Anda di halaman 1dari 13

JNPH

Volume 10 No. 2 (Oktober 2022)


© The Author(s) 2022

ANALISA PRAKTIK SWAMEDIKASI DI KOTA BENGKULU

ANALYSIS OF SELF-MEDICATED PRACTICES IN BENGKULU CITY

AVRILYA IQORANNY SUSILO, RESVA MEINISASTI


PRODI FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
BENGKULU, BENGKULU, INDONESIA
Email: ranny.bengkulu@gmail.com

ABSTRAK

Praktik swamedikasi merupakan praktik penggunaan obat-obatan pada seseorang untuk


mengobati gejala atau gangguan kesehatan yang didiagnosis sendiri atau berdasarkan keluhan
gejala yang pernah dirasakan di masa lampau. Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lebih
dari 60% masyarakat di Indonesia melakukan pengobatan sendiri. Praktik swamedikasi ini jika
dilakukan dengan benar dapat mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan kesehatan di
sarana pelayanan kesehatan. Akan tetapi, praktik swamedikasi yang dilakukan tidak tepat dapat
menimbulkan resiko tidak tercapainya efek kesembuhan yang diinginkan pasien. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan
praktik swamedikasi di masyarakat Kota Bengkulu. Penelitian deskriptif ini menggunakan
desain cross sectional dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling.
Berdasarkan perhitungan jumlah sampel, diperoleh sebanyak 200 responden di Kota Bengkulu
yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data dilakukan dengan analisa univariat dan bivariat
dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf signifikasi (0,05). Dari hasil analisa
univariat diperoleh distribusi demografi responden berusia antara 20-39 tahun (54,5%),
berjenis kelamin wanita (64%) dan sudah menikah (77,5%). Dalam aspek pelayanan kesehatan,
kepemilikan asuransi kesehatan (83%). Praktik swamedikasi dilakukan untuk mengatasi
keluhan nyeri (22%), alasan melakukan swamedikasi karena penyakit yang dialami kategori
ringan (41,5%), jangka waktu keluhan sakit yang dirasakan yaitu kurang dari 3 hari (77,5%),
tingkat keparahan sakit yang dirasakan ringan (76%), jangka waktu penggunaan obat 1-3 hari
(77%), sumber informasi obat yang digunakan adalah dari resep dokter (38,5), sumber
informasi pemakaian obat adalah tenaga farmasi di apotik (68,5), rata-rata kunjungan ke apotek
dalam 1 bulan adalah 1 kali (43%) dan tempat memperoleh obat selain di apotek adalah toko
obat (63%). Hasil analisis hubungan antara variabel dependen dan variabel independen
diperoleh hasil bahwa ada hubungan variabel umur (p=0,03), jenis kelamin (p=0,043) dan
keparahan penyakit (p=0,014) dengan praktek swamedikasi di Kota Bengkulu. Sedangkan
variabel Status Pernikahan, pendidikan, pekerjaan, jarak rumah, lama sakit, kepemilikan BPJS,
lama penggunaan obat menunjukkan tidak ada hubungan dengan praktek swamedikasi di Kota
Bengkulu.

242 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
Kata Kunci: Swamedikasi, Apotek, Kota Bengkulu

ABSTRACT

Intoduction: The practice of self-medicating is the practice of using drugs in a person to treat
symptoms or health disorders that are self-diagnosed or based on complaints of symptoms that
have been felt in the past. The Central Statistics Agency shows that more than 60% of people in
Indonesia are self-medicated. This self-medicated practice, if done correctly, can reduce the
burden on the government in health services in health care facilities. However, improper self-
medicated practices can pose a risk of not achieving the desired healing effect of the patient.
The purpose of this study is to determine the factors behind the implementation of self-
medicating practices in the people of Bengkulu City. This descriptive research uses a cross-
sectional design with purposive sampling techniques. Based on the calculation of the number
of samples, as many as 200 respondents were obtained in Bengkulu City who met the inclusion
criteria. Data analysis was carried out by univariate and bivariate analysis using the Chi Square
test with a signification level (0.05). From the results of the univariate analysis, the
demographic distribution of respondents aged between 20-39 years (54.5%), female (64%) and
married (77.5%). In the aspect of health services, health insurance ownership (83%). Self-
medicating practices are carried out to overcome pain complaints (22%), the reason for self-
medicating is due to diseases experienced in the mild category (41.5%), jthe time of complaints
of pain felt is less than 3 days (77.5%), the severity of the pain felt mildly (76%), the period of
drug use is 1-3 days (77%), the source of information on the drugs used is prescribed by
adoctor (38.5%), sumber information on drug use is tenaga pharmacy in pharmacies (68.5), the
average visit to the pharmacy in 1 month is 1 time (43%) and the place to obtain drugs other
than in pharmacies is the drugstore (63%). The results of the analysis of the relationship
between the dependent variable and the independent variable obtained the result that there was
a relationship between the age variable (p = 0.03), sex (p = 0.043) and disease severity (p =
0.014) with self-medicating practices in Bengkulu City. Meanwhile, the variables of Marital
Status, education, occupation, distance from home, length of illness, ownership of BPJS, length
of drug use showed no relationship with self-medicated practice in Bengkulu City.

