Anda di halaman 1dari 66

BAB I

IDENTITAS BUKU

Judul : Sejarah Indonesia


Modern 1200-2008
Pengarang : M.C Ricklefs
Penerbit : PT.Ikrar
Mandiriabadi
Tahun Terbit : 2008
Kota terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : xx+864 hal
Ukuran buku : 16x23,5 cm
Tebal Buku : 4,5 cm

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kedatangan orang-orang Eropa di Indonesia, ± 1509-1620


Orang Eropa datang ke Asia Tenggara pada abad ke-16, namun pada tahun
pertama kedatangnnya sangatlah terbatas. Pada abad ke-15 Eropa bukanlah suatu
negara yang dinamis karena abad itu kekuatan yang sedang berkuasa adalah Turki
Ottoman yang berhasil menaklukan Konstantinopel dengan meninggalkan
dampak yang sangat luar biasa bagi dunia.
2.1.1 Kedatangan bangsa Portugis
Orang-orang Eropa terutama orang Portugis sudah memiliki ilmu
pengetahuan teknologi, geografi dan astronomi yang akan melibatkan
bangsa ini dalam suatu petualangan mengarungi lautan samudera yang
paling berani sepanjang zaman, dengan memadukan layar yang berbentuk
segitiga dan tali persegi serta mereka dapat memperbaiki konstruksi,
mereka telah menciptakan kapal yang lebih cepat dengan menambahkan
meriam di atasnya. Selain itu, bangsa Portugis memiliki semangat dan
tekad. Atas dorongan pangeran Henry (wafat 1460) para pelaut dan
petualang Portugis mulai mencari emas dengan menyusuri pantai Afrika
serta berhasil mendapatkan jalan ke Asia dan memotong jalan ke Venesia.
Rempah-rempah merupakan bahan kebutuhan orang Eropa
terutama di musim dingin, pada saat musim dingin hewan ternak terpaksa
disembelih kemudian daging hewan tersebut diawetkan menggunakan
garam dan rempah-rempah sementara itu Indonesia Timur merupakan
penghasil cengkih yang terbaik, oleh karena itu kawasan ini menjadi
tujuan utama orang Portugis.
Pada tahun 1487 seorang pelaut yang bernama Bartolomeu Dias
mengitari Tanjung Harapan dan berhasil mengitari samudera hindia. Pada
tahun 1497 Vasco Da Gama sampai di India namun barang dagangan yang
dibawa Portugis tidak dapat bersaing di pasaran India yang sudah modern,

2
oleh karena itu orang Portugis dibawah pimpinan Afonso De Albuquerque
(1459-1515) adalah panglima laut yang terbesar pada masa itu menyadari
bahwa mereka harus melakukan peperangan di laut untuk mengkokohkan
diri.
Pada tahun 1503 Albuquerque berangkat ke India lalu pada tahun
1510 dia menaklukkan Goa di pantai barat yang kemudian menjadi
pangkalan tetap Portugis, selain itu Portugis juga membangun pangkalan
tetap di tempat agak ke barat yaitu Ormuz dan Sokotra dengan tujuan
untuk menguasai perdagangan laut di Asia.
Setelah mendengar laporan pertama dari pedagang Asia mengenai
Malaka, raja portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk mencari
Malaka dan menjalin persahabatan dengan penguasanya dan menetap di
sana sebagai wakil raja Portugal di sebelah timur India. Pada tahun 1509
Sequeira tiba di Malaka, pada awalnya dia disambut dengan senang hati
namun para pedagang Islam di sana meyakinkan sultan Mahmud Syah
bahwa Portugis adalah ancaman, sultan pun berbalik menyerang Sequeira
dan anak buahnya namun empat kapal dapat melarikan diri.
Pada bulan April 1511 Albuquerque melakukan pelayaran dari goa
ke Malaka dengan membawa 18 kapal dan 1.200 bala tentara dan mereka
menyerang Malaka tanpa henti, setelah Malaka dapat ditaklukan
Albuquerque menetap di Malaka sampai November 1511 untuk
mempersiapkan diri guna menahan serangan dari orang-orang melayu, dia
berangkat ke india dengan menggunakan kapal namun di tengah laut kapal
mengalami kerusakan dan dia berhasil menyelamatkan diri.
Portugis berhasil menguasai Malaka namun Portugis belum
berhasil menguasai perdagangan Asia, bahkan Portugis dihadapkan dengan
masalah dimana mereka kekurangan dana dan organisasi yang tumpang
tindih serta korupsi yang membuat pedagang Asia menghindari monopoli
Portugis, bahkan di sebelah barat Nusantara Portugis tidak lagi menjadi
kekuatan yang revolusioner karena keunggulan teknologi mereka berhasil

