Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KESULTANAN BANTEN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kebantenan
Dosen pengampu : Arif Permana Putra, M.Pd

Disusun oleh:
Asep Zaenun Noval 2288170025
Ogi Nurady Yana 2288170027
Nur ‘Aini 2288170019
Nur Hasanah 2288170030

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dan
solawat serta salam saya curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW karena
dengan rahmat dan hidayahnya, materi pembuatan makalah ini bisa diselesaikan
dalam tempo yang telah ditentukan. Selain daripada itu, pembuatan makalah ini
pun atas bantuan dan dorongan dari keluarga serta teman-teman semua dan
menjadikan ini sebagai motivasi untuk bisa menyelesaikan makalah ini sebagai
salah satu tugas dari Mata Kuliah Studi Kebantenan.
Dalam pembuatan makalah ini, kami sebagai penyusun memberikan sedikit
informasi tentang seputar Studi Kebantenan sebagaimana tugas yang telah
disampaikan. Informasi ini pun kami dapat dari berbagai sumber yang telah kami
rangkum supaya menjadi kesatuan yang kompleks, sistematis, dan mudah
dipahami oleh pembaca. Untuk lebih spesifiknya kami membahas tentang
Kesultanan Banten. Besar harapan saya agar pembuatan makalah ini bermanfaat
untuk pembaca dan khususnya kami sebagai penyusun. Walaupun kami sadari
banyak sekali kekurangan yang terdapat dalam makalah ini mohon untuk
dimaklumi.

Serang, September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Geohistoris Kesultanan Banten ......................................................................2
B. Kemunculan Kesultanan Banten ....................................................................3
C. Masa Kejayaan Kesultanan Banten ................................................................5
D. Masa Kemunduran Kesultanan Banten ..........................................................7
E. Peninggalan Kesultanan Banten........ .............................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesultanan Banten adalah kerajaan Islam terbesar di Banten yang
didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1524. Pada awalnya,
Kesultanan ini termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Hindu Pakuan
Padjajaran. Kesultanan Banten dibuat sebagai pusat pendidikan agama Islam
di Jawa Barat pada abad ke-15 sampai abad ke-16.
Kesultanan Banten mulai melebarkan pengaruhnya, terutama di
bidang perdagangan, sejak pemerintahan Maulana Hasanuddin. Pada masa
kejayaan Kesultanan Banten, perdagangan berkembang pesat hingga
mencapai Donggala, Filipina, Makao, Persia, dan Turki, selama 18 masa
kepemimpinannya, Maulana Hasanuddin berhasil menjadikan Kesultanan
Banten sebagai pusat penyebaran agama Islam. Ia kemudian digantikan oleh
putranya Maulana Yusuf. Pada materi kali ini kami akan membahas tentang
Geohistoris, awal berdirinya dan masa kejayaan Kesultanan Banten sampai
masa keruntuhnyanya dan juga tentang peninggalan-peninggalan Kesultanan
Banten yang masih bisa ditemukan hingga saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Geohistoris Kesultanan Banten?
2. Bagaimanakah awal berdirinya Kesultanan Banten?
3. Bagaimanakah masa Kejayaan Kesultanan Banten?
4. Bagaimanakah masa keruntuhan Kesultanan Banten?
5. Apasajakah peninggalan Kesultanan Banten?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Geohistoris Kesultanan Banten


Banten yang terletak diujung barat pantai utara Jawa, digerbang masuk
Selat Sunda, merupakan pelabuhan yang ramai sejak awal abad ke-10 hingga
dimasukan ke Jawa diawal abad ke-19. Sejarah yang panjang ini dapat dibagi
menjadi 3 masa, yaitu masa “Pengaruh Hindu” dari abad ke-10 hingga awal
abad ke-16, masa Kesultanan yang merdeka dari tahun 1526 hingga 1682, dan
akhirnya masa ketika Kesultanan berada dibawah pengawasan VOC dari tahun
1682 hingga awal abad ke-19, ketika negara Banten dihapus oleh
pemerintahan Kolonial Belanda.
Didirikannya dinasti Islam di Banten menurut segenap ahli sejarah
yang menerima hipotesis Djajadiningrat yang berdasar pada sumber-sumber
Portugis yang singkat dan seringkali bertentangan, menyimpulkan bahwa pada
awal abad ke-16 kerajaan Sunda terbentang diseluruh bagian barat Jawa, dan
ber-ibukota Pakuan dengan pelabuhan utama di Kelapa (Jakarta sekarang).
Atas panggilan ulama Sunan Gunung Jati, pasukan bersenjata kerajaan
Demak pertama-tama merebut Kelapa kemudian, tanpa penjelasan apapun dari
pengarangnya, menempatkan seorang Raja beragama Islam di Banten. Singkat
kata, menurut Djajadiningrat, kerajaan Banten didirikan tahun 1526-7 oleh
Kesultanan Demak (Guillot, 2008:15).
Penaklukan Banten Girang (Prabu Pucuk Umun) oleh Maulana
Hasanuddin, menandai berdirinya kerajaan Islam yang (kemudian) berpusat di
Surosoan. Karena penyebaran Islam di Banten berasal dari Jawa (Syarif
Hidayatullah dan pengikut-pengikutnya dari Demak dan Cirebon) dan
penguasa kerajaan juga berasal dari Jawa, maka bahasa resmi kerajaan adalah
Bahasa Jawa (Banten).
Sebelum kedatangan Syarif Hidyatullah di Banten, bahasa penduduk
yang pusat kekuasaannya di Banten Girang adalah Bahasa Sunda. Sedangkan
bahasa Jawa dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh putra nya
Hasanuddin, bebarengan dengan penyebaran agama Islam. Sebelumnya,

2
bahasa Jawa dibawa oleh imigran Jawa yang datang ke Banten (Chudari,
2011:12).

B. Berdirinya Kesultanan Banten


Nama Wahanten Girang sebagai disebut-sebut dalam kitab Carita
Parahyangan kiranya dapat dihubungkan dengan Banten (Daliman, 2012:
147). Merujuk dari situ sudah dapat dipastikan baha Banten pada waktu itu
masih di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu-Sunda Pajajaran yang berpusat di
Pakuan dekat Bogor sekaran.
Kisah pendirian Banten menjadi sebuah Kerajaan Islam kira-kira
dimulai pada tahun 1500, atau 52 tahun sebelum Kerajaan ini didirikan. Kisah
pendirian Banten dimulai dari gerakan dakwah Raja Cirebon (Syarif
Hidayatullah) untuk mengislamkan rakyat Banten, beliau terjun ke pelosok-
pelosok desa di Banten untuk menyebarkan Islam disana, sementara
Pemerintahan Kesultanan Cirebon diserahkan kepada uwaknya Pangeran
Cakrabuana.
Dalam menjalankan misinya itu, Syarif Hidaytullah merekrut 90 orang
tim dakwah yang semuanya merupakan murid-muridnya, Sembilan puluh
murid-murid Syarif Hidayatullahitulah itulah yang kemudian menjadi penerus
dakwah Syarif Hidayatullah di Banten. Setibanya di Banten, dengan segera
Syarif Hidayatullah berhasil menyingkirkan Bupati Sunda di situ dan dengan
cepat mengambil alih kekuasaan pemerintah atas kota pelabuhan tersebut.
Banten dijadikan landasan pertama untuk mengislamkan seluruh Jawa Barat.
Setelah beberapa lama dakwah di Banten rupanya Pucuk Umun Banten
merasa tertarik dengan Syarif Hidayatullah, baik tertarik karena ahlaq maupun
tertarik karena status Syarif Hidayatullah yang sebagai Raja Cirebon, Pucuk
Umun kemudian memutuskan untuk menjalin hubungan kekeluargaan dengan
Syarif Hidayatullah, beliau pun kemudian menikahkan adiknya yang bernama
Nyaimas Kawunganten dengan Syarif Hidayatullah, dari perkawinan ini
kemudian melahirkan dua anak, yaitu Ratu Ayu Winoan dan Pangeran
Sabakingkin atau yang mempunyai nama lain Maulana Hasanudin.

3
Setelah menguasai Banten, pada tahun 1552 Syarif Hidayatullah
kembali memerintah Cirebon. Karena meninggalnya Pangeran Pasareyan dari
Cirebon. Maka sejak tahun itu Syarif Hidayatullah menyerahkan Banten
kepada Hasanuddin.
Pada Tahun 1522 Kerajaan Katolik Portugis mengadakan Perjanjian
dengan Kerajaan Sunda, dalam perjanjian ini disepakati mengenai rencana
pembuatan Benteng Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa, perjanjian ini juga
berimbas pada orang-orang Islam di wilayah Kerajaan Sunda, dakwah Islam
yang dahulnya bebas dilaksanakan kini dibatasi dan diawasi dengan ketat oleh
Kerajaan Pajajaran.
Banten yang pada waktu itu sebagai bawahan Kerajaan Pakuan
Pajajaran tentunya kemudian mengikuti perintah atasannya untuk melakukan
kegiatan pembatasan pada misi-misi dakwah Islam di Pasundan dengan tujuan
membendung kekuatan-kekuatan orang Islam yang mengacam keberadaan
Portugis di Malaka.
Mendapati perjanjian Portugis-Sunda yang merugikan orang-orang
Islam tersebut, kemudian Demak dan Cirebon mengadakan rencana invasi ke
daerah-daerah pesisir barat Pajajaran yang memiliki pelabuhan, khusunya
Banten dan Sunda kelapa. Misi dari invasi ini adalah mengagalkan Portugis
untuk melemahkan Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
Pada tahun 1525 Pasukan Cirebon dan Demak menginvasi Banten
dengan dibantu oleh Maulana Hasanudin, dalam invasi ini Banten berhasil
dikuasai, setelah menaklukan Banten selanjutnya pasukan Gabungan Demak
dengan Cirebon menginvasi Sunda Kelapa pada tahun 1527. Invasi ini juga
berhasil.
Keberhasilan Cirebon dan Demak merebut Banten pada tahun 1522 ini,
kemudian ditindak lanjuti dengan mendirikan pemerintahan baru di Banten,
atas usulan Raja Cirebon, akhirnya Banten kemudian dijadikan sebagai
Negara Islam berdaulat dengan Raja Pertamanya Pangeran Sabakingkin atau
Maulana Hasanudin.
Mulai setelah dilantiknya Maulana Hasanudin menjadi Raja Banten
itulah merupakan hari kelahiran Kerajaan Banten. Maulana Hasanudian

4
dilantik menjadi Raja Banten pada Tahun 1552 atau 30 Tahun setelah
penaklukan Banten oleh Cirebon dan Demak. Banten sebelum tahun ini
merupakan bawahan Demak/Cirebon.
Maulana Hasanuddin diangkat dan dipandang sebagai Raja Banten yang
pertama. Dalam tradisi Banten memang Hasanuddin yang dianggap sebagai
pendiri dinasti Sultan-Sultan Banten, bukannya Syarif Hidayatullah. Dua
alasan mungkin menjadi sebabnya. Pertama, Syarif Hidayatullah tidak lama
berkedudukan di Banten dan kedua, selama masa pemerintahan Syarif
Hidayatullah di Banten, kedudukan Banten masih terikat oleh Demak dan
Hasanuddin lah yang mulai melepaskan diri dari segala ikatan Demak sekitar
1568 setelah Demak sendiri mengalami kekacauan.

C. Masa Kejayaan Kesultanan Banten


Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil diraih dalam berbagai bidang
seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, maupun keagamaan.
Dalam bidang politik misalnya, Banten selalu membangun hubungan
persahabatan dengan daerah-daerah lainnya. Daerah-daerah sahabat Banten
yang berada di wilayah nusantara antara lain Cirebon, Lampung, Gowa,
Ternate, dan Aceh. Selain itu, Kesultanan Banten juga menjalin hubungan
persahabatan dengan negara-negara lain yang jauh dari nusantara. Salah
satunya adalah dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris yang dipimpin
oleh Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November 1681.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil
mengembangkan perdagangan Banten. Pada masanya, Banten menjadi salah
satu tempat transit utama perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari
berbagai negara, seperti Inggris, Perancis, Denmark, Portugis, Iran, India,
Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, dan Turki datang ke banten untuk
memasarkan barang komoditas dari negeri mereka.Walaupun saat itu Banten
menghadapi persaingan dengan VOC, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa tetap
mampu menarik pedagang mancanegara tersebut untuk tetap berdagang di

5
Banten. Hal ini disebabkan Banten tidak menerapkan monopoli perdagangan
seperti yang dijalankan oleh VOC.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pelayaran dan
perdagangan Banten lebih dikembangkan bahkan dengan syarat-syarat yang
sesuai dengan kebijakan Pemerintah Banten pada waktu itu. Semua usaha
Sultan Ageng Tirtayasa itu menjadikan Banten sebagai negara yang ditakuti
VOC dan disegani bangsa-bangsa asing lainnya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila para Pemegang Saham di VOC sangat berusaha agar
pelayaran danperdagangannya tetap dapat dipertahankan dan juga berusaha
mencari dan mendapat dukungan dari bangsawan-bangsawan dan sultan
Banten. Pelabuhan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, mampu
berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten
banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Tiongkok, dan
Jepang. Sultan Ageng Tirtayasa melakukan hubungan dagang dengan Inggris,
Prancis, Denmark, dan Portugis. Di sektor pertanian, Sultan Ageng Tirtayasa
membuka ladang-ladang baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.
Banten dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami banyak
kemajuan yang sangat pesat. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian terinspirasi
pada bangsa Melayu yang membangun kapal pesiar „Lancang Kuning‟, maka
ia juga membuat Kapal yang mirip agar dapat dipakai berlibur bersama
bersama keluarga dan kerabat istana (Harun Nasution, dkk., 2002: 193).
Beliau juga membangun bendungan di atas sungai Pontang, agar air
Sungai Ciujung dapat dialirkan ke kanal Tirtayasa. Selama itu pula dibangun
pekerjaan irigasi di bagian barat Banten, memperbaiki irigasi sawah di daerah
Anyer. Pada saat yang sama, Sultan Ageng memerintahkan penggalian kanal 3
km panjangnya di daerah Tirtayasa, dekat Tanara di mana sultan mendirikan
istana. Sultan Ageng Tirtayasa juga mendirikan keraton baru di wilayah
Tirtayasa untuk memperkuat pertahanan kesultanannya. Dengan pembangunan
keraton ini, wilayah Tirtayasa terus dibuka. Beliau membangun jalan dari
Pontang ke Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan Ageng juga membuka lahan-
lahan persawahan sepanjang jalan tersebut serta mengembangkan pemukiman
warga di daerah Tangerang.

6
D. Masa Keruntuhan Kesultanan Banten
Pada 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Sultan Abu Nashar
Abdul Kahar atau yang biasa dikenal dengan nama Sultan Haji menjadi raja
muda di Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri kemudian pindah
ke istananya yang baru di Tirtayasa, sedangkan Sultan Haji tetap
berkedudukan di istana Surasowan. Sultan Haji memiliki sikap yang berbeda
dengan ayahnya, terutama sikap terhadap VOC. Perbedaan ini tentu saja tidak
akan disia-siakan oleh VOC yang dengan segala cara berupaya melaksanakan
taktik divide et impera untuk melumpuhkan kekuasaan Banten.
Pada 1674, Sultan Haji berangkat ke Mekah untuk melaksanakan
ibadah Haji. Dalam kesempatan ini Sultan Haji juga mengunjungi Turki, dan
baru kembali ke Banten dua tahun kemudian (Pane, 1950: 215). Momentum
ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memasukkan jarum-jarum divide et impera.
Secara sistematis VOC menciptakan dan menyebarkan berita bohong untuk
mempengaruhi Sultan Haji. Inti berita bohong yang disebarkan oleh VOC itu
ialah bahwa Sultan Ageng Tirtayasa dengan sengaja mendorong dan
merencanakan keberangkatan Sultan Haji ke Mekah agar ada kesempatan
untuk mempersiapkan puteranya yang lain, adik Sultan Haji yaitu Pangeran
Purbaya, sebagai Sultan Banten. Berita ini memunculkan kecurigaan Sultan
Haji terhadap ayah dan adiknya. Kekhawatiran Sultan Haji akan kehilangan
tahtanya, menyebabkannya menempuh jalan yang keliru. Sultan Haji meminta
bantuan kepada VOC. Kesempatan ini tidak akan disia-siakan oleh VOC yang
dengan senang hati membantunya namun dengan perjanjian sebgai berikut:
1. Banten melepaskan keinginannya untuk menguasai Cirebon;
2. Monopoli lada dan kain-kain (Persia, India, Cina) dipegang oleh VOC;
3. Pembayaran 600.000. ringgit jika Banten tidak memenuhi janjinya (Ali,
RM., 1954: 116).
Kekeliruan Sultan Haji ini mencapai puncaknya dengan melakukan
perebutan kekuasaan di Banten dengan menurunkan kekuasaan ayahnya.
Sultan Ageng Tirtayasa marah, kemudian menyerang istana Surasowan
(Tjandrasasmita, 1965:21). Akibat dari peristiwa tersebut, kini kekuatan
Banten terpecah dua. Upaya Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghukum Sultan

7
Haji gagal karena Sultan Haji diindungi oleh pasukan VOC. Sultan Ageng
Tirtayasa beserta Pangeran Purbaya kemudian menyingkir ke arah Selatan, ke
daerah Lebak. Kurang lebih selama satu tahun, Sultan Ageng Tirtayasa
melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya di daerah pegunungan
dan hutan-hutan Lebak. Tanpa merasa curiga terhadap tipu muslihat Belanda,
akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa memenuhi ajakan Sultan Haji untuk kembali
ke Surasowan, dan beliau tiba disana pada tanggal 14 Maret 1683.
(Tjandrasasmita, 1965: 25). Tanpa diduga oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
sesampainya di Surasowan ia ditawan oleh anaknya sendiri yakni Sultan Haji,
kemudian dipindahkan oleh Belanda ke Batavia. Beliau wafat di dalam
penjara VOC pada tahun 1692, dan jenazahnya dimakamkan di Banten.
Setelah Sultan Haji berhasil menumpas tentara Sultan Ageng Tirtayasa
dan menangkapnya, yang tertinggal hanyalah menghitung untung dan ruginya
akibat dari peperangan tersebut. Belanda segera menyodorkan tawaran surat
perjanjian. Tahun 1684 M mulai terasa berat serta sulit bagi Sultan Haji untuk
menghindari tekanan dari Belanda yang meminta segera dipenuhinya beberapa
janji dari Sultan Haji (Tjandrasasmita, 1981: 55-56), antara lain segera
membuat perjanjian perdamaian atau persahabatan yang isinya dibuat oleh
Belanda. Isi perjanjian tersebut benar-benar akan menjadikan Banten sebagai
kesultanan yang tidak akan punya kekuatan lagi di bidang ekonomi, politik
dan militer. Akhirnya tanggal 17 April 1684 M Sultan Haji terpaksa
menandatangani perjanjian dengan Belanda yang berisi 10 pasal yaitu;
1. Perjanjian tanggal 10 Juli 1659 M tetap berlaku sepenuhnya, dan untuk
menjaga kedamaian Banten dan Belanda, maka Banten dilarang
memberikan bantuan kepada musuh Belanda dan Banten tidak boleh ikut
campur politik Cirebon.
2. Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia tanpa surat izin jalan yang
sah dari Belanda.
3. Sungai Cisadene sampai Laut Kidul (Samudra Hindia) menjadi batas
Banten dan Belanda.

8
4. Apabila ada kapal milik Belandaatau kepunyaan warganya, begitu juga
kapal Sultan Banten yang terdampar maka penduduk setempat harus
menolongnya.
5. Untuk kerugian perang, Sultan Haji harus membayar 12.000 ringgit
kepada Belanda.
6. Tentara atau penduduk yang melanggar perjanjian harus dihukum oleh
Belanda
7. Sultan Banten harus melepaskan Cirebon dan mengannggap Cirebon
sebagai negara sekutu Belanda.
8. Belanda akan menentukan pembayaran sewa tanah atau rumah untuk loji
oleh Belanda secara debet.
9. Sultan Banten dilarang untuk mengadakan perjanjian dengan bangsa lain.
10. Sultan Haji beserta seluruh keturunannya harus menerima seluruh pasal
perjanjian ini, begitu juga dengan Belanda (Heru Erwanto, 2006: 54-55).
Perjanjian tersebut dibuat dalam 3 bahasa, yaitu bahasa Belanda, Jawa
dan Melayu. Perjanjian itu ditandatangani dan disetujui oleh kedua belah
pihak. Penandatanganan dari pihak Belanda diwakili oleh Presiden komisi
Francois Tack dan Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, sedangkan pihak
Banten diwakili oleh Sultan Haji, Pangeran Dipa Ningrat, Kiai Suko Tajudin,
Pangeran Nata Negara dan Nata Wijaya. Dengan demikian, jelaslah perjanjian
di atas merupakan kemenangan Belanda. Isi dari 10 poin perjanjian tersebut
sangat menguntungkan Belanda. Rakyat Banten semakin menderita akibat
perbuatan Sultan Haji yang haus akan kekuasaan, sehingga harus
mengorbankan rakyat dan negara. Dengan penandatanganan Surat perjanjian
tahun 1684 M merupakan kunci pembuka bagi jalan penjajahan di Banten
(Tjandrasasmita, 1981: 59). Penderitaan rakyat semakin berat bukan karena
penumpasan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, akan tetapi karena
tingginya pajak dan rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama
lada dan rempah-rempah kepada Belanda dengan harga rendah. Sultan hanya
seolah-olah sebagai pegawai Belanda (Nina H. Lubis, 2003: 5), maka Banten
betul-betul dalam kekuasaan Belanda sebab Sultan hanya sebagai simbol dan

9
penguasa di kesultanan Banten sebenarnya adalah Belanda (M Yahya Harun,
1995: 43).
Karena tekanan-tekanan dari Belanda, Sultan Haji jatuh sakit hingga
meninggal dunia tahun 1687 M. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman
Masjid Agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan
Haji terjadi perebutan kekuasaan antara anak-anaknya. Akhir kesultanan
Banten ditandai dengan pergantian Sultan Banten yang dilakukan oleh
Belanda (Kafrawi Ridwan, dkk, 1997: 238). Pada masa ini pengaruh VOC
sudah tidak dapat dibendung lagi. Banten yang jaya tinggal kenangan. Cahaya
kebesaran Banten sirna sudah. Para penguasanya hanya berperan sebagai
boneka yang tunduk kepada kekuasaan asing.

E. Peninggalan Kesultanan Banten


1. Peninggalan tangible di Banten
Kerajaan banten pada masa dahulu merupakan salah satu kerajaan
islam terbesar di nusantara. Keberhasilan dari faktor perdagangan melalui
pelabuhan,juga hubungan diplomasi dengan negara-negara lainnya
menjadikan banten termasuk daerah yang termasyhur pada masa itu.
Penegakkan hukum islam, menjadikan rakyat aman,makmur dan sejahtera.
Selain itu juga tingkat toleransi beragama pada masa itu juga sangat tinggi,
terbukti dari adanya peninggalan vihara dan bangunan yang bernuansa
tionghoa. Berikut merupakan peninggalan-peninggalan kerajaan banten:
a. Komplek Keraton Surosowan
Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan
Maulana Hasanudin pada 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah
pada 1672-1687. Bangunan itu yang nyaris rata dengan tanah, di
sekelilingnya telah ditumbuhi rumput dan lumut. Namun bangunan ini
dihancurkan oleh Belanda pada saat berperang dengan kerajaan
Banten. Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektare itu
bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah
dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna
merah. Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng

10
setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi
ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan
batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam.
Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan
pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan
sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian
para putri. Di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa
bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam
itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut
Pancuran Mas. Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran
Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang
berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat
daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang
terbuat dari tanah liat. Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi
harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu
disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
Sistem irigasi ini dikembangkan oleh Ki Ageng Tirtayasa.
b. Masjid Agung Banten
Masjid Agung ini terletak bagian barat alun-alun kota, diatas
tanah seluas 0,13 hektar, didirikan pada masa pemerintahan Maulana
Hasanuddin,yang dirancang bangun tradisional. Bangunan masjid ini
berdenah segi empat dengan atap bertingkat bersusun 5 atau dikenal
dengan istilah atap tumpang. Tingkat tiga yang teratas sama
runcingnya. Di bagian puncak terdapat hiasan atap yang biasa disebut
mamolo.
Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah adalah
atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China. Ini
adalah karya arsitektur China yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah
serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan
selatan bangunan utama.
Pondasi masjid setinggi kurang lebih 70 cm, ini berhubungan
dengan konsep pra Islam dimana tempat suci selalu berada di tempat

11
yang tinggi.. Pada bagian depan terdapat parit berair yang disebut
kulah, fungsinya adalah sebagai kolam wudlu.
Bagian utama ruang shalat, serambi timur, utara dan serambi
selatan dilapisi oleh ubin marmer. Bangunan utama masjid dibatasi
oleh dinding, keempat sisinya terdapat pintu yang menghubungkan
ruang utama dengan serambi masjid yang berada disisi utara, selatan
dan timur.
Bangunan masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang
(soko guru), empat tiang utama terletak pada bagian tengah ruangan.
Pada bagian bawahnya terdapat empat buah umpak batu berbentuk
buah labu. Mihrab terdapat pada dinding sebelah barat berupa ceruk
tempat imam memimpin shalat.
Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur
yang mempunyai bentuk atap limas. Pada dinding ini terdapat empat
buah pintu masuk yang rendah, sehingga setiap orang akan masuk ke
ruangan utama harus menundukkan kepala. (Dinas Pendidikan
Provinsi Banten, 2007: 97-106).
c. Menara Masjid Agung Banten
Menara masjid ini terletak di depan halaman komplek masjid,
sedangkan tinggi bangunannya adalah 23,155 meter. Menara masjid
Agung Banten ini di bangun diatas dasar atau lapik yang berbentuk
segi delapan. Badan menara berbentuk kerucut persegi, hanya bagian
atasnya tidak lagsung akan tetapi ada pembatas yang berupa pelipit
yang membatasi antara badan menara dengan kepala menara. Pintu
masuk terdapat di sisi utara, bagian atas pintu menara diberi hiasan
yang berbentuk kepala kala dan hiasan sayap
Untuk menuju ke atas menara harus melewati 83 buah anak tangga
dengan jalan yang cukup hanya satu orang. Bagian paling atas menara
berbentuk setengah bola, dan di puncak atap terdapat mamolo (Dinas
Pendidikan Provinsi Banten, 2007: 103).

12
d. Vihara Avalokitesvara
Vihara ini merupakan salah satu vihara tertua di indonesia. Keberadaan
Vihara ini diyakini merupakan bukti bahwa pada saat itu
penganut agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan
damai tanpa konflik yang berarti. Kondisi di dalam Vihara ini sendiri
sejuk karena banyak pepohonan rindang dan terdapat tempat duduk
yang nyaman untuk beristirahat. Selasar koridor Vihara yang
menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief
cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai
elemen estetis. Kelenteng Avalokitesvara terletak di sebelah barat
Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di
Dermayon dibangun oleh masyarakat Cina yang bermukim di Banten.
Kelenteng ini dibangun tidak diketahui. Akan tetapi menurut tradisi
kelenteng dibangun sekitar tahun 1652 pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa. Pada tahun 1659 kelenteng menempati loji Belanda
dan kelenteng lama menurut catatan Valentjin (1725) berlokasi di
sebelah selatan menara lama (Masjid Pecinan Tinggi). Pada tahun
1774 kelenteng dipindahkan ke Kampung Pamarican, desa Pabean.
(Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2007: 118-119).
e. Meriam Ki Amuk
Meriam ini semula terletak di Karangantu, sebelum dipindahkan ke
halaman museum sekarang, yang sempat ditempatkan di sudut
tenggara alun-alun. Pada museum tersebut terdapat tiga buah prasasti
berbentuk lingkaran dengan huruf dan Bahasa Arab. Prasasti tersebut
berbunyi: ‘ akibatul khairi, salamatul imani: Kalimat tersebut menurut
K.C.Crucq merupakan candra sangkala atau penanggalan yang
memiliki makna angka tahun 1450 Saka atau 1628/1629 Masehi.
Meriam Ki Amuk terbuat dari tembaga dengan panjang sekitar 2,5
meter. Meriam ini sebagai hasil rampasan dari tentara Portugis yang
berhasil dikalahkan. Untuk mempermudah membawa meriam,
dibuatkan gelang di sebelah kiri dan kanannya. Menurut cerita, Ki
Amuk mempunyai kembaran yang bernama Ki Jagur, Ki Jagur ini

13
memilki gelang pada pangkalnya dengan hiasan berbentuk tangan yang
sedang mengepal dengan dua jari yang menyeruak di antara jari tengah
dan jari telunjuk. Meriam Ki Amuk sekarang berada di Museum
Fattahillah Jakarta. (Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2007: 115-
116).
2. Peninggalan Intangible di Banten
Pengertian mengenai debus sangat bervariasi, di antaranya ada
yang berpendapat bahwa istilah debus berasal dari bahasa Arab yaitu
“Dabbas” yang berarti sepotong besi yang runcing yang dianalogikan
dengan jarum (Martin Van Bruinessen, 1999 :277). Ada yang berpendapat
istilah debus berasal dari kata sebuah benda yaitu “Al Madad”, yaitu besi
runcing seperti paku besar. Selain itu ada yang mengatakan bahwa debus
berasal dari bahasa Persia, yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan
“tusukan” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 115).
Sedangkan menurut Tb. A Sastra Suganda yang pernah menjabat sebagai
kepala Dinas Kebudayaan Serang mengatakan, bahwa debus berasal dari
kata “tembus”. Hal ini dapat dilihat dari alat yang digunakan dalam
permainan debus, yaitu benda tajam yang apabila ditusukkan ke tubuh
akan dipastikan tembus karena ketajamannya, namun berkat kelebihan
yang dimiliki oleh seorang pemain debus, alat tersebut tidak dapat
menembus tubuhnya, bahkan tidak luka sedikitpun (Sri Sutjianingsih,
1995: 157).
Kesenian debus merupakan sebuah kesenian yang diciptakan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa. Debus merupakan bentuk permainan yang
diciptakan untuk menguji ketabahan dan keimanan prajurit Banten
(Sutjiatiningsih, 1995). Dalam permainan banyak menggunakan alat-alat
yang tajam seperti golok, pisau, pedang, keris, tombak, bambu runcing.
Alat ini sesuai dengan masa prajurit Banten terdahulu dalam menggunakan
senjatanya. Senjata tersebut di hujamkan kepada para peserta dengan niat
yang tabah dan percaya kepada tuhan Yang Maha Esa bahwa di akan
terlindungi maka tubuhnya tidak akan terluka sedikitpun dengan kata lain
kebal dengan senjata tajam. Debus dapat digunakan sebagai syiar agama

14
Islam, karena masyarakat Banten yang umumnya fanatik agama sehingga
kesenian dapat disusupi unsur keagamaan yang berguna. Seiring
perkembangannya debus diiringi dengan Rebana Kasidah, mawalah dan
lainnya sebagi pengiring atraksi tersebut.

15
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Banten terletak diujung barat pantai utara Jawa, digerbang masuk Selat
Sunda, merupakan pelabuhan yang ramai sejak awal abad ke-10 hingga
dimasukan ke Jawa diawal abad ke-19. penyebaran Islam di Banten berasal dari
Jawa (Syarif Hidayatullah dan pengikut-pengikutnya dari Demak dan Cirebon)
dan penguasa kerajaan juga berasal dari Jawa, maka bahasa resmi kerajaan adalah
Bahasa Jawa (Banten). Tahun 1522 Kerajaan Katolik Portugis mengadakan
Perjanjian dengan Kerajaan Sunda, dalam perjanjian ini disepakati mengenai
rencana pembuatan Benteng Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa. Banten
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pelabuhan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, mampu berkembang
menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten banyak komoditi
dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Tiongkok, dan Jepang. Sultan Ageng
Tirtayasa melakukan hubungan dagang dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan
Portugis. Masa kemunduran Kesultanan Banten dimulai ketika kekuasaan Sultan
Haji, ketika sultan Haji melaksanakan haji ke Mekkah VOC melaksanakan adu
domba terhadap Sultan Ageng, bahwa Sultan Ageng sengaja menyuruh sultan
Haji ke Mekkah untuk menaikan Sultan Purbaya. Kesultanan Bantenmenyisakan
banyak peninggalan diantaranya peninggalan Tangible dan intangible. Contoh
peninggalan Tangible adalah Kraton Surosoan, Masjid Agung Banten, menara
Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, Meriam Ki Amuk. Sedangkan
peninggalan Intangible Kesenian Debus dan Bahasa Jawa

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, R.Moh. 1954. Perdjoangan Feodal Indonesia. Bandung: Penerbit Ganaco


N.V.
Bruinessen, Martin Van. 1999. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung:
Mizan
Chudari, A.Mujahid. 2011. TATA BAHASA JAWA BANTEN. Serang: Pustaka
Sarana.
Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Sejarah Daerah Jawa Barat.
Jakarta: Balai Pustaka
Guillot, Claude. 2008. Banten. Sejarah dan peradaban (Abad X – XVII). Jakarta:
Gramedia
Harun Nasution, dkk. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan
Heru Erwanto. 2006. Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan. Sumedang: Al-
Quprin Djatinangor
Kafrawi Ridwan, dkk. 1997. Ensiklopedi Islam. Jilid IV. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve
M. Yahya Harun. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XV dan XVII.
Yogyakarta: Kurnia Kalam sejahtera
Nina H. Lubis. 2003. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka
LP3ES
Pane Sanusi. 1950. Sejarah Indonesia. Djilid Satu. Djakarta: Balai Pustaka.
Sutjiatiningsih, Sri. 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutjianingsih, Sri. 1995. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Dirjen
Kebudayaan dan Sejarah Nilai-nilai Tradisional
Uka Tjandrasasmita. 1981. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Depdikbud

17

Anda mungkin juga menyukai