Kajian Tentang Ketangguhan Tradisi Pengajian Keliling Santri Betawi
Menghadapi Modernitas
Makalah ini Ditulis untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Studi Pesantren yang Diampu Bapak Ahmad Baso
Oleh: Ahmad Iftah Sidik
PROGRAM PASCA SARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA JAKARTA PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi kebanyakan orang yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, jika disebut nama Betawi, maka yang akan segera terlintas di kepalanya adalah sosok penduduk asli Jakarta yang lugu, terbuka, dan taat beragama, tentu lengkap dengan pelbagai atribut kebudayaannya yang kaya warna. Dengan mengabaikan fenomena Kampung Betawi Kristen di Srengseng, orang Betawi identik dengan muslim yang fanatik 1 , sangat menghormati tokoh-tokoh agama dan menjunjung tinggi tradisi keislaman yang diwarisinya secara turun temurun sejak nenek moyangnya. Berbagai kegiatan dan ritual keagamaan hingga kini masih terpelihara dengan baik, seperti tradisi membaca rawi setiap akan menyelenggarakan resepsi pernikahan atau khitanan, ziarah kubur orang tua dan para guru, menyelenggarakan kenduri untuk menyambut hari besar Islam, dan majelis-majelis pengajian kitab kuning yang diasuh oleh para muallim dan ustadz mereka yang tersebar hampir di setiap kampung di Jakarta. Masih banyak lagi hal menarik yang bisa dikaji dari tradisi keislaman Betawi yang merupakan bagian dari kekayaan khazanah keislaman nusantara. Salah satunya adalah tradisi orang Betawi dalam mempelajari, mendalami dan mewariskan nilai dan pengetahuan agama Islam. Jika di daerah lain proses pendalaman ilmu keislaman dan pencetakan ulama dilakukan melalui proses mondok atau nyantri di sebuah pesantren selama kurun waktu tertentu yang dianggap cukup, masyarakat Betawi justru melakukannya dengan tradisi yang berbeda: belajar di madrasah lalu memperdalam dan memperkayanya di majelis-majelis taklim yang mengkaji kitab kuning. Hal ini sangat unik, sebab berbeda dengan metode pesantren yang umumnya bisa ditempuh dalam waktu 6 10 tahun untuk menjadi seorang kyai muda yang telah mengkhatamkan kitab-kitab standar, dalam tradisi majelis-majelis taklim masyarakat Betawi untuk mengkhatamkan satu kitab saja bisa memakan waktu belasan bahkan puluhan tahun 2 . Secara logika pendidikan modern bisa jadi tradisi ini dianggap tidak masuk akal. Betapa tidak, kalo proses belajar bisa dilakukan dalam waktu singkat, mengapa mengikuti atau membuat sistem pendidikan yang justru memakan waktu sangat lama? Bukankah hal itu justru membuang-buang waktu dan tenaga? Di lihat dari satu perspektif apalagi dalam perspektif logika barat-- mungkin jawabannya bisa jadi : Iya. Namun akan lebih menarik, jika melihat tradisi ini dari kaca mata dan logika orang dalam dengan perspektif yang lebih apresiatif dan dengan pendekatan asset based thinking, berfikir berdasarkan kekuatan atau penghargaan terhadap potensi yang sudah dimiliki. Yakni bagaimana kaum santri dan ulama Betawi menceritakan dirinya, sistem pendidikan yang diwarisinya dari era Walisongo, dan terus bertahan hingga zaman modern kini. Dengan penuh apresiasi, bahwa umat Islam Betawi, setelah melalui sejarah panjangnya, berhasil membuktikan keliatan akar tradisi kesantrian mereka dalam menghadapi gempuran modernitas dan baratisasi yang membanjiri ibukota. Saking liatnya, hingga seakan Betawi dan Jakarta modern adalah dua sisi mata uang yang berbeda meski berada dalam dimensi dan waktu yang sama.
1 Susan Blacburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta, Masup, 2011) h. 90 2 Kyai Saifudin Amsir, salah seorang ulama senior Betawi yang juga menjabat Rais Syuriyyah di PBNU dan Rais Tsani di Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mutabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), menceritakan kekagumannya sewaktu muda kepada penulis (30/11/2013), atas pesantren-pesantren di Kajen Pati, yang baru di tingkat Madrasah Diniyyah Wustho saja sudah mengkaji dan menyelesaikan kitab Bughyah Al-Mustarsyidin karya Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur Al-Hadhrami, sementara beliau sendiri melalui tradisi mengaji ala Betawi kitab tersebut baru dikhatamkannya dalam waktu 20 tahun.
Permasalahan Dari pendahuluan di muka, sesungguhnya banyak muncul pertanyaan yang menggelitik seputar tradisi keislaman masyarakat Betawi. Namun menghasilkan kajian yang fokus dan mendalam, penulis membatasi permasalahan yang hendak dijawab dalam makalah ini sebagai berikut : 1. Siapa itu orang Betawi? Bagaimana Islam masuk dan berkembang dalam masyarakat Betawi? 2. Bagaimana tradisi keislaman masyarakat Betawi terbentuk? Khususnya dalam sistem kaderisasi dan regenerasi ulamanya? 3. Mengapa tradisi nyantri keliling ala Betawi mampu bertahan selama ratusan hingga saat ini? Faktor apa yang membuat tradisi tersebut begitu liat menahan gempuran modernitas? 2 TRADISI BETAWI
A. Sejarah Singkat Betawi Mengkaji sejarah Betawi adalah sebuah perjalanan sangat panjang menyusuri perjalanan terbentuknya sebuah subkultur yang sudah berusia 3500 tahun 3 . Sayangnya, kebanyakan catatan sejarah kita tentang Betawi hanya mendasarkan rujukannya kepada catatan kolonial yang usianya baru 350-400an tahun. Sehingga terkesan bahwa etnis Betawi baru muncul pada abad ke-16 saat Portugis menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Pelabuhan Sunda Kalapa, usai memenangkan pertempuran melawan Keraton Jayakarta yang kemudian mereka ganti namanya dengan Batavia. 4
Meski telah ada sejak 1500 tahun sebelum masehi, namun Betawi sebagai sebuah entitas ekonomi sosial politik dan budaya baru muncul pada abad kedua Masehi, yakni sekitar tahun 150an, di kawasan muara Kali Tirem, atau daerah Tanjung Priuk saat ini. Kawasan itu dulunya merupakan pusat perdagangan periuk yang diproduksi di Leuwiliang, Bogor, baik untuk keperluan domestic maupun ekspor ke luar daerah. Untuk pengamanan periuk-periuk dagangan tersebut, para pedagang memercayakannya kepada seorang kepala kampung bernama Aki Tirem yang tinggal bersama istri dan anaknya Larasati. 5
Kawasan pesisir barat Pulau Jawa saat dikenal sebagai wilayah angker, karena banyak bajak laut yang beroperasi. Begitu juga dengan daerah muara sungai Tirem yang kerap dijadikan gudang penyimpanan periuk juga kerap menjadi sasaran perampokan bajak laut. Aki Tirem lah yang setiap saat selalu bertarung melindungi perniagaan di kampungnya dari serangan bajak laut. Dengan kesaktiannya, konon Aki Tirem mampu menghadapi 50 orang bajak laut seorang diri. Legenda kesaktian Aki Tirem inilah yang membuat kampungnya dijuluki Warakas (dari bahasa Kawi yang artinya sakti mandraguna). Namun ketika sudah beranjak tua dan jumlah bajak laut yang menghampiri kadang mencapai ratusan, Aki Tirem mulai berfikir bahwa perniagaan itu tidak lagi bisa dilindungi hanya oleh seorang kepala kampung seperti dirinya. Kawasan itu harus dilindungi oleh sebuah sistem yang lebih besar, seperti kerajaan. Maka ketika ia mendapatkan menantu yang jauh lebih cakap dari dirinya, baik dari sisi kanuragan maupun pengetahuan, yang bernama Dewawarman atau Dewanagara, Aki Tirem pun mantap untuk mendirikan kerajaan pertama di kawasan tersebut yang ia beri nama Salakanagara. Salaka dalam bahasa Kawi berarti Perak. Dan Dewawarman menjadi rajanya yang pertama. 6
Belakangan untuk mengamankan dari serangan bajak laut, ibukota kerajaan yang masih muda tersebut dipindah sedikit ke dalam, diperkirakan di kawasan yang sekarang bernama Condet,
3 Hal ini dibuktikan dengan penemuan Gigi Gledek atau Kapak Batu peninggalan masa Neolithikum di Condet, Sunter, Cengkareng, Kebon Sirih, Tanah Abang, dan beberapa titik lain hingga Ciputat dan Parung. Lihat : Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, (Jakarta, Gria Media, 2002), h. 5-7; dan Susan Blacburn, Jakarta, h. 6 4 Ridwan Saidi, Babad, h. V 5 Ridwan Saidi, Babad, h. 3 6 Asal penamaan Salaka, menurut Ridwan Saidi, diperkirakan dari kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan adikodrati dari benda-benda alam. Saat itu bagi masyarakat setempat, pusat energy berada di pegunungan Leuwiliang Bogor yang setiap pagi seperti memancarkan semburat keperakan (salaka). Juga dari buah-buahan berkulit kasar namun jika dikupas isinya dagingnya berwarna keperakan yang banyak terdapat di kawasan Condet, yang kini kita kenal dengan nama salak. Ridwan Saidi, Babad, m. 5 mengingat lokasinya yang strategis di pinggir sungai besar, dan hingga saat ini masih menyisakan nama kampung yang berbau kerajaan seperti Balekambang (pesanggrahan para raja), Batuampar (batu datar tempat meletakkan sesaji), dan makam tua Keramat Gerowak (makam resi). Selain nama Salakanagara, daerah kekuasaan kerajaan ini juga dikenal dengan nama Nusa Kalapa atau Tanjung Kalapa. 7
Keberadaan Aki Tirem, Dewawarman dan Kerajaan Salakanagara ini disebutkan dalam sebuah manuskrip Tiongkok. Bahwa pada tahun 132 M raja Ye Tiau bernama Tiao Pien mengirim utusan ke Cina yang tengah dipimpin oleh Dinasti Han. Ye Tiau ini ditafsirkan oelh sejarawan sebagai Jawa, dan Tiao Pien sebagai Dewawarman. Pada Tahun 160 M, seorang ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus, berdasarkan cerita dari para pelaut Arab, menulis bahwa Ioabadiou adalah sebuah negeri yang subur, menghasilkan banyak emas dan memiliki banda niaga bernama Argyre yang terletak diujung barat negeri itu. Ioabadiou ditafsirkan sebagai Jawa, sedangkan Argyre dalam bahasa Yunani artinya perak atau salaka. 8
Kerajaan Salakanagara Berjaya selama 233 tahun. Pada tahun 363, Raja Salakanagara terakhir Dewawarman IX (Putra Dewawarman VIII) memilih menjadi raja bawahan Kerajaan Tarumanagara yang baru didirikan oleh kakak iparnya, seorang pelarian kalah perang dari Kerajaan Palawa - India, bernama Jayasinghawarman. Kemajuan pesat Tarumanegara dalam bidang pertanian berkat sistem pengelolaan lahan dan pengairan baru yang diperkenalkan Jayasinghawarman. Tarumanagara yang berpusat di tepian Sungai Citarum (daerah Karawang atau Purwakarta saat ini) mencapai kejayaannya pada masa pemerintahaan Purnawarman. Pada abad ke-7 pengaruh Tarumanegara atau Sundapura (nama baru yang diberikan oleh Raja Trusbawa) mulai redup, digantikan oleh Sriwijaya di pesisir utara, munculnya Kerajaan Galuh di kawasan tenggara, Kalingga di pulau Jawa bagian tengah dan Kadiri, di Jawa bagian timur. Karena Sundapura, Galuh dan Kalingga tidak memiliki angkatan laut yang kuat, maka kontrol atas laut Jawa didominasi oleh Sriwijaya dan Kadiri. Keduanya terus menerus terlibat bentrokan di laut sampai akhirnya ditengahi dan didamaikan oleh Kerajaan China yang merasa konflik mereka mengganggu perdagangannya. Wilayah laut pun dibagi dua, kawasan barat di bawah pengawasan Sriwijaya, sementara bagian timur dikuasai Kadiri. Sementara untuk mengontrol daratan Jawa bagian barat Sriwijaya bermitra dengan Kalingga yang seagama, yakni Budha, meski tetap saja tidak efektif. Karena itulah Kerajaan Sriwijaya memobilisir orang Melayu yang setia kepada Sriwijaya dari Kalimantan Barat untuk bermigrasi ke Jawa bagian barat, melalui Palembang Bangka Belitung dan mendarat di Tanjung Kalapa atau Tanjung Priuk. Sejak itulah di kawasan Nusakalapa dimulai proses asimilasi tradisi Melayu dan tradisi Sunda kawi yang belakangan membentuk subkultur Betawi. Diantara hasilnya, masyarakat Nusakalapa mulai meninggalkan bahasa Sunda Kawi murni dan memakai bahasa campuran Sunda-Melayu. Belakangan bahasa mereka akan diperkaya lagi dengan kedatangan imigran China dan Arab. 9
Pelabuhan Kalapa tetap menjadi Bandar niaga terpenting di kawasan barat Jawa, meski kekuasaannya berpindah ke kerajaan Galuh Pakuan atau Pajajaran yang wilayahnya semakin luas seiring diberlakukannya sistem Kerajaan Bawahan (semacam commonwealth di sekarang) yang damai. Demikian dicatat oleh para pengelana Cina Chiang Hsieh pada 1430, Tom Pires dari Portugis (dalam Summa Oriental, 1512-1515), dan J.H. Van Linschoten (1596). Orang-
7 Ridwan Saidi, Babad, h. 25 -35. 8 Ridwan Saidi, Babad, h. 5-6 9 Ridwan Saidi, Babad, h. 40-45. orang Eropa itu pula yang untuk pertama kalinya menyebut pelabuhan Kalapa dengan sebutan Pelabuhan Sunda Kalapa. 10
Pada masa pemerintahan Prabu Ragamulya di Galuh, kerajaan bawahan Tanjung Jaya yang berpusat di Kampung Muara, Tanjung Duren Barat, didirikan oleh Wangsatunggal (sepupu Ragamulya) menggantikan Tanjung Kalapa yang sudah pudar. Nama Pelabuhan Kalapa pun diubah menjadi Jayakerta. Orang Portugis menyebutnya Xacatara, jauh sebelum direbut oleh pasukan muslim. 11 Dan pada masa pemerintahan Ratu Kiranawati, kerajaan Tanjung Jaya dan pelabuhan Kalapa (Jayekerta)-nya pun diserbu oleh balatentara gabungan kerajaan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, menyusul penaklukan kerajaan Banten Girang beberapa waktu sebelumnya. Pelabuhan Kalapa atau Jayekerta jatuh ke penguasaan Fatahillah, yang kemudian dilanjutkan Tubagus Angke, lalu Tubagus Wijayakrama (Pangeran Jayakarta). Meski berhasil menguasai kawasan pelabuhan hingga Kali Besar dan Kali Angke, pasukan Fatahillah tidak pernah berhasil memperluas wilayahnya ke selatan yang masih dikuasai Ratu Kiranawati. Kerajaan Tanjung Jaya, mengikuti induknya Karajaan Pakuan Pajajaran, baru benar-benar runtuh pasca penyerbuan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten Surosowan pada tahun 1579. Ini bisa bisa dimaklumi, karena sejak Pelabuhan Kalapa direbut dan pusat perdagangan dipindahkan ke Banten oleh Kerajaan Cirebon, Karajaan Pakuan dan bawahannya, terutama Tanjung Jaya kehilangan pendapatan utamanya sehingga perlahan-lahan melemah. Berbeda dengan kebanyakan sejarawan lain, budayawan Betawi Ridwan Saidi meragukan motif penyerangan Pelabuhan Kalapa untuk dakwah, sebab faktanya Ratu Kiranawati penguasa Tanjung Jaya adalah seorang muslimah, bahkan suaminya Prabu Surawisesa yang berkuasa di Pajajaran juga seorang muslim. Di level praja kerajaan Pajajaran dan kerajaan-kerajaan bawahannya banyak yang sudah menganut agama Islam sejak gencarnya dakwah yang dilakukan Syaikh Quro Karawang dan Syaikh Datul Kahfi Cirebon, dan muridnya Kian Santang, putra Prabu Siliwangi, paman Sunan Gunung Jati. 12
Pada tahun 1619, adipati Jayakarta atau Kalapa ketiga, Pangeran Jayakarta Wijayakrama atau Ahmad Jaketra, bersengketa dengan VOC. Terjadilah perang besar antara Pangeran Ahmad yang dibantu tentara Inggris melawan VOC yang dipimpin oleh Jean Pieterzoon Coen yang berakhir dengan kekalahan pihak Jayakarta, yang kemudian mundur ke pedalaman, di sekitar Jatinegara Kaum. Pada tanggal 30 Mei 1619 Jayakarta pun dibumihanguskan, lalu J.P Coen mendirikan sebuah kota baru yang ia beri nama Batavia. 13
B. Perkembangan Islam di Betawi Proses Islamisasi masyarakat Betawi tidak bisa dilepaskan dari proses Islamisasi kerajaan Pakuan Pajajaran. Sebab aktor utama proses dakwah di kerajaan sunda tersebut tidak lain adalah sang putra raja Pajajaran, Pangeran Kian Santang, murid dari Syaikh Datul Kahfi Cirebon. Sementara ibunda Kiansantang, yaitu Ratu Subanglarang, adalah santri dari Syaikh Quro, Karawang. 14 Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-nya juga menyebut-nyebut
10 Ridwan Saidi, Babad, h. 40-45 11 Ridwan Saidi, Babad, h. 61 12 Ridwan Saidi, Babad, h. 117 13 Abdul Aziz, Peranan Islam Dalam Pembentukan Identitas Kebetawian,(Jakarta, LP3ES, 1998), h. 6. 14 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 109 Pesantren Syaikh Quro di Karawang yang hidup di abad 14 dan Pesantren Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung Cirebon pada awal abad 15, yang diantara santrinya antara lain Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Putri Subanglarang (santri Syaikh Quro). 15
Karena melibatkan orang dalam dan kuat, tak heran proses Islamisasi di lingkungan kerajaan Pajajaran berjalan tanpa benturan berarti. Bahkan raja pengganti Prabu Siliwangi, yakni Prabu Surawisesa diyakini sudah menganut agama Islam. Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan bawahannya, seperti Tanjung Jaya, yang diperintah oleh Istri Prabu Surawisesa, yakni Ratu Kiranawati. Meski tentu ada beberapa kelompok yang tidak suka dengan proses islamisasi ini, terutama dari kalangan agamawan Hindu dan Budha, selama 35 tahun tidak tercatat terjadi benturan atau kekerasan, sampai kemudian terjadi penaklukan oleh kerajaan Cirebon dan Demak pada tahun 1526. Maka wajar, sebagaimana telah disinggung di muka, banyak sejarawan Sunda dan Betawi yang meragukan dakwah sebagai motif penaklukan Kalapa dan Banten Girang. Alasan ekonomi dan politik keamanan lantaran Prabu Surawisesa membangun aliansi dagang dengan Portugis mungkin lebih masuk akal bagi penaklukan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh tidak adanya bukti pembangunan symbol keagamaan seperti masjid atau pesantren di Betawi pada masa pemerintahan Fatahillah, Tubagus Angke dan adipati terakhirnya sebelum ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1619, Pangeran Wijayakrama, kecuali di daerah tempat tinggal mereka sendiri. 16
Pasca wafatnya Kian Santang, beberapa pangeran mengambil alih proses Islamisasi di keraton Pakuan, hingga penak dan menjadi tokoh agama yang disegani. Di antaranya adalah Pangeran Papak, penerus kepemimpinan Tanjung Jaya pasca Ratu Kiranawati. Saat penaklukan Kalapa, Pangeran Papak menyingkir dari kerajaan Tanjung Jaya dan ikut membangun perlawanan terhadap Fatahillah, hingga wafat. 17
Pasca penaklukan VOC atas Jayakarta, Adipati Wijayakrama dan putranya, Pangeran Ahmad Jaketra, beserta sisa pasukannya mundur ke pedalaman --menyusuri kali Sunter dan membangun basis perlawanan di daerah hutan jati yang kini bernama, Jatinegara Kaum. Gagalnya penyerbuan Mataram sepuluh tahun kemudian yang menyisakan sebagian eks pasukan darat Mataram yang enggan pulang dan memilih bergabung dengan pasukan gerilya Pangeran Ahmad Jaketra. Kelompok ini yang kemudian membangun langgar, musholah dan - -belakangan menjadi-- masjid-masjid baru di pedalaman: seperti Assalafiyah Jatinegara Kaum (1620), Al-Atiq Kebon Baru, Cawang dan Al-Mamur Tanah Abang (1627-1629). Sementara pasukan eks pasukan angkatan laut Mataram menyingkir ke pesisir timur meninggalkan jejak Masjid Al-Alam di Marunda (1663) dan Masjid Al-Alam Cilincing (1665). 18
15 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012, hlm. 24-27 16 Ridwan Saidi, Babad, h. 126 17 Ini adalah versi budayawan Betawi Ridwan Saidi. Sementara versi situs resmi Pemprov DKI (http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/38/Achmad-Pangeran), Pangeran Papak adalah keturunan Sunan Kalijaga, ayahnya bagian dari lasykar mataram. Pangerang Papak mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Inggris pada 1812-1814, dan wafat dalam pengejaran penjajah di CImanuk pada tahun 1924. Sedangkan versi babad dan silsilah Siliwangi yang banyak beredar, Pangeran Papak adalah keturunan Siliwangi yg hidup dan melalukan perlawanan terhadap penjajah di penghujung abad 19. 18 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 24 Ikut bergabung dengan komunitas pejuang yang dipimpin Pangeran Ahmad Jaketra, rombongan keluarga Kesultanan Banten yang dipimpin oleh putra kedua Sultan Ageng Tirtyasa, Pangeran Sagiri (Shagiri), bersama saudara-saudaranya, Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, dan para pengikut setianya. Pasca wafatnya Pangeran Ahmad Jaketra pada tahun 1640, dua Pangeran Sagiri dan Pangeran Sake lah yang melanjutkan dakwah dan perlawanan terhadap VOC atau Kumpeni Belanda. Pangeran Sagiri di Jatinegara Kaum, Kampung Melayu dan sekitarnya, sedangkan Pangeran Sake di kawasan Citeureup, Bogor, dan sekitarnya. Penulis menduga, mereka dan para penrusnya inilah yang menjadi tokoh pendakwah Islam, meski tidak banyak tercatat oleh sejarah. Di samping, tentu saja dakwah yang berlangsung secara alamiah dari orang tua ke anak dan keluarga terdekat.
3 TRADISI NYANTRI BETAWI
A. Akar Tradisi Nyantri-Ngaji Masyarakat Betawi Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, secara umum Betawi mengalami masa kekosongan kepemimpinan tradisional, baik politik maupun religious, selama hampir satu abad pasca wafatnya Pangeran Ahmad Jaketra, Pangeran Sagiri dan Pengeran Sake (abad 17 18). Meski sempat mengalami kekosongan tokoh, masa dua abad tersebut justru merupakan fase penting dalam proses pembentukan identitas awal kebetawian sekaligus keislaman. Sekurangnya ada dua hal penting yang menurut penulis membentuk identitas Betawi dan tradisi keislaman Betawi, terutama dalam hal transmisi keilmuan. Pertama, kebijakan-kebijakan penguasa baru pasca penaklukan Jayakarta, yakni VOC, yang mulai menindas dan meminggirkan penduduk pribumi. Misalnya kebijakan tata ruang baru yang membagi-bagi tempat tinggal masyarakat berdasarkan pengelompokan etnis. Maka kemudian munculah sebutan Kampung Banda atau Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Bali, Pekojan, Pecinan dan sebagainya. Meski kebijakan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan atas penduduk jajahan, baik di dalam maupun di luar tembok benteng Batavia, namun bagi masyarakat pribumi kebijakan ini dianggap meminggirkan warga pribumi, karena mereka harus keluar dari kampung-kampung tersebut yang sudah berbasis etnis tertentu itu. 19 Ini tentu menyakitkan perasaan mereka sebagai penduduk asli Batavia. Kebijakan VOC lainnya yang memicu kemarahan penduduk asli adalah penyewaan lahan dan kawasan secara besar-besaran kepada orang non pribumi. Kebijakan ini ditempuh untuk menutup hutang VOC akibat perang. Kebijakan ini segera saja melahirkan tuan-tuan tanah baru yang berkebangsaan Eropa, Cina dan Arab. Di tanah sewaan, para tuan tanah bertingkah seperti penjajah Belanda yang memaksa penduduk untuk berkebun sesuai kebutuhan mereka dan menarik pajak sesuka-sukanya. Tindakan sewenang-wenang ini otomatis menimbulkan kebencian warga pribumi kepada VOC dan para tuan tanah antek-anteknya. 20
Satu lagi kebijakan yang menyakitkan bagi warga pribumi, yakni diskriminasi dalam mengakses pendidikan. Saat membuka kota baru Batavia, penjajah Belanda juga berupaya melakukan proyek kristenisasi dengan mendirikan seminari-seminari dan sekolah guru. Di luar seminari Kristen dan sekolah hanya bisa diakses oleh warga Eropa dan anak tuan-tuan tanah. Bagi masyarakat Betawi yang muslim, pilihan ini tentu sama-sama tidak enak. Sekolah umum tidak mungkin karena mereka hanya masyarakat jajahan, sedangkan masuk seminari lebih tidak mungkin lagi karena itu berarti melepas agama mereka. 21
Tiga kebijakan penjajah Belanda ini kemudian melahirkan perasaan antipasti dan penarikan diri total dari segala yang berbau kolonial, sekaligus mengkristalkan identitas kebetawian yang anti penjajah, anti tuan tanah (kapital) dan anti Kristen. Dalam hal pendidikan, misalnya, alih- alih mendesak pemerintah Belanda untuk membuatkan sistem pendidikan untuk pribumi,
19 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 18 20 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 20 21 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 21 masyarakat justru membangun sistem pendidikannya sendiri yang berbasis agama Islam, majelis taklim yang digabung dengan pelatihan pencak silat, atau dalam bahasa lokal disebut maen pukulan. Di sisi lain, kebijakan diskriminatif dalam penyewaan tanah dan pendidikan itu juga belakangan menyatukan hati warga jajahan, baik pribumi Jayakarta maupun pendatang dari etnis lain yang kebanyakan beragama Islam untuk melebur menjadi orang selam lalu menjadi orang Betawi. Jumlah orang selam juga semakin banyak pasca pembantaian etnis Tionghoa oleh kolonial Belanda pada tahun 1740 yang menewaskan 5000-10.000 orang. Banyak peranakan Tiongha yang bersembunyi di tengah perkampungan pribumi dan melebur menjadi orang Selam. Berbagai latar belakang tersebut yang diyakini menyebabkan proses islamisasi kawasan eks Kerajaan Tanjung Kalapa atau Jayakarta mencapai kesuksesan luar biasa, sebagaimana diakui oleh Gubernur Jenderal T.S. Rafless pada 1815. Ini sekaligus memperkuat bukti, bahwa meski tidak ada pemimpin atau tokoh pendakwah yang menonjol, proses islamisasi tersebut terus berjalan bahkan berhasil. 22
Masyarakat Betawi dengan teguh menjaga sikap non-kooperatif mereka terhadap kolonial Belanda. Mereka dengan konsisten melakukan perlawanan, baik fisik maupun kultural, dengan menjaga jarak kalau bukan menjauhi sistem pendidikan Belanda sekaligus menjaga tradisi pengajian mereka. berlangsung Maka tak heran ketika gegap gempita kebangkitan nasional dan persiapan kemerdekaan berlangsung di Batavia, yang mendominasi justru kalangan non Betawi yang terdidik di perguruan-perguruan formal Belanda yang mulai menjamur sejak kebijakan politik etis. Bahkan bisa dibilang, nyaris tidak ada tokoh asli Betawi yang tampil di kancah perpolitikan dan pergerakan. Sistem pendidikan majelis taklim dan madrasah yang ada di tengah masyarakat Betawi hanya menyediakan barisan ulama dan pejuang tangguh yang siap berjuang di medan dakwah dan medan tempur, tapi sayangnya-- tidak cukup banyak menyediakan para politisi dan diplomat. Selama ratusan tahun orang Betawi hanya dididik untuk mengakui dan menghormati tiga kelompok masyarakat: para habaib, guru ngaji dan para haji. Tiga kelompok inilah yang bahkan hingga kini dianggap sebagai kalangan elite dalam strata sosial Betawi. Di kelompok guru ngaji atau ulama, secara tersamar juga terbangun strata berdasarkan keilmuan dan apa yang diajarkannya dalam majelis taklim. Guru ngaji yang mengajarkan baca tulis Al-Quran dan kitab kuning lebih terhormat dibanding guru yang cuma mengajar baca tulis Al-Quran. 23
Hirarki tak kasat mata ini juga berlaku di dua kelompok lainnya: habaib atau haji yang alim dan mengajar lebih dihormati dibanding mereka yang tidak berilmu. Yang mengajar kitab-kitab besar lebih dihormati dari pada yang hanya mengajar kitab-kitab dasar. Meski belakangan ukuran yang terakhir itu dikoreksi oleh ulama besar Betawi yang hidup di penghujung abad 20, K.H.M. Syafii Hadzami. Tokoh yang akrab disapa Muallim Syafii itu pernah mengatakan, Kalo mau ngukur maqam seorang ulama itu bukan dari kitab yang die ajarin di majelisnye, tapi dari murid-murid yang ngikutin pengajiannye. 24 Majelis taklim para ulama besar Betawi memang bukan hanya diikuti oleh para santri, tetapi juga oleh para kiai dan habaib yang tak kalah terkenal. Sebut saja Majelis Taklimnya Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, atau Majelisnya Muallim Abdullah
22 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 19-20 23 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 22 24 Diceritakan oleh Habib Ali bin Hasan Bin Yahya, wakil Pemred Majalah Al-Kisah, dalam Halaqah Kitab Kuning di Pesantren Al-Hasyimiyyah Kayumanis, Jakarta Timur, pada 10 Desember 2013. Syafii Bali Matraman, atau majelis taklim Muallim Syafii Hadzami sendiri, yang diikuti oleh para ulama besar Betawi pada masanya masing-masing. Di sisi lain, ungkapan Muallim Syafii tersebut seakan juga meneguhkan dua hal. Pertama, bahwa sistem transmisi keilmuan agama khas Betawi adalah majelis taklim, bukan pesantren seperti yang marak di Jawa atau surau di Minangkabau. Tradisi ini sudah berumur ratusan tahun. Kedua, tradisi majelis taklim bagi masyarakat Betawi adalah media pembelajaran sepanjang hidup dan sepanjang masa bagi kaum santri dan ulama Betawi. Kalau pun pada periode belakangan banyak muncul sistem klasikal, fungsinya lebih banyak untuk membangun pondasi dengan pembekalan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf, tajwid, qiraat, dan sebagainya, di samping tentu saja sebagai media pengenalan dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid, tasawuf dan lain-lain. Sebab tidak mungkin ada seorang tokoh yang sudah kiai besar yang masih belajar di madrasah, sebaliknya mereka masih dengan setia hadir di majelis-majelis yang diasuh oleh ulama yang mereka anggap jauh lebih alim dan lebih keramat.
B. Ulama dan Santri Betawi a. Abad 18 Kekosongan tokoh semenjak wafatnya Pangeran Ahmad Jaketra, Pangeran Sagiri dan Pangeran Sake, pada penghujung abad 17, ini baru tersambung lagi pada abad ke 18. Ditandai dengan hadirnya sosok Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus yang berdakwah di Luar Batang, Jakarta Barat dan Syaikh Junaid Al-Batawi, yang menjadi imam dan guru besar di Masjidil Haram di penghujung abad 18. Lahir Hadramaut, Yaman, Habib Husein tiba di Betawi sekitar tahun 1736 M, pada usia 20 tahun. 25 Habib Husein tiba di Luar Batang, daerah Pasar Ikan, Jakarta, yang merupakan benteng pertahanan Belanda di Jakarta. Kapal layar yang ditumpangi Habib Husein terdampar di daerah yang tidak boleh dikunjungi orang itu, maka ia dan rombongannya pun diusir dengan digiring keluar dari teluk Jakarta. Tidak beberapa lama kemudian Habib Husein dengan sebuah sekoci terapung-apung dan terdampar kembali di daerah yang dilarang oleh Belanda. Kemudian seorang Betawi bernama Abdul Kadir membawa Habib Husein dan menyembunyikannya. Tokoh yang kemudian dimakamkan di samping makam sang habib ini lalu menjadi muridnya. 26
Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara seksi dua Glodok. Selama ditahan, Habib Husein sering menampakkan karamahnya, jika siang dia ada di sel, tetapi kalau malam menghilang entah kemana. Terkadang Habib Husein yang ditempatkan dalam sel kecil yang terkunci rapat, terlihat mengimai shalat di sel besar bersama para muridnya. Sehingga penjaga tahanan (sipir penjara) menjadi takut oleh kejadian ini. Kemudian Habib Husein disuruh pulang, tetapi beliau tidak menghiraukan alias tidak mau pulang, maka Habib Husein dibiarkan saja. Suatu Waktu beliau sendiri yang mau pergi dari penjara.
25 Tentang umur ini didasarkan pada catatan wafatnya di kompleks makamnya di Luar Batang, yakni pada 24 Juni 1756 M, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 H, dalam usia lebih dari 30 tahun (dibawah 40 tahun). 26 http://www.sarkub.com/2012/habib-husein-bin-abu-bakar-alaydrus-luar-batang/ Habib Husein mendapatkan hadiah sebidang tanah di daerah Luar Batang dari Gubernur Belanda yang kagum dengan ketajaman mata batinnya. Konon, sebelumnya saat masih menjadi prajurit muda, sang gubernur berjumpa dengan sang Habib yang memegang dadanya lalu mengatakan bahwa ia kelak akan menjadi gubernur. Dan beberapa tahun kemudian nubuat itu terbukti. Sedangkan Syaikh Junaid Al-Batawi Al-Makki, secara umum tidak secara langsung mengajar masyarakat Betawi. Sebab di usia muda ulama kelahiran Pekojan, Jakarta Utara, ini merantau ke Tanah Suci untuk belajar, mengajar hingga menjadi ulama jempolan di Haramain. Bahkan sampai akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram, Makkah. Karenanya, ia diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mazhab Syafii mancanegara pada abad ke-18. 27 Namun demikian Syaikh Junaid harus dicatat, sebab ia adalah tokoh kelahiran Betawi pertama yang menjadi ulama di Haramain dan mempunyai murid-murid yang kemudian menjadi ulama besar pada zamannya. Syekh Junaid Al-Betawi yang hidup sezaman dengan Habib Husein Luar Batang ini memiliki empat anak, Asad dan Said, serta dua perempuan. Anak perempuan pertamanya menikah dengan Abdullah Al-Misri (ada juga yang menyebut Abdurrahman), yang kemudian tinggal di Pekojan. Putri dari Abdullah Al-Misri ini menikah dengan Habib Aqil bin Yahya, ayah dari Habib Usman bin Yahya, mufti Betawi. Salah satu putri Syekh Junaid lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Dari perkawinan ini lahir guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Dia adalah guru dari KH Abdullah Sjafiie (pemimpin perguruan Islam Assyafiiyah) dan KH Tohir Rohili (pendiri perguruan Islam Tohiyah). Syekh Junaid, yang wafat di Mekkah pada 1840 dalam usia di atas 100 tahun, selama mengajar di Masjidil Haram banyak memiliki murid yang berasal dari mancanegara. Di antaranya Syaikh Nawawi Al-Bantani. Begitu dihormatinya Syekh Junaid Al-Betawi di Tanah Hijaz, hingga pada 1925, ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, kata Buya Hamka, di antara syarat penyerahannya adalah, Agar keluarga Syekh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud. Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu Saud. 28
b. Abad 19-20 Sementara di abad 19, tradisi keulamaan di Betawi didominasi oleh Sayyid Usman bin Aqil Bin Yahya, cicit Syaikh Junaid Al-Batawi dari garis ibu. Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi dikenal sebagai mufti Betawi dan diangkat oleh Belanda sebagai Honorair adviseur (Penasehat Kehormatan) untuk urusan Arab, dan juga sahabat Snouck Hurgronje. Beliau dilahirkan di Batavia, tepatnya di daerah Pekojan, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. ayahnya bernama Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya, dilahirkan di Mekkah dari keturunan Hadramaut. Ibunya adalah Aminah, putri dari Syekh Abdurrahman al- Misri. 29
27 Ridwan Saidi, Babad, h. 143-144 28 http://alwishahab.wordpress.com/2009/08/06/syekh-junaid-al-betawi-dari-pekojan/ 29 Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A., makalah dalam seminar tentang Islam di Betawi Abad 19-20, Jaringan Ulama dan peranannya yang dilaksanakan pada 9 Juni 2012, diselenggarakan oleh Rabithah Alawiyah, Jakarta Selatan Setelah belajar kepada kakeknya, Syekh Abdurrahman al-Misri di Makkah, Sayid Usman lalu mengembara mencari ilmu kepada para ulama besar zaman itu, di antaranya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafii di Makkah), Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, dan Habib Alawi bin Segaf al-Jufrie di Hadramaut, lalu ke Madinah, Mesir, Maroko, Tunisia, Aljazair, Istambul, Palestina, Suriah dan kembali Ke Hadramaut. Dari sini kemudian Sayyid Usman memutuskan untuk hijrah ke Batavia. 30
Dakwahnya banyak dilakukan di Masjid Al-Islam di depan Rumah Sakit PELNI, tepatnya di belakang POM bensin Petamburan sekarang. Namun, ketika shalat Jumat, biasanya ia melaksanakannya di Pekojan. Selain itu, setiap hari Rabu, ia juga membuka pengajian di rumahnya tak jauh dari masjid tempatnya mengajar itu. Bak perjalanan arus air dari muara mengalir ke sungai, murid-murid Sayid Usman banyak pula yang meneruskan estafet keilmuannya. Di antara mereka yang terkenal adalah Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Habib Umar Purwakarta dan Abah Falak Bogor. Banyak pula muridnya yang berasal dari luar kota, seperti Surabaya dan Banjarmasin. Selain berdakwah lesan, Sayid Usman juga dikenal sebagai penulis yang produktif dan mencakup berbagai bidang ilmu, sebagian besar ditulisnya dalam bahasa arab-melayu (pegon), seperti kitab tauhid berjudul Sifat Dua Puluh yang sangat popular di kalangan muslim Betawi. Produktivitas ini kemungkinan besar juga disebabkan Sayyid Usman mempunyai mesin cetak sendiri. Selain itu, biasanya, jika ada suatu polemik keagamaan atau sebuah pertanyaan keagamaan yang sedang mengemuka di zamannya, Sayid Usman kerap menjawabnya dengan menulis kitab kecil. Misalnya, ketika umat Muslim Nusantara membutuhkan panduan berhaji yang praktis dan mudah dipahami, Sayid Usman menulis sebuah kitab tuntunan berhaji dalam bahasa Melayu berjudul Kitab Manasik Haji dan Umrah yang terbit perdana tahun 1875 dan mangalami cetak ulang di Mekkah 1310/1892. Tak hanya di Batavia, jangkauan tulis Sayyid Usman tak hanya berkutat di Batavia saja, tetapi juga menjangkau daerah lainnya. Contohnya saat terjadi polemik salat Jumat di Masjid Lawang Kidul Palembang, yang oleh Sayid Usman dipandang menyalahi hukum fiqih Syafii oleh karena terlebih dahulu sudah ada masjid yang dijadikan lokasi salat jumat yakni Masjid Agung Palembang. Masalah ini juga dijawabnya melalui sebuah tulisan berjudul Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man ihdats Taaddud al-Jumat fi al-Masjid al-Jadid. Saat polemik itu terjadi, Sayid Usman memberikan berbagai pertimbangan kepada kantor Algemeene Secretarie di Bogor sehubungan dengan masalah ini. Dalam suratnya itu antara lain dikelaskan; menurut mazhab Syafii bahwa di dalam satu jamaah hanya boleh diadakan salat Jumat di satu tempat saja. Bilamana peraturan ini dilanggar, maka kedua salat Jumat yang diadakan itu menjadi tidak sah. Maka, pengadaan salat Jumat kedua di samping yang sudah ada, dalam hal seperti itu bukan dianggap sebagai pelanggaran yang berat di pihak mereka yang ikut serta di dalamnya, melainkan juga menghalangi para jamaah lainnya dalam melaksanakan ibadah mereka hendaknya dipahami sebagai satu jamaah, dalam kitab-kitab fiqih diuraikan beberapa lebar seharusnya sebuah lapangan, agar
30 M. Dien Madjid M.A., Islam dapat membagi menjadi dua jamaah tidak dapat disangsikan bahwa jamaah masjid baru di Palembang (masjid Lawang Kidul) merupakan satu jamaah dengan kampung masjid yang lama. Sayid Usman ibn Yahya al-Alawi yang menjadi terkenal di beberapa kalangan Barat karena penerbitan peta buminya, yang memuat sebuah peta besar dari tanah airnya, Hadramaut. Maksud utama penerbitan itu ialah memperluas pengertian yang lebih baik tentang keanehan, adat istiadat dan pekerjaan penduduk Arab Selatan, yang telah mengirimkan kelebihan penduduknya ke negeri-negeri Islam lainnya sejak berabad-abad lampau. Meskipun dikenal sebagai seorang alim yang berilmu tinggi, Sayid Usman juga tersohor karena kontroversinya. Kontroversi-kontroversinya inilah yang menyebabkan dirinya begitu dihargai oleh Belanda sebagai suatu sikap akomodatif. Salah satu kontroversi yang menarik, adalah penolakannya dengan paham tarekat di Nusantara yang saat itu sedang menggeliat. Menurutnya, Nusantara agaknya belum siap untuk bertarekat. Merujuk pada buah karyanya an-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat) hal ini dikarenakan seorang yang hendak bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid, fiqih dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara holistik. Fatwa Sayyid Usman yang berlandaskan kedalaman ilmunya itu, seringkali dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk propaganda kekuasaannya. Fatwa tentang tarekat itu, misalnya, didukung sepenuhnya oleh Snouck Hurgronje, yang mengatakan tarekat merupakan biang keladi dari pemberontakan melawan pemerintah. Kedalaman ilmu Sayyid Usman di satu sisi dan sikapnya yg lurus (ilmu untuk ilmu) yang terkadang memancing polemik di sisi lain, belakangan menarik perhatian Orientalis Belanda Snouck Hurgronje. Snouck lalu merekomendasikan Sayyis Usman untuk diangkat menjadi Penasehat Kehormatan Untuk Urusan Bangsa Arab. 31
Selanjutnya, ada pula berbagai pandangan kontroversi dari Habib Usman lainnya, salah satunya adalah larangan berjihad. Secara eksplisit, Sayid Usman menyebut jihad yang dilakukan di Banten pada tahun 1888 merupakan kesalahpahaman (ghurur) atas ajaran Islam yang sebenarnya; makna sesungguhnya dari jihad telah disalahartikan oleh mereka yang disebutnya orang-orang yang jahil pada bab jihad. Akibatnya, fanatisme berjihad mereka dilegitimasikan sepihak menjadi perang suci. Aksi-aksi kepahlawanan mereka, menurut Sayid Usman, bukanlah jihad, melainkan hanya gangguan dan kekisruhan dalam suasana yang damai. Penjelasan ini termaktub dalam buah tangan Sayyid Usman berjudul Minhaj al- Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah, terbit pada tahun 1307 H/1889-1890 M. Dua pandangan inilah (anti-tarekat dan anti-jihad) yang kerap dijadikan bumerang untuk menuduh Sayid Usman sebagai antek-antek Belanda. Belanda memang begitu mengagungkan sosok ulama Arab Betawi ini. Snouck sendiri sangat memuji sikap dan pendirian Sayyid Usman yang begitu tangguh berfatwa disertai gelaran-gelaran rujukan klasik nan otoritatif dalam mempertahankan fatwa-fatwanya. Kendati menduduki posisi yang tinggi di jajaran birokrat Belanda, Snouck kerap menjadikan Sayyid Usman sebagai
31 Muhammad Noupal, M.Ag., Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman Bin Yahya, Disertasi, (Jakarta, UIN, 2008), h. 8 rujukan ketika akan menelurkan suatu kebijakan. Dalam percakapanya, Snouck menggunakan bahasa Arab sebagai bentuk penghormatang kepada Sayyid Usman. 32
Beberapa penulis sejarah hidup Sayyid Usman, yakni seperti Snouck Hurgronje, L.W.C. van den Berg, Karel A. Steenbrink dan Azyumardi Azra, belum dapat mengungkapkan secara gamblang, sebenarnya apa motif fatwa-fatwa yang menurut kaum pejuang tanah air dipandang sebagai salah-kaprah ini. Terutama pandangan Azyumardi Azra yang mengungkapkan bahwa harus dilakukan penelitian yang benar-benar lengkap terkait sepak terjang Sayid Usman. Belakangan, para peneliti mencoba menggali pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Misalnya terkait tarekat, ada bukti betapa Sayyid Usman tidak mempunyai kepentingan politik atas fatwanya. Suatu ketika Snouck pernah menanyakan mengapa Sayid Usman menyanggah orang-orang yang rajin mengucapkan kalimah thayyibah dan zikir kepada Allah (kaum tarekat). Dengan meyakinkan Sayid Usman menjawab bahwa sebenarnya ia bukannya menolak kegiatan tersebut. Tetapi yang ia hujani kritik tajam adalah janganlah mempelajari tata cara berzikir dari syekh yang tidak benar. 33
Bukti lain Sayyid Utsman yang bukan antek-antek belanda dan fatwa-fatwanya semata-mata untuk membela kepentingan umat adalah ketika sang mufti memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di (maaf) bokongnya dalam sebuah pertemuan resmi dengan pemerintah sebagai protes kepada pemerintah kolonial yg membiarkan pertumbuhan rumah ternak dan pemotongan babi di berbagai sudut Betawi. 34 Selain itu, Sayyid Usman juga berupaya mendukung perjuangan Syarikat Islam (SI), yang merupakan suatu wadah gerakan protonasionalis Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1911. Boleh dikatakan, abad 19 merupakan masa tumbuh suburnya pengajaran dan dakwah Islam di tanah Nusantara, termasuk di Betawi. Tidak hanya kalangan habaib, para ulama pribumi juga mulai bermunculan. Pada akhir abad 19, hubungan komunikasi keilmuan Timur Tengah-Betawi sedang terjalin mesra. Kaum habaib di Betawi bahu membahu dengan pendakwah lokal untuk membangun keislaman masyarakat. Di era ini Betawi mulai diramaikan oleh nama-nama besar seperti Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, Guru Halid di Gondangdia, Guru Mughni Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuki Cipinang Muara, Guru Mahmud Menteng dan Guru Madjid Pekojan. Mereka tersebar di lima wilayah Betawi (Jakarta), seakan menjadi benteng tradisi keislaman Nusantara di wilayah yang kemudian menjadi ibukota negara ini. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah pendiri Majelis Taklim dan Perguruan Unwanul Falah, di Kwitang, Jakarta Pusat, yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Habib Ali yang juga murid dari Sayyid Usman Bin Yahya ini wafat 1968 pada usia 102 tahun. Di Jakarta Barat ada Guru Manshur yang lahir dan tumbuh besar di kampung Sawah Jembatan Lima pada 1878. Kakek buyutnya, Abdul Muhit, pendiri Masjid Al-Manshuriyah,
32 M. Dien Madjid M.A., Islam 33 M. Dien Madjid M.A., Islam 34 Habib Ali Yahya, Halaqah. Kampung Sawah, diyakini sebagai salah seorang prajurit Mataram yang tidak ikut pulang dan memilih menetap di Betawi. 35 Salah seorang cicit dari ulama ahli qiraat dan ilmu falaq itu saat ini dikenal sebagi dai, Ustadz Yusuf Mansur. Adapun di Jakarta Utara, Guru Madjid, atau K.H. Abdul Madjid bin Abdurrahman, lahir di Pekojan tahun 1887. Guru Madjid dikenal sebagai ahli tafsir, ilmu falak dan tasawuf, bahkan dikenal sebagai ulama yang memiliki karamah (khariqul adah). Menjelang wafat, penyusun kitab ilmu falak Taqwimu-n-Nayirayn ini berwasiat agar dimakamkan di Pesalo, Basmol, Jakarta Barat. 36
Sementara itu di Jakarta Pusat ada Guru Khalid dan Guru Mahmud. Guru Khalid, bukan warga asli Betawi. Ia pendatang dari Bogor. Usai menimba ilmu selama sebelas tahun di Makkah, ia bermukim di Gondangdia Jakarta Pusat. Dikenal sebagai sosok yang sangat wirai, ulama yang dikenal sebagai ahli hadits dan tasawuf ini wafat pada tahun 1946, dan dimakamkan di Tanah Abang, dekat makam Sayyid Ustman Bin Yahya. Belakangan, ketika pemakaman itu digusur untuk dijadikan rumah susun, jenazah Guru Khalid dipindahkan ke pekuburan Karet. Sementara Guru Mahmud tinggal dan mengajar di Menteng, Jakarta Pusat. Latar belakangnya tidak banyak diketahui karena kharisma kuat yang memancar dari ulama yang sangat pendiam ini yang membuat tidak ada satupun keluarga atau muridnya berani menanyakannya. Yang pasti, usai 17 tahun mengembara di Haramain, baik untuk mengaji maupun mencari nafkah, ia kemudian menjadi ulama ahli tafsir jempolan di Betawi. Guru Mahmud wafat pada 1959 dalam usia 93 tahun. 37
Ulama dari kawasan timur Betawi yang paling berpengaruh adalah Guru Marzuki Cipinang Muara. Lahir di Mesteer Cornelis pada tahun 1876, Marzuki adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, seorang pangeran di kerajaan Pattani, Thailand. Diangkat anak oleh Sayyid Umar Banahsan, Guru Marzuki belajar selama tujuh tahun di Makkah kepada para ulama besar Haramain. Guru Marzuki juga memperoleh ijazah kemursyidan Tarekat Alawiyah dari Syaikh Muhammad Syatha dari gurunya Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Pulang ke tanah air, Guru Marzuki sempat tinggal di Rawabangke, sebelum akhirnya menetap di Cipinang Muara dan mendirikan pesanren. Bersama sahabatnya semasa di Makkah, Dato Gayar, Guru Marzuki juga mendirikan perguruan Al-Falah Klender, Jakarta Timur. 38
Sementara di Jakarta Selatan ada Guru Mughni, Kuningan. Lahir pada tahun 1860, ia mengawali pencarian ilmunya kepada sang ayah dan Sayyid Usman bin Aqil Bin Yahya. Di usia 16 tahun, Guru Mughni dikirim ayahnya untuk menimba ilmu di Makkah yang dilakoninya selama 9 tahun, lalu pulang untuk beberapa waktu dan kembali ke tanah suci untuk bermukim selama 5 tahun. 39
Yang Istimewa dari para ulama benteng Betawi ini adalah sikap non-kooperatifnya dengan pemerintah kolonial. Meski berkali-kali ditawari jabatan penghulu, mereka semua kompak menolak dan memilih mencari bekal hidup sebagai pedagang atau petani. Karena itu pula, meski sempat sezaman dengan Sayyid Usman Bin Yahya, mereka tidak tertarik berguru
35 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 28-29 36 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 30 37 Abdul Aziz, Peranan Islam, h.32 38 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 35 39 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 35 kepada sang Mufti Betawi yang sering dianggap dekat dengan Belanda, kecuali Guru Mughni di masa kecilnya. Dari tokoh-tokoh besar inilah silsliah keilmuan ulama Betawi modern terbangun dan terus menguat, menyebar serta mengakar seperti saat ini. Dari hasil didikan mereka pula lahir para ulama besar seperti K.H. Abdullah Syafii, K.H. Tohir Rohili, K.H. Muhajirin, dan belakangan K.H. Syafii Hadzami. Mereka ini pula yang memelihara dan mengkristalkan tradisi nyantri Betawi yang terus berdiri kokoh hingga saat ini, seakan menantang modernitas dan globalisasi yang terus menggerus tradisi Betawi.
C. Madrasah dan Pengajian Keliling versus Pesantren Salah satu hal unik lain dalam tradisi pendidikan agama di Betawi adalah lebih dominannya sistem majelis taklim dibanding sistem pendidikan pesantren yang popular di Jawa dan Madura. Sistem klasikal/madrasah sendiri baru ada di betawi pada awal abad 20, dengan Madrasah Jamiat Kheir di Pekojan dan Luar Batang sebagai pelopornya (1905). Keluarga Shahabuddin dan beberapa tokoh pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) tercatat sebagai perintisnya. 40
Hal ini, selain sebagai bentuk perlawanan atas sekolah formal ala Belanda sebagaimana disinggung di muka, sepertinya juga dipengaruhi oleh pengalaman kebanyakan ulama Betawi saat menuntut ilmu di Makkah yang lebih banyak berbentuk halaqah, semacam majelis taklim di Betawi, di mana seorang ulama membacakan kitab dikelilingi oleh murid-muridnya yang duduk melingkarinya. Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad 12 dan terus berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Sebut saja Madrasah Shaulatiyah, Darul Ulum dan Al-Falah yang cukup digemari santri Nusantara, tetapi tidak banyak diminati para santri Betawi yang belajar di tanah suci, terutama di abad 19 saat jumlah santri Betawi di Haramain cukup banyak meski Belanda memperketat keberangkatan haji jamaah nusantara karena dikhawatirkan terkena pengaruh Pan Islamisme 41 . Alasan utama tidak terlalu diminatinya madrasah oleh santri Betawi antara lain karena durasi belajarnya yang cukup panjang. Madrasah Darul Ulum, misalnya, membutuhkan waktu sekurangnya 9 tahun untuk menyelesaikan semua jenjang pendidikannya. Sementara para santri Betawi belum tentu mampu bertahan selama itu belajar di Haramain, terutama karena alasan keuangan. Sementara itu juga, beberapa pelajaran di madrasah dianggap tidak terlalu penting untuk dipelajari, bahkan cenderung membuang waktu, misalnya Madrasah Al-Falah yang mengajarkan Bahasa Inggris, bahasa penjajah. Di sisi lain, bagi santri Betawi yang paling dipentingkan justru pengetahuan dan pemahaman kitab-kitab klasik yang lebih banyak diajarkan oleh para ulama besar dan termasyhur di halaqah-halaqah yang tersebar di berbagai sudut Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. 42
Selain kebesaran dan kedalaman ilmu pengajarnya, pengajian halaqah-halaqah tersebut juga memberikan suatu hal yang paling diimpikan oleh para calon ulama Betawi, yakni silsilah (sanad keilmuan). Sanad ini dianggap sebagai salah satu sumber keberkahan dan validitas ilmu
40 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 22 41 Muhammad Noupal, M.Ag., Pemikiran h.7 42 Abdul Aziz, Peranan Islam, h. 37 untuk kemudian diajarkan kembali di tanah air. Ilmu pengetahuan yang diperoleh tanpa sanad, bagi kalangan santri -terutama Betawidianggap berpotensi memunculkan penyimpangan yang disebabkan tercampurnya ilmu dengan hawa nafsu. Dari awalnya, sistem perlawanan budaya masyarakat Betawi terhadap kolonial, ditambah kebiasaan dan pengalaman semasa nyantri di Haramain, sistem pengajian halqah atau majelis taklim pun menjadi tradisi yang sedemikian lekat dengan masyarakat Betawi dalam proses transmisi ilmu agama Islam. Karena demikian kuatnya pondasi ideologis majelis taklim dalam kultur Betawi, perlahan majelis taklim pun menjadi identitas sekaligus benteng pertahanan keilmuan agama masyarakat Betawi yang sangat kokoh, tak lekang di makan waktu. Kehadiran madrasah maupun pesantren di era Jakarta Modern, meski beberapa bahkan didirikan oleh ulama Betawi seperti Pesantren Assyafiiyyah Bali Matraman dan Jatiwaringin, kedudukan majelis taklim tetap tak tergoyahkan. Ia tetap menjadi andalan masyarakat untuk memahami agama dan menjadi media pendalaman serta penyepuhan ilmu agama bagi para santri senior dan kiai-kiai muda. Bahkan untuk majelis yang diasuh oleh ulama yang dipandang mumpuni, tak jarang kiai-kiai senior dan para habaib berkumpul untuk memperdalam ilmua sekaligus tabarukan, ngalap berkah. Pesantren dan madrasah di Betawi dianggap hanya sebagai media pembelajaran ilmu alat di bidang bahasa, fiqih dan pembacaan Al-Quran serta mengenali dasar-dasar ilmu agama lain. Sementara pendalaman keilmuan dengan membedah kitab-kitab besar hanya bisa didapatkan di majelis-majelis taklim. Yang mengagumkan, selain begitu kuat dan kokoh, tradisi mendalami agama melalui majelis taklim ini juga melatih kesabaran dan ketelatenan. Betapa tidak, dalam setiap kali tatap muka seringkali hanya satu atau dua halaman saja yang dibaca, selebihnya akan dikupas dalam keterangan yang mendalam. Selain itu, setiap majelis taklim biasanya diadakan di minggu sekali pada hari dan jam yang sama. Sehingga biasanya para santri Betawi mengikuti beberapa majelis sekaligus dalam satu minggu sehingga sekali rengkuh, dalam satu minggu ia dapat mengaji beberapa kitab sekaligus. Bayangkan, akan butuh waktu berapa lama untuk mengkhatamkan kitab setebal Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Ketelatenan dan kegigihan para ulama Betawi dalam mengkhatamkan kitab demi kitab, meski memakan waktu belasan hingga puluhan inilah yang membuat tradisi pengajian kitab kuning melalui majelis taklim menjadi sangat liat dan tangguh menghadapi derasnya globalisasi. 4 PENUTUP Kesimpulan a. Masyarakat Betawi adalah sebuah entitas yang terbentuk dari integrasi sekaligus benturan berbagai budaya dan etnis, seperti Nusakalapa, Sunda, Jawa, Ambon, Banda, Arab, Tionghoa, India dan Eropa. Kemajemukan ini melahirkan etnis baru yang egaliter, terbuka dan mudah beradaptasi dengan hal-hal baru, sekaligus kokoh menjaga tata nilai yang diyakini kebenarannya. b. Islam masuk ke Betawi melalui keluarga Kerajaan Pakuan, lalu turun kepada kalangan ningrat dan akhirnya sebagian rakyat jelata. Pengaruh Islam semakin meluas semenjak penaklukan Jayakarta oleh kerajaan Demak dan Cirebon dan mengristal bersama penindasan yang dilakukan oleh para penjajah yang datang silih berganti menjajah tanah Batavia. Meski sejak awal Islam disebarkan dengan damai, pembentukan tradisi keislaman Betawi lekat dengan semangat perlawanan terhadap penjajahan. Penindasan penjajah melahirkan semangat non-kooperatif dari warga pribumi dalam segala bidang, termasuk pendidikan. Alih-alih membujuk atau mendesak pemerintah Belanda untuk membuatkan sistem pendidikan untuk pribumi, masyarakat Betawi justru membangun sistem pendidikannya sendiri yang berbasis agama Islam, yaitu majelis taklim, yang di banyak tempat digabung dengan pelatihan pencak silat, atau dalam bahasa lokal disebut maen pukulan, sebagai modal lain perjuangan menentang penjajahan. c. Dari awalnya, sistem perlawanan budaya masyarakat Betawi terhadap kolonial, ditambah kebiasaan dan pengalaman semasa nyantri di Haramain, sistem pengajian halqah atau majelis taklim pun menjadi tradisi yang sedemikian lekat dengan masyarakat Betawi dalam proses transmisi ilmu agama Islam. Karena demikian kuatnya pondasi ideologis majelis taklim dalam kultur Betawi, perlahan majelis taklim pun menjadi identitas sekaligus benteng pertahanan keilmuan agama masyarakat Betawi yang sangat kokoh, tak lekang di makan waktu. Ketelatenan dan kegigihan para ulama Betawi dalam mengkhatamkan kitab demi kitab melalui majelis taklim, meski memakan waktu belasan hingga puluhan, membuat tradisi pengajian kitab kuning melalui majelis taklim menjadi sangat liat dan tangguh menghadapi derasnya globalisasi. --oOo-- Referensi: 1. Abdul Aziz, Peranan Islam Dalam Pembentukan Identitas Kebetawian,(Jakarta, LP3ES, 1998) 2. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, (Depok, Pustaka Ilman, 2012) 3. Muhammad Noupal, M.Ag., Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman Bin Yahya, Disertasi, (Jakarta, UIN, 2008) 4. Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, (Jakarta, Gria Media, 2002) 5. Susan Blacburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta, Masup, 2011) 6. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/38/Achmad-Pangeran 7. http://www.sarkub.com/2012/habib-husein-bin-abu-bakar-alaydrus-luar-batang/ 8. http://alwishahab.wordpress.com/2009/08/06/syekh-junaid-al-betawi-dari-pekojan/ 9. Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A., makalah dalam seminar tentang Islam di Betawi Abad 19-20, Jaringan Ulama dan peranannya yang dilaksanakan pada 9 Juni 2012, diselenggarakan oleh Rabithah Alawiyah, Jakarta Selatan