Keywords: Swamedication, Pharmacy, Bengkulu City

PENDAHULUAN pusat layanan kesehatan. Seiring dengan


kemudahan memperoleh informasi pada
Praktik swamedikasi merupakan praktik masyarakat di negara-negara berkembang,
penggunaan obat-obatan pada seseorang praktik swamedikasi pada keluhan penyakit
untuk mengobati gejala atau gangguan yang dirasakan masyarakat juga semakin
kesehatan yang didiagnosis sendiri atau meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan
berdasarkan keluhan gejala yang pernah dalam suatu studi, 84,1% dinyatakan
dirasakan di masa lampau. Tindakan ini melakukan swamedikasi dan obat yang
dilakukan seseorang untuk mengatasi digunakan dalam swamedikasi paling sering
masalah kesehatan pada dirinya dengan berasal dari obat tanpa resep (OTC) yang
menggunakan obat-obatan yang dapat dibeli di Apotek (50,5%).
dikonsumsi tanpa pengawasan dari Dokter. Sebagian besar masyarakat yang
Pada sebagian besar negara swamedikasi melakukan praktik swamedikasi memiliki
umum dilakukan untuk masalah kesehatan beberapa alasan memilih swamedikasi
ringan karena merupakan solusi yang murah, dibanding berobat ke Dokter, antara lain
cepat dan nyaman tanpa perlu datang ke mereka merasa penyakitnya tidak cukup

243 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
parah untuk dibawa ke Dokter (45%), tidak tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan
merasa kesulitan untuk antri ke Dokter akan mengurangi khasiat dari obat yang
(23%), tidak memiliki waktu ke Dokter digunakan dan bahkan membahayakan bagi
(12%) dan tidak mau membayar biaya penggunanya. Pada umumnya mereka hanya
pengobatan Dokter yang mahal (15%). menduga dan mencocokkan gejala yang
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dirasakan untuk melakukan swamedikasi
praktik swamedikasi di setiap daerah yang terkadang belum tentu benar diagnosis
berbeda-beda seperti usia, jenis kelamin, penyakit yang diderita. Penggunaan obat
pendapatan, biaya, orientasi perawatan diri, rasional sangat diperlukan dalam
tingkat pendidikan dan pengetahuan medis. penggunaan obat. Penggunaan obat agar
Obat-obat yang banyak dibeli oleh mendapatkan efek terapi yang diinginkan
masyarakat dalam praktik swamedikasi harus memenuhi persyaratan Tepat Pasien,
antara lain obat analgetik, obat antiinflamasi, Tepat Indikasi, Tepat Obat, Tepat Dosis,
obat antipiretik dan obat antihistamin yang Tepat Rute Pemberian, Tepat Waktu
merupakan obat-obat untuk keluhan ringan, Pemberian, dan Tepat Lama Pemberian.
umum dan tidak akut yang dialami Tepat pasien, obat yang digunakan harus
masyarakat. benar-benar tepat penggunaanya. Belum
Tidak semua obat-obatan boleh tentu obat yang cocok digunakan oleh
digunakan untuk praktik swamedikasi. Obat- seseorang akan cocok juga ketika akan
obat yang boleh digunakan yaitu obat OTC diberikan kepada orang lain walaupun
(Over The Counter) atau obat tanpa resep dengan keluhan penyakit yang hampir sama.
Dokter yang terdiri dari obat bebas dan obat Tepat indikasi, obat yang digunakan harus
bebas terbatas. Selanjutnya obat OWA (Obat benar-benar tepat untuk indikasi penyakit
Wajib Apotek) yaitu obat keras yang dapat yang sedang dialami bukan karena hanya
dibeli di Apotek tanpa resep dari Dokter, merasakan kesamaan dengan indikasi
tatapi penyerahannya harus langsung oleh penyakit orang lain atau yang dilihat melalui
Apoteker dengan disertai informasi secara media iklan. Tepat obat, pilihan obat yang
lengkap tentang penggunaan obat tersebut, digunakan harus tepat untuk mengatasi
serta suplemen makanan seperti vitamin indikasi penyakit yang dialami. Tepat dosis,
boleh digunakan untuk swamedikasi. dalam penggunaan obat dosis yang
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan digunakan harus sesuai dengan usia, berat
Republik Indonesia, kriteria obat yang badan dan kondisi fisiologis dari seseorang.
diperbolehkan untuk praktik swamedikasi Karena dosis yang digunakan akan sangat
adalah obat yang tidak dikontraindikasikan mempengaruhi khasiat dari obat yang
pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 digunakan. Tepat rute pemberian, obat yang
tahun dan orang tua di atas 65 tahun, obat digunakan harus benar cara pemakaiannya.
tidak memberikan resiko lebih lanjut Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh
terhadap penyakitnya, dalam penggunaan masyarakat dalam praktik swamedikasi.
obat tidak memerlukan cara atau alat khusus Untuk itu diperlukan pengetahuan dan
dengan bantuan tenaga kesehatan seperti informasi yang lengkap dalam pemakaian
injeksi, memiliki resiko efek samping obat oleh seseorang yang melakukan praktik
minimal, dapat dipertanggung jawabkan swamedikasi. Tepat waktu pemberian, dalam
khasiatnya untuk pengobatan sendiri. penggunaan obat ada aturan tertentu terkait
Adanya peningkatan praktik waktu pemberian obat agar obat dapat
swamedikasi dalam masyarakat harus memiliki khasiat yang diharapkan. Tepat
diimbangi dengan penggunaan obat secara lama pemberian, ada obat-obat yang bisa
rasional. Keterbatasan pengetahuan dan digunakan selama gejala penyakit itu masih
kurang lengkapnya informasi tentang obat ada tetapi ada juga yang harus dihabiskan
yang dibeli secara bebas dan digunakan walaupun gejala penyakit sudah hilang

