Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara mengenai perkembangan dunia kefarmasian Sejak dulu sampai
sekarang yakni sejak zaman drug oriented ke patient oriented. Perkembangan
dunia kefamasian diawali dengan pekerjaan kefarmasian diapotik yaitu sebagai
peracik obat dan supplier sediaan farmasi. Selama 4 dekade pekerjaan
kefarmasian berlangsung seperti itu, sampai lambat laun menuju kearah yang
lebih terarah yakni sebagai pemberi pelayanan, informasi dan kepedulian terhadap
pasien. Ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang
layak, lebih efektif dan seaman mungkin serta memuaskan pasien. Dengan
mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat pasien individual,
apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan serta
kualitas hidup pasien.
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian dan tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan
kefarmasian mengharuskan adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian
dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif
(pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi
untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring
penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error).
Pengertian pharmaceutical care menurut European Directorate for the
quality of medicines and health care (2012) sebuah filosofi dan cara kerja untuk
profesional dalam rantai pengobatan yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan kebaikan dan keamanan penggunaan obat untuk hasil terapi yang
terbaik. Sasaran pelayanan farmasi adalah meningkatkan mutu kehidupan seorang

1
pasien, melalui pencapaian hasil terapi yang optimal terkait dengan obat. Hasil
yang diusahakan dari pelayanan farmasi adalah kesembuhan pasien, peniadaan
atau pengurangan gejala, menghentikan atau memperlambat suatu proses
penyakit, pencegahan suatu penyakit atau gejalanya (Siregar, 2004).
Bentuk implementasi pharmaceutical care pada pasien rawat jalan adalah
berupa Pengkajian resep/screening resep, PIO, pencatatan penggunaan obat (PPO)
dan konseling, Penelusuran riwayat penggunaan obat, leaflet, edukasi sedangkan
untuk pasien rawat inap pengkajian resep/screening resep, PIO, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat, edukasi dan visite pasien.
Salah satu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
tersebut adalah melalui pelayanan kefarmasian di rumah yaitu pelayanan kepada
pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok pasien lanjut usia,
pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu lama seperti penggunaan
obat-obat kardiovaskuler, diabetes, TB, asma dan obat-obat untuk penyakit kronis
lainnya. Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker diharapkan dapat
memberikan pendidikan dan pemahaman tentang pengobatan dan memastikan
bahwa pasien yang telah berada di rumah dapat menggunakan obat dengan benar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pharmaceutical care ?
2. Apa perbedaan pharmaceutical care dulu dan sekarang ?
3. Apa kendala pelaksanaan pharmaceutical care di Indonesia dan negara
lain ?
4. Apa yang harus di kuasai oleh tenaga farmasi untuk menjalankan
pharmaceutical care?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan pharmaceutical
care
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa perbedaan pharmaceutical care dulu
dan sekarang
3. Mahasiswa dapat mengetahui kendala pelaksanaan pharmaceutical care
di Indonesia dan negara lain

2
4. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang harus di kuasai oleh tenaga
farmasi untuk menjalankan pharmaceutical care
1.4 Manfaat
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan
pharmaceutical care
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui apa perbedaan pharmaceutical care
dulu dan sekarang
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui kendala pelaksanaan pharmaceutical
care di Indonesia dan negara lain
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang harus di kuasai oleh
tenaga farmasi untuk menjalankan pharmaceutical care

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian pharmaceutical care
Pharmaceutical Care merupakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi
langsung kepada pasien, meliputi semua aktifitas apoteker yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah terapi pada pasien yang berkaitan dengan obat. Proses
Pharmaceutical Care meliputi assesmen, penyusunan rencana pelayanan
kefarmasian, implementasi dan monitoring (Annes, 2022).
Pharmaceutical care menurut European Directorate for the quality of
medicines and health care (2012) sebuah filosofi dan cara kerja untuk profesional
dalam rantai pengobatan yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kebaikan
dan keamanan penggunaan obat untuk hasil terapi yang terbaik.
Pharmaceutical care (PC) adalah program yang berorientasi kepada
pasien yang bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam promosi
kesehatan, mencegah penyakit, menilai, memonitor, merencanakan dan
memodifikasi pengobatan untuk menjamin rejimen terapi yang aman dan efektif
(Syaripuddin, 2013).
2.1.2 Tujuan Pelayanan Farmasi
Tujuan dari Pharmaceutical care adalah mengoptimalkan kualitas hidup
pasien dan nilai positif hasil klinik yang ingin dicapai dengan cara mengatasi
masalah yang berkaitan dengan pengobatan sebaik mungkin beberapa hambatan
yang mungkin dihadapi dalam melakukan PC yaitu kurangnya waktu dan jumlah
tenaga apoteker, kurang terlatihnya apoteker dalam melakukan pelayanan PC,
kurangnya dukungan administrasi, kurangnya penerimaan tenaga kesehatan
lainnya tentang pelayanan PC dan kurangnya sistem dokumentasi yang memadai
(Syaripuddin, 2013).
Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien,

4
pelayanan kefarmasian memiliki fungsi/ tujuan antara lain, menyediakan
informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, memantau
penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan
dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan, menyediakan
bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien, menyediakan
dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit
kronis, dan berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat
darurat.
2.1.3 Pelayanan kefarmasian dulu dan sekarang
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang
menjadi kebutuhan dasar masyarakat dimana setiap individu pernah merasakan
sakit sehingga secara otomatis akan membutuhkan pelayanan kesehatan untuk
menyembuhkan sakitnya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelayanan kesehatan adalah setiap
upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok dan ataupun masyarakat. Salah satu komponen penting yang
ketersediaannya berpengaruh dalam keberhasilan penyelenggaraan upaya
pelayanan kesehatan adalah sistem kefarmasian. Pelayanan kefarmasian
merupakan salah satu kegiatan yang menunjang pelayanan kesehatan yang
bermutu.
Menurut Adhan, (2015) fokus profesi apoteker pada era kini telah beralih
dari “drug oriented” (pelayanan obat) menjadi “pharmaceutical care” (pelayanan
pasien). Pada prinsip drug oriented, apoteker cenderung kerja di balik layar, yakni
meracik dan menyuplai sediaan farmasi. Namun, pada prinsip pharmaceutical
care, apoteker bukan hanya terfokus kepada obat, namun lebih terarah yakni
pemberian pelayanan, informasi, dan kepedulian terhadap pasien. Dengan sistem
seperti ini diharapkan masyarakat dapat lebih mengenal peran apoteker dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya

5
berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan
komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Praktik kefarmasian
dilakukan berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek, yang ditetapkan
sebagai acuan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek (Susi.,dkk, 2017)
2.1.4 Karateristik Pharmaceutical care
Menurut Vira (2019), Pharmaceutical care memiliki beberapa karateristik
antara lain:
1. Hubungan professional dibangun dan dijaga
2. Informasi medis yang spesifik tentang pasien dikumpulkan dengan tertata,
direkam dan dijaga
3. Informasi medis yang spesifik tentang pasien dievaluasi
4. Rencana terapi obat dibuat bersama pasien
5. Apoteker harus memastikan pasien telah mendapatkan semua informasi
dan pengetahuan untuk melakukan pengobatan
6. Apoteker harus meninjau, memonitor, dan memodifikasi rencana terapetik
yang tepat dan diperlukan
2.1.5 Kendala penghambat pelaksanaan pelayanan kefarmasian
Menurut Trifena, (2012) Kendala-kendala yang menjadi penghambat
dalam terlaksananya pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien yaitu
1. Beban kerja yang banyak,
2. Persediaan obat yang tidak memadai
3. Kurangnya tenaga farmasi yang melayani,
4. Tidak ada petunjuk pasti tentang bagaimana melakukan kegiatan ini
5. Komunikasi dengan dokter/tenaga kesehatan lainnya yang kurang,
6. Akibat pasien yang selalu bergonta-ganti apotek,
7. Pasien yang tidak datang sendiri sehingga sulit melakukan konseling
pelayanan kefarmasian.
Sedangkan Menurut Supardi dkk, (2012) bahwa pada umumnya apoteker
pengelola apotek telah mengetahui dan mempunyai dokumen standar pelayanan

6
kefarmasian di apotek (SPKA), tetapi pelaksanaanmya belum baik. Hal ini karena
keterbatasan kemampuan apoteker dalam farmasi klinis dan ilmu manajemen,
sehingga dibutuhkan materi pelatihan untuk melaksanakan SPKA mencakup ilmu
kefarmasian dan ilmu manajemen.
2.1.6 Penerapan Phamaceutical Care pada Pelayanan Kesehatan
Pharmaceutical care (PC) adalah program yang berorientasi kepada
pasien yang bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam promosi
kesehatan, mencegah penyakit, menilai, memonitor, merencanakan dan
memodifikasi pengobatan untuk menjamin rejimen terapi yang aman dan efektif
(Syaripuddin, 2013).
Pelayanan farmasi menjadi salah satu pelayanan yang berorientasi dan
bersinggungan langsung dengan pasien. Dengan diterapkannya pelayanan farmasi
klinik di rumah sakit maka secara tidak langsung pelayanan yang diberikan
apoteker kepada pasien akan meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat. Sehingga tujuan dari keselamatan
pasien (patient safety) dan kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Rusli,
2016). Oleh karena itu, perlu dilakukan kesesuaian standar pelayanan farmasi
untuk menciptakan pelayanan yang bermutu dan berkualitas.
Sebagai contoh, Apoteker juga dapat berperan secara aktif dalam
penatalaksanaan terapi seperti pada kasus hipertensi melalui pelayanan
pharmaceutical care (PC) . dimana langkah-langkah yang harus dilakukan
seorang apoteker dalam pharmaceutical care PC adalah : assesmen, penyusunan
rencana pelayanan kefarmasian, implementasi dan monitoring. Dalam melakukan
assesmen hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya masalah
yang berkaitan dengan obat atau Drug Related Problem (DRP) (Galih, 2019).
Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan standar pelayanan
kefarmasian, antara lain penelitian oleh Restriyani (2016) tentang persepsi dokter
dan perawat tentang peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang mengindikasikan bahwa
karakteristik usia, lamanya masa kerja dan interaksi dengan ahli farmasi

7
mempengaruhi persepsi dokter dan perawat dalam pelaksanaan pelayanan farmasi
klinis. Penelitian dari Amaranggana (2017) tentang pelayanan informasi obat yang
efektif dari beberapa negara untuk meningkatkan pelayanan farmasi klinik
memaparkan kondisi pelayanan kefarmasian terutama dalam bidang pelayanan
informasi obat di berbagai negara guna memberikan solusi PIO yang efektif untuk
diterapkan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baru sekitar 14%
Rumah Sakit yang dimonitoring telah melakukan Pelayanan Informasi Obat (PIO)
yang sesuai, 42% Rumah Sakit yang baru sebagian menerapkan PIO, dan sekitar
44% Rumah Sakit belum menerapkan PIO sehingga penelitian ini perlu
ditindaklanjuti dengan penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit secara spesifik.

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pengertian pharmaceutical care menurut European Directorate for the
quality of medicines and health care (2012) sebuah filosofi dan cara kerja
untuk profesional dalam rantai pengobatan yang bertujuan untuk
membantu meningkatkan kebaikan dan keamanan penggunaan obat untuk
hasil terapi yang terbaik. Sasaran pelayanan farmasi adalah meningkatkan
mutu kehidupan seorang pasien, melalui pencapaian hasil terapi yang
optimal terkait dengan obat. Hasil yang diusahakan dari pelayanan farmasi
adalah kesembuhan pasien, peniadaan atau pengurangan gejala,
menghentikan atau memperlambat suatu proses penyakit, pencegahan
suatu penyakit atau gejalanya (Siregar, 2004).
2. Berbicara mengenai perkembangan dunia kefarmasian Sejak dulu sampai
sekarang yakni sejak zaman drug oriented ke patient oriented.
Perkembangan dunia kefamasian diawali dengan pekerjaan kefarmasian
diapotik yaitu sebagai peracik obat dan supplier sediaan farmasi. Selama 4
dekade pekerjaan kefarmasian berlangsung seperti itu, sampai lambat laun
menuju kearah yang lebih terarah yakni sebagai pemberi pelayanan,
informasi dan kepedulian terhadap pasien.
3. Salah satu kemunduran utama dalam praktik Pelayanan Kefarmasian di
lingkungan kita adalah kurangnya standar yang jelas yang harus dipatuhi
oleh apoteker dalam praktik sehari-hari mereka. Penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui tantangan penerapan pelayanan kefarmasian di apotek
komunitas dan rumah sakit di negara maju. Sikap apoteker seperti
kurangnya pemahaman konsep, miskonsepsi seperti keengganan pasien

9
membayar, takut berganti peran dan kurangnya motivasi
pribadi; kurangnya pengaturan yang tepat seperti kurangnya area
konseling dan tidak tersedianya ruang di tempat untuk berkonsultasi
dengan pasien merupakan salah satu dari banyak kendala yang
diidentifikasi di belahan dunia lain di mana praktik PC telah diterima,
namun tidak banyak yang dilakukan di Nigeria.
4. Tenaga kefarmasian dituntut untuk mampu memastikan obat yang
diberikan kepada pasien dikonsumsi secara rasional oleh pasien untuk
pendukung keberhasilan pengobatan pasien.
Konsekuensi dari terbitnya peraturan ini adalah perlunya keterampilan
dasar pelayanan di luar keahlian dasar kefarmasian yang harus dikuasai
oleh tenaga kefarmasian. Keterampilan dasar (soft skill) yang harus
dimiliki oleh tenaga kefarmasian adalah kemampuan untuk berkomunikasi
dengan pasien. (Sim et al., 2020).
3.2 Saran
Dari uraian makalah ini disarankan kepada para pembaca khususnya
mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah yang terkait dengan isi
makalah ini agar sebaiknya mencari literatur lain baik dari beberapa
referensi buku maupun internet agar materi ini dapat dikembangkan lebih
luas dengan harapan wawasan dapat bertambah mengenai pharmaceutical
care.

10

Anda mungkin juga menyukai