Dosen Pengampu:
KELOMPOK 3:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Sejarah Budaya Banten, dengan judul : “Proses
Masuknya dan Strategi Penyebaran Islam di Banten”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dan pendidikan.
Penulis
A. Latar Belakang
Banten merupakan salah satu bumi intelektual yang banyak melahirkan ulama
ilmiah dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, menjadi salah
satu contoh teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan keagamaan Islam di
Indonesia. Keulamaan beliau sangat dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh Islam
Indonesia pada abad ke-18, tidak pelak bagi, banyak murid yang dulu berguru kepadanya
menjadi tokoh yang punya pengaruh besar di Nusantara. Di antara yang pernah menjadi
murid beliau adalah pendiri Nadhlatul Ulama (NU) Almarhum. Hadraatussyekh Kyai
Haji Hasyim Asy’ari.
Banten tidak hanya dikenal dengan intelektualitas keulamaannya, tetapi juga dari
segi pewacanaan masa lampau, daerah ini menyimpahan segudang sejarah yang banyak
dikaji oleh peneliti dari dalam maupun manca . Daerah yang di kenal dengan permainan
tradisional debusnya ini, banyak sekali di bahas dalam literatul literatul asing. Claude
Guillot, seorang sejarawan dan arkeolog asal prancis, tidak bias menyembunyikan
kekagumannya akan kekayaan sumber sumber sejarah banten , ia berujar bahwa. ‘…
Banten adalah negeri yang kaya sekali akan sumber sumber sejarah. Kerajaan ini bukan
hanya telah menulis sejarah nya sendiri, melainkan juga merangsang banyak tulisan dari
pengunjung pengunjung asing, khususnya Eropa…”1
1
Claude Guillot, Banten (Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII) . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
, 2008, hlm. 11-12.
2
Bambang Budi Utomo et al., Atlas sejarah Indonesia: masa Islam (Jakarta]; Kharisma Ilmu: Direktorat
Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ;,
2012), 82
B. Proses Islamisasi
Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang
Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan politik
yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi Indonesia melalui
pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya islam dari
pintu gerbang barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan Sunda Kelapa ataupun
Banten. Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan,
sehingga tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam
tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam
hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah
sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
Selat Malaka dikuasai oleh Portugis (1511), pelabuhan Banten otomatis menjadi
pusat perdagangan internasional untuk beberapa wilayah di Nusantara. Bahkan dengan
berdirinya kesultanan Banten pada tahun 1526, kota ini menjadi pusat penyabaran Islam
yang berperan besar dalam pengislaman daerah Jawa Barat, Jakarta (Sunda Kelapa),
Lampung, Sumatra Selatan dan beberapa daerah lain di sekelilingnya, dari daerah yang di
warnai oleh kebudayaan Hindu dan Animis menjadi daerah yang di warnai oleh agama
dan kebudayaan Islam.
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa
Barat pada abad ke-16. Bahwa pada tahun 1513 penduduk Cirebon dan Cimanuk
(Indramayu) sudah beragam Islam. Yang lebih menarik perhatian kita, Tome Pires
menjelaskan situasi pelabuhan Jawa Barat lainnya: Banten, Pontang, Cikande, Tengerang
dan Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan yang telah banyak dikunjungi oleh pedagang Islam
yang berasal dari Malaka, Palembang, Fansur, Tanjungpura, Lawe, Jawa, dan pelabuhan
lainnya. 513 M Tome Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten
merupakan pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan
dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras,
bahan makanan dan lada. Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang
Islam di daerah Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten. 1511-21
M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan disusul dengan
takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk kekuasaan dan kekayaan,
bangsa Portugis juga dibebani misi untuk menghancurkan agama Islam. Dengan
menguasai Malaka, bangsa Portugis memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia
Tenggara, dan memberlakukan peraturan peraturan yang memberatkan bagi para
pedagang terutama yang beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari
Arab, Parsi, Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya
ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Tokoh utama para pendiri agama Islam di Banten, antara lain adalah:
Untuk menyebarkan Islam di jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya
adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.
Ketika Yusuf wafat, yang berhak naik tahta menggantikannya adalah puteranya
yang bernama Maulana Muhamad. Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia
digantikan oleh putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan muhammad
masih di bawah umur , kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa
agung ) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan
serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596. Ia
meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Pada masa sultan-sultan ini tejadi beberapa kali peperangan antara Banten dan
VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M. Sebagai
kota metropolitan sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke-19, Banten mengalami
perkembangan jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang dibuat oleh Sultan
Abul Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten berjumlah 31,848 jiwa.
Selama lebih dari tiga abad, Banten sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat
persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa asing yang berdagang di
Banten pada saat itu antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu dan
sebagainya. Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi komiditi di kota
Banten adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas angin dari Cina, kaca,
gading, batu permata dari India, tekstil, dan sebagainya. Walaupun Banten berupa
kerajaan Bahari, ternyata juga mengembangkan pertanian. Pertanian telah dikembangkan
sejak Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir (1596-1651). Dengan
dibangunnya sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Pada peta ikhtisar Banten lama dari tahun 1900 terdapat nama tempat yang
menunjukkan adanya sebuah tempat kefakihan pada masa itu. Adanya tempat ini
menunjukkan bahwa pada jaman kesultanan Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan
dan mendapat prioritas utama. Dengan demikian, harapan terhadap para alim ulama
begitu tinggi, walau Banten dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada waktu itu
juga lahir seorang ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa, Banten, bernama
Nawawi al Banteni. Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan luar negeri, antara
lain di Mesir dan Beirut. Sampai sekarang semua buku tersebut masih dipelajari dan
dibaca oleh umat islam, khususnya di Indonesia.
Penyebaran agama islam di wilayah banten dilakukan secara intensif sejak masa
pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1526-1570). Ajaran Islam disebarkan, baik di
kawasan pesisir maupun di daerah pedalaman. Maulana Hasanuddin merupakan tokoh
sekaligus penguasa pertama di Banten yang menyebarkan agama Islam.
Dalam proses islamisasi dan merebut kekuasaan, tentulah ada persaingan politik
dengan penguasa lokal, yang saat itu yang dipimpin Prabu Pucuk Umun, adipati Kerajaan
Banten Sunda. Sebelum Maulana Hasanuddin datang, Banten sudah dipandang maju dari
segi ekonomi dan kebudayaan. Kebudayaan tersebut bersumber dari ajaran Hindu dan
Buddha. Lalu dari segi ekonomi juga sudah mempunyai hubungan dengan daerah lain.
Pertama, perubahan dalam bidang politik. Sultan Banten mengubah politik dan
pemerintahan yang bersumber dari Hindu-Budha menjadi politik bernuansa Islam.
Banten yang semula hanya sebuah kadipaten dari Kerajaan Banten Sunda, kemudian
menjadi suatu negara yang berdaulat. Menjadikan Banten negara berdaulat merupakan
bagian dari misi Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan masyarakat Banten, sesuai
dengan tugas yang diberikan oleh ayahnya, Sunan Gunung Djati. Maka, tak bisa
dipisahkan proses islamisasi serta muatan Islam di dalam kekuasaan Sultan Banten yang
pertama dan seterusnya.
Banten merupakan salah satu bumi intelektual yang banyak melahirkan ulama
ilmiah dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, menjadi salah
satu contoh teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan keagamaan Islam di
Indonesia. Keulamaan beliau sangat dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh Islam
Indonesia pada abad ke-18, tidak pelak bagi, banyak murid yang dulu berguru kepadanya
menjadi tokoh yang punya pengaruh besar di Nusantara. Di antara yang pernah menjadi
murid beliau adalah pendiri Nadhlatul Ulama (NU) Almarhum. Hadraatussyekh Kyai
Haji Hasyim Asy’ari.
Sejak sebelum zaman islam, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja
sunda (dari Pajajaran , atau mungkin sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Dalam tulisan Sunda kuno, cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten
Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung barat
pantai utara Jawa. Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon, meletakkan
dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang
islam disana.
Penyebaran agama islam di wilayah banten dilakukan secara intensif sejak masa
pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1526-1570). Ajaran Islam disebarkan, baik di
kawasan pesisir maupun di daerah pedalaman. Maulana Hasanuddin merupakan tokoh
sekaligus penguasa pertama di Banten yang menyebarkan agama Islam.
Dalam proses islamisasi dan merebut kekuasaan, tentulah ada persaingan politik
dengan penguasa lokal, yang saat itu yang dipimpin Prabu Pucuk Umun, adipati Kerajaan
Banten Sunda. Sebelum Maulana Hasanuddin datang, Banten sudah dipandang maju dari
segi ekonomi dan kebudayaan. Kebudayaan tersebut bersumber dari ajaran Hindu dan
Buddha. Lalu dari segi ekonomi juga sudah mempunyai hubungan dengan daerah lain.
Begitu kekuasaan beralih kepada Maulana Hasanuddin pada 1525, terjadilah
perubahan radikal yang juga berpengaruh pada penyebaran Islam di Banten, bahkan di
Nusantara. Paling tidak, ada tiga perubahan besar yang dilakukan Sultan Banten untuk
menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Claude Guillot, Banten (Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII) . Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia , 2008, hlm. 11-12.
Bambang Budi Utomo et al., Atlas sejarah Indonesia: masa Islam (Jakarta]; Kharisma
Ilmu: Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ;, 2012), 82
https://www.republika.co.id/berita/me85x4/tiga-pilar-penyebaran-islam-di-kesultanan-
banten