1. Definisi
Menurut WHO hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik
lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg setelah dua
kali pengukuran terpisah. Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi
primer atau esensial yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal.
Hipertensi sering kali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus
tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi
perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala. Hipertensi yang
tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, bila mengenai jantung kemungkinan
dapat terjadi infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif, bila mengenai otak terjadi
stroke, ensefalopati hipertensif, dan bila mengenai ginjal terjadi gagal ginjal kronis, sedangkan
bila mengenai mata akan terjadi retinopati hipertensif. Dari berbagai komplikasi yang mungkin
timbul merupakan penyakit yang sangat serius dan berdampak terhadap psikologis penderita
karena kualitas hidupnya rendah terutama pada kasus stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung.
2. Etiologi
Penyakit hipertensi dibedakan menjadi dua macam yaitu :
A. Hipertensi esensial atau primer merupakan jenis hipertensi yang tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut. Hipertensi primer mampu dikatakan
penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan yang
memicu naiknya tekanan darah yang dimana akan diperparah oleh adanya diabetes,
obesitas, stres, dan kebiasaan pola hidup buruk.
B. Hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh penyakit gagal ginjal,
hiperaldosteronisme, renovascular, penyakit endokrin, dan penyebab lainnya.
3. Epidemologi
Secara global prevalensi tertinggi peningkatan tekanan darah
usia ≥18 tahun pada tahun 2014 terdapat di Afrika sebesar 30% dan
terendah terdapat di Amerika yaitu sebesar 18%, sedangkan Indonesia
dengan prevalensi hipertensi sebesar 24%. Prevalensi hipertensi
tertinggi di Indonesia berdasarkan pengukuran pada umur ≥18 tahun
menurut hasil Riskesdas 2013 terdapat di Bangka Belitung (30,9%) dan
prevalensi kejadian hipertensi terendah terjadi di Papua (16,8%).
Epidemiologi hipertensi berdasarkan orang dapat diklasifikasikan
menurut umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga. Semakin tinggi
umur maka prevalensi hipertensi akan cenderung meningkat
(Kemenkes RI, 2013).
Tingginya penderita Hipertensi diperkirakan sebesar 15 juta bangsa Indonesia tetapi hanya 4%
yang merupakan controlled hypertension. Sebagai gambaran umum masalah hipertensi sebagai
berikut :
1. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa sebagai suatu proses degeneratif hipertensi.
Ditemukan peningkatan prevalensi menurut peningkatan usia.
2. Hampir 50% penderita tidak menyadari gejala hipertensi sehingga mereka berpotensi
untuk penderita hipertensi yang lebih berat karena tidak menjaga pola makan dan
menghindari faktor risiko.
3. Sebanyak 70% adalah hipertensi ringan, karena itu hipertensi banyak terabaikan sampai
menjadi ganas ( Hipertensi maligna).
4. Sebanyak 90% hipertensi esensial, yaitu hipertensi yang tidak diketahui dengan jelas
penyebabnya, dalam artian sulit untuk mencari bentuk intervensi dan pengobatannya.
4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme (ACE) yang memegang peran fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di
hati. Selanjutnya hormone renin akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Renin disintesis dan disimpan dalam
bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG
merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak pada dinding arteriol aferen tepat di
proksimal glomerulus. Bila tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri
menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin. Angiotensin II
adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki efek lain yang juga mempengaruhi
sirkulasi. Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh
utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama yaitu vasokonstriksi, timbul
dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lemah pada vena. Cara
kedua dimana angiotensin II meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal
untuk menurunkan ekskresi garam dan air. Vasopressin atau disebut juga dengan ADH
(Antidiuretic System), bahkan lebih kuat daripada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi
kemungkinan merupakan bahan vasokonstriktor yang paling kuat dari tubuh. Bahan ini dibentuk
hipotalamus tetapi diangkut menuruni pusat akson saraf ke glandula hipofise posterior, dimana
akhirnya disekresi ke dalam darah. Aldosteron yang disekresikan oleh sel-sel zona glomerulosa
pada korteks adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi natrium (Na+ ) dan sekresi
kalium (K+) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama aldosterone adalah pada sel ¾ sel principal
di tubulus koligentes kortikalis. Mekanisme dimana aldosterone meningkatkan reabsopsi natrium
sementara pada saat yang sama meningkatkan sekresi kalium adalah merangsang pompa natrium
kalium ATPase pada sisi basolateral dari membrane tubulus koligentes kortikalis. Aldosteron
juga meningkatkan permeabilitas natrium pada sisi luminal membrane. Sampai sekarang
pengetahuan tentang patogenesis hipertensi primer terus berkembang karena belum didapat
jawaban yang memuaskan yang dapat menerangkan terjadinya peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer.
6. Pemeriksaan Hipertensi
Penegakan diagnosis hipertensi perlu dilakukan tiga kali pengukuran tekanan darah
selama tiga kali kunjungan terpisah, dengan 2-3 kali pengukuran dalam satu kunjungan.
Diagnosis hipertensi primer dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi:
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik lengkap, terutama pemeriksaan tekanan darah.
3. Pemeriksaan penunjang meliputi tes urinalisis, pemeriksaan kimia darah (untuk
mengetahui kadar potassium, sodium, creatinine, High Density Lipoprotein (HDL), Low
Density Lipoprotein (LDL), glukosa).
4. Pemeriksaan EKG.
7. Penanganan/Treatment
Ada dua cara yang dilakukan dalam pengobatan hipertensi :
A. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sangat penting dalam
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
mengobati tekanan darah tinggi. Penatalaksanaan hipertensi dengan non farmakologis
terdiri dari berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah
yaitu :
1. Makan Gizi Seimbang Prinsip diet yang dianjurkan adalah gizi seimbang
2. makan buah dan sayur 5 porsi per-hari, karena cukup mengandung kalium yang dapat
menurunkan tekanan darah. Asupan natrium hendaknya dibatasi dengan jumlah intake
1,5 g/hari atau 3,5-4g garam/hari. Pembatasan asupan natrium dapat membantu
menurunkan tekanan darah dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler.
3. Menurunkan Kelebihan Berat Badan Penurunan berat badan mengurangi tekanan darah,
kemungkinan dengan mengurangi beban kerja jantung dan volume sekuncup juga
berkurang. Upayakan untuk menurunkan berat badan sehingga mencapai IMT normal.
4. Olahraga Olahraga secara teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda bermanfaat
untuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan jantung. Olahraga secara
teratur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali dalam satu minggu sangat dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah. Olahraga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi
terbentuknya aterosklerosis akibat hipertensi.
5. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat Berhenti merokok dan tidak mengkonsumsi
alkohol, penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok
diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja
jantung.
B. Penatalaksanaan farmakologis
Terapi farmakologis yaitu dengan mengkonsumsi obat antihipertensi yang dianjurkan
yang bertujuan agar tekanan darah pada penderita hipertensi tetap terkontrol dan
mencegah komplikasi.
Jenis obat antihipertensi yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1. Diuretika Diuretika adalah obat yang memperbanyak kencing, mempertinggi pengeluaran
garam (Nacl). Obat yang sering digunakan adalah obat yang daya kerjanya panjang
sehingga dapat digunakan dosis tunggal, diutamakan diuretika yang hemat kalium. Obat
yang banyak beredar adalah Spironolactone, HTC, Chlorthalidone and Indapamide.
2. Beta-blocker Mekanisme kerja obat obat ini adalah melalui penurunan laju nadi dan daya
pompa jantung, sehingga mengurangi daya dan frekuensi kontraksi jantung. Dengan
demikian tekanan darah akan menurun dan daya hipotesisnya baik. Obat yang termasuk
jenis Beta-blocker adalah Propanolol, Atenolol, Pindolol dan sebagainya.
3. .
4. Calcium Channel Blockers (CCB) Calcium channel blocker (CCB) adalah menghambat
masuknya kalsium ke dalam sel pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan dilatasi
arteri koroner dan juga arteri perifer. Yang termasuk jenis obat ini adalah Nifedipine
Long Acting, dan Amlodipin.
5. Golongan antihipertensi lain Penggunaan penyekat reseptor alfa perifer adalah obat-
obatan yang bekerja sentral, dan obat golongan vasodilator pada populasi lanjut usia
sangat terbatas, karena efek samping yang signifikan. Obat yang termasuk Alfa perifer
adalah Prazosin dan Terazosin.