Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL BUDAYA CIREBON


DI PERUNTUHKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH CIREBONOLOGI
Dosen Pengampu : Bintang irianto M.pd

Di susun oleh :
Nama : Anita Dwi Faziyah
Nim : 2108101037

PENDIDDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NUR JATI CIREBON

1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami. Sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah tentang Kearifal lokal budaya Cirebon
Terlepas dari semua hal itu, kami menyadari sepenuhnya jika masih ada
kekurangan baik dalam susunan kalimat ataupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima segala bentuk saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini kedepann

\
6 Desember 2021

Anita dwi faziyah

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................ 2
DAFTAR ISI.......................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................. 4
A. Latar belakang masalah 4
B. Rumusan masalah ................. 5
C. Tujuan penelitian ................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................. 6
A. Sejarah singkat keraton kesepuhan 6
B. Awal mula kemunculan maulid Nabi dan penyebaran di Jawa 7
C. Prosesi panjang jimat.................. 10
BAB III PENUTUP................................... 14
A. Kesimpulan.......................................... 14
B. Daftar pustaka......................................................................... 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah

Indonesia merupakan Negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam ras,
suku, agama, bahasa, dan etnis. Dalam keberagaman tersebut terdapat sebuah identitas
Nasional yang menjadi kebanggaan Negara Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan
bukti kekayaan bangsa Indonesia yang menghasilkan kebudayaan Nasional. Kebudayaan
Nasional itu sendiri terdiri dari kebudayaan-kebudayaan Lokal yang dihasilkan di
berbagai daerah di Indonesia.

Salah satu bentuk kebudayaan Nasional adalah sistem ritual upacara keagamaan yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upacara Panjang Jimat di Keraton
Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu bentuk kebudayaan lokal yang ikut
memperkaya kebudayaan Nasional Indonesia. Upacara Panjang Jimat sudah dilaksanakan
sejak Keraton Kasepuhan didirikan dan terus berlangsung sampai sekarang.

Pelaksanaan Upacara ini memang terus berlangsung sampai sekarang, namun seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi nilai-nilai lama dalam
upacara tersebut yang semula menjadi acuan masyarakat menjadi goyah akibat masuknya
nilai-nilai baru dari luar. Upacara tradisional sebagai nilai-nilai lama masyarakat
pendukungnya lambat laun akan terkikis oleh pengaruh modern dan nilai-nilai baru
tersebut. Dengan kata lain mungkin upacara tradisional mengalami perubahan atau
pergeseran akibat pengaruh modern tersebut.

Untuk mengkaji permasalahan tersebut sangat pening diadakan penelitian tentang


perubahan atau pergeseran upacara tradisional yang terjadi masa sekarang. Sebelum kita
mengkaji lebih dalam penyebab permasalahan tersebut, maka kita harus melihat seberapa
jauh perubahan itu terjadi dengan menggunakan kajian historis. Setelah itu maka kita bisa
mencari akar penyebab terjadinya perubahan tersebut dan menemukan kesimpulan akhir
apakah benar perubahan tersebut menuju ke arah positif atau ke arah negatif dan kita bisa
menemukan jalan keluar permasalahan tersebut. Dengan memperhatikan pertimbangan
tersebut maka kami mengangkat makalah ini dengan judul “Upacara Panjang Jimat
Sebagai Entitas Lokal Keraton Kasepuhan Cirebon dan Perubahannya (Sebuah Kajian
Historis, Sosial, dan Ekonomi)”.