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 244


seperti antibiotik. Faktor-faktor inilah yang Studi lain yang dilakukan di Jerman
tidak dapat diabaikan ketika seseorang menyebutkan bahwa 6887 pasien yang
melakukan praktik swamedikasi tanpa dirawat di Rumah Sakit menunjukkan 266
adanya pendampingan atau pengawasan dari (3,9%) diakibatkan oleh penggunaan
tenaga kesehatan. Untuk itu diperlukan swamedikasi dan 143 (53,8%) dari pasien ini
pengetahuan dan tingkat kesadaran yang diakibatkan efek samping dari swamedikasi
tinggi dalam melakukan praktik obat OTC. Efek samping yang dirasakan
swamedikasi. sebagian besar merupakan keluhan
Swamedikasi merupakan tindakan yang gastrointestinal yang disebabkan oleh obat
berkaitan dengan masalah kesehatan, antiinflamasi non steroid (18) bleeding dan
ekonomi dan sosial di masyarakat. Untuk kerusakan ginjal atau pankreas (10).
keluhan penyakit ringan dan gejala yang Timbulnya efek samping swamedikasi ini
umum terjadi, swamedikasi memberikan karena kurangnya kewaspadaan dalam
solusi pembiayaan pengobatan yang murah, penggunaan obat swamedikasi tentang
waktu yang cepat dan nyaman dilakukan potensi efek samping, interaksi obat dan
yang juga menguntungkan negara karena kapan harus berkonsultasi ke dokter jika
mengurangi beban sistem perawatan terjadi keluhan. Faktor yang menyebabkan
kesehatan hampir di sebagian besar negara kegagalan dalam praktik swamedikasi yaitu
(5). Praktik swamedikasi dipengaruhi banyak masyarakat yang tidak membaca
beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, brosur pada kemasan obat, kurangnya
tingkat penghasilan, biaya, tingkat mencari informasi tentang obat yang
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat digunakan, malas bertanya kepada orang lain
kepuasan dan persepsi penyakit. Praktik dan mudah terpengaruh terhadap iklan di
swamedikasi yang dilakukan masyarakat ini media offline maupun online.
dapat menimbulkan efek yang bermanfaat Penelitian perilaku swamedikasi
jika digunakan dengan tepat, tetapi bisa masyarakat ini telah banyak dilakukan di
membahayakan jika tidak tepat Indonesia, tetapi di Bengkulu masih sangat
penggunaannya bahkan akan membahayakan minim informasi yang kita dapatkan tentang
nyawa. Sebagian masyarakat tidak pelaksanaan praktik swamedikasi.
menyadari efek samping, dosis yang tepat Mengingat perkembangan obat-obat baik
dalam penggunaan obat dan interaksi obat obat modern maupun tradisional yang dapat
yang dihasilkan. Masalah yang sering diperoleh masyarakat dengan mudah di
muncul di masyarakat dalam penggunaan apotek, diperlukan gambaran sesungguhnya
obat ini antara lain kurangnya pengetahuan praktik swamedikasi yang dilakukan
tentang penggunaan obat yang tepat dan masyarakat Kota Bengkulu. Penelitian-
rasional, penggunaan obat yang melebihi penelitian tentang praktik swamedikasi harus
dosis yang dianjurkan serta pemahaman terus dilakukan agar diperoleh gambaran
tentang cara penyimpanan dan pembuangan terkini sebagai dasar peningkatan
obat yang benar. Praktik swamedikasi di kerasionalan penggunaan obat dalam praktik
Indonesia cukup tinggi, hal ini menyebabkan swamedikasi yang dilakukan masyarakat.
ketidakrasional penggunaan obat cukup Hasil penelitian ini diharapkan dapat
tinggi yaitu sebesar 40,6% (8). Selain itu digunakan untuk mengembangkan strategi
tenaga kesehatan masih kurang dalam badan pengawasan obat dan pemerintahan
memberikan informasi yang lengkap tentang terkait dalam bidang farmasi yang ada di
penggunaan obat (9). Kota Bengkulu.
Dalam sebuah studi dinyatakan bahwa
dari 296 pasien yang mendatangi UGD di METODE PENELITIAN
Perancis mengalami efek samping obat dan
52 diantaranya dikarenakan swamedikasi (3). Penelitian ini merupakan studi deskriptif

245 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
dengan metode cross-sectional yang pelaksanaan praktik swamedikasi.
dilakukan dari bulan Juni hingga Agustus Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan.
2022 di apotek yang berada di Kota Populasi pada penelitian ini adalah
Bengkulu yang masing-masing apotek masyarakat Kota Bengkulu yang melakukan
mewakili tiap kecamatan yang ada di Kota swamedikasi ke Apotek. Sampel penelitian
Bengkulu. Peneliti mengembangkan ini adalah 200 responden yang dihitung
kuesioner dalam bahasa Inggris dengan berdasar rumus pengambilan sampel secara
terjemahan bahasa Indonesia untuk proporsional. Setiap apotek mewakili setiap
validasinya. Pertanyaan dalam kuesioner kecamatan yang berada di Kota Bengkulu.
yang seluruhnya terdiri dari 9 (sembilan) Kriteria inklusi untuk sampel penelitian ini
butir pertanyaan yang diadopsi dari adalah masyarakat Kota Bengkulu yang
kuesioner swamedikasi oleh A.H.M.A. melakukan swamedikasi tanpa meminta
Faqihi dkk (2020) (11) serta Tamirat pertimbangan pemilihan obat ke farmasis.
Mathewos dkk (2021) (12). Kuesioner Data yang diperoleh akan diolah
dilengkapi dengan informed consent sebagai menggunakan analisa univariat dan bivariat
persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. dengan menggunakan uji chi square dengan
Alat penelitian ini dikembangkan nilai signifikansi α ≤ 0,05.
berdasarkan tinjauan komprehensif dari Izin Etis diperoleh dari Komisi Etik
literatur yang relevan yang diterbitkan dalam Politeknik Kesehatan Kementerian
jurnal. Kuesioner ini telah dilakukan Kesehatan Bengkulu dengan nomor: No.
reliabilitas dan validitas isi dan kemudian KEPK/152/05/2022. Kuesioner dilengkapi
dibagikan di antara responden setelah dengan informed consent yang telah
mendapat persetujuan dari Ketua Komite diperiksa oleh komisi etik.
Etik.
Enumerator dikumpulkan dalam suatu HASIL PENELITIAN
pertemuan selama sekitar 1 jam untuk
menjelaskan dan mendiskusikan isi Analisa Univariat
kuesioner untuk klarifikasi lebih lanjut
sebelum dilanjutkan proses pengisian Distribusi Demografi Responden
kuesioner oleh responden yang memenuhi
kriteria inklusi di Apotek yang telah Distribusi demografi responden
ditetapkan dalam ukuran sampel. Setiap menunjukkan bahwa sebagian besar
responden yang ikut berpartisipasi akan responden (54,5%) berusia antara 20-39
mendapatkan cinderamata untuk kompensasi tahun, berjenis kelamin wanita (64%) dan
waktu yang telah diberikan, dan diyakinkan sudah menikah (77,5%) seperti yang
bahwa kerahasiaan data selama penelitian ditunjukkan pada tabel 1. Distribusi tingkat
akan dijaga dan data hanya akan digunakan pendidikan sebagian besar adalah perguruan
untuk penelitian. Kuesioner berisi tiga tinggi (56,5%), dengan tingkat pendapatan 1
bagian, bagian A merupakan informasi juta-3 juta (39,5%).
demografi umum, bagian B berisi pertanyaan
tentang akses pelayanan kesehatan dan Tabel 1. Distribusi Demografi Responden
bagian C berisi tentang pelaksanaan praktik (n=200)
swamedikasi yang terdiri dari penyakit yang
dialami, alasan melakukan swamedikasi, No Variabel Frekuensi Persentase
jangka waktu mengalami sakit, tingkat (n) (%)
keparahan sakit, jangka waktu penggunaan 1 Usia
obat, sumber informasi mendapatkan obat, < 20 Tahun 11 5,5
cara pemakaian obat, rata-rata kunjungan 20-39 Tahun 109 54,5
apotek dan sumber memperoleh obat dalam 40-59 Tahun 71 35,5

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 246


≥ 60 Tahun 9 4,5 N Variabel Frekuensi Persentase
2 Jenis Kelamin o (n) (%)
Laki-Laki 72 36 1 Jaminan Kesehatan
Perempuan 128 64 yang Dimiliki
3 Status Pernikahan KIS/BPJS 166 83
Menikah 155 77,5 Asuransi kesehatan 8 4
lainnya
Belum Menikah 45 22,5
Tidak Memiliki 26 13
4 Tingkat
Pendidikan 2 Jarak Rumah
Responden dengan
SD 3 1,5
Sarana Pelayanan
SMP 11 5,5 Kesehatan
SMA/Sederajat 69 34,5 >1 km 76 38
Perguruan Tinggi 113 56,5 1-5 km 101 50,5
Tidak Sekolah 4 2 >5 km 23 11,5
5 Status Pekerjaan 3 Transportasi yang
ASN 30 15 Digunakan Untuk ke
Pegawai Swasta 45 22,5 Sarana Pelayanan
Wiraswasta 37 18,5 Kesehatan
Ibu Rumah tangga 39 19,5 Kendaraan Pribadi 194 97
Lain-lain 49 24,5 Kendaraan Umum 6 3
Tingkat
Penghasilan Keluhan Responden Saat Melakukan
≤1.000.000 58 29 Praktik Swamedikasi
>1.000.000 s.d 79 39,5
3.000.000 Distribusi keluhan yang dirasakan
>3.000.000 63 31,5 responden saat melakukan swamedikasi
adalah sebagian besar karena nyeri (22%),
Akses Pelayanan Kesehatan Responden batuk dan sakit tenggorokan (19,5%),
influenza, pilek, masuk angin (16%) dan
Akses pelayanan kesehatan memegang demam (11,5%). Penyakit-penyakit ini
peranan penting dalam pelaksanaan praktik sering dialami oleh masyarakat di daerah
swamedikasi. Beberapa penelitian tropis seperti Indonesia dan bisa sembuh
menyebutkan bahwa akses yang mudah ke tanpa pengobatan. Tetapi, masyarakat sering
fasilitas pelayanan medis akan mengurangi melakukan swamedikasi agar keluhan sakit
pelaksanaan swamedikasi (8). Pada tersebut tidak mengganggu aktivitas yang
penelitian ini diperoleh sebagian besar dilakukan. Masyarakat beranggapan bahwa
responden memiliki asuransi kesehatan gangguan dalam aktivitas ini akan
sebesar 83% dan 13% yang tidak memiliki mengurangi pendapatan mereka.
asuransi kesehatan. Distribusi jarak rumah
dengan sarana pelayanan kesehatan, jarak Tabel 3. Distribusi Keluhan Responden
rumah ke sarana pelayanan kesehatan Saat Melakukan Praktik Swamedikasi
sebagian besar responden antara 1-5 km (n=200)
(50,5%) dengan transportasi yang digunakan
ke sarana pelayanan kesehatan adalah Variabel Frekuensi Persentase
kendaraan pribadi (97%). (n) (%)
Influenza,pilek,masuk 32 16
Tabel 2. Distribusi Akses Pelayanan angin
Kesehatan Responden (n=200) Batuk, sakit tenggorokan 39 19,5
Asma, bengek, sesak 4 2
napas

247 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
Nyeri/pegal2,sakit kepala, 44 22 Variabel Frekuensi Persentase
sakit gigi (n) (%)
Rematik, asam urat 8 4 Merasa tau obatnya 62 31
Demam 23 11,5 Penyakit yang dialami 83 41,5
Infeksi kulit, luka 1 0,5 ringan
Alergi, gatal-gatal 12 6 Hemat biaya 16 8
Darah tinggi 10 5 Jauh dari fasilitas 0 0
Kencing manis/diabetes 1 0,5 Kesehatan (Dokter,
puskesmas,klinik)
KB, memperlancar haid 1 0,5
Memiliki resep lama 34 17
Diare 1 0,5
Lainnya 5 2,5
Sembelit, wasir (ambeien) 0 0
Sakit maag, kembung 10 5
Mual, muntah 1 0,5 Jangka Waktu Keluhan Sakit Yang
Sakit mata 2 1 Dirasakan
Sakit telinga 0 0
Sariawan, bibir pecah 0 0 Pada umumnya masyarakat melakukan
Vitamin, suplemen, 6 3 swamedikasi ketika sudah merasakan
tonikum keluhan sakit dengan jangka waktu tertentu
Cacingan 2 1 yang mereka anggap dapat mengganggu
Lainnya 3 1,5 aktivitasnya. Mereka akan melakukan
swamedikasi atau konsultasi ke dokter ketika
Alasan Responden Melakukan sudah tidak tahan dengan keluhan sakit yang
Swamedikasi dirasakan yang berdampak ke gangguan
aktivitasnya sehari-hari. Pada penelitian ini
Distribusi alasan yang dimiliki diperoleh hasil yang berbeda bahwa sebagian
responden dalam melakukan praktik masyarakat sudah melakukan praktik
swamedikasi adalah merasa penyakit yang swamedikasi ketika keluhan sakit baru
dialami ringan (41,5%), merasa tau obat dirasakan kurang dari 3 hari (77,5%).
yang bisa menyembuhkan keluhan sakit
yang dirasakan (31%) dan memiliki resep Tabel 5. Distribusi Jangka Waktu Keluhan
lama yang dapat dilihat obat apa yang pernah Sakit Yang Dirasakan (n=200)
diberikan dokter (17%). Hal ini membuat
mereka berpendapat tidak memerlukan Variabel Frekuensi Persentase
(n) (%)
tindakan serius untuk melakukan konsul ke
<3 Hari 155 77,5
dokter. Sebagian besar masyarakat
3-7 Hari 34 17
beranggapan konsultasi ke dokter ini
>7 Hari 11 5,5
memerlukan biaya yang lebih besar dan
harus mengorbankan waktu untuk menunggu
selama berkonsultasi ke dokter. Swamedikasi Tingkat Keparahan Sakit yang Dirasakan
dilakukan dengan alasan biaya yang
dikeluarkan cenderung lebih kecil dan Tingkatan perasaan sakit yang dirasakan
efisiensi waktu. masing-masing individu berlainan, hal ini
tergantung dari daya tahan tubuh masing-
Tabel 4. Distribusi Alasan Responden masing. Pada penelitian ini sebagian besar
Melakukan Swamedikasi (n=200) responden merasakan tingkat keparahan
penyakit dalam kategori ringan (76%) yang
menjadikan alasan mereka melakukan
swamedikasi. Beberapa penelitian juga
menyebutkan alasan melakukan
swamedikasi yaitu responden cenderung

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 248


memilih swamedikasi jika penyakitnya media elektronik (10%). Media elektronik
ringan atau dalam jangka pendek yaitu juga memiliki peran besar ketika responden
kurang dari tujuh hari. mempelajari penyakit apa yang mereka
rasakan dan mencari kesesuaian dengan obat
Tabel 6. Distribusi Tingkat Keparahan yang akan mereka beli. Media elektronik
Sakit yang Dirasakan (n=200) lebih banyak digunakan dalam pencarian
informasi penggunaan obat dibandingkan
Variabel Frekuensi Persentase media cetak. Responden banyak mengingat
(n) (%) nama obat bebas dan bebas terbatas dari
Ringan 152 76 iklan yang ditayangkan di media elektronik.
Sedang 48 24
Berat 0 0 Tabel 8. Distribusi Sumber Informasi
Obat yang Digunakan Dalam Praktik
Jangka Waktu Penggunaan Obat Swamedikasi (n=200)

Masyarakat yang melakukan Variabel Frekuensi Persentase


swamedikasi pada penelitian ini sebagian (n) (%)
besar memiliki rencana untuk mengkonsumsi Dari resep dokter yang 77 38,5
obat yang mereka dapatkan selama 1-3 hari pernah di gunakan
(77%). Hal ini terkait dengan pengalaman Media cetak (Koran, 1 0,5
leaflet, brosur
mereka menggunakan obat di masa lalu.
Media elektronik 20 10
Mereka beranggapan bahwa obat sudah (Radio, Tv, internet)
dapat menyembuhkan gejala sakit yang Tenaga Kesehatan 71 35,5
mereka rasakan selama 1-3 hari karena Kader, tokoh 2 1
termasuk kategori penyakit ringan. Jika masyarakat
dalam waktu lebih dari 3 hari mengkonsumsi Teman, keluarga 29 14,5
obat belum sembuh mereka memilih untuk
melakukan konsultasi ke dokter untuk Sumber Informasi Pemakaian Obat
memperoleh diagnosa yang pasti untuk Dalam Praktik Swamedikasi
penyakit yang diderita.
Pada penelitian diperoleh sebagian besar
Tabel 7. Distribusi Jangka Waktu responden memilih memperoleh informasi
Penggunaan Obat (n=200) pemakaian obat dari tenaga farmasi yang ada
di apotek (68,5%), sedangkan sebagian
Variabel Frekuensi Persentase dengan membaca sendiri aturan pakai di
(n) (%)
brosur obat (31,5%). Tenaga farmasi di
1-3 Hari 154 77
apotek dipercaya responden dapat
4-7 Hari 28 14
memberikan informasi yang benar tentang
>7 Hari 18 9
cara pemakaian obat yang benar.
Sumber Informasi Obat yang Digunakan Tabel 9. Distribusi Sumber Informasi
Dalam Praktik Swamedikasi Pemakaian Obat Dalam Praktik
Swamedikasi (n=200)
Responden melakukan praktik
swamedikasi pada penelitian ini, sebagian
besar bersumber dari resep dokter yang
pernah digunakan (38,5%), dari tenaga
kesehatan (35,5%), informasi dari teman
atau keluarga (14,5%) dan informasi dari

249 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
Variabel Frekuensi Persentase Variabel Frekuensi Persentase
(n) (%) (n) (%)
Tenaga farmasi di 137 68,5 Minimarket 54 27
apotik Toko Obat 126 63
Membaca aturan pakai 63 31,5 Warung Kelontong 20 10
di brosur obat

Distribusi Penggolongan Obat


Rata-Rata Kunjungan ke Apotek Dalam 1
Bulan Praktik swamedikasi yang dilakukan
responden 86% melakukan pembelian obat
Responden menyatakan bahwa sebagian keras. Obat keras ini seharusnya tidak boleh
besar melakukan kunjungan ke apotek satu diberikan secara bebas tanpa resep dokter,
kali setiap bulan (43%). Sebagian besar karena jika tidak tepat penggunaannya maka
responden melakukan swamedikasi bukan akan berbahaya bagi penggunanya.
hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Penggunaan obat bebas adalah 52% dan
keluarga mereka seperti orang tua, suami, penggunaan obat bebas terbatas adalah
istri atau anak. Apotek merupakan sarana 35,5%.
pelayanan kefarmasian yang keberadaannya
sudah mulai banyak di sekitar kita. Tabel 12. Distribusi Pembelian Obat
(n=347)
Tabel 10. Distribusi Rata-Rata Kunjungan
ke Apotek Dalam 1 Bulan (n=200) Golongan Obat Frekuensi Persentase
(n) (%)
Variabel Frekuensi Persentase Obat Bebas 104 52
(n) (%) Obat Bebas Terbatas 71 35,5
1 Kali 86 43 Obat Keras 172 86
2 Kali 56 28
3 Kali 28 14
Analisa Bivariat
Lebih dari 3 Kali 30 15

Tabel 13. Distribusi hubngan variabel


Tempat Memperoleh Obat Selain di independen dan variabel dependen
Apotek

Obat golongan bebas untuk mengobati


penyakit ringan selain didapatkan di apotek
masih banyak ditemukan di toko obat dan
minimarket. Pada penelitian ini diperoleh
responden selain ke apotek mendapatkan
obat di toko obat (63%). Hal ini terjadi
karena maraknya minimarker frenchise yang
sudah masuk ke kota-kota besar dan
melakukan penjualan obat-obat golongan
bebas.

Tabel 11. Distribusi Tempat Memperoleh


Obat Selain di Apotek (n=200)

Hasil analisis hubungan antara variabel

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 250


dependen dan variabel independen diperoleh cepat mengobati penyakitnya dengan
hasil bahwa ada hubungan variabel umur membeli obat sendiri ke apotek
(p=0,03), jenis kelamin (p=0,043) dan dibandingkan harus datang ke fasilitas
keparahan penyakit (p=0,014) dengan kesehatan seperti puskesmas atau klinik
praktek swamedikasi di Kota Bengkulu. untuk memanfaatkan asuransi kesehatan.
Sedangkan tidak ada hubungan variabel Fasilitas kesehatan termasuk kategori mudah
Status Pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dijangkau karena hanya berjarak 1-5 km dari
jarak rumah, lama sakit, kepemilikan BPJS, rumah (50,5%) dan sebagian besar memiliki
lama penggunaan Obat dengan praktek kendaraan pribadi (97%).
swamedikasi di Kota Bengkulu. Keluhan sakit yang dirasakan
masyarakat sebagian besar adalah nyeri
PEMBAHASAN (22%). Nyeri ini merupakan perasaan tidak
nyaman atau tidak menyenangkan yang
Distribusi karakteristik responden dalam dirasakan seseorang karena kerusakan
praktik swamedikasi banyak dilakukan oleh jaringan. Pada beberapa penelitian
wanita (64%) yang sudah menikah (77,5%) swamedikasi juga didapatkan praktik
dan berada pada rentang usia 20-39 tahun swamedikasi sebagian besar dilakukan
(54,5%). Hal ini dapat disebabkan beberapa dengan alasan rasa nyeri yang mereka
alasan yaitu seorang wanita yang sudah rasakan. Hal ini juga berbanding lurus
menikah biasanya menjadi penentu dengan tingginya pembelian anti nyeri di
keputusan dalam pengobatan di rumah apotek.
tangga. Mereka melakukan praktik Alasan melakukan swamedikasi yaitu
swamedikasi terkadang tidak hanya untuk masyarakat merasa penyakit yang dialami
dirinya sendiri tetapi untuk keluarganya yang ringan (41,5%), sehingga tidak memerlukan
sedang sakit. Distribusi mayoritas konsultasi ke dokter. Penyakit seperti nyeri
pendidikan yaitu perguruan tinggi (56,5%) sakit kepala, nyeri gigi, batuk, influenza,
juga menunjukkan bahwa swamedikasi demam adalah penyakit-penyakit ringan
didominasi oleh masyarakat yang yang tidak memerlukan konsultasi ke dokter,
berpendidikan tinggi dan sangat memahami sehingga praktik swamedikasi adalah hal
keuntungan dan kerugian dari praktik yang paling efisien dilakukan. Selain itu,
swamedikasi yang dilakukan. Beberapa studi masyarakat merasa tau obatnya karena sudah
juga menyatakan bahwa terdapat korelasi pernah merasakan sakit yang sama di masa
yang signifikan antara tingkat pendidikan lalu atau sudah pernah mendapatkan resep
dan perilaku swamedikasi. dokter dengan obat tersebut. Hal ini
Akses pelayanan kesehatan memegang meyakinkan mereka bahwa tidak
peranan penting dalam pelaksanaan praktik membahayakan jika membeli obat sendiri ke
swamedikasi. Dalam penelitian ini apotek tanpa ada konsultasi ke dokter.
didapatkan bahwa 83% memiliki asuransi Jangka waktu keluhan sakit yang
kesehatan KIS/BPJS yang dapat memberikan dirasakan masyarakat untuk melakukan
pengobatan gratis kepada masyarakat. Tetapi swamedikasi termasuk singkat yaitu < 3 hari
kenyataannya hal itu tidak memberikan (77,5%). Masyarakat memilih untuk
pengaruh terhadap tingginya pelaksanaan melakukan swamedikasi karena merasa
swamedikasi. Masyarakat tetap memilih waktu yang mereka miliki sangat berharga,
swamedikasi sebagai upaya awal ketika mereka tidak mau berlama-lama merasakan
mereka merasakan keluhan sakit sakit yang dapat menghambat aktivitas
dibandingkan memanfaatkan asuransi mereka.
kesehatan yang mereka miliki. Hal ini Tingkat keparahan penyakit yang
disebabkan beberapa alasan diantaranya mereka rasakan berdasar hasil penelitian
efisiensi waktu. Masyarakat merasa lebih termasuk kategori ringan (76%) yang bisa

251 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
disembuhkan dengan mengkonsumsi obat- memberikan semua obat yang mereka minta
obat bebas yang ada di apotek. Hal ini masyarakat akan beranggapan obat tersebut
tentunya sangat membantu tujuan boleh dibeli secara bebas tanpa mengetahui
pemerintah dalam peningkatan akses berbahayanya ketika tidak tepat dalam
masyarakat terhadap obat-obat yang dapat penggunaannya.
digunakan untuk mengatasi keluhan ringan Sumber cara pemakaian obat diperoleh
yang dapat ditangani sendiri dengan obat dari tenaga farmasi di apotek (68,5%).
bebas. Namun demikian, perlu kewaspadaan Tenaga kefarmasian di apotek ini terdiri dari
dalam penegakan persepsi masyarakat apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
tentang penyakit ringan ini (self-diagnose). Pada praktik swamedikasi ini tenaga farmasi
Hal ini berbahaya jika terjadi kekeliruan berperan penting dalam pemberian informasi
persepsi penyakit yang diderita akan obat kepada masyarakat agar masyarakat
berakibat terhadap kekeliruan dalam tepat dalam penggunaan obat. Beberapa
pemilihan obat (6). penelitian menyebutkan bahwa pemberian
Rencana penggunaan obat pada informasi oleh tenaga farmasi ini masih
masyarakat yang melakukan swamedikasi ini bersifat pasif, tenaga farmasi hanya akan
adalah dalam jangka waktu 1-3 hari (77%). memberikan informasi ketika ditanya (15).
Berdasar beberapa kajian ketika keluhan Masyarakat yang melakukan praktik
sakit yang dirasakan tidak hilang dalam 3 swamedikasi 1 kali dalam 1 bulan ke apotek
hari dengan pengobatan swamedikasi yang sebesar (43%). Hal ini menggambarkan
mereka lakukan masyarakat memilih untuk bahwa apotek masih dipercaya masyarakat
melakukan konsultasi ke dokter (45%) untuk sebagai tempat memeperoleh obat yang
mendapatkan diagnosa yang lebih akurat aman dan terpercaya untuk mengatasi
tentang penyakit yang dialami dan yang keluhan sakit yang dirasakan. Tempat
lainnya memilih ke puskesmas, rumah sakit memperoleh obat dalam melakukan praktik
dan ada yang memilih untuk kembali swamedikasi ini selain di apotek dilakukan
melakukan praktik swamedikasi (14). juga di toko obat (63%) sebagai tempat
Sumber informasi obat-obat yang resmi dalam memperoleh obat.
diperoleh masyarakat dari praktik Pemilihan obat yang dilakukan
swamedikasi sebagian besar didapatkan dari masyarakat dalam praktik swamedikasi di
resep dokter yang pernah digunakan Kota Bengkulu harus menjadi perhatian
(38,5%). Di masa lampau mereka pernah seluruh komponen pemangku kebijakan
mendapatkan resep untuk mengatasi tentang kesehatan. Pada penelitian ini
penyakitnya dan merasa sembuh. Sejalan diperoleh hasil pembelian obat keras sangat
dengan tingkat pendidikan yang mereka tinggi yaitu sebesar 86%. Obat keras ini
miliki, mereka merasa yakin bahwa obat merupakan obat yang cara memperolehnya
tersebut bisa dipergunakan kembali ketika harus melalui resep dokter tidak boleh
mereka merasakan keluhan sakit yang sama. diperjual belikan secara bebas. Lemahnya
Mereka akan mendatangi sarana kefarmasian pengawasan dalam penjualan obat keras ini
terdekat untuk memperoleh obat tersebut. menjadikan alasan apotek-apotek dapat
Dokter biasanya meresepkan obat bebas, memperjualbelikan dengan bebas tanpa resep
obat bebas terbatas dan obat keras sesuai dokter. Hal ini seiring dengan makin
dengan diagnosa penyakit pasien. Hal ini tingginya lulusan Apoteker yang membuka
yang harus diwaspadai ketika mereka usaha di bidang Apotek. Data di kota
melakukan swamedikasi obat-obat golongan Bengkulu terdapat 170 Apotek yang
keras dan tidak ada edukasi dari tenaga memberikan pelayanan kefarmasian dengan
farmasi yang ada di apotek. Tidak seluruh jumlah penduduk 371.828, artinya 1 Apotek
pasien memahami bahwa obat yang mereka bisa melayani 2.187 penduduk. Persaingan
beli adalah obat keras, selama apotek ini yang membuat apotek belum menerapkan

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 252


patient oriented tetapi masih business di Kota Bengkulu.
oriented. Obat keras ini dalam
penggunaannya perlu kewaspadaan tinggi SARAN
terutama pemakaian antibiotik, pemakaian
yang salah dapat menyebabkan resistensi 1. Pelaksanaan praktik swamedikasi dengan
pada pasien. Oleh karena itu, sangat pembelian obat keras sangat tinggi
diperlukan peran tenaga farmasi dalam (86%). Hal ini harus menjadi perhatian
penggunaan obat yang rasional bagi besar bagi para pemangku kebijakan
masyarakat yang melakukan praktik pengawasan peredaran obat-obatan
swamedikasi. antara lain BPOM, Dinas Kesehatan dan
organisasi profesi terkait.
KESIMPULAN 2. Perlunya peranan farmasis dalam
mengedukasi masyarakat tentang
1. Karakteristik demografi responden yang pelaksanaan praktik swamedikasi yang
melakukan praktik swamedikasi sebagian benar.
besar adalah berusia antara 20-39 tahun
(54,5%), berjenis kelamin wanita (64%) DAFTAR PUSTAKA
dan sudah menikah (77,5%).
2. Dalam aspek pelayanan kesehatan, Ananda D. Hubungan Tingkat Pengetahuan
kepemilikan asuransi kesehatan tidak dan Perilaku Swamedikasi Obat
berpengaruh terhadap pelaksanaan Natrium Diklofenak di Apotek.
swamedikasi yang cukup tinggi yaitu Pharmacy. 2013;10(2):138.
sebesar 83%. Asseray N, Ballereau F, Trombert-Paviot B,
3. Praktik swamedikasi dilakukan untuk Bouget J, Foucher N, Renaud B, et al.
mengatasi keluhan nyeri (22%), alasan Frequency and severity of adverse drug
melakukan swamedikasi karena penyakit reactions due to self-medication: A
yang dialami kategori ringan (41,5%), cross-sectional multicentre survey in
jangka waktu keluhan sakit yang emergency departments. Drug Saf.
dirasakan yaitu kurang dari 3 hari 2013;36(12):1159–68
(77,5%), tingkat keparahan sakit yang De Sanctis V, Soliman AT, Daar S, Di Maio
dirasakan ringan (76%), jangka waktu S, Elalaily R, Fiscina B, et al.
penggunaan obat 1-3 hari (77%), sumber Prevalence, attitude and practice of self-
informasi obat yang digunakan adalah medication among adolescents and the
dari resep dokter yang pernah di gunakan paradigm of dysmenorrhea self-care
(38,5), sumber informasi pemakaian obat management in different countries. Acta
adalah tenaga farmasi di apotik (68,5), Biomed. 2020;91(1):182–92.
rata-rata kunjungan ke apotek dalam 1 Efayanti E, Susilowati T, Imamah IN.
Bulan adalah 1 kali (43%) dan tempat Hubungan Motivasi dengan Perilaku
memperoleh obat selain di apotek adalah Swamedikasi. J Penelit Perawat Prof.
toko obat (63%). 2019;1(1):21–32.
4. Terdapat hubungan antara variabel umur Faqihi AHMA, Sayed SF. Self-medication
(p=0,03), jenis kelamin (p=0,043) dan practice with analgesics (NSAIDs and
keparahan penyakit (p=0,014) dengan acetaminophen), and antibiotics among
praktek swamedikasi di Kota Bengkulu. nursing undergraduates in University
Sedangkan variabel Status Pernikahan, College Farasan Campus, Jazan
pendidikan, pekerjaan, jarak rumah, lama University, KSA. Ann Pharm Fr
sakit, kepemilikan BPJS, lama [Internet]. 2021;79(3):275–85. Available
penggunaan obat menunjukkan tidak ada from:
hubungan dengan praktek swamedikasi https://doi.org/10.1016/j.pharma.2020.1

253 Journal of Nursing and Public Health Vol. 10 No. 2 Oktober 2022
0.012 Pharmacist, The Hague, The
Harahap NA, Khairunnisa K, Tanuwijaya J. Netherlands, 26-28 August 1998. In The
Patient knowledge and rationality of Role of the pharmacist in self-care and
self-medication in three pharmacies of self-medication: report of t. 1998.
Panyabungan City, Indonesia. J Sains Widayati A. Swamedikasi di Kalangan
Farm Klin. 2017;3(2):186. Masyarakat Perkotaan di Kota
Lei X, Jiang H, Liu C, Ferrier A, Mugavin J. Yogyakarta Self-Medication among
Self-medication practice and associated Urban Population in Yogyakarta. J Farm
factors among residents in Wuhan, Klin Indones [Internet]. 2013;2(4):145–
China. Int J Environ Res Public Health. 52. Available from:
2018;15(1). https://repository.usd.ac.id/8909/1/Nask
Mathewos T, Daka K, Bitew S, Daka D. ah_Swamedikasi Di Kalangan
Self-medication practice and associated Masyarakat Perkotaan_2013.pdf
factors among adults in Wolaita Soddo
town, Southern Ethiopia. Int J Infect
Control. 2021;17(1):1–8.
Montastruc J-L, Bondon-Guitton E, Abadie
D, Lacroix I, Berreni A, Pugnet G, et al.
Pharmacovigilance, risks and adverse
effects of self-medication. Therapies.
2016;71(2):257–62.
Muharni S, Aryani F, Mizanni M. Profile of
Drug Information Given By Pharmacist
Staff On Self Medication At The
Pharmacy Located at Tampan,
Pekanbaru-Indonesia. J Sains Farm Klin
[Internet]. 2015;2(1):47–53. Available
from:
http://jsfkonline.org/index.php/jsfk/artic
le/view/46
Niroomand N, Bayati M, Seif M, Delavari S,
Delavari S. Self-medication Pattern and
Prevalence Among Iranian Medical
Sciences Students. Curr Drug Saf.
2019;15(1):45–52.
Rusli SU. Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Terhadap Pengobatan Sendiri
(Swamedikasi) Di Tiga Apotek Kota
Makassar. J Farm Sandi Karsa
[Internet]. 2018;IV(6):31–5. Available
from:
http://jurnal.farmasisandikarsa.ac.id/ojs/
index.php/JFS/article/download/10/8
Sholiha S, Fadholah A, Artanti LO. Sulfiatus.
Pharm J Islam Pharm. 2019;3(2):1–11.
World Health Organization. The Role of the
pharmacist in self-care and self-
medication: report of the 4th WHO
Consultative Group on the Role of the

P-ISSN: 2338-7033 E-ISSN: 2722-0613 254

Anda mungkin juga menyukai