Anda di halaman 1dari 7

Djouhari Kansil Saat Memberikan Sambutan di Acara Tulude | Foto: Humas Prov Sulut

Masyarakat Nusa Utara dimanapun berada dikenal memiliki tradisi serta budaya yang masih kental
dan sampai saat ini tidak tergerus oleh dampak dari modernisasi dan globalisasi yang terus
menggempur kebudayaan nasional. Nilai-nilai luhur dari nenek moyang masih terjaga sampai
detik ini. Salah satu acara budaya yang masih dilestarikan adalah Upacara Adat Tulude yang
digelar setiap awal tahun.
Arti kata ‘tulude atau menulude’ berasal dari kata ‘suhude’ dalam bahasa sangir berarti tolak.
Dalam arti luas Tulude berarti menolak untuk terus bergantung pada masa lalu dan bersiap
menyongsong tahun yang ada didepan. Tulude diadakan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas limpahan berkat yang telah diberikan Tuhan selama setahun yang lalu. Tulude
atau upacara syukur memasuki tahun baru yang disimbolkan dengan pemotongan kue Tamo dan
dirangkaikan dengan atraksi budaya tari gunde, alabadiri, masamper dan ampawayer dimana
budaya ini berkembang dilingkungan orang Sangihe Talaud.

Tulude tidak hanya digelar di Kabupaten Kepulauan Sangihe saja, namun juga di Kabupaten dan
kota lain di Sulawesi Utara di mana Suku Sangir berada, seperti di Bitung, Manado, dan daerah
lainnya. Perayaan Tulude selain sebagai upacara adat, juga merupakan suatu pesta rakyat warga
Sangihe. Pada setiap perayaan upacara adat Tulude diundang para tamu tamu kehormatan yaitu
para pejabat daerah dan masyarakat umum. Pesta/Pergelaran Adat Tulude ini umumnya
dilaksanakan pada minggu terakhir dibulan januari. Dilihat dari maknanya tradisi Tulude ini dapat
menciptakan kerukunan umat beragama, suku dan budaya masyarakat yang majemuk khususnya
di Sulawesi Utara.

Tulude Sebagai Salah Satu Bentuk Kearifan Lokal Sulawesi Utara Dibidang Budaya

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung
kebijakan hidup, pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan
kearifan hidup. Di Indonesia yang kita kenal juga dengan istilah Nusantara, kearifan lokal itu tidak
hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas
budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Sebagai contoh,
hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang mengajarkan gotong
royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung
dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang
diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat
tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-
nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Adanya Upacara Tulude ini membuka mata kita bahwa Indonesia begitu kaya akan budaya. Di
sudut negeri ini, kearifan lokal masih terus tumbuh dan lestari. Pergelaran Pesta Adat Tulude ini
sebagai salah satu identitas keberagaman Budaya dan wadah pemersatu bagi segenap warga nusa
utara. Dalam melestarikan peninggalan warisan para leluhur dan sebagai penangkal arus
modernisasi dalam menjaga khasanah Kearifan Lokal, budaya harus mengakar, dalam menghadapi
arus globalisasi serta memupuk rasa kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan, dan juga sebagai
aset dibidang pariwisata.

Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang
memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya
melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup
yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan.

Tulude, Antara Modernisasi dan Budaya Lokal

Dalam konteks kekinian, dunia ini tanpa terkecuali sedang mengalami proses modernisasi secara
besar-besaran (the grand process of modernization). Modernisasi, berdampak pada terjadinya
pertemuan antara budaya impor (external) yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis
dengan budaya lokal (internal) yang berwatak tradisional. Pertemuan kedua budaya tersebut pada
umumnya berdampak pada tereliminasinya unsur lokal dari tatanan kehidupan masyarakat.
Budaya lokal adalah nilai-nilai lokal masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan
diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu.

Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat. Sementara arus
Modernisasi menyebabkan peradaban manusia ke arah yang lebih maju. Inovasi-inovasi mutakhir
yang biasanya ditemukan negara-negara barat kemudian diintroduksikan ke negara berkembang
seperti Indonesia. Proses akulturasi menyebabkan perubahan unsur-unsur budaya seperti nilai,
norma, kebiasaan, larangan, konvensi, mitos dan simbol. Ada pergeseran nilai kebudayaan
sehingga cenderung lebih bebas. Untuk menghindari hal-hal negatif akibat akulturasi diperlukan
kesadaran diri sendiri dan lingkungan agar dapat menyeleksi mana yang baik dan mana yang
buruk.