4
B. Rumusan masalah
1. Apa sejarah singkat keraton kesepuhan
2. Apa awal mula kemunculan maulid Nabi dan penyebaran di Jawa
3. Apa prosesi panjang jimat

C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah singkat keraton
2. Untuk mengetahui kemunculan maulid Nabi dan penyebaran di Jawa
3. Untuk mengetahui prosesi panjang jimat

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah singkat keraton kesepuhan

Keraton Kasepuhan terletak di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon dengan luas


16 hektar yang dibatasi oleh tembok Keraton, tidak termasuk Alun-alun dan Mesjid
Agung Sang Cipta Rasa. Untuk sampai ke sana dari Jalan Lemah Wungkuk kita dapat
berjalan lurus ke arah Selatan sampai tiba di Alun-alun Keraton Kasepuhan. Dari Alun-
alun Keraton inilah kita dapat melihat kompleks Keraton Kasepuhan yang terletak persis
di sebelah Selatan Alun-alun.

Dilihat dari sudut historisnya Keraton kasepuhan merupakan pembagian dari keraton
kasunanan kerajaan Cirebon. Kerajaan Cirebon awalnya merupakan sebuah
perkampungan yang bernama Tegal Alang-alang dan kemudian dibentuk menjadi
perkampungan Cirebon oleh Pangeran Walangsungsang pada tahun 1445 M.
Pembentukan dilakukan awalnya ketika Pangeran Walangsungsang mencari ilmu agama
Islam di daerah Tegal Alang-Alang ini, kemudian beliau melihat potensi daerah pesisir
ini kaya akan udang dan bisa dijadikan pelabuhan dagang sehingga secara resmi
Pangeran Walangsungsang mendirikan kampung Cirebon (PRA. Arif Natadiningrat,
2009).

Selain Pangeran Walangsungsang, Sri Baduga Maharaja juga mempunyai seorang Putri
yang bernama Rara Santang yang telah kembali dari Mekkah dan beragama Islam. Rara
Santang membawa serta putranya yang bernama Syarif Hidayatullah, Syarif Hidayatullah
inilah yang mengukuhkan Cirebon bentukan Pangeran Walangsungsang sebagai daerah
kekuatan agama Islam yang merdeka dari kerajaan Sri Baduga Maharaja di Pakuan
Pajajaran dan menjadi raja Cirebon bergelar Susuhunan Jati 1479 M. Dalam versi sejarah
Keraton Cirebon, Susuhunan Jati wafat pada tahun 1568 M dan dikuburkan di Gunung
Jati (Cirebon) sehingga dikenal pula sebagai Sunan Gunung Jati.

Pusat pengaturan pemerintahan Kerajaan Cirebon terdapat di Keraton Pakungwati.


Keraton Pakungwati sudah dipakai oleh Raja-raja Cirebon sejak masa-masa awal
perkembangan Islam. Nama Pakungwati tetap dipertahankan hingga masa pemerintahan
Panembahan Ratu I, dan Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya). Setelah itu pada
tahun 1679 M masa kepemimpinan Sultan Anam Badridin I terjadi perebutan kekuasaan
intern kerajaan sehingga beliau membagi kerajaan Cirebon yang pusat pemerintahannya
di Keraton Pakungwati ini menjadi tiga pusat kerajaan di tiga keraton. Keraton tersebut
yaitu Keraton Kasunanan, Keraton Kasepuhan, dan Keraton Kanoman. Keraton
Kasepuhan mengambil tempat di kompleks bekas Keraton Pakungwati, dan sejak itu
berkembang terus sampai ke selatan.

6
B. Awal mula kemunculan maulid Nabi dan penyebaran di Jawa

Maulid sebagai bagian dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari segi historis maupun
dari segi sosial budaya. Dari segi historis terdapapat dalam catatan Al-Sandubi dalam
karyanya ”Tarikh Al-Ikhtilaf Fi Al-Maulid Al-Nabawi, Al-Mu’izzli-Dinillah.
Diungkapkan olehnya bahwa dalam sejarah Islam penguasa bani Fatimah yang pertama
menetap di Mesir adalah orang pertama yang menyelenggarakan perayaan kelahiran
Nabi. Kemudian kurun waktu berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh
golongan Syi’ah ini juga dilaksanakan oleh golongan Sunni dimana Khalifah Nur Al-Din
penguasa Syiria (511-569 H / 1118-474 M) adalah penguasa Suni pertama yang tercatat
merayakan maulid Nabi. Perayaan Maulid secara besar-besaran dilaksanakan pertama
kali oleh Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kokburi bin Zain al-Din Ali bin Baktatin
penguasa Irbil, 80 KM tenggara Mossul.

Kemudian mengkaji penyebaran Maulid Nabi sampai ke Indonesia sangat berkaitan


dengan jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah penguasa Al
Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah). Salahuddin memerintah para tahun
1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan
pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya
membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183
Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci saat itu atas persetujuan Khalifah Bani Abbas
di Baghdad juga, Sultan menghimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika
kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada
masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini
selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang
umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika
terjadi perang salib.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu
tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu
Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan
Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat
dikategorikan bid’ah yang terlarang.

Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan
sebagai salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa sendiri tradisi
ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai
sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan
yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping
sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap
jasa-jasa Walisongo.

7
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-
Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah
karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup
silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi
rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah
kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.

Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian
dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Yogyakarta, dan Surakarta,
perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten,. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang
Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual
penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya
upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.

Di Cirebon upacara Maulid Nabi (selanjutnya disebut dengan Panjang Jimat)


dilaksanakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah.
Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton
Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah. Di
Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud.
Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata
“Grebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari
keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi lengkap dengan sarana
upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya.

Di Garut terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang
pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali
dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi
supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten
kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat
ziarah makam para wali.

Di Keraton kasepuhan sendiri perayaan Panjang Jimat secara besar-besaran selalu


diadakan, terutama sesudah Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang
Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (Kerajaan Cirebon) 1479
M. Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini bukan semata
karena menghormati Nabi Muhammad SAW sebagai penyebar agama saja tetapi juga
karena menghormati nenek-moyang.

Menurut garis ayah, Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke-22 Nabi Muhammad
SAW. Ayahnya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui
Gujarat, menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa

8
Pajajaran. Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, Syarief Hidayatullah
begitu menghormatinya secara khusus pula sebagai seorang keturunan kepada nenek-
moyangnya. Sejak saat itu muludan di Kerajaan Cirebon selalu meriah hingga kini.

Dapat dipahami juga bahwa tradisi keagamaan maulid merupakan salah satu sarana
penyebaran Islam di Indonesia. Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima
masyarakat luas Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi
keagamaan. Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 M semakin meluas di Nusantara
terutama atas kegiatan kaum sufi yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang
atraktif, khususnya dengan menerangkan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam
konteks Islam.

Menurut Ahmad Anas jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi maulid merupakan
salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia dan umumnya dilakukan oleh
kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya
perayaan maulid bersamaan dengan prosesnya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh
pendakwah atau dalam hal ini kaum sufi.

Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan
oleh penyebar Islam awal di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di
daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola
penyebarannya pun disesuaikan dnegan kemampuan pemahamaan masyarakat. Sehingga
materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan pada peningkatan keyakinan serta ajaran
ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan
upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan
keislaman mereka sangat dianjurkan seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, kenduri, haul,
upacara yang terikat dengan kematian, termasuk muludan, dan lain sebagainya.

Kondisi lainnya yang berpengaruh dalam penyebaran Maulid Nabi ini adalah kondisi
sosial politik pada abad ke-14 hingga ke-16 M. Di berbagi belahan dunia Islam sedang
marak dan berada pada puncak penyebaran tradisi maulid yang perintisannya sejak awal
abad ke-12. Kegiatan maulid mencapai puncak popularitasnya di kalangan masyarakat
sehingga penguasa-penguasa pun kemudian mengakomodasinya sebagai kegiatan resmi
negara yang salah satu motifnya adalah kepentingan politik. Acara Maulid Nabi ini
menjadi sebuah penglegitimasian keberadaan sultan di kerajaan. Di Keraton Kasepuhan
sendiri Sultan memegang peranan penting dalam upacara Panjang Jimat sebagai orang
yang diutamakan. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kewibawaan sultan
dimata masyarakat

9
C. Prosesi panjang jimat

Prosesi adat “Panjang Jimat” adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad
SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di
Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda
pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati
yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah
sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat
sahadat kepada umat di dunia. Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas
kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan
bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil
ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi.

Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi seperti telah dijelaskan kemudian menyebar ke


seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah
kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi
prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon
diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah.
Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton
Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri
Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.

Rirual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya
mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil Maka pada saat itu tampaklah raja
melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja
mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan
itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya.

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan secara langsung pada tanggal 7-9 Maret 2009
dengan melakukan wawancara, pengamatan langsung, dan juga bantuan dari sumber
buku yang telah kami baca, maka kami mendapatkan beberapa fakta tentang perubahan
Panjang Jimat berupa prosesi dan keadaan masyarakatnya. Pada hasil pertama kami akan
mengungkapkan tentang prosesi panjang jimat terlebih dahulu.

Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di
lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:

1) Diadakan Susrana

Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem. Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7
golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar.
Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu
Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air mawar, kembang goyah, “serbad

10
boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-
kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung,
Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.

2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal
Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di
tengah ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.

Di Keraton Kasepuhan, upacara puncak Pelal Panjang Jimat dimulai tepat pukul 19.50
WIB dipimpin langsung oleh Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, sementara prosesi
iring-iringan jimat keraton dibawa dari Bangsal Prabayaksa Keraton menuju Langgar
Agung dipimpin Putra Mahkota Kesultanan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati PRA.
Arief Natadiningrat.

Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota PRA Arief
Natadiningrat sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.

Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang
melambangkan kelahiran nabi pada malam hari, barisan kedua berupa Manggaran,
Nagan, dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.

Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang air
ketuban dan usus atau ari-ari bayi, barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki
dan dua guci sebagai perlambang kelahiran. Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10
nasi uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik
agar menjadi orang yang berguna, dan barisan keenam adalah tujuh nasi jimat.

Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing
membawa simbil-simbol sebagai perlambang. Barisan pertama ialah pembawa lilin,
bertujuan sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti
“manggaran”, “nadan” dan “jantungan” (perlambang kebesaran dan keagungan).

Setelah sepasukan pengawal (iring-iringan) lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa,


putra mahkota PRA. Arief atas izin Sultan Kasepuhan, memimpin arak-arakan menuju
Langgar Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton. Arak-arakan yang keluar
dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor
(perlambang Abu Tholib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada
malam hari yang kemudian menjadi manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke
mushala. Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka bersama dengan sajian
makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan
Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun.

11
Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab
Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB. Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang
dipimpin imam Masjid Agung “Sang Cipta Rasa” Keraton Kasepuhan, makanan lalu
disantap bersama. PRA Arief yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa
kemeja hitam dan blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab
ribuan warga yang rela menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau
sekadar menyentuh calon Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa
berkah “Ngalap berkah”.

Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan,
Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan.
Sultan menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan
tahun. Sebagaimana sebutan “pelal”, Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian
ritual yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi
Muhammad saw. Acara ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun
selalu berjalan meriah dan menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk
datang ke Kota Cirebon.

Pelal Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan
Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya
bagi abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain
seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya,
Ciamis, Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan,
Semarang sampai Jakarta dan Banten. Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan
Muludan yang digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam
menempuh kehidupan, bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda
pusaka dengan tujuan mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.

Perubahan Panjang Jimat di lihat dari aspek sosial Berdasarkan penelitian yang telah
kami lakukan, terdapat fakta-fakta baru tentang Panjang Jimat. Kami bisa mengambil
sebuah kesimpulan bahwa pelaksanaan upacara Panjang Jimat sekarang mengalami
perubahan atau pergeseran. Secara umum perubahan pelaksanaan Panjang Jimat tersebut
bukan terletak pada struktur upacaranya tapi dalam bentuk permukaannya. Perubahan
penyelenggaraan dalam bentuk permukaannya banyak berubah dilakukan untuk
mendukung program pemerintah yakni pariwisata dan pembangunan (Seputar Indonesia,
10 Maret 2009). Sedangkan mengenai tujuan, kesakralan, struktur secara intern masih
tetap terjaga. Prosesi upaca masih lengkap meskipun sedikit ada penyederhanaan.

Seperti yang telah diketahui bahwa upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan sudah
ada sejak jaman dahulu dan sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Cirebon.
Hal ini khususnya dikarenakan masyarakat masih memegang teguh adat istiadat ataupun
kebiasaan akan tradisi yang diwariskan turun temurun. Secara prinsip, upacara Panjang
Jimat tetap dilakukan dari tahun ke tahun, namun dalam pelaksanaannya lebih

12
ditingkatkan yakni dilaksanakan dengan lebih besar, meriah, diisi dengan program
pembangunan dan dikaitkan dengan pariwisata. Terdapat suatu indikasi bahwa hal ini
disebabkan karena sudah memasuki jaman globalisasi yang serba modern.

Akibat dari globalisasi tersebut menyebabkan upacara Panjang Jimat yang merupakan
salah satu adat atau kultur Keraton kasepuhan juga mengalami perubahan. Hal ini
sebenarnya tidak menjadi masalah karena meskipun mengalami perubahan tapi tetap
mempunyai struktur, tujuan, esensi yang sama dengan pelaksanaan grebeg maulud
dahulu. Nilai kesakralan dan getaran emosi masyarakat masih tetap ada.

Pernyataan ini sependapat dengan peryataan Poespoprojo bahwa dalam masyarakat


dinamik upacara adat yang mengalami perubahan biasanya dalam bentuk permukaannya
saja bukan pada strukturnya (non empiris). Sebab struktur selalu tetap dimiliki manusia,
meski manusia tersebut telah terjerat oleh kemajuan jaman. Rangkaian upacara Panjang
Jimat ini tidak mengalami peruban, begitu juga makna yang terdapat dalam setiap
rangkaian yang dilaksanakan tetap tidak berubah dan masih sama seperti dulu.

Pemahaman upacara tradisional yang penting, khususnya Panjang Jimat ini bukan pada
level empirisnya (luarnya) tapi pada level non empirisnya yakni struktur pada upacara
tersebut. Selama strukturnya sama, maka prinsip dari upacara Panjang Jimat tetap sama,
inilah yang paling esensial dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat agar tetap terjaga
keaslian, kesakralan, struktur, nilai, dan tujuannya.

Selanjutnya jika dilihat perubahan dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini
terletak pada bentuk luarnya (empiris) yaitu untuk mendukung program pariwisata dan
pembangunan seperti diketahui bahwa sebelum upacara dimulai dengan pesta rakyat
menyongsong perayaan Panjang jimat, yakni berupa keramaian untuk hiburan
masyarakat. Apabila jaman dahulu dalam Panjang Jimat ini tidak ada keramaian berupa
pasar malam dan para pedagang, maka sekarang mereka ada dan sangat ramai sekali.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi
merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari
Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di
Mesir kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah
dari dinasti Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo
sedangkan di Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah
berkuasa.

Proses dari Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi
ini terdapat beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan
Tumpeng yang mendukung upacara Maulid Nabi.

Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke globalisasi,


maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi sekarang
lebih mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil
kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami
perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut
disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga
dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan
dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi yang dahulu merupakan sebuah upacara
peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-
ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini dijadikan oleh
masyarakat sebagai tempat mencari rezeki

14
DAFTAR PUSTAKA

http://sahabatsilat.com/forum/index.php?topic=551.0;wap2
http://www.keajaibandunia.net/info/peninggalan-sosial-budaya-cirebon.html

http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/05/haji-krupuk-sebuah-kearifan-budaya-
cirebon-475638.html

http://nasional.kompas.com/read/2010/06/10/10263210/

15

Anda mungkin juga menyukai