Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMASI KLINIK

PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO)

Dosen Pembimbing:
IRMA SUSANTI S.Farm., M.Farm., Apt.
Disusun Oleh:
IKE PUTRI ISTIANA

Kelas: 5A Farmasi

NIM: 1902050274

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI D-III FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
TAHUN 2021
Pelayanan Informasi Obat (PIO)

A. Pengertian PIO

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan


dan pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen,
akurat, komprehensif, terkini, oleh apoteker kepada pasien, masyarakat,
profesional kesehatan lain, dan pihak-pihak yang memerlukan
(Permenkes, 2014).

Pelayanan ini meliputi penyediaan, pengolahan, penyajian, dan


pengawasan mutu data/informasi obat dan keputusan professional (Yani,
Sri. 2015)

Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan


penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang
independen, akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien,
masyarakat maupun pihak yang memerlukan di rumah sakit. Pelayanan
informasi obat meliputi penyediaan, pengolahan, penyajian, dan
pengawasan mutu data atau informasi obat dan keputusan profesional.
Pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini sangat diperlukan dalam upaya
penggunaan obat yang rasional oleh pasien (Kusumawati, 2012).

Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan pelayanan yang


dilakukan oleh tenaga kefarmasian untuk memberikan informasi secara
akurat, jelas dan terkini kepada pasien, dokter, apoteker, dan profesi
kesehatan lainnya (Payung, 2018).

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan


meningkatkan kesehatan dan bertujuan untuk mengoptimalkan derajat
kesehatan masyarakat, dimana hal tersebut dapat diperoleh melalui
Pelayanan Informasi Obat secara tepat. Pelayanan Informasi Obat
merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian
untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
pasien, dokter, apoteker, dan profesi kesehatan lainnya (Payung, 2018).

Informasi obat juga perlu dipertimbangkan dapat memengaruhi


pemahaman karena adanya intervensi pemberian informasi obat dari
apoteker memengaruhi peningkatan pengetahuan mengenai informasi
obat. Adanya pengulangan informasi obat oleh pasien menunjukkan
bahwa mereka mampu memahami apa yang disampaikan oleh apoteker
(Payung, 2018).

Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan


suatu kegiatan untuk memberikan pelayanan informasi obat yang akurat
dan objektif dalam hubunganya dengan perawatan pasien, pelayanan
informasi obat sangat penting dalam upaya menunjang budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional (Rikomah, SE. 2018).

Pelayanan informasi obat sangat diperlukan, terlebih lagi banyak


pasien yang belum mendapatkan informasi obat yang digunakan, karena
penggunaan obat yang tidak benar bisa membahayakan (Herman, JM,
dkk.2013).

Pelayanan informasi obat adalah kegiatan penyediaan dan


pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini oleh farmasis kepada pasien, masyarakat maupun
pihak yang memerlukan (Abdulkadir, W. 2011).

Informasi obat oleh farmasis di sebagian rumah sakit telah


berjalan secara aktif atau pasif melalui telepon, leaflet, bulletin, label dan
kadang seminar, khusus untuk pasien rujukan dokter, penyakit kronis,
geriatri dan pediatri, polifarmasi serta psien yang mau pulang (Rikomah,
SE. 2018).

Namun, ruangan khusus kadang belum tersedia dan masih ada


yang dilakukan oleh perawat. Dokumentasi kadang-kadang tidak ada,
terutama pasien rawat inap, meskipun struktur pelayanan informasi obat
ada dalam pemberian informasi tentang indikasi, kontraindikasi, efek
samping obat. Kendala yang dihadapi dalam pemberian informasi obat
adalah sarana informasi dan tenaga, kelimuan dan pendidikan
berkelanjutan serta perkembangan metode penyampaian informasi obat
selain secara lisan saat penyerahan obat (Herman, JM, dkk. 2013).

Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif,


diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencangkup farmakologi,
toksikologi, dan penggunaan terapi obat (Cindy, 2019).

Cakupan informasi obat antara lain nama kimia, struktur dan sifat-
sifat, identifikasi, indikasi diagnosi atau indikasi terapi, ketersediaan
hayati, toksisitas, mekanisme kerja, waktu mulai bekerja dan durasi kerja,
dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, konsumsi,
absorbsi, metabolisme, detoksifikasi, ekskresi, efek samping, reaksi
merugikan, kontraindikasi, interaksi obat, harga, keuntungan, tanda,
gejala, dan data penggunaan obat. Pelayanan informasi obat didefinisikan
sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat
yang akurat dan terkini, oleh tenaga kefarmasian kepada pasien,
masyarakat, profesional kesehatan yang lain, dan pihak-pihak yang
memerlukan.(Cindy, 2019)

Sedangkan pemberian informasi obat adalah salah satu tahap


pada pelayanan resep untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan
terapi obat. Pemberian informasi obat memiliki peran yang penting dalam
rangka memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan
yang bermutu bagi pasien (Athiyah, 2014).

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat


penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Pelayanan informasi obat
didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi,
rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh
apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan di
rumah sakit. Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengolahan,
penyajian, dan pengawasan mutu data atau informasi obat dan
keputusan profesional. Pelayanan informasi obat harus benar, jelas,
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini sangat
diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien
(Kusumawati, 2012).

Pelayanan informasi obat merupakan suatu kegiatan untuk


memberi pelayanan informasi obat yang akurat dan objektif dalam
hubungannya dengan perawatan pasien, pelayanan informasi obat sangat
penting dalam upaya menunjang budaya pengelolaan dan penggunaan
obat secara rasional (Cindy, 2019).

Sedangkan menurut Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit


pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun
pihak yang memerlukan di rumah sakit. Pelayanan informasi obat dapat
berupa penyediaan, pengelolaan, penyajian dan pengawasan informasi
obat dan keputusan professional (Kusumawati, 2012).

Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka


memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu
bagi pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun
akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program pengobatan
(Adityawati, 2016).

Pelaksanaan pelayanan informasi obat merupakan kewajiban


farmasis yang didasarkan pada kepentingan pasien, dimana salah satu
bentuk pelayanan informasi obat yang wajib diberikan oleh tenaga
farmasis adalah pelayanan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat,
aman dan rasional atas permintaan masyarakat (Adityawati, 2016).

Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka


memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu
bagi pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun
akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program pengobatan
(Adityawati, 2016).

Pelayanan kefarmasian merupaan bagian integral dari system


pelayanankesehatan yang tidak terpisahkan, salah satu aspek pelayanan
kefarmasian yaitu informasi obat yang diberikan oleh apoteker kepada
pasien dan pihak-pihak terkait lainnya. Informasi obat adalah suatu
bantuan bagi dokter dalam pengambilan keputusan tentang pilihan terspi
obat yang paling tepat bagi seorang pasien (Fitriani, dkk. 2017).

Pelayanan informasi obat yang diberikan tersebut tentulah harus


lengkap, objektif, pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang bermutu
dan selalu batu up to date mengikuti perkembangan pelayanan kesehtan,
termasuk adanya spesialisasi dalam pelayanan kefarmasian. Pelayanan
kefarmasian dirumah sakit pada dasarnya adalah untuk menjamin dan
memastikan penyediaan dan penggunaan obat yang rasional yakni sesuai
kebutuhan, efektif, aman, nyaman bagi pasien (Fitriani, dkk. 2017).

Pelayanan informasi obat merupakan salah satu bagian, cabang


dari pelayanan farmasi klinis. Pelayanan informasi obat dan pelayanan
farmasi klinid menanggapi keprihatinan terhadap masyarakat akan
mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan penggunaan obat,
kerasionalan penggunaan obat, semakin meningkatnya biaya perawatan
pasien dikarenakan semakin meningkatnya biaya obat dan makin
tingginya harapan masyarakat, ledakan medis serta ilmiah(Fitriani, dkk.
2017).

Kebutuhan informasi bagi pasien, mereka (pasien) tidak tahu obat


yang mereka minum, kecuali bila dokter menjelaskan kepada mereka.
Informasi obat merupakan bagian dari suatu kegiatan konsultasi dimana
pasien dapat memperoleh informasi mengenai proses pengobatannya.
Brosur, etiket dari produsen obat merupakan suatu komunikasi verbal
yang sangat bermanfaat (Kusumawati, 2012).

Pelayanan informasi obat sangat penting dalam upaya menunjang


budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional. Pelayanan
informasi obat sangat diperlukan, terlebih lagi banyak pasien yang belum
mendapatkan informasi obat secara memadai tentang obat yang
digunakan, karena penggunaan obat yang tidak benar dan
ketidakpatuhan meminum obat bisa membahayakan (Tumiwa, dkk,
2014).

Pelayanan informasi obat berupa konseling ditujukan untuk


meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-
obatan yang tepat. Salah satu manfaat dari konseling adalah
meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka
kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas)
dapat ditekan. Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan
mengenai penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak
sempat bertanya, malu bertanya, atau tidak dapat mengungkapkan apa
yang ingin ditanyakan (Tumiwa, dkk, 2014).

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang


dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang
tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas
dan herbal. Pelayanan informasi obat baik infomasi obat resep pasien,
maupun informasi obat swamedikasi penting dilakukan di apotek oleh
tenaga kefarmasian. Pelayanan informasi obat dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit dan pengobatanya
(Diana Khusnul, dkk 2019).

Pelayanan Informasi Obat adalah sebuah proses pencarian dan


pemberian informasi kepada pasien atau nakes lain mengenai informasi
obat resep, obat herbal, obat bebas dengan pencarian yang akurat dan
objektif dan di evaluasi kembali sebelum memberikan informasi obat
tersebut terhadap pasien maupun nakes lainnya.

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan


oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala
aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas
dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute


dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,
efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau
kimia dari Obat dan lain-lain (Permenkes, 2014).

Menurut WHO pemberian informasi obat merupakan bagian yang


tidak terpisahkan dari proses terapi rasional. Kegiatan Penyerahan
(Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan keggiatan
pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat,
memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi
yang memadai disertai pendokumentasian (Permenkes No. 74 Tahun
2016).

Pemberian informasi obat adalah salah satu tahap pada pelayanan


resep untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi obat.
Pemberian informasi obat memiliki peran yang penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan yang
bermutu bagi pasien (Atiyah, 2014).

B. Tujuan Pelayanan Informasi Obat


 Pelayanan Informasi Obat bertujuan untuk menyediakan informasi
mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan
puskesmas, pasien dan masyarakat
 Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan obat
 Menunjang penggunaan obat yang rasional (Permnkes No. 74 Tahun
2016)
 Memberi informasi yang tepat & akurat.
 Menunjukkan perhatian kepada pasien.
 Membantu pasien dalam mengatur penggunaan obatnya.
 Memberi keterampilan penggunaan obatnya.
 Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
 Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional,
berorientasi kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain.
 Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatan, dan pihak lain (Yani, 2012)
 Meningkatkan profesionalisme apoteker
 Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite
Farmasi dan Terapi) (fitriani,dkk. 2017).
 Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis atau
pengobatan
 Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi
pengobatan (Permenkes No. 74 Tahun 2016)
 Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan obat
 (contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan
yang memadai). (Permenkes No. 74 tahun 2016) dan (cindy 2019).

PIO bagi profesional kesehatan akan meningkatkan peran apoteker


dalam perawatan kesehatan, antara lain :

 Pengetahuan apoteker tentang obat terpakai.


 Apoteker menjadi lebih aktif dalam pelayanan kesehatan.
 Peran apoteker dapat membuka fungsi klinis lain, misal
kunjungan pasien.
 Peningkatan terapi rasional dapat tercapai (Yani, Sri, 2015).

Selain itu, tujuan pio yaitu Mendorong penggunaan obat secara:


 Efektif
Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara optimal, termasuk juga
efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif lebih besar
daripada keluaran negative.
 Aman
Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat diminimalkan
dan tidak membahayakan pasien.
 Rasional
Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan pelayanan
informasi obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat
memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute
pemberian dan tepat cara penggunaan (fitriani, dkk. 2017).

C. Fungsi Pelayanan Informasi Obat


Fungsi pelayanan informasi obat antara lain:
 Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan dilingkungan rumah sakit,
 Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan kebijakan yang
berhubungan dengan obat, terutama bagi Komite Farmasi dan
Terapi,
 Meningkatkan profesionalisme apoteker,
 Menunjang terapi obat yang rasional, dan
 Meningkatkan keberhasilan pengobatan (fitriani, dkk. 2017).

Fungsi PIO lainnya:


 Mengkoordinasikan pemntauan dan pelayanan efek samping obat,
 Memberi respond terhadap pelayanan obat,
 Memberikan masukan terhadap komite farmasi dan terapi di Rs,
 Drug ultilization review (DUR)/drug ultilization review evaluation
(DUE),
 Pelaporan efek samping obat (ESO),
 Konseling pasien
 Pembuatan Bulletin/News leter
 Edukasi,
 Riset dan penelitian.

D. Manfaat Pelayanan Inforlmasi Obat (PIO)


Manfaat PIO bagi pasien antara lain:
- Kesalahan penggunaan obat menurun
- Ketidak patuhan menurun
- Efek obat yg tak diinginkan menurun
- Menjamin keamanan & efektifitas pengobatan
- membantu pencegahan masalah
Manfaat PIO bagi staf farmasis, antara lain:
 Citra farmasis meningkat
 Kepuasan kerja meningkat
 Menarik pelanggan
 Pendapatan / omzet meningkat.
E. Kegitan Pelayan Informasi Obat (PIO)
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
pro aktif dan pasif. Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian
informasi obat yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif
apabila apoteker pelayanan informasi obat memberika informasi obat
dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif
memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur,
leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila
apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima.
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka. Menjawab pertanyaan mengenai
obat dan penggunaannya merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan
informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat disampaikan secara
verbal (melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat melalui pos,
faksimili atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari
yang sederhana sampai yang bersifat urgen dan kompleks yang
membutuhkan penelusuran literatur serta evaluai secara seksama.
c. Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan lain-
lain.
d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
e. Melakukan pendidikan dan atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis
habis pakai.
f. Mengkoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan
kefarmasian (Permenkes No. 30 Tahun 2014 : III : 2)

F. Factor yang mempengaruhi PIO

Terdapat banyak faktor yang memengaruhi pemahaman antara


lain usia, tingkat pendidikan termasuk informasi obat yang disampaikan
oleh Apoteker atau tenaga kefarmasian. Informasi obat juga perlu
dipertimbangkan dapat memengaruhi pemahaman karena adanya
intervensi pemberian informasi obat dari apoteker memengaruhi
peningkatan pengetahuan mengenai informasi obat. Adanya
pengulangan informasi obat oleh pasien menunjukkan bahwa mereka
mampu memahami apa yang disampaikan oleh apoteker (Payung, 2018).

Usia merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan dalam


pemahaman seseorang. Individu yang berusia tua akan mengalami
penurunan fungsi kognitif dan kemampuan berfikir. Tingkat Pendidikan
dimana pendidikan merupakan salah satu faktor yang signifikan terhadap
literasi kesehatan (pemahaman), dimana faktor langsung yaitu
memengaruhi kemampuan seseorang dalam membaca, mendengarkan,
dan memahami informasi (Payung, 2018).
Faktor-faktor komunikasi yang meliputi bahasa, pendengaran atau
tingkat intelektual merupakan faktor yang dapat menghambat efektivitas
komunikasi. Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:

 Status Obat,
 Khasiat keamanan obat,
 Efek samping obat, dan
 Alasan mengapa obat tidak dapat dipergunakan untuk semua
penyakit (Adityawati, 2016).
G. Pemberian Informasi Obat
Berdasarkan lembar checklist pemberian informasi obat pasien
rawat jalan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016, terdiri dari:
1) Nama obat adalah Informasi mengenai identitas atau nama dari
suatu obat.
2) Sediaan obat adalah Informasi tentang jenis obat dalam bentuk
sediaan obat dalam bentuk kapsul dan tablet.
3) Dosis adalah Informasi tentang jumlah atau ukuran yang
diharapakan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh
yang mengalami gangguan
4) Cara memakai obat adalah informasi tentang cara menggunakan
obat, frekuensi, dan cara penggunaan obat yang benar terutama
untuk sediaan farmasi tertentu seperti sublingual, suppositoria,
dan frekuensi pemberian obat sesuai dengan farmakokinetik,
seperti 3 kali sehari, serta penggunaan obat berdasarkan resorpsi
seperti sebelum/sesudah makan.
5) Penyimpanan obat adalah Informasi tentang aturan yang
digunakan untuk penyimpanan obat,contoh simpan di tempat
sejuk.
6) Indikasi obat adalah Informasi tentang khasiat/kegunaan dari
suatu obat.
7) Interaksi obat adalah informasi tentang dimana kerja obat
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan
8) Efek samping obat adalah informasi tentang peringatan mengenai
dampak atau efek yang akan timbul setelah mengkonsumsi obat
(Cindy, 2019).

Terdapat sepuluh unsur PIO pada pelayanan resep yang


tercantum dalam Permenkes No.74 tahun 2016. Namun tidak semua
unsur informasi obat tersebut diberikan kepada pasien. Unsur informasi
obat yang tidak disampaikan di puskesmas adalah penyimpanan dan
stabilitas obat. Serta dalam pemberian informasi obat harus jelas agar
pasien puas (Ekadipta, dkk, 2019).

H. Langkah-Langkah Pelayanan Informasi Obat


Langkah-langkah sistematis pemberian informasi obat oleh petugas PIO:
1) Penerimaan permintaan Informasi Obat: mencatat data
permintaan informasi dan mengkategorikan permasalahan: aspek
farmasetik (identifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan
toksisitas obat), ketersediaan obat, harga obat, efek samping
obat, dosis obat, interaksi obat, farmakokinetik, farmakodinamik,
aspek farmakoterapi, keracunan, perundang-undangan.
2) Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan:
menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien dan
menanyakan apakah sudah diusahakan mencari informasi
sebelumnya
3) Penelusuran sumber data: rujukan umum, rujukan sekunder dan
bila perlu rujukan primer.
4) Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan: jawaban jelas,
lengkap dan benar, jawaban dapat dicari kembali pada rujukan
asal dan tidak boleh memasukkan pendapat pribadi.
5) Pemantauan dan Tindak Lanjut: menanyakan kembali kepada
penanya manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan
maupun tertulis (Novitasari,2016).

I. Sumber Informasi Obat:


a) Sumber daya, meliputi :
 Tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, dokter gigi,
tenaga kesehatan lain merupakan sumber informasi obat.
 Pustaka
Terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
Farmakope.
 Sarana
Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan
perpustakaan.
 Prasarana
Industri farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat,
Pendidikan tinggi farmasi, Organisasi profesi (dokter,
apoteker, dan lain-lain).
 Sumber informasi lainnya
Selain sumber informasi yang sudah disebutkan diatas, masih
terdapat beberapa sumber informasi obat lainnya.
Diantaranya informasi obat dari media masa, leaflet, brosur,
etiket dan informasi yang berasal dari seorang Medical
Representative.
b) Pustaka sebagai sumber informasi obat
Sumber informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia,
Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat
Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi, serta buku-
buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap
kemasan atau brosur obat yang berisi:
1. Nama dagang obat jadi
2. Komposisi
3. Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4. Dosis pemakaian
5. Cara pemakaian
6. Khasiat atau kegunaan
7. Kontra indikasi (bila ada)
8. Tanggal kadaluarsa
9. Nomor ijin edar/nomor regristasi
10. Nomor kode produksi
11. Nama dan alamat industry (Novitasari, 2016).

Sumber informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga


dan manusia. Dokumen mencakup pustaka farmasi dan kedokteran,
terdiri atas majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan computer,
internet, perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industry
farmasi, Badan POM, pusat informasi obat, pendidikan tinggi farmasi,
organisasi profesi dokter dan apoteker. Manusia mencakup dokter,
dokter gigi, perawat, apoteker dan professional kesehatan lainnya di
rumah sakit. Apoteker yang, mengadakan pelayanan informasi obat
harus mempelajari juga cara terbaik menggunakan berbagai sumber
tersebut. Pustaka obat digolongkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
A. Pustaka primer
Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti,
informasi yang terdapat didalamnya berupa hasil penelitian
yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Contoh pustaka primer :
o Laporan hasil penelitian
o Laporan kasus
o Studi evaluative
o Laporan deskriptif.

B. Pustaka sekunder
Berupa system indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak
dari berbagai kumpulan artikel jurnal. Sumber informasi
sekunder sangat membantu dalam sumber informasi primer.
Sumber informasi ini dibuat dlam berbagai data base, contoh:
medline yang berisi abstrak-abstrak tentang terapi obat,
international pharmaceutical abstract yang berisi abstrak
penelitian kefarmasian, pharmaline .
C. Pustaka tersier
Berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia
dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku
referensi yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah
dipahami. Menurut undang-undang No.23 tahun 1992 tentang
kesehatan, pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa Standar profesi
adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang
berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam
melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang
dimaksud dengan hak pasien antara lain ialah hak informasi,
hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran, dan hak atas pendapat kedua (Novitasari, 2016).

J. Sasaran Pelayanan Informasi Obat

Yang dimaksud dengan sasaran informasi obat adalah orang,


lembaga, kelompok orang, kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti
dibawah ini:
1.    Dokter

Dalam proses penggunaan obat, pada tahap pemilihan obat serta


regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi
dari apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Informasi
obat diberikan langsung oleh apoteker, menjawab pertanyaan dokter
melalui telepon atau sewaktu apoteker menyertai tim medis dalam
kunjungan ke ruang perawatan pasien atau dalam konferensi staf medis.

2.    Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat dan rangkaian
proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang
berbagai aspek obat pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat
adalah professional kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan
pasien, karena itu perawatlah yang umumnya mengamati reaksi obat
merugikan atau mendengan keluhan mereka.Apoteker adalah yang paling
siap, berfungsi sebagai sumber informasi bagi perawat.Informasi yang
dibutuhkan perawat pada umumnya harus praktis dan ringkas misalnya
frekuensi pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang
mungkin, penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan
intravena dan sebagainya.

3.    Pasien dan keluarga pasien

Informasi yang dibutuhkan pasien dan keluarga pasien pada


umumnya adalah informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan
dengan informasi yang dibutuhkan professional kesehatan. Informasi
obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai kunjungan tim
medis ke ruang perawatan, sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obat. Informasi obat untuk
pasien/keluarga pasien pada umumnya mencakup cara penggunaan obat,
jangka waktu penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan
obat bebas dikaitkan dengan resep obat dan sebagainya.

4.    Apoteker

Setiap apoteker rumah sakit masing masing mempunyai tugas


atau fungsi tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada
bidang tertentu.Apoteker yang langsung berinteraksi dengan professional
kesehatan dan pasien, sering menerima pertanyaan mengenai informasi
obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera,
diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan
informasi obat.Apoteker di apotek dapat meminta bantuan informasi
obat kepada sejawat di rumah sakit.

5.    Kelompok, Tim, Kepanitiaan dan Peneliti

Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi


obat kepada kelompok professional kesehatan, misalnya mahasiswa,
masyarakat, peneliti dan kepanitiaan yang berhubungan dengan obat.
Kepanitiaan dirumah sakit yang memerlukan informasi obat antara lain :
panitia farmasi dan terapi, panitia evaluasi penggunaan obat, panitia
sistem pemantauan kesalahan obat, panitia sistem pemantauan dan
pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji penggunaan obat
retrospektif, tim program pendidikan “in service” dan sebagainya (Silvia I,
2017).

K. Metode Pelayanan Informasi Obat


Metode pelayanan informasi obat menurut Direktorat jendral
pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan Departemen Kesehatan RI
2006 yaitu:
a. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam
atau on call disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
b. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja,
sedang diluar iam kerja dilayani oleh apoteker instalasi
farmasi yang sedang tugas jaga.
c. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja,
dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh
semua apoteker instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun
diluar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh
semua apoteker instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada
pelayanan informasi obat diluar jam kerja (Silvia, I, 2017).

L. Strategi Pencarian Informasi Secara Sistemik


Proses menjawab pertanyaan yang diuraikan dibawah ini adalah
suatu pendekatan yang sebaiknya digunakan oleh apoteker di rumah
sakit.
 Mengetahui pertanyaan sebenarnya
Menetapkan informasi obat sebenarnya yang
dibuthkan penanya adalah langkah pertama dalam
menjawab suatu pertanyaan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggolongkan jenis penaya, seperti dokter, apoteker,
perawat, dan sebagainya, serta informasi latar belakang
yang perlu.
Penggolongan penanya dapat dilakukan secara
otomatis jika penanya memperkenalkan dirinya, tetapi
kadang-kadang apoteker harus menanyakan, terutama jika
berkomunikasi melalui telepon. Dengan mengetahui jenis
penanya, akan membantu apoteker dalam memberikan
jawaban yang benar-benar ia perlukan.
 Mengumpulkan data khusus pasien
Apabila pertanyaan melibatkan seorang pasien,
adalah penting untuk memperoleh informasi latar belakang
tentang pasien sebelum menjawab suatu pertanyaan yang
berbeda-beda sesuai dengan jenis pertanyaan. Umur, bobot,
jenis kelamin biasanya diperlukan. Kekhususan tentang
kondisi medis pasien seperti diagnosis sekarang, fungsi ginjal
dan hati, sering diperlukan. Dalam beberapa kasus
diperlukan juga sejarah obat yang lengkap.
Pentingnya pengambilan sejarah obat pasien telah
benar-benar dimengerti oleh dokter dan perawat. Apoteker
harus memiliki keterampilan dalam pengambilan sejarah
obat berdasarkan dua alasan dari sudut pandang penyediaan
informasi obat, yaitu:
1) Untuk memberi apoteker pengertian yang lebih baik
tentang permintaan informasi sebenarnya dengan
keadaan permintaan, agar apoteker dapat mencari dan
menyediakan jawaban.
2) Untuk memungkinkan apoteker menyajikan jawaban
yang lebih berguna dan sesuai untuk keadaan klinik
tertentu.
 Pencarian secara sistemik
Pada dasarnya, dalam suatu pencarian sistemik,
apoteker harus berusaha memperoleh jawaban dalam
referensi acuan tersier terlebih dahulu. Jawaban biasanya
dapat diperoleh, tetapi jika jawaban tidak dapat, apoteker
bergerak ke langkah berikutnya.
Pencarian informasi secara sistematik dapat
meminimalkan kesempatan melalaikan sumber penting dan
kehilangan perspektif. Masalah ini dapat terjadi terutama
pada apoteker tanpa pengalaman praktid atau tanpa
ketrampilan klinik lanjutan. Tanpa menghiraukan
pengalaman, biasanya apoteker dapat memperoleh manfaat
dari membaca pendahuluan atau latar belakang persiapan,
terutama jika apoteker tidak memahami pertanyaan
(Fitriana, dkk, 2017).

M. Metode Menjawab Pertanyaan Informasi


Pada umumnya, ada dua jenis metode utama untuk menjawab
pertanyaan informasi, yaitu komunikasi lisan dan tertulis. Apoteker, perlu
memutuskan kapan suatu jenis dari metode itu digunakan untuk
menjawab lebih tepat daripada yang lain. Dalam banyak situasi klinik,
jawaban oral biasanya diikuti dengan jawaban tertulis.
1) Jawaban tertulis
Jawaban tertulis merupakan dokumentasi informasi
tertentu yang diberikan kepada penanya dan menjadi suatu
rekaman formal untuk penanya dan responden. Keuntungan dari
format tertulis adalah memungkinkan penanya untuk membaca
ulang informasi jawaban tersebut dan secara pelan-pelan
mengintepretasikan jawaban tersebut. Komunikasi tertulis juga
memungkinkan apoteker untuk menerangkan sebanyak mungkin
informasi dalam keadaan yang diinginkan tanpa didesak penanya.
Jawaban tertulis dapat mengakomodasi tabel, grafik, dan peta
untuk memperlihatkan data secara visual.
2) Jawaban lisan (oral)
Setelah ditetapkan bahwa jawaban lisan adalah tepat,
apoteker perlu memutuskan jenis metode jawaban lisan yang
digunakan. Ada dua jenis metode menjawab secara lisan, yaitu
komunikasi tatap muka dan komunikasi telepon. Komunikasi
tatap muka lebih disukai, jika apoteker mempunyai waktu dan
kesempatan untuk mendiskusikan temuan informasiobat dengan
penanya (Fitriana, dkk, 2017).

N. Kategori Pelayanan Informasi Obat


o Menjawab pertanyaan spesifik yang diajukan melalaui telpon,
surat atau tatap muka,
o Menyiapkan materi brosur atau leflet informasi obat (pelayanan
cetak ulang atau re print),
o Konsultasi tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan
obat, konsep-konsep obat yang sedang dalam penelitian atau
peninjauan penggunaan obat-obatan,
o Mendukung kegiatan panitia farmasi terapi dalam menyusun
formularium rumah sakit dan meninjau terhadap obat-obat baru
yang diajukan untuk masuk dalam formularium rumah sakit
(fitriana, dkk, 2017).

Menurut Supardi Sudibyo, (2012) kategori PIO meliputi:


1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan).
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi.
5. Melakukan penelitian penggunaan Obat.
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
7. Melakukan program jaminan mutu (Supardi Sudibyo,2012).

O. Teknis Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Tahapan pelaksanaan PIO meliputi:
1) Apoteker Instalasi Farmasi menerima pertanyaan lewat telepon,
pesan tertulis atau tatap muka.
2) Mengidentifikasi penanya nama, status (dokter, perawat, apoteker,
asisten apoteker, pasien/keluarga pasien, dietisien, umum), asal
unit kerja penanya
3) Mengidentifikasi pertanyaan apakah akan diterima, ditolak atau
dirujuk ke unit kerja terkait
4) Menanyakan secara rinci data/informasi terkait pertanyaan
5) Menanyakan tujuan permintaan informasi (perawatan pasien,
pendidikan, penelitian, umum)
6) Menetapkan urgensi pertanyaan
7) Melakukan penelusuran secara sistematis, mulai dari sumber
informasi tersier, sekunder, dan primer jika diperlukan
8) Melakukan penilaian (critical appraisal) terhadap jawaban yang
ditemukan dari minimal 3 (tiga) literatur.
9) Memformulasikan jawaban
10) Menyampaikan jawaban kepada penanya secara verbal atau tertulis
11) Melakukan follow-up dengan menanyakan ketepatan jawaban
12) Mendokumentasikan kegiatan yang dilaksanakan dan mencatat
waktu yang diperlukan untuk menyiapkan jawaban (Apriansyah,
2017).

P. Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat


Setelah terjadi interaksi antara penanya dan pemberi jawaban,
maka kegiatan tersebut harus didokumentasikan. Manfaat dokumentasi
adalah:
 Mengingatkan apoteker tentang informasi pendukung yang
diperlukan dalam menjawab pertanyaan dengan lengkap.
 Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa
 Catatan yang mungkin akan diperlukan kembali oleh penanya
 Media pelatihan tenaga farmasi
 Basis data penelitian, analisis, evaluasi, dan perencanaan layanan.
 Bahan audit dalam
melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat
(fitriana, dkk, 2017).

Q. Evaluasi Kegiatan
Evaluasi ini digunakan untuk menilai atau mengukur keberhasilan
pelayanan informasi obat itu sendiri dengan cara membandingkan tingkat
keberhasilan sebelum dan sesudah dilaksanakan pelayanan informasi
obat.
Untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan
informasi obat, indikator yang dapat digunakan antara lain:
 Meningkatkan jumlah pertanyaan yang diajukan,
 Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab,
 Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan,
 Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leflet,
buletin, ceramah),
 Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan
tingkat kesulitan,
 Menurunnya keluhan atas pelayanan (Fitriana, dkk, 2017).
Daftar Pustaka
Adityawati, Rina, dkk, 2016. Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Pada Pasien
Rawat Jalan Di Instalasi Farmasi Puskesmas Grabag I. Jurnal Farmasi Sains
dan Praktis, Vol. I, No. 2

Apriansyah, A. 2017. Kajian PIO Di Apotek Wilayah Kota Tangerang Selatan,


Jakarta. Jakarta: Universitas Islam Syarif Hidayatullah.

Athiyah, Umi, 2014. Profil Informasi Obat Pada Pelayanan Resep Metformin Dan
Glibenklamide Di Apotek Di Wilayah Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas
Surabaya.

Cindy, C, 2019. Gambaran Pemberian Informasi Obat Pada Pasien Rawat Jalan
Puskesmas Kec. Sekincau Kab. Lampung Barat Periode Mei Tahun 2019.
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang.

Diana, Khusnul, dkk, 2019. Pelaksaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Palu. Palu: Universitas Tadulaku.
Ekadipta, dkk, 2019. Kualitas Pemberian Informasi Obat pada Pelayanan Resep
Berdasarkan Kepuasan Pasien BPJS Puskesmas Kecamatan Cilandak.
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 16 No. 02

Fitriana, E hidayatul, Lutfi A, dkk, 2017. Pelayana Informasi Obat dan Konseling.
Stikes Bhakti Mandala Husada Slawi, Tegal.

Herman, JM, dkk, 2013. Kajian Praktik Kefarmasian Apoteker pada Tatanan
Rumah Sakit. Bandung: Institute Teknologi Bandung

Kementrian Kesehatan RI, 2014. Peraturan Mentri Kesehatan Indonesia Nomor


30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta: Mentri Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI, 2014. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
Nomer 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Mentri Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI, 2016. Peraturan Mentri Kesehatan Indonesia Nomer
74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayana Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta: Mentri Kesehatan RI.

Novitasari, Aditya, 2016. Evaluasi pelayanan Informasi Obat pada Pasien dan
Instalasi Farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Payung, E Allo, Septiani Mambella, 2018. Pengaruh Usia Dan Tingkat Pendidikan
Terhadap Pemahaman Pasien Setelah Pelayanan Informasi Obat Di
Puskesmas Makale Kabupaten Tana Toraja Tahun 2018. Media Farmasi
Vol. XV No. 2.

Retty Kusumawati, 2012. Skripsi “Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan
Terhadap Pelayanan Informasi Obat Di Instalasi Farmasi Rs Slamet Riyadi
Periode Maret-Mei 2011”. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Rikomah, Setya E, 2018. Farmasi Klinik (ebook)

Silvia, I. 2017. Pelayanan Informasi Obat. Bandung.


Sri Yani, 2015. Pengaruh Media Informasi Obat Terhadap Keterlibatan Pasien.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Supardi Sudibyo. 2012. Kajian Peraturan Per-UU Tentang Pemberian Informasi


Obat Dan Obat Tradisional Di Indonesia. Cianjur.

Tumiwa, Paulina, dkk, 2014. Pelayanan Informasi Obat Terhadap Kepatuhan


Minum Obat Pasien Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rsup Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 3 No. 3.

Widyasusanti Abdulkadir, 2011. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi


Obat Bagi Pasien Pengguna Produk Antasida di Apotek Kota Gorontalo.
Jurnal Health And Sport Vol 2. No 1.

Anda mungkin juga menyukai