3
dipelajari oleh Indonesia, Malaka saat itu kacau sehingga membuat Johor
dan Melayu berlomba-lomba untuk dapat menghancurkan Portugis.
Bagaimanapun juga penaklukkan Malaka mempunyai sedikit
pengaruh terhadap kebudayaan Indonesia yang tinggal di Nusantara bagian
barat, mereka juga telah berhasil mengacaukan sistem perdagangan Asia
bahkan mereka menyebarkan komunitas dagang kebeberapa pelabuhan.
Dampak budaya orang Portugis yang paling kekal adalah di Maluku, di
kawasan ini terletak “kepulauan rempah-rempah”. Maka pada tahun 1512
dikirimlah Francisco Serrao namun kapalnya rusak dan dia berhasil
mencapai Hitu (Ambon sebelah utara), dia mempertunjukan keterampilan
perangnya sehingga penguasa setempat menyukainya dan mendorong
Ternate dan Tidore untuk memperoleh bantuan dari Portugis.
Orang-orang Portugis berhasil menjalin hubungan baik dengan
Ternate dan pada tahun 1522 Portugis membangun benteng namun
hubungan tersebut menjadi tegang karena Portugis secara diam-diam
melakukan kristenisasi dan perilaku mereka juga kurang sopan.
Pada tahun 1535 orang Portugis di ternate berhasil menurunkan
Raja Tabariji dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa, dia dituduh
telah pindah keyakinan namun tuduhan itu tidak terbukti saat akan kembali
dia wafat dan telah menyerahkan Ambon ke Portugis (Jordao de Freitas).
Pada tahun 1575 orang Portugis berhasil diusir setelah terjadi
pengepungan selama 5 tahun. Mereka pindah ke Tidore dan membangun
sebuah benteng baru pada tahun 1578 akan tetapi Ambonlah yang menjadi
pusat utama di Maluku, di Maluku Portugis meninggalkan kebudayaan
keroncong yang romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar.
2.1.2. Kedatangan bangsa Belanda
Setelah bangsa Portugis berhasil diusir, datanglah orang Belanda
yang mewarisi aspirasi dan strategi Portugis. Orang Belanda membawa
organisasi persenjataan, kapal-kapal dan dukungan keuangan yang lebih
baik serta kombinasi antara kekejaman dan keberanian yang sama. Orang
Belanda melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Portugis yaitu

4
menguasai Jawa yang mengakibatkan Belanda menjadi penjajah yang
berpangkalan di Jawa.
Pada tahun 1595, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman
Belanda melakukan ekspedisi pertama. Pada tahun 1596 kapal de
Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa
barat, di sini Belanda berhasil membawa sisa-sisa ekspedisi kembali ke
negeri Belanda untuk menunjukan bahwa mereka mendapat keuntungan.
Sehingga menyebabkan persaingan yang begitu keras antara perusahaan
Belanda untuk menguasai rempah-rempah, pada tahun 1598 parlemen
Belanda mengajukan sebuah usulan agar perusahaan yang saling bersaing
untuk menggabungkan kepentingan mereka ke dalam satu fusi.
Pada tahun 1602 terbentuklah VOC (vereening de oost indische
compagnie) yang diwakili oleh 6 wilayah diBelanda yang mempunya 17
direktur yang sering disebut Heeren XVII (tuan-tuan 17). Pada tahun
pertama tuan-tuan 17 menangani urusan VOC sendiri sehingga VOC
berhasil mendapat keuntungan yang cukup besar.
Pada tahun 1610 VOC menciptakan gubernur jendral untuk
mencegah jendral yang bersifat despotis maka dibentuklah Dewan Hindia.
Selama masa jabatan tiga orang gubernur jenderal yang pertama (1610-
1619), yang dijadikan pusat VOC adalah Ambon, tetapi tempat ini ternyata
tidak begitu memuaskan sebagai markas besar.
Pada tahun 1600, Elizabeth I memberi sebuah oktroi kepada
maskapai Hindia timur (The East India Company), dan mulailah Inggris
mendapat kemajuan di Asia. Sir james lancaster ditunjuk sebagai wakil
dari inggris untuk memimpin pelayaran maskapai Inggris ke Asia. Dia tiba
di Aceh pada bulan Juni 1602 dan terus menuju Banten. Di Banten ia
mendapat izin untuk membuat kantor dagang pelabuhan lada. Di sini ia
meraih keuntungan yang cukup besar dan bertahan sampai tahun 1682.
Lancaster kembali ke Inggris dengan muatan lada yang sangat banyak.
Pada tahun 1604, pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggris
yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton berhasil mencapai Ternate,

5
Tidore, Ambon, dan Banda. Akan tetapi, mereka mendapat perlawanan
dari VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggris dan Belanda untuk
mendapat rempah-rempah. VOC berusaha memaksakan perjanjian-
perjanjian monopoli terhadap penguasa kepulauan rempah-rempah dan
mereka sangat marah terhadap apa yang mereka sebut “komplotan
penyelundup”. Tidak hanya di Banten, Inggris juga membuat kantor
dagang di beberapa wilayah di Indonesia di antaranya di Sukadana
(Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Pariaman,
dan Jambi.
Orang-orang Inggris memang tidak lagi menentang peranan
penting orang-orang Belanda sampai akhir abad XVIII. Sebenarnya, pada
awal abad XVII pihak VOC hanya mendapat ancaman militer yang kecil
dari inggris dibandingkan dengan ancaman dari pihak Portugis dan
Spanyol. Pada tahun 1619, ketika Jan Pieters zoon Coen menjadi gubernur
jendral (1619-1623,1627-1629) dan dia yang menempatkan VOC pada
suatu tempat yang kokoh. Pada Desember 1618, Banten mengambil
keputusan untuk menaklukkan Jayekerta dan VOC. Laksamana Inggris,
Thomas Dale, didesak agar pergi ke Jayekerta untuk mengusir orang-orang
Belanda yang ada di sana. Namun saat di pelabuhan Dale dihadang oleh
Coen bersama armadanya yang kecil, tapi berhasil dipukul mundur oleh
Dale. Coen kemudian berlayar ke Maluku guna menghimpun armada yang
lebih besar, sementara Dale dan Wijayakrama bersama-bersama
mengepung benteng Belanda. Ketika personel VOC menyerah pada akhir
januari 1619, tiba-tiba muncul balatentara Banten mengahalangi maksud
mereka. Banten tidak ingin pos VOC diisi oleh Pasukan Inggris karena
akan kembali menyusahkan Banten.
Pada bulan Mei 1619, Coen berlayar kembali ke pelabuhan Banten.
Pada tanggal 30 Mei, dia menyerang kota, meratakannya dengan tanah,
dan memukul mundur tentara Banten. Pusat perdagangan VOC di Batavia,
yang berdiri tegak di antara puing-puing Jayekerta, kini menjadi markas
besar kerajaan niaga VOC yang luas. Usaha merebut Batavia ini

6
merupakan langkah penting yang diambil oleh VOC, kini VOC dapat
membangun pusat militer dan administrasi di tempat yang relatif aman
bagi perdagangan dan pertukaran barang, yang terletak di Nusantara
bagian barat serta mudah mencapai jalur-jalur perdagangan Indonesia
Timur, Timur Jauh, dan Eropa.

