Maftuh
PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
maftuh_krck@yahoo.co.id
Abstract
Banten is unique compared to other places in Indonesia. It has a long
tradition of obedience to Islam, and history of struggle against the
Dutch colonialism. When the spirit wind of reform hits almost all
regions of the archipelago in early twentieth century, Banten came
through it in the 1920’s. This article attempts to trace the history of
Islamic education reform in Banten. Then, by the use of comparative
method, this paper has provided a better explanation of the first Islamic
educational organization in Banten to apply modern educational system
in the organization of education. In this context, the author examines
two educational institutions that existed in Banten, namely Mathla’ul
Anwar and Al-Khairiyyah with the focus on aspects of reforms they
suggested to do. These two institutions of Islamic education are
pioneers of Islamic education reform which succeeded in transforming
the traditional Islamic educational institutions of pesantren into the
form of madrasah schools, and later contribute to the birth of some
leaders of Islamic education in all regions of Banten. Study of these
two institutions is inevitably relevant and significant to understanding
the phenomenon of Islamic education in Banten.
Abstrak
Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-
tempat lain di Indonesia. Ia memiliki akar tradisi ketaatan kepada
ajaran Islam yang sangat panjang itu, sejarah perjuangan dengan
*Terima kasih kepada Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A. Ph.D. yang
telah membaca draf awal tulisan ini sehingga kesalahan-kesalahan serius dapat
dihindarkan.
A. Pendahuluan
Setidaknya hingga awal abad XX, penduduk Banten
dikesankan oleh orang luar sebagai penganut pemahaman
keagamaan yang ketat terhadap syariat, bahkan bisa dikatakan
fanatik. Snouck Hurgronje misalnya, mengatakan bahwa
dibandingkan dengan orang-orang Jawa lainnya, penduduk Banten
lebih taat dalam melaksanakan kewajiban agama.1 Demikian pula
penerus Snouck di Kantoor voor Inlandsche Zaken, G.F. Pijper,
yang mengatakan bahwa hanya di Banten dan Cirebonlah ketaatan
terhadap Islam terlihat secara nyata dibandingkan dengan umat
muslim lain di seluruh Jawa.2
1
Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its
Condition, Course and Sequel (‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966),
h. 310. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan, Peristiwa dan
Kelanjutannya, terj. Hasan Basari (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 428;
Ota Atsushi, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society,
State and the Outer World of Banten (Leiden: Brill, 2006), h. 34; Martin van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), h. 246.
2
G.F. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah
Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Tudjimah (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 80.
19
Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 310-312, edisi bahasa Indonesia,
h. 428-430; Williams, Communism, h. 84.
20
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel
Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 53; Ricklefs, Sejarah
Indonesia, h. 314; Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam, h. 190; Mestika
Zed, “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu
Perspektif Sejarah” Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Vol.1, (Jakarta:
MSI bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 18; Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, cet. ke-3 (Jakarta: Gramedia,
1993), h. 37.
21
Ibid., h. 56; Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje dan
Landasan Kebijakan Belanda terhadap Islam di Indonesia” dalam Ahmad
Ibrahim, dkk, Islam Asia Tenggara, h. 137.
38
Azra, Jaringan, h. 211-239. Tentang ulama pengembara ini dapat
ditemukan di beberapa karya Azra yang lain di samping karya monumentalnya
ini. Lihat, idem, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, terj. Iding
Rosyidin Hasan (Bandung: Mizan, 2002), h. 102; idem, Renaisans Islam
Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, cet. ke-3 (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 131; Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 182; Taufik Abdullah,
Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h.
133-134; Lihat juga, Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang,
(Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h. 90, terutama catatan kaki no. 27.
39
Ambary, Islam dan Tradisi, h. 119.
40
Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times (Washington
D.C.: The Middle East Institute, 1962), h. 19; Mehdi Nakosteen, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,
terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1996),
h. 52; Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, cet. ke-3
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 55; Hasbullah, Sejarah Pendidikan,
h. 101; Transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah ini,
menurut George Makdisi, terjadi secara tidak langsung melalui tiga tahap:
pertama, tahap masjdi, kedua, tahap masjid-khan, dan ketiga, tahap madrasah.
Lihat, M. Habib Husnial Pardi, “Eksistensi Madrasah Awal (pada Abad IX-XI
M)” dalam Suwito dan Fauzan (Ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta:
Prenada Media, 2005), h. 214.
para guru yang mengajar di Banten itu adalah orang yang sudah
berhaji.50
Para haji yang mendirikan lembaga pendidikan Islam itu
dikarenakan ketika mereka berada di Mekkah bertemu dengan
saudara-saudara mereka sesama muslim dari seluruh dunia. Hal
itulah yang menyadarkan akan identitas keislaman mereka.51
Tambahan lagi, dalam perjalanan yang membutuhkan waktu yang
lama mereka juga berkesempatan menyaksikan perkembangan
dunia Islam lain. Pada saat yang sama di daerah mereka sendiri,
ancaman kolonial Belanda dan penetrasi misi Kristen terlihat
secara nyata.52 Faktor-faktor inilah di antaranya yang mendorong
mereka mendirikan lembaga pendidikan Islam sekembalinya dari
Mekkah.
Demikianlah gambaran pendidikan Islam di Banten
sebelum abad XX. Terlihat bahwa lembaga pendidikan Islam
yang bernama madrasah belum dikenal. Lembaga ini di Indonesia
merupakan fenomena baru yang baru dikenal pada awal abad XX.
Kelahiran lembaga modern ini tidak terlepas dari adanya ide-ide
pembaharuan pemikiran Islam yang menemukan momentumnya
pada masa-masa itu.
Pembahasan pendidian Islam awal abad XX dalam tulisan
ini lebih difokuskan pada dua lembaga pendidikan Islam di Banten,
yaitu Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah. Dua lembaga pendidikan
Islam ini dapat dikatakan sebagai pelopor pembaharu pendidikan
Islam di daerah Banten.53 Mereka berhasil mentransformasikan
bentuk lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren ke dalam
bentuk madrasah. Dari kedua lembaga pendidikan Islam inilah
kemudian lahir para tokoh pendidikan Islam di seluruh wilayah
Banten. Oleh karena itu, kajian terhadap keduanya menjadi
50
Williams, Communism, h. 51; Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 36;
Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 239; Putuhena, Historiografi Haji, h. 130.
51
Laffan, Islamic Nationhood, h. 36.
52
Noer, Gerakan Modern, h. 25.
53
Lothrop Stoddard mengatakan bahwa dua lembaga pendidikan Islam
ini memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan kemajuan umat
Islam Banten di kemudian hari. Keduanya dikatakan sebagai gerakan salaf yang
membakar kekolotan-kekolotan zaman pada saat itu. Lihat, Lothrop Stoddard,
Dunia Baru Islam (The New World of Islam) (Jakarta: t.t.p., 1966), h. 317.
Tengah, perkataan madrasah ini ditujukan untuk semua sekolah secara umum.
Lihat, Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan
Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001), h. 59.
58
Mukhtar, Madrasah,hal. 85.
59
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, cet. ke-3 (Bandung:
Jemmars, 1987), h. 16.
60
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, h. 2.
61
Azra, Pendidikan Islam, h. 37-38; Hasbullah, Sejarah Pendidikan, h.
103; Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999),
h. 46; Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah tentang Konsep
Pembaharuan Pendidikan di Zaman Kolonial Belanda (Jakarta: Kalam Mulia,
1990), hal.17; Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006), h.
101; Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 36.
62
Azra, Pendidikan Islam, h. 99.
63
Suminto, Politik Islam, h. 51; Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian,
h. 130-131.
64
Mengenai Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris Belanda
di wilayah Banten telah berhasil diungkapkan oleh Mufti Ali yang mengatakan
bahwa salah satu metode penyebaran agama Kristen di Banten adalah dengan
cara mendirikan sekolah-sekolah. Lihat, Mufti Ali, Misionarisme di Banten
(Banten: IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2009), h. 54.
65
Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 63. Namun menurut Idham Khalid
dan Hanun Asrahah bahwa Jami’at Khairlah yang pertama menerapkan sistem
modern tersebut yang berdiri pada tahun 1905. Lihat, Idham Khalid, Gerakan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Awal Abad XX (Bandarlampung:
IAIN Raden Intan, 1997), h. 17; Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 194. Bandingkan, Noer, Gerakan Modern,
h. 68-71, dan Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 60; Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1990), h. 82-83; Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di
Minangkabau (Jakarta: Suara ADI, 2009), h. 78-79.
66
Azra, Pendidikan Islam, h. 99.
75
Bruinessen, Kitab Kuning, h. 283.
76
Williams, Communism, h. xxviii-xxix; Menurut Pijper, kehidupan
keagamaan di Indonesia sampai tahun-tahun permulaan di abad kedua puluh,
bagaikan sebuah kolam yang tenang permukaannya hanya sekali-kali beriak.
Namun sekitar tahun 1920-an, ketenangan itu berubah dengan munculnya
gerakan reformasi Islam sehingga kolam itu tidak tenang lagi, bahkan sudah
menjadi aliran sungai yang sewaktu-waktu meluap. Lihat, Pijper, Beberapa
Studi, h. 105.
77
Putuhena, Historiografi Haji, h. 365.
78
Aceng Abdul Qodir, “Biografi K.H. Mas Abdurrahman Mengenai
Didaktik Methodiknya dalam Pendidikan Agama Islam,” Skripsi (Cikaliung:
Sekolah Tinggi Ahama Islam Mathla’ul Anwar, 1999), h. 65, sebagaimana
dikutip Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 46.
79
Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 46; Anonim, “Constructing Mathla’ul
Anwar’s Identity: A Study of K.H. Mas Abdurrahman’s Al-Jawa>iz Fi> Ah{ka>m al-
Jana>’iz” dalam Syibli Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah I: Sejarah dan
Khittah Mathla’ul Anwar (Banten: Universitas Mathla’ul Anwar, 2009), h. 5.
80
Para pendiri organisasi ini adalah Sayid Muhammad al-Fachir bin
Abdurrahman al-Masyhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid
Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sayid Syehan bin Syihab. Lihat, Noer, Gerakan
Modern, h. 66-80; Kajian mendalam mengenai asal-usul orang-orang dan kiprah
mereka di nusantara ini, lihat L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab
di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1990); Informasi kiprah orang
Hadrami di wilayah Sulawesi Tengah, Azyumardi Azra, “Hadrami as Educators:
Al-Habi<>b Sayyid Idru>s ibn Sali>m al-Jufri> (1889-1969) and al-Khaira>t” Kultur:
the Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol. 1, No. 1, 2000, h. 91-104; Idem,
Islam Nusantara,pada Bab III di bawah judul “Ulama Hadrami dalam Diaspora”
hal.135-179; Norma Dg. Siame, “Kepemimpinan Sayid Idrus Salim Aldjufri
dan Perubahan Masyarakat Islam di Palu Sulawesi Tengah Tahun 1930-1969”
Disertasi, Belum Diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijga, 2011).
81
Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah, h. 10
82
Pemberontakan ini banyak melibatkan para kyai dari Mathla’ul
Anwar. Kyai Abdul Hadi Bangko dan Khosen Cisaat misalnya diduga terlibat
dan akhirnya di buang ke Boven Digul, Tanah Merah, Irian. Lihat, Ibid., h. 11;
Djuwaeli, Membawa Mathla’ul, h. 20-21; Williams, Communism, h. 237-260.
83
E. Gobee, Sumitro dan Ranneft, “The Bantam Report,” dalam Harry
J. Benda dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of 1926-1927
in Indonesia: Key Documents (Ithaca: Cornell University, 1960), h. 22, seperti
dikutip Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 50.
84
Informasi mengenai al-Khairiyah ini terdapat dalam karya-karya di
antaranya berikut ini: Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khaeriyah (Serang:
Perguruan Islam al-Khaeriyah, t.t.); Pengurus Besar Perguruan Islam al-
Khairiyah, Perguruan Islam al-Khairiyah dari Masa ke Masa (Serang: PB
al-Khairiyah, 1984); M.A.Tihami, “Realitas al-Khairiyah di Tengah-tengah
Transformasi Masyarakat Indonesia,” Makalah disampaikan pada Simposium
dan Kongres I Pemuda Pelajar al-Khairiyah Se-Indonesia, tanggal 29-31
Desember 1992 di Cilegon, Banten; Zakiyatul Baydiyah, “Perkembangan dan
Pertumbuhan Perguruan Islam al-Khairiyah Citangkil-Cilegon 1916-1945,”
Skripsi (Serang: STAIN, 2002); dan Rahayu Permana, Kyai Haji Syam’un,
(1883-1949): Gagasan dan Perjuangannya” Tesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, 2004). Karya-karya tersebut dimanfaatkan sejauh
untuk melengkapi data yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang
menjadi perhatian utama tulisan ini.
85
Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 28.
86
Ibid., h. 32; Pengurus Besar Perguruan Islam al-Khairiyah, Perguruan
Islam, h. 2-3.
87
Ibid., h. 3.
pada umumnya orang Banten pada waktu itu masih keberatan apabila seorang
guru laki-laki memberi pelajaran kepada wanita secara tatap muka. Apabila
terdapat murid perempuan, maka proses belajar-mengajar biasanya dilaksanakan
pada malam hari dalam keadaan gelap sehingga tidak dapat melihat satu sama
lainnya. Lihat, Pijper, Fragmenta Islamica, h. 21.
97
Wetonan atau bandongan adalah metode kuliah di mana para santri
mengkuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab
yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat
catatan. Sedangkan sorogan adalah metode kuliah dengan santri menghadap
guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajari. Lihat,
Daulay, Sejarah Pertumbuhan, h. 69; Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 28-29.
98
Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 46.
99
Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khaeriyah, h. 24.
100
Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 47; PB. al-Khairiyah, Perguruan
Islam, h. 6-7.
101
PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 8; Baydiyah, Perkembangan,
h. 52.
102
Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 51.
103
Williams, Communism, h. 107; Mestika Zed, Pendidikan Kolonial, h.
25-26; Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia: Tradition and Transformation:
A Socio-Historical Perspective, cet. ke-3 (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1991), h. 109.
D. Penutup
Dari penelusuran terhadap dua pelopor pembaharu
pendidikan Islam di Banten ini, tampak bahwa sistem pendidikan
kolonial Belanda merupakan salah satu model yang dicontoh untuk
diterapkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional sehingga
lahir lembaga pendidikan Islam baru yang bernama madrasah.
Memang, dalam sejarahnya, madrasah ini telah lama dikenal di
Timur Tengah setidaknya sejak abad V Hijriyah (XI Masehi), dan
yang terkenal di antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah. Namun
di Indonesia, lembaga pendidikan dengan bentuk madrasah ini baru
dikenal pada awal-awal abad XX. Kelahirannya di Indonesia ini
tidak lain adalah sebagai respons terhadap kebijakan pendidikan
kolonial yang dikriminatif dan adanya gerakan pembaharuan
pemikiran Islam yang terjadi di dalam umat Islam Indonesia.
Namun, gerakan pembaharuan di Banten ini boleh
dikatakan agak terlambat dibanding dengan daerah-daerah lain
di Indonesia. Gerakan modernisasi pendidikan Islam di Banten
tersebut baru menyebar sekitar tahun-tahun 1920-an, sementara
daerah lain bahkan sudah jauh lebih awal dari itu.
Mathla’ul Anwar merupakan organisasi pendidikan Islam
pertama di Banten yang memelopori diterapkannya sistem klasikal
dalam proses belajar mengajarnya. Namun ternyata pengadopsian
DAFTAR PUSTAKA
Holt, P.M.; Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (ed.), The
Cambridge History of Islam: The Indian Sub-Continent,
South-East Asia, Africa and the Muslim West, Vol. 2A, New
York: Cambridge University Press, 1970.
Ibrahim, Ahmad, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam Asia
Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1989.
Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah: Pergulatan
Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950,
Yogyakarta: MATABANGSA, 2001.
Jaelani, Anton Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta: CV Darmaga,
1980.
Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah tentang
Konsep Pembaharuan Pendidikan di Zaman Kolonial
Belanda, Jakarta: Kalam Mulia, 1990
Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya,
Yogyakarta: Ombak, 2007.
Kartodirdjo, Sartono, Modern Indonesia: Tradition and
Transformation: A Socio-Historical Perspective, cet. ke-3,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888:
Kondisi, Jalan, Peristiwa dan Kelanjutannya, terj. Hasan
Basari, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai
Nasionalisme, cet. ke-3, Jakarta: Gramedia, 1993.
Khalid, Idham, Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia Awal Abad XX, Bandarlampung: IAIN Raden
Intan, 1997
Laffan, Michael Francis, Islamic Nationhood and Colonial
Indonesia: The Umma Below the Winds, New York:
Routledge Curzon, 2003
Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian
and Economic History, USA: Foris Publications Holland,
1983