Penduduk suatu negara dikatakan berkualitas tinggi apabila tingkat kesehatannya juga tinggi. Sebaliknya, apabila tingkat kesehatannya rendah, kualitas penduduknya juga dinilai rendah. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat kesehatan penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Rendahnya tingkat kesehatan penduduk ini, antara lain dipengaruhi oleh faktor makanan, lingkungan, dan ketersediaan tenaga medis yang bermutu. Tingkat kesehatan penduduk suatu negara dapat dinilai dari tinggi rendahnya angka kematian kasar, angka kematian bayi, dan umur harapan hidup. Tingkat kesehatan penduduk dikatakan tinggi apabila angka kematian kasar dan angka kematian bayinya rendah, namun memiliki umur harapan hidup yang tinggi. Kesehatan meruapakan keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Setiap manusia bahkan mahkluk hidup secara umum, menginginkan kehidupan dengan disertai kesehatan pada dirinya. Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak negara yang mengalami keterpurukan dalam bidang kesehatan. Bukan tanpa alasan, banyak faktor pula yang menyebabkan hal ini menjadi masalah serius bangsa ini. Beragam upaya yang dilakukan untuk menanggulangi persoalan ini, baik dari segi sumber daya manusianya bahkan hingga pada fasilitas pelayanan kesehatan yang kini masih digencarkan. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang masih terus diperhatikan keberadaannya adalah apotek. Apotek merupakan suatu tempat untuk melaksanakan kegiatan praktik kefarmasian yang dimaksudkan untuk membenahi masalah kesehatan dengan menyediakan sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, hingga kosmetika. Setiap orang yang mengelola apotek seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merupakan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pada saat ini, apotek di Indonesia meningkat secara kuantitasnya baik secara luas maupun di daerah pelosok terpencil. Hal ini lagi-lagi dimaksudkan untuk memperbaiki kesehatan penduduk Indonesia sekaligus sebagai profesi yang menjanjikan namun tetap berorientasi kepada keperluan masyarakat mayoritas. Seberti biasa, ada kemajuan maka ada pula kemunduran. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak apotek yang bermunculan semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi. Hal ini menjadi sorotan di tengah permasalahan kesehatan yang ingin dibenahi tersebut. Sangat jelas ini menjadi masalah yang juga tidak kalah serius karena apabila tenaga medis yang tidak berkompeten atau seseorang atau sekelompok orang yang bukan tenaga medis melakukan praktik kesehatan maka hal ini dikhawatirkan akan mengancam atau bahkan dapat membahayakan keselamatan dari pasien. Begitu juga apabila fasilitas yang diperlukan tidak memadai, maka hal ini akan menghambat tujuan utama dari setiap upaya kesehatan yang dilaksanakan. Oleh sebab itu, penulis akan melakukan studi kasus yang berupa penelitian di suatu apotek yang terdapat di Kota Palangkaraya yang akan digunakan sebagai kajian dan pembelajaran untuk memajukan tenaga kesehatan itu sendiri. Rumah sakit merupakan organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan pelayanan administrasi. Kegiatan pelayanan rumah sakit yang diberikan kepada masyarakat dan pelayanan administrasi, antara lain kegiatan promotif, kuratif, preventif, dan rehabilitatif (Shofari, 2002), dimana setiap rumah sakit selalu berupaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada pasien. Untuk mencapai hal tersebut, maka pengambilan keputusan dalam organisasi rumah sakit memerlukan informasi yang akurat, tepat waktu, dapat dipercaya, masuk akal dan mudah dimengerti dalam berbagai keperluan pengelolaan rumah sakit, dalam menghadapi era globalisasi yang akan memasuki semua bidang termasuk bidang kesehatan, maka rumah sakit perlu mempersiapkan pelayanan agar mampu bersaing dengan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, khususnya pada mutu pelayanan rekam medis. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien . Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan perubahan informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah. Oleh sebab itu, apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional . Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peresepan yang salah, informasi yang tidak lengkap tentang obat, baik yang diberikan oleh dokter maupun apoteker, serta cara penggunaan obat yang tidak benar oleh pasien dapat menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pasien yang juga dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kerugian yang dialami pasien mungkin tidak akan tampak sampai efek samping yang berbahaya. Kerugian tersebut seperti tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan. Karena itu perlu diberikan perhatian yang cukup besar untuk mengantisipasi dan atau mengatasi terjadinya kesalahan peresepan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan studi kasus ? 2. Apa contoh studi kasus pada uu no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan uu no. 36 tahu 2014 tentang tenaga kesehatan ? 3. Apa contoh studi kasus pada pp no.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian ? 4. Apa contoh studi kasus permenkes no. 73 tahun 2016 dan permenkes 1332 tahun 2002 tentang perapotekan ? 5. Apa contoh studi kasus permenkes no. 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit ? 6. Apa contoh studi kasus tentang permenkes no. 3 tahun 2015, uu no 35 tahu 2009 dan uu no.5 tahun 1997 tentang peraturan narkotika, psikotropika dan prekursor ?
1.3 Tujuan Untuk mengetahui kasus – kasus dalam kefarmasian dan dapar mengetahui solusi untuk menanganin kasus tersebut.