2.2 Munculnya Negara-Negara Baru ± (1500-1650)


Pada abad ke XVI negara-negara baru yang menganut agama Islam mulai
muncul di Indonesia ketika orang-orang Eropa tiba untuk pertama kalinya.
2.2.1 Negara Aceh
Aceh sedang tumbuh sebagai sebuah negara yang kuat pada saat
kedatangan orang-orang Portugis. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh
belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh
ini adalah Ali Mughayat syah (1514-1530) sebagian besar komunitas
dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap
di Aceh.
Pada tahun (1530-37/39) Aceh dipimpin putra tertua Ali Mughayat
Syah yaitu Sultan Salahuddin, dia dianggap seorang yang lemah karena
serangan yang dilakukan terhadap Malaka mengalami kegagalan dan masa
itulah Salahuddin diturunkan secara kudeta.
Pada awal Abad XVII, penguasa terbesar diantara penguasa-
penguasa Aceh menduduki singgasana. Dalam waktu singkat, Sultan
Iskandnar Muda (1607-1636) membentuk Aceh menjadi negara yang
paling kuat di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1612 dia berhasil
merebut Deli dan tahun 1613 dia berhasil menduduki Aru dan berhasil
mengalahkan Johor.
Negara Aceh di bawah pemerintahan Iskandar Muda, dalam masa
yang dianggap sebagai “zaman keemasan”. Sebenarnya negara berdiri di
atas fondasi-fondasi yang rapuh. Negara ini menghadapi masalah utama
yang sama dengan Malaka yang dikuasai oleh Portugis yaitu VOC. VOC
yang pada saat itu sudah berhasil menguasai Banten dan mengubah

7
namanya menjadi Batavia dan menjadi musuh yang paling besar untuk
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar muda menunjuk menantunya yaitu Sultan Iskandar
Thanu Allaudin Mughayat Syah untuk menjadi penggantinya, pada masa
pemerintahannya tidak pernah lagi dilakukan aksi-aksi yang agresif dan
istana jadi sangat terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam, setelah
dia meninggal takhta jatuh kepada Istrinya dengan gelar Ratu Taj Ul Alam
(1641-75).
Aceh memasuki masa perpecahan di dalam negeri yang panjang.
Empat orang Ratu memerintah antara tahun 1641-1699 dan kekuasaan raja
hanya terbatas di ibu kota saja. Sejak tahun 1699 -1838, negara ini
diperintah oleh sebelas sultan yang hampir tidak berarti sama sekali.
2.2.2. Negara Demak
Di Jawa berdiri negara-negara baru yang sudah menganut Islam.
Mula-mula ada beberapa negara yang berpengaruh, tetapi pada awal abad
XVII hanya tinggal tiga pusat politik utama yang mengonsolidasikan
kekuatan mereka: Banten di Jawa Barat, Mataram di wilayah pedalaman
Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa Timur. Negara Islam yang paling
penting di wilayah Pantai Utara Jawa pada awal Abad XVI adalah Demak.
Pada masa itu, Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik.
Demak didirikan pada perempat terakhir abad XV oleh seorang asing yang
bernama Islam, yang kemungkinan orang Cina bernama Cek Ko-po.
Putranya diberi nama “Rodim” oleh orang-orang Portugis, yang
kemungkinan besar sama dengan Badruddin atau Kamaruddin; tampaknya
dia meninggal sekitar tahun 1504. Pada masa perluasan militer Demak,
kerajaan Hindu-Budha di Kediri berhasil ditaklukan sekitar tahun 1527.
Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan Demak yaitu kerajaan-kerajaan
yang belum menganut Islam. Pada pertengahan kedua yaitu pada abad
XVI, harapan Demak untuk menguasai Jawa hancur berantakan. Penguasa
Demak yang keempat yaitu Sultan Prawata, agaknya tidak berusaha
melancarkan aksi-aksi seperti yang telah dilakukan pendahulunya,

8
Trenggana. Trenggana mengatur seluruh perluasan pengaruh Demak ke
arah timur dan Barat, dan selama masa pemerintahannya yang kedualah
kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir di Jawa Timur runtuh sekitar tahun
1527.

2.2.3 Kerajaan-Kerajaan Lain yang Ada di Jawa


Pada pertengahan kedua abad XVI, muncul dua kekuatan baru di
wilayah pedalaman Jawa Tengah yaitu kerajaan Pajang dan Mataram
(lokasi kota Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah-daerah
pertanian yang sangat subur. Kerajaan Pajang yang pertama kali muncul,
Mataram adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa modern yang
paling lama. Ada juga kerajaan di Jawa Timur yaitu Surabaya, sebuah
dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah
negara yang luas dan kaya. Luasnya kurang lebih lima mil Belanda (kira-
kira 37 km), yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam.
Konon pada waktu itu surabaya mengirim 30.000 prajuritnya ke medan
perang melawan Mataram. Di luar Jawa juga, yaitu Bali, ada sebuah
kerajaan bernama Kerajaan Gelgel selama masa keemasannya pada Abad
XVI. Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa negara kecil yang terbagi
antara dua suku bangsa serumpun, Makassar dan Bugis. Kedua suku
bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit-prajurit
yang paling ditakuti di Nusantara dan mereka juga prajurit-prajurit
profesional. Pada tahun 1605 Raja Gowa memeluk Islam. Tampaknya
ajakan terhadap Bone, negara orang-orang dari suku Bugis, dan negara-
negara lain supaya memeluk agama baru ini ditolak. Gowa menanggapi
penolakan itu dengan melancarkan serangkaian serangan pada tahun 1608-
1611 sehingga mengakibatkan tersebarnya agama Islam di seluruh wilayah
Bugis-Makassar.

9
2.3 Indonesia Bagian Timur, ±1630-1800
Sekitar tahun 1630, Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam
meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perdagangan atas
perniagaan laut di Indonesia. Mereka berkuasa di Ambon, di pusat kepulauan
penghasil rempah-rempah, dan mendirikan markas besar di Batavia yang terletak
di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1641, Malaka Portugis jatuh ke tangan
VOC. Karena kekuasaan-kekuasaan di Indonesia, baik yang besar atau yang kecil
masih tetap dapat mengacaukan rencana-rencana VOC, maka VOC harus
melakukan kebijakan militer yang bahkan lebih agresif, dengan campur tangan
secara langsung dalam urusan dalam negeri beberapa negara di Indonesia. Dengan
demikian, diletakkanlah dasar-dasar bagi apa yang disebut imperium Belanda
yang pertama di Indonesia. Di antara para Gubernur Jendral yang memerintah
selama tahap yang lebih bersifat ekspansionistis ini, maka Antonio van Diemen
(1636-45), Joan Maetsuycker (1653-78), Rijklof van Goens (1678-81) dan
Cornelis Jannszoon Speelman (1681-4) -lah yang menonjol, tetapi bukan sebagai
contoh kebajikan melainkan lebih sebagai arsitek ekspansi militer VOC.
Tahap pertama dari periode yang lebih agresif ini dimulai di Indonesia
bagian timur, yakni di kepulauan rempah-rempah Maluku. Usaha-usaha mereka
memaksakan monopoli mencapai sedikit keberhasilan. Kini muncul sebuah
persekutuan lokal untuk menentang mereka, yang terutama terdiri atas kaum
Muslim Hitu (Ambon bagian utara) dan pasukan-pasukan Ternate yang ada di
Hoamoal (Semenanjung Seram bagian barat) dengan dukungan kerajaan bangsa
Makassar, Gowa.
Persekutuan anti-VOC tersebut dipimpin oleh seorang Hitu yang beragama
Islam, Kakiali (meninggal tahun 1643). Pihak VOC di Ambon tidak memiliki
kekuatan militer, baik untuk menumpas perlawanan yang tersebar luas itu maupun
untuk mengawasi perdagangan cengkih. Pada tahun 1634, VOC memperdaya
Kakiali diatas sebuah kapal VOC dan menawannya, yang menyebabkan larinya
orang-orang Hitu ke benteng mereka dan bersiap menghadapi peperangan,
sehingga perlawanan terhadap VOC makin besar.

10
Pada tahun 1637, Van Diemen ikut melancarkan serangan terhadap
pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal dengan kekuatan yang besar dan berhasil
mengusir pasukan pasukan tersebut dari benteng-benteng mereka. Setelah Van
Diemen meninggalkan Maluku, Kakiali mengambil langkah-langkah membentuk
sebuah persekutuan diantara Hitu, orang-orang Ternate yang berada di Hoamoal,
dan Gowa.
Pada tahun 1638, Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha mencapai
suatu persetujuan dengan Raja Ternate. Pihak VOC bersedia mengakui kedaulatan
Ternate atas Seram dan Hitu, tetapi dengan imbalan sebuah kesepakatan bahwa
‘penyelundupan’ cengkih akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto di
Maluku Selatan.
Pada tahun 1641, Kakiali melepas kedok persahabatannya. Ia menyerang
sebuah desa yang bersahabat dengan VOC, dan kemudian sebuah benteng VOC.
Sebuah pasukan VOC berhasil memperoleh kemenangan atas tentara Makassar
dari kubu-kubu pertahanan mereka di Hitu pada tahun 1643, namun tidak untuk
benteng Kakiali. Lalu, pada bulan Agustus, pihak Belanda mengupah seoseorang
berkebangsaan Spanyol supaya kembali ke Hitu dan membunuh Kakiali.
Kemudian benteng Kakiali dapat direbut. Pada tahun 1645, tiga buah ekspedisi
VOC tidak berhasil menumpas perlawanan rakyat Hitu. Pemimpin tahap terakhir
perlawanan masyarakat Hitu, Telukabesi, menyerah dan bersedia memeluk agama
Kristen. Meskipun demikian, VOC menghukumnya dengan hukuman mati di
Ambon pada September 1646.
Inilah akhir perlawanan yang efektif terhadap VOC di Hitu. Di bawah
pimpinan Arnold de Vlaming van Outshoorn, yang menjadi Gubernur Ambon dari
tahun 1647 sampai 1650 dan Inspektur atas Ambon, Banda, dan Ternate dari tahun
1652 sampai 1656, masalah Ternate dapat ditemukan solusinya. Selama masa
pemerintahannya sebagai Gubernur Ambon, dia melakukan pemberantasan tindak
korupsi yang tersebar luas di kalangan para pedagang VOC, dan mengembangkan
agama Kristen di antara penduduk Indonesia. Tetapi tindakan-tindakan militer
yang keras yang dilakukan selama masa jabatannya yang kedua di Maluku-lah
yang membuatnya mahsyur sekaligus bernama buruk.

11
Pada tahun 1650, Raja Ternate, Mandar Syah, diturunkan dari takhta
dalam suatu kudeta istana. Dia melarikan diri ke benteng VOC di Ternate dan
meminta bantuan VOC. Setelah kedatangan De Vlaming, para pengkudeta
menyerah dan Mandar Syah didudukkan kembali di atas singgasananya.
Dalam situasi ini, De Vlaming melihat kesempatan untuk akhirnya
mengatasi masalah kelebihan produksi cengkih. Pertama-tama, dia membawa
Mandar Syah ke Batavia guna menandatangani sebuah perjanjian yang melarang
penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah-daerah
lain yang dikuasai VOC.
Selanjutnya, De Vlaming bergerak menentang perlawanan orang-orang
Ternate yang berpangkalan di Hoamoal serta sekutu-sekutu mereka orang-orang
Makassar dan Melayu. Dan hal ini berakhir dengan kemenangan di pihak VOC.
Sultan Saifudin dari Tidore (m.1657-89) meminta bantuan VOC untuk
mengusir Spanyol dari wilayahnya pada tahun 1662. Pada tahun 1663, Spanyol
benar-benar pergi dari Maluku, membuat VOC menjadi kekuatan Eropa paling
utama di wilayah itu.
Kebijakan VOC membayar tunai penguasa Maluku sebagai kompensasi
sekaligus meraih dukungan mereka untuk memusnahkan rempah-rempah justru
memperkuat para penguasa itu. Dukungan militer dan finansial VOC yang
ditujukan hanya kepada raja-raja memberi mereka kemandirian lebih besar atas
bawahan-bawahan mereka.
Dukungan VOC pada kristenisasi menyakitkan hati orang-orang Ternate
dan menimbulkan permusuhan antara VOC dan Ternate pada tahun 1680. Namun,
tradisi persaingan antara Ternate dan Tidore yang sudah berlangsung lama terbukti
lebih kuat daripada identitas agama atau etnik, karena Sultan Saifudin dari Tidore
mendukung VOC melawan Ternate. Persekutuