Anda di halaman 1dari 3

C.

Budaya Banten

Banten adalah sebuah provinsi yang terletak di wilayah pulau Jawa Indonesia yang
memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Pada awalnya,
provinsi ini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, akan tetapi dipisahkan sejak
tahun 2000, dengan adanya keputusan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat
pemerintahan berada di Kota Serang.Banten pada masa lalu merupakan daerah dengan kota
pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada
abad ke 5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu. Namun setelah
runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka di lanjutkan oleh kerajaan sunda. Kemudian Sultan Maulana
Hasanuddin mendirikan kesultanan Banten.

Di Provinsi Banten terdapat suku Baduy. Suku Baduy dapat terbagi menjadi dua yaitu suku Baduy
dalam dan suku Baduy luar. Suku Baduy dalam merupakan suku asli sunda Banten dimana
penduduknya masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik dari cara berpakaian dan pola hidup lainnya.
Suku Baduy- Rawayan tinggal di kawasan cagar budaya pegunungan Kendeng seluas 5. 101,85
hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.Perkampungan masyarakat
Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal
sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dilindungi. Banten
mempunyai keberagaman budaya yang mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan
masyarakat setempat yang dipengaruhi dengan unsur – unsur agama islam, sehingga
identitas sosial budaya masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat Banten yang
religius. Masyakarat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri
yang membedakan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Keunikan tersebut
menjadikan sebuah modal bagi eksistensi budaya Banten untuk dapat diperkenalkan
kepada masyarakat umum.

a. Tokoh – tokoh ulama dan jawara di Banten


Secara geografis, Banten adalah daerah yang berada di sebelah barat dari pulau Jawa, dikenal
sebagai kota Santri yang terdiri dari banyak ulama dan kota Jawara atau Pendekar. Hal ini
disebabkan, karena penduduk atau masyarakat Islam Banten sangat taat beragama. Tokoh –
tokoh ulama di Banten dikenal sebagai kiyai , suatu pemberian gelarterhadap ulama dari kelompok
islam tradisional yang memiliki pesantren. Perbedaan antara ulama dan kyai yaitu makna
ulama lebih luas dari pada kiyai,yaitu meliputi cerdik pandai,pejabat dan lain-lain
seperti yang ditunjukkan dalam jabatan Majlis Ulama Indonesia. Adapun kiyai lebih
bersifat spiritual dan posisinya dapat ditentukan oleh kharismatik yang bersangkutan
dari pada otoritasnya,dan institusinya sangat bergantung pada masyarakat.penelitian
yang mendefinisikan dengan melihat kharismatik ditunjukkan pula lewat kekuatan
magi yang dikuasainya, sehingga dapat dikatakan tingkat kemagian kiyai lebih tinggi
dari pada jawara. Dari sisi intelektual, ulama Banten juga cukup disegani dan
dihormati baik ditingkat lokal maupun dunia internasional. Syekh Nawawi al-Bantani
merupakan salah satu contoh kongkrit pengakuan masyarakat dunia akan
kemampuan intelektual ulama Banten yang sudah telah menghasilkan puluhan karya
intelektual islam yang tidak saja dipakai di pesantren – pesantren Banten, tetapi juga
oleh masyarakat islam di berbagai dunia. Dari Syekh Nawawi al Bantani inilah
kemudian lahir para kyai lokal yang melanjutkan semangat Syekh Nawawi untuk
menyebarkan dan mengajarkan ilmu agama ke masyarakat Indonesia yaitu K.H.
Abdul Fatah Hasan dan K.H. Syam’un yang merupakan pahlawan nasional yang
berasal dari Banten adanya hubungan antara keduanya yaitu murid dan guru.
Jawara kerap kali disebut sebagai pembuat keonaran dan bandit. Makna jawara
bergeser dan terkontaminasi dengan hal negatif terjadi pada abad 19. Pemerintah
kolonial Belanda membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan
pendekar silat dan kaum ulama. Belanda mengecap semua kaum jawara sebagai
bandit. Gerakan sosial dan perlawanan melawan penjajahan asing dianggap sebagai
onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan),
woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Pada zaman sekarang ini
jawara dalam arti fisik dengan ciri-ciri tersebut diatas sudah tidak ada lagi;yang ada
hanyalah dalam arti simbolik dengan kecenderungan menentukan beberapa ciri-ciri
saja, yaitu mengandalkan keberanian dan kekuatan fisik, agresif, terbuka( Blak-
blakan)dan sompral (tutur kata yang keras).untuk menunjang keandalan fisiknya itu,
jawara membutuhkan magi walaupun dalam bentuk yang paling
mudah,misalnya,jimat,rajah,dan sebagainya yang kesemuanya itu paling banyak
diperoleh dari kiyai.

b. Keunikan Bangunan Masjid Agung Banten


Bangunan Masjid Agung Banten merupakan salah satu peninggalan Kesultanan
Banten. Bangunan ini memiliki perpaduan tiga kebudayaan dan nilai – nilai sosial
yang tampak dari arsitektur bangunan tersebut. Nilai budaya yang tercermin dari
arsitektur bangunan menara Masjid Agung Banten perpaduan tiga budaya yaitu
Arab, China dan Eropa yang dapat dijadikan sebagai tempat ibadah, wisata religi
dan rekreasi. Nilai dan makna tempat Masjid Agung Banten terdapat pada ciri khas
bangunan yang memiliki keunikan tersendiri seperti adanya menara, payung yang
seperti di Mekkah, ketika wudhu airnya asin, terdapat adanya makam. Pengunjung
banyak merefleksikan religiusnya dengan melakukan kunjungan ke tempat – tempat
yang baginya tempat tersebut suci termasuk ziarah ke makammakam ulama dan
raja serta ke masjid – masjid kuno yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Adanya
tradisi berziarah ke makam – makam para tokoh ulama dan tokoh – tokoh agama
yang berada di Masjid Agung Banten yang bertujuan untuk mendoakan serta
mengenang kembali perjuangan para tokoh agama dan raja yang mempertahankan
wilayah Banten dari para penjajah. Aktivitas di Masjid Agung Banten selalu ramai
terutama pada saat hari-hari besar agama Islam yang diadakan di dalam lingkungan
masjid tersebut.

c. Memotret Kebudayaan Banten


Banten memiliki beragam kebudayaan yang khas dan unik dimana dapat dijadikan
sebagai tempat atau potret wisata dan media hiburan bagi wisatawan. M.A. Tihami
dalam tulisnnya “Potret Budaya Dulu, Kini dan Nanti”, menyebutkan ada 25 seni
yang ada di Banten yaitu: Seni debus surosowan, seni debus pusaka Banten, seni
rudat, seni terbang gede, seni patingtung, seni wayang golek, seni saman, seni
sulap-kebatinan, seni angklung buhun, seni beluk, seni wawacan syekh, seni
mawalan, seni kasidahan, seni gambus, seni reog, seni calung, seni marhaban, seni
dzikir mulud, seni terbang genjring, seni bendrong lesung, seni gacle, seni buka
pintu, seni wayang kulit, seni tari wewe, dan seni adu bedug.31 Bahkan, dalam
sumber lain, melengkapi apa yang telah disebutkan sebelumnya, di Banten
ditemukan ada jenisjenis tari yaitu: angklung buhun, debus, dzikir saman (dzikir
mulud), kesenian buaya putih, pantung bambo, dan rampak bedug. Dalam
pengamatan peneliti bukan hanya 25 seperti yang disebutkan MA. Tihami, tetapi
masih banyak lagi seni budaya Banten yang tidak disebutkan yaitu debus, angklung
buhun, dog-dog lojor, beluk, patingtung, rudat, dzikir saman, terbang gede, bedug,
ubrug, qasidah, marhaba raqbi, gambang kromong, tari cokek, tayuban, yalail,
rengkong, gemyung.

d. Makanan yang menjadi ciri khas budaya lokal Banten


Selain kesenian yang menjadi khas budaya Banten, makanan khas budaya Banten
yang masih ada dan harus diijaga kelestariannya salah satunya adalah pecak
bandeng. Pecak bandeng merupakan makanan khas dari Kabupaten Serang,
Provinsi Banten. Pecak bandeng sendiri dalam sejarahnya adalah makanan yang
biasa disantap oleh para sultan di lingkungan Kesultanan Banten. Karena cita
rasanya yang memang menggugah selera kini pecak bandeng menjadi salah satu
makanan yang paling diminati oleh para penikmat kuliner, dan sangat mudah
ditemukan di rumah makan – makan di seputar Kota Serang.

DAFTAR PUSTAKA

Said, H. A. (2016). Islam dan Budaya dI Banten: menelisik tradisi debus dan maulid. Kalam,
10(1), 109-140.

Indriastuty, H.R., Effendy,A.R., & Saipudin, A. I., (2020). Bangunan Masjid Agung Banten
sebagai Studi Sosial dan Budaya. Jurnal Pemikiran Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan, Vol
7 No. 2, 119-132.

Anda mungkin juga menyukai