Menyadari bahwa penduduk negara Indonesia sebagian besar adalah masyarakat adat yang
tersebar di berbagai provinsi, tentunya setiap masyarakat adat tersebut mempunyai ciri khas
kebudayaan yang berbeda di setiap daerahnya masing-masing. Walaupun di setiap daerah
mempunyai upacara adat, namun dalam pelaksanaan dan penamaan upacara adat tersebut berbeda-
beda. Upacara adat sebagai warisan sakral dari para leluhur yang memberi makna filosofis dalam
upacara adat tersebut.

Trend arus globalisasi dan modernisasi akan menciptakan sekat-sekat budaya satu dengan lainnya.
Dalam era itu karakter budaya tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan dengan
budaya global dan modern yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu yang
berbasis budaya etnis akan semakin luntur, termasuk perlakuan terhadap budaya itu sendiri.
Sekarang ini sudah saatnya konsep globalisasi dimaknai ulang agar budaya kita dapat berdiri
kukuh bersanding dengan budaya lain baik di tingkat nasional, regional, bahkan pada tingkat
internasional.

Berkepribadian Dibidang Budaya

Salah satu Program Presiden kita Ir. Joko Widodo dan kabinet kerjanya saat ini adalah penerapan
Trisakti Bung Karno yang didalamnya yakni Berkepribadian dalam Bidang Budaya, sebagaimana
juga dituangkan dalam Nawacita. Hal ini jelas menegaskan kepada kita bahwa salah satu konsep
Trisakti ini sangat penting dimana kita sebagai sebuah bangsa yang besar harus memiliki
kepribadian yang jelas dilandaskan dari karakter bangsa yang memiliki keberagaman budaya lokal
disetiap daerah. Pemerintah daerah harus sejalan dengan konsep ini demi menjaga asset budaya
kita yang memiliki nilai tiada taranya ini.

Pergelaran upacara Tulude oleh masyarkat nusa utara yang dilaksanakan turun temurun merupakan
manifestasi dari konsep trisakti yang harus terus dipelihara sehingga tetap memberi rasa yang
berbeda dengan daerah lain dan menjadi sebuah keunikan. Upacara adat Tulude hanyalah sebagian
dari beberapa kebudayaan yang ada di Sulawesi Utara. Namun kelestariannya akan sangat
memberi dampak dan kontribusi positif bagi Sulawesi Utara bahkan Indonesia dalam upaya
menjaga dan mempertahankan jati diri bangsa sebagai Negara yang memiliki keragaman suku dan
budaya yang telah tersohor sejak jaman dulu kala.
Banyak daerah-daerah di Indonesia kita tahu bersama seperti memiliki daya magis dimata dunia
dan orang-orang dari seluruh penjuru bumi ingin datang melihat dari dekat dan mengetahui secara
detail akan kekayaan Indonesia di berbagai daerah. Sebagai contoh budaya jawa, bali, toraja,
dayak, papua, minahasa, batak dan masih banyak lagi yang menunjukkan kepada kita sebuah
karakter suku dan adat istiadat di negeri Indonesia yang sangat kaya dan tidak sama dengan yang
ada di Negara-negara lain.

Kepribadian yang unik dari setiap daerah dengan suku-suku dan adat istiadat yang beragam ini
membuat kita berbeda dengan lainnya. Dari segi pariwisata justru volume wisatawan datang ke
Indonesia sesungguhnya karena ingin mengetahui dan bahkan belajar akan budaya-budaya kita.
Untuk itulah pergelaran adat Tulude ini harus tetap dipelihara sampai kapanpun sebagai sebuah
pergelaran rutin yang dapat menciptakan sebuah karakter daerah yang kuat dan khas sebagai
kekuatan Sulawesi Utara, disamping juga menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat suku
lainnya di Sulawesi Utara.
Pergelaran upacara-upacara adat seperti tulude di Sulawesi Utara harus tetap diagendakan secara
rutin dan turun temurun sehingga masyarakat lokal semakin mencintai budaya dan adat istiadat
lokal yang dimiliki. Hal ini juga sebagai senjata untuk menangkal trend globalisasi dan
moderninasi yang hadir untuk menghilangkan jati diri daerah kita dan bahkan mengakibatkan
generasi muda saat ini lebih cenderung terbawa dengan arus trend luar yang mengakibatkan kita
melupakan warisan budaya lokal sebagai kekayaan kita sejak dulu kala. Pergelaran upacara adat
seperti Tulue dan juga kegiatan kebudayaan lain di Sulawesi Utara harus terus dilaksanakan demi
menjaga kelestariannya dimasa sekarang dan masa yang akan datang.

