Anda di halaman 1dari 3

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SIBER SYEKH NURJATI CIREBON

(UINSSC)
PROGRAM STUDI PJJ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TUGAS AKHIR SEMESTER (UAS) GASAL
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
Nama : Junaidi Dasuki Dosen Pengampu : Dr. H. Casta, M.Pd
NIM : 2281130442 Mata Kuliah : Cirebon Studies
Kelas : A9 Tanggal : 19 Desember 2023

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

1. Bandar Muarajati
Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Jawa:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda dan datang untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Pada masa Pra-Islam, Cirebon masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran.
Kala itu, kira-kira 5 km dari kota Cirebon kini, di kaki bukit Amparan Jati terdapat sebuah pedukuhan
atau perkampungan yang dinamakan Pasambangan dengan bandar utamanya, yakni Muara Djati.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa
baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia
lainnya.
Ki Gedeng Tapa adalah seorang juru labuhan yang berperan penting dalam proses
pembangunan Pelabuhan Muara Jati. Projek besarnya yang terkenal adalah pembangunan mercusuar
yang dikerjakan oleh orang-orang asal Majapahit. Sebagai upahnya, para pekerja diberi aneka rempah,
diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh.
Cirebon menjadi salah satu daerah yang pada masa lalu mengalami perkembangan dengan
cepat. Hal ini karena pada saat itu, Cirebon memilik salah satu pelabuhan terbesar di nusantara.
Banyaknya pendatang dari mulai pedagang, saudagar dan lain-lainnya membuat akulturasi budaya,
kepercayaan dan keturunan pun terjadi dengan cepat.
2. Peran besar Syekh Dahtul Kahfi, Pangeran Walangsungsang dan Syarif Hidayatullah dalam
kebudayaan Cirebon.
a. Syekh Dahtul Kahfi (Syekh Nurjati)
Syekh Datuk Kahfi memiliki peran besar dalam proses berkembangnya Islam di
Cirebon, Jawa Barat. Ia dimakamkan di puncak Gunung Jati, Cirebon. Makamnya beseberangan
jalan dengan makam Syarif Hidayatullah atau yang lebih banyak dikenal sebagai Sunan Gunung
Djati.
Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati atau Syekh Nurul Jati atau Syekh Idhofi adalah
tokoh ulama pra-Walisongo yang memiliki peran penting dalam proses islamisasi masyarakat
nusantara terutama di Jawa Barat.
b. Pangeran Walangsungsang (Haji Abdullah Iman)
Terbentuknya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari peran Pangeran Walangsungsang
yang mampu memberdayakan daerah Cirebon, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik,
sehingga menjadi salah satu kesultanan besar di Nusantara. Pangeran Walangsungsang dalam
merintis kesultanan Cirebon, mengungkap kan fakta tentang usaha-usaha yang dilakukanya dalam
merintis kesultanan Cirebon, serta usahanya dalam menyiarkan agama Islam di daerah Cirebon.
Peran awal yang dilakukan oleh pangeran Walangsungsang dalam mengembangkan
daerah Cirebon yakni pada saat beliau menjabat sebagai Pangraksa bumi. Beliau berhasil
mengembangkan ekonomi masyarakatnya dengan pemberdayaan hasil laut, khususnya
Rebon/udang kecil menjadi terasi dan petis yang mrupakan komoditas perdagangan yang banyak
diminati oleh masyarakat skitar Cirebon pada saat itu. Dalam bidang agama pangeran
walangsungsang berhasil menyiarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon dan sekitarnya,
sehingga iv daerah Cirebon mampu menjadi salah satu daerah pusat penyiaran agama Islam di
tanah Jawa, khususnya daerah tatar Pasundan / jawa Barat sekarang ini. Dalam proses syiar
Islamnya beliau menggunakan Istana Pakungwati menjadi tempat untuk mengajarkan agama Islam
kepada Santrinya. Disamping itu beliau mendirikan mesjid yang diberi nama Mesjid Pejalagrahan,
untuk kaum muslim daerah Cirebon beribadat. Mesjid yang dibangun pangeran Walangsungsang
ini merupakan Mesjid pertama di daerah Cirebon.
c. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Selain menjadi Raja ia juga menjabat sebagai Dewan Wali Sanga untuk membantu para-
para wali dalam penyebaran agama Islam, Peranan Sunan Gunung Jati dalam memimpin
Kesultanan Cirebon banyak memberikan kontribusi pada perkembangan dan penyebaran agama
Islam di Tanah Jawa khususnya di Cirebon.
Sunan Gunung Jati sebagai ulama adalah perannya mengubah kultur atau budaya
masyarakat Cirebon yang dulunya kental dengan ajaran Hindu-Budha menjadi bernilai Islamiyah.
Dengan mengadaptasi tradisi Cirebon, dakwah yang dilakukan beliau dilakukan dengan cara-cara
yang menarik perhatian, di antaranya dengan menggunakan pepatah-pepitih yang sampai saat ini
masih sering didengar masyarakat Cirebon. Sarana dakwah Sunan Gunung Jati adalah pondok
pesantren Gunung Jati, Keraton Kasepuhan, dan yang terakhir adalah Masjid Agung Sang
Ciptarasa.
Ketika Sunan Gunung Jati datang ke Cirebon, beliau tidak melakukan gerakan
revolusioner yang berbahaya. Beliau justru memadukan unsur budaya yang telah ada dengan Islam
yang tercermin dalam struktur sosial ekonomi, budaya, agama dan kesenian. Beliau juga berhasil
melakukan Islamisasi dengan cara memerankan tokoh politik dalam pemerintahan, pendakwah
yang memadukan unsur sosial budaya dan agama serta melalui proses pernikahan.
3. Jelaskan apa dan mengapa pesan “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” muncul, serta masih
relevankah dalam konteks dakwah/Pendidikan Islam di saat ini?
- Ingsun Titip Tajug Lan fakir Miskin merupakan pesan dari Sunan Gunung Jati yang
memiliki arti dalam Bahasa Indonesia “Aku titip masjid dan fakir miskin”. Pesan yang sangat
mendalam dan bisa ditafsirkan beragam. Dalam makna masjid/mushalah (tajug)
menggambarkan sebuah bangunan ibadah umat muslim, yang pastinya tempat tersebut
memiliki kemuliaan. Dan kemuliaan ini didasari karena masjid sebagai tempat ibadah sholat,
berdo’a memohon kepada Allah SWT. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan Sunan
Gunung Jati dalam kata (tajug) dapat berarti kemuliaan. Kemudian dalam kata Fakir
Miskin yang merupakan isyarat Sunan Gunung Jati ini ditujunkan bukan hanya fakir miskin
seperti, anak yatim-piatu, kaum du’afa dan lainnya. Akan tetapi lebih luas lagi, Sunan
Gunung Jati sebagai seorang raja ingin menciptakan keadilan bagi masyarakatnya.
- Pesan “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” masih sangat relevan dalam konteks dakwah
pendidikan islam saat ini. Karena saat ini masih banyak masyarakat yang hanya berlomba-
lomba untuk membangun tempat ibadah, namun dalam memakmurkan isinya sangatlah minim.
Begitu juga dengan kepedulian terhadap fakir miskin masih rendah, sehing masih ada
disekeliling kita masyarakat yang tergolong dalam fakir miskin.
4. Pendapat dan saran tentang Ritual Sedekah Bumi agar tetap bertahan dengan Islam.
- Pengembangan ritual dengan pawai alegori dapat menjadi sarana efektif untuk menyatukan
budaya lokal dengan nilai-nilai Islam. Penting untuk memastikan bahwa elemen-elemen alegori
tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip agama dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
- Ritual Sedekah Bumi mencerminkan rasa syukur, sebuah nilai yang sangat ditekankan dalam
Islam. Rasa syukur kepada Allah atas nikmat musim penghujan dan hasil panen dapat diperkuat
dengan mengintegrasikan bacaan doa-doa syukur, zikir, atau khotbah keagamaan yang relevan.
- Agar budaya (sedekah bumi) leluhur/nenek moyang tetap bertahan, maka kita sebagai generasi
penerus harus bisa menjaga dan merawatnya agar tradisi tersebut tidak hilang/sirna begitu saja.
Karena di dalam tradisi tersebut (sedekah bumi) terdapat banyak nilai-nilai spirit Islam yang
perlu kita jaga dan kita lestarikan, misalnya: sebagai rasa syukur kita terhadap Sang Khalik atas
nikmat yang telah diberikan melalui hasil Panen, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai