uji kompetensi
dilakukan oleh masing-masing organisasi-organisasi profesi; sedangkan
pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.
Pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.131/MENKES/SK/II/2004
tentang Sistem Kesehatan Nasional pada Bab IItentang Subsistem Sumberdaya
Manusia Kesehatan menjelaskan mengenaiPendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
a. Standar pendidikan vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertamaditetapkan oleh
asosiasi institusi pendidikan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Sedangkan
standar pendidikan profesi tingkat lanjutan ditetapkan oleh kolegium profesi
yang bersangkutan.
b. Penyelenggara pendidikan vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah
institusi pendidikan tenaga kesehatan yang telah diakreditasi oleh asosiasi
institusi pendidikan kesehatan yang bersangkutan. Sedangkan
penyelenggaraan pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi
pendidikan (university based) dan institusi pelayanan kesehatan (hospital
based) yang telah diakreditasi oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
c. Standar pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan oleh organisasi profesiyang
bersangkutan. Sedangkan penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan termasuk
yang bersifat berkelanjutan (continuing education) adalah organisasi profesi
serta institusi pendidikan, institusi pelatihan,dan institusi pelayanan kesehatan
yang telah diakreditasi oleh organisasi profesi yang bersangkutan.
d. Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan harus
memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan produksi tenaga
kesehatan yang bersangkutan.
Surat Keputusan Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana FarmasiIndonesia
Nomor: 031008/BPP/SK.016 Tahun 2003 Tentang Penetapan Dan Pemberlakuan
penggunaan Buku Kompetensi Farmasi Indonesia menetapkan diberlakukannya
Buku Kompetensi Farmasis Indonesia sebagai standar dan acuan bagi farmasis
Indonesia dalam melaksanakan aktivitas keprofesiannya sebagai seorang farmasis.
2.3.5 Organisasi profesi

14
Hampir semua profesi memiliki organisasi yang mengklaim
mewakilianggotanya. Organisasi profesi bertujuan memajukan profesi serta
meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Peningkatan kesejahteraan anggotanya
akan berarti organisasi profesi terlibat dalam mengamankankepentingan ekonomis
anggotanya (Basuki, 2001). Apoteker/Farmasis memiliki suatu perhimpunan
dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom yaitu ISFI (Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia) (Hartini dan Sulasmono, 2006).
Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatam R I No 41846/Kb/121 tahun
1965 menetapakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) sebagai
organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana farmasi/apoteker Indonesia
yang menghimpun seluruh tenaga kesehatansarjana farmasi yakni sarjana
farmasi/apoteker.
Organisasi profesi atau organisasi profesional adalah organisasi yang
biasanya bersifat nirlaba, ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan
melindungi kepentingan publik maupun kepentingan profesional pada bidang
tersebut. Organisasi profesional dapat memelihara ataumenerapkan suatu standar
pelatihan dan etika pada profesi mereka untukmelindungi kepentingan publik.
Banyak organisasi memberikan sertifikasi profesional untuk menunjukkan bahwa
seseorang memiliki kualifikasi pada suatu bidang tertentu. Walaupun tidak selalu,
terkadang keanggotaan pada suatu organisasi sinonim dengan sertifikasi. Di
Indonesia organisasi profesional apoteker adalah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
merupakan satu-satunya Organisasi Profesi Apoteker yang merupakan
perwujudan dari hasrat murni dan keinginan luhur paraanggotanya, untuk
menyatukan diri dalam upaya mengembangkan profesi luhur kefarmasian di
Indonesia pada umumnya dan martabat anggota pada khususnya. Adapun Visi dan
Misi organisasi IAI adalah sebagai berikut (ISFI, 2009)
Visi :
Terwujudnya profesi apoteker yang paripurna, sehingga
mampumewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia.
Misi:

15
a. Menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memilikikesejawatan
yang tinggi, dan inovatif, serta berorientasi ke masa depan;
b. Membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme apotekersehingga
mampu menjalankan praktik kefarmasian secara bertanggung jawab;
c. Memperjuangkan dan melindungi kepentingan anggota dalammenjalankan
praktik profesinya; dan
d. Mengembangkan kerjasama dengan organisasi profesi lainnya baiknasional
maupun internasional.
2.4 Continuing Professional Development untuk Profesi Farmasi
CPD adalah praktisi berpusat dan mandiri, dan menekankan azas-ukuran
pentingnya pembelajaran berbasis praktik. Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa apoteker mempertahankan pengetahuan, keterampilan,dan kompetensi
untuk berlatih sepanjang karier mereka di daerah khusus mereka praktek, untuk
meningkatkan kinerja pribadi apoteker, dan untuk meningkatkan kemajuan karir
apoteker. CPD keluar datang berdasarkan,dan dirancang untuk memenuhi tujuan
tertentu dan tujuan dari apoteker itu sendiri dan organisasinya, dan untuk
meningkatkan hasil pasien dan kesehatan masyarakat. CPD adalah pembelajaran
berkelanjutan, yang mandiri, terstruktur, hasil siklus/proses belajar dan perbaikan
pribadi. Tujuan dari CPD:
1. Untuk memastikan bahwa apoteker mempertahankan pengetahuan,
keterampilan, dan kompetensi untuk berlatih sepanjang karier mereka di
daerah khusus praktek; meningkatkan kinerja pribadi; dan meningkatkan
kemajuan karir.
2. Menyediakan kesempatan bagi apoteker untuk mempertahankan
/meningkatkan profesionalismenya.
3. Menjamin terselenggaranya pelayanan kefarmasian yang bermutumelalui
upaya (re-) sertifikasi apoteker.
Melanjutkan pendidikan untuk profesi farmasi adalah prosesterstruktur
pendidikan dirancang atau dimaksudkan untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan apoteker untuk mempertahankan danmeningkatkan kompetensi
profesional mereka. Melanjutkan pendidikanharus mempromosikan pemecahan

16
masalah dan berpikir kritis dan berlakuuntuk praktek farmasi. CPD muncul untuk
menawarkan model yang layak kepada individuapoteker untuk terus-menerus
belajar dan perbaikan pribadi.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Faktor pendukung dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu
motivasi apoteker dalam bekerja; dukungan PSA dan seluruh staf di apotek;
dukungan dan komitmen bersama stakeholder terkait yaitu pembuat kebijakan
dan regulasi; instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring, dan pembinaan;
perguruan tingi; dan organisasi profesi. Sedangkan faktor penghambatnya
yaitu apoteker belum berperan di instalasi farmasi; lemahnya dukungan dan
evaluasi oleh pihak manajemen instalasi, termasuk pengadaan sarana dan
prasarana; kurangnya sosialisasi, legilasi; lemahnya kontrol regulasi oleh
aparat terkait; pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi
yang masih belum memadai; kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi
farmasi; sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik; dan
kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja
instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi.
2. Adapun aspek-aspek yang mendukung peningkatan sikap profesional seorang
farmasis yaitu kesejahteraan; standar kompetensi knowledge; kode etik;
standar kompetensi soft skill; dan identitas profesi apoteker.
3. Profesionalisme, lebih bermakna sebagai strategi dari satu kelompok
pekerjaan untuk mencapai dan memelihara profesinya. Pada UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan pada pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien. Hampir semua profesi memiliki
organisasi yang mengklaim mewakilianggotanya. Organisasi profesi bertujuan
memajukan profesi serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Apoteker /
Farmasis memiliki suatu perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat
otonom yaitu ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia).
4. CPD adalah praktisi berpusat dan mandiri, dan menekankan azas-ukuran
pentingnya pembelajaran berbasis praktik. Tujuannya adalah untuk

18
memastikan bahwa apoteker mempertahankan pengetahuan,keterampilan, dan
kompetensi untuk berlatih sepanjang karier mereka didaerah khusus mereka
praktek, untuk meningkatkan kinerja pribadiapoteker, dan untuk
meningkatkan kemajuan karir apoteker. CPD keluar datang berdasarkan, dan
dirancang untuk memenuhi tujuan tertentu dan tujuan dari apoteker itu sendiri
dan organisasi nya, danu ntuk meningkatkan hasil pasien dan kesehatan
masyarakat.
3.2 Saran
Diharapkan untuk seorang farmasis untuk lebih mengutamakan sikap
professional dalam memberikan pelayanan kefarmasian untuk masyarakat agar
terciptanya pelayanan yang lebih optimal.

19

Anda mungkin juga menyukai