Manado – Walaupun kegiatannya molor yang direncanakan mulai pukul 11.00 WITA, masyarakat
Nusa Utara tetap menunggu acara adat Tulude di Tugu Lilin akhirnya dimulai pukul 19.30 WITA,
Jumat (3/2/2017).

Pesta Adat Tulude Kota Manado 2017 dengan Tema: Kasembau U Ghighile Su Sendinganeng Su
Koko U Ruata, dihadiri Walikota Vicky Lumentut, Wawali Mor Bastiaan serta sejumlah pejabat
dan tokoh budaya.

Prof. Dr. Orbanus Naharia, M.Si. selaku ketua panitia mengatakan, untuk mewariskan budaya
sebagai warisan leluhur selaku generasi saat ini, berterima kasih kepada Pemeritah Kota Manado
telah membiayai acara pelaksaan acara ini.

“Firman Allah akan membuka tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat bagi mereka yang
mengandalkan Tuhan. Hari ini terukir sejarah masyarakat Kota Manado asal Nusa Utara telah
mencanangkan suatu pewarisan adat oleh leluhur atas kerjasama dengan pemerintah Kota
Manado,” kata Orbanus Laharia.

Disisi lain Ketua Ikatan Kekeluargaan Sangihe Sitaro dan Talaud (IKISST) Sulut, Drs Agustinus
Tahendung menjelaskan, arti Tulude ialah menolak/meningalkan tahun yang lama masuk pada
tahun baru.

“Menurut falak orang-orang Sanger, Tulude sendiri diambil dari salah satu nama bintang ke 4
Tulude. Tulede bukan kita lihat proses pemotongan Tamo, tetapi kita mendengar kata-katanya
karena itu berisi doa dan penyembahan,” ungkap Agustinus Tahendung.

Lanjutnya, kalau di Sanger Tulude di buat 31 Januari karena bertepatan dengan ulang tahun daerah
Sangihe.

“Sekarang Sangihe sudah terbagi wilayah membuat orang bingung sebut apa? Padahal itu hanya
pembagian wilayah pemerintahan, tetapi budaya orang Sanger, Sitaro, Talaud tetap satu,” pungkas
Agustinus Tahendung. (YohanesTumengkol)
Perayaan adat Tulude tak pernah absen tiap tahun. Hampir seluruh daerah di Sulawesi Utara
(Sulut) menggelar acara ini. Rabu (31/1) kemarin, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Sitaro, dan Kota
Bitung merasakan magnet proses adat tersebut.

TULUDE dipercaya diturunkan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu. Perayaan ini dilaksanakan
masyarakat Sulut, khususnya etnis Nusa Utara. Tujuannya untuk mensyukuri berkat Tuhan pada
masyarakat. Prosesi di semua daerah sama. Seperti terpantau di Sangihe, Sitaro, dan Bitung.

Rumah jabatan Bupati Sangihe jadi tuan rumah pelaksanaan adat Tulude. Ini momen Tulude
pertama Bupati Jabes Gaghana dan Wakil Bupati Helmud Hontong. Proses Tulude diawali dengan
penjemputan secara adat para tokoh, selanjutnya pemukulan gong dan tambor, pertanda upacara
adat dimulai.

Nah, yang paling ditunggu biasanya adalah prosesi pemotongan kue adat Tamo. Sebelum dipotong
kue Tamo diarak para tetua memasuki tempat upacara. Kue ini merupakan warisan dari leluhur
yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi masyarakat turun temurun. Kue Tamo diibaratkan
batang pohon besar tinggi dan agung menjadi tempat berteduh. Akar, kulit, dan daunnya sebagai
obat penawar dari segala penyakit.

Kue ini dibuat masyarakat yang diramu dari hasil tanaman, simbol berkat Tuhan Yang Maha Esa
dan harus disyukuri. Kue ini tidak bisa terpisahkan dari upacara adat Tulude. Sebab Tamo harus
dinikmati seluruh masyarakat yang hadir dalam upacara adat.

Menariknya adat Tulude kali ini di Sangihe, semua aktivitas perekonomian dan tenaga kerja
diliburkan. Agar masyarakat dapat memaknai benar perayaan Tulude. Selain itu, pagelaran
kesenian daerah di antaranya tari empat wayer, masamper, musik bambu, digelar semalam suntuk
usai upacara Tulude.

Menurut Gaghana, upacara adat Tulude bukanlah kebiasaan bersifat seremonial. “Ritual budaya
ini berfungsi sebagai daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Sangihe. Selain itu salah satu
komoditas unggulan yang memiliki daya saing tersendiri dalam nilai kebudayaan dan sejarah,”
jelasnya.
Sejarah Singkat Upacara Tulude dari Sangihe- Setiap daerah memiliki budayanya masing-
masing, begitu juga dengan daerah Sangihe/Sanger. Daerah di ujung utara dari Sulawesi Utara ini
memiliki berbagai budaya yang unik dan menarik diantaranya Upacara Tulude. tanpa panjang
lebar lagi, berikut sejarah singkat Tulude dari Nusa Utara :
kata TULUDE berasal dari kata "suhude" yang secara harafiah berarti tolak, atau
mendorong.hingga secara luas dapat diartikan sebagai orang sangihe menolak untuk terus
bergantung pada hal - hal di tahun yang lampau dan siap menyongsong kehidupan yang baru di
tahun yang baru. Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada
Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat
manusia selama setahun yang lalu.

Upacara adat masyarakat Nusa utara Tulude dahulunya dilaksanakan pada tanggal 31 desember,
akan tetapi setelah agama kristen masuk ke daerah sangihe tanggal pelaksanaannya diubah menjadi
tanggal 31 Januari. upacara ini diubah tanggal pelaksanaannya agar supaya tidak mengganggu
perayaan Natal dan tahun baru Kristen.

Upacara Tulude kini telah menjadi agenda Tahunan warga Sangihe khususnya dan masyarakat
Nusa Utara pada umumnya. dan perlu diinformasikan bahwa upacara Tulude sekarang ini tidak
hanya dilaksanakan di sangihe akan tetapi Tulude juga diselenggarakan diberbagai tempat yang
didiami oleh masyarakat berdarah Nusa Utara seperti Manado, Bitung hingga Bolaang
Mongondow(selain daerah Sangihe tentunya).

Upacata tulude sebenarnya akan diawali dengan ritual khusus dimana dua minggu sebelum
upacara tulude, seorang tetua adat akan menyelam ke dalam lorong laut sambil membawa piring
putih berisi emas sebagai persembahan agar Banua Wuhu tidak murka. perlu diketahui bahwa
Banua Wuhu merupakan Gunung Bawah Laut yang besar dan aktif.

selanjutnya membuat kue adat Tamo di rumah seorang tokoh adat. Kemudian secara berurutan
-persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer,
kelompok nyanyi masamper,
- penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo
- penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa
keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo,
dan setelah itu semua dilaksanakan baru diundang kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin
negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat,
bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri).
dan lalu mengundang seluruh warga hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu
Banua (pesta rakyat makan bersama). perlu diketahui perayaan Upacara Tulude pada intinya hanya
berlangsung 4 sampai 5 jam.
perayaan baru- baru ini di siau 2013 dilaksanakan di Ondong dan dihadiri Tembonang u Banua
seperti : Menteri Koperasi DR. Sjarifudin Hasan, MM. MBA, Wakil Gubernur Sulawesi Utara DR.
Djouhari Kansil, anggota DPR RI Komisi VIII, Inggrid Kansil, S.Sos, Komisi III, Paula Singal,
Kakanwil Kementerian Agama Prov. Sulawesi Utara, Drs. H. Sya’ban Mauluddin, M.Pd.I, Bupati
Halmahera dan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

Anda mungkin juga menyukai