KELOMPOK 2:
ADITIA 5552160177
ASSYIFA PUSPA H 5552160028
CALVIN ERVIANDRI 5552160086
FARHAN YUSTIFAR 5552160033
PUTRI ADELIA 5552160019
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta ridho-Nya kepada kita semua, sehingga makalah kami dapat terselesaikan
tentang Sejarah Banten Pada Saat Islam Masuk. Makalah ini ditujukan untuk
memahami lebih detail tentang Perkembangan Islam Di Banten.
Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Agus Ismaya selaku dosen
akuntansi sektor publik yang telah membimbing kami.
Lahirnya agama islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu
tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan
gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis kerajaan
Islam di Banten cukup membuktikan bahwa Islam sangan cepat diterima masyarakat.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting
dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat.
Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah
berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan
sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan
dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak
diteliti secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari
secara lebih mendalam.
Pembentukan awal
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang
pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa
arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat
Wahanten dan pucuk umum(penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang
menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang
menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari
Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon
(lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian
dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak
memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke
wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab
sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali
di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari
para wali.
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati)
terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor
untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada
1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata
(Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut
Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah
banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.
Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,
sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian
melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara
sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah
ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang
membawa cahaya Allah swt), Aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin
hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia
pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung
Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang
lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan
singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan
dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang
memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya
pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara
yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi)
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi
kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim
beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan
Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai
imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda
diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis
untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus
Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis
disebut sebagai Raja Samiam)[16] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna
melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang
Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja
Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai
tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padra (dibaca : Padraun) dibuat untuk
memperingati peristiwa itu. Padro dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai
Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda
perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty
(Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) Syahbandar
Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia
menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton
Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid
di kawasan Pacitan.Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah
Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang
pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten. Pada masa ini tidak ada pernyataan yang
menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung
Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan
sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten
Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil
menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah
kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana
Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu
ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin
harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana
Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya.Arya Suranggana dan masyarakat
yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para
penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.
Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan
pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun
kota pesisir.
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[20] Pada tahun yang sama
juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut
sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1
Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian Sunan Gunung Jati kembali
ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin,
dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama
di Banten meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa
(sultan) di Banten. Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein
Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan
bukannya Maulana Hasanuddin.
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan
Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Kesultanan Banten menjadi kesultanan yang mandiri pada tahun 1552 setelah Maulana
Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di
Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi
Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang
tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di
nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa
yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud
Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan
diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten
kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
Puncak kejayaan
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di
bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga
telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur
pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura
(Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga
berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan
dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan
oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji,
sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui
Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang
disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan
Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf
dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan
Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim
Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan
pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh
Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara
setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung
Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam
perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28
Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari
1684 sampai di Batavia.
Pertanyaan-pertanyaan
2. Dulu Banten agamanya Hindu-Buddha, apa yang menjadi faktor sehingga di banten
terkenal dengan muslimnya? Faktor apa yang paling berpengaruh?
Yang menjadi faktor sehingga di banten terkenal dengan muslimnya adalah
berdirinya Kerajaan Islam atau kesultanan Banten. Sekitar permulaan abad ke 16, di
daerah pesisir banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut islam
yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunug Jati dan
kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudin untuk menyebarkan
secara perlahan-lahan. Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam,
karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya
Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat dikarenakan letak geografisnya
yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan.
3.1 Kesimpulan
Pengaruh besar yang diberikan oleh Islam melalui Kesultanan dan para ulama serta para
mubaligh Islam di Banten seperti yang telah disaksikan sekarang ini, menunjukkan betapa
besar arti Islam dan peranan penyebar-penyebarnya baik melalui jalur politik, pendidikan,
kebudayaan dan ekonomi dimasa lampau. Peninggalan sejarah yang amat berharga ini
nampaknya akan selalu menarik untuk di teliti dan di kaji terutama di kalangan ahli sejarah
dan ilmuwan lainnya. Di samping karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan kesultanan
Banten, belum banyak diteliti secara tuntas, sehingga masih banyak hal-hal penting yang
perlu di kaji dan di pelajari secara mendalam dam menyeluruh.
Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang
ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-
masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap
unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi
pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan
kebudayaan.
Daftar Pustaka
http://kurnia-nett.blogspot.co.id/2014/11/makalah-sejarah-dan-kebudayaan-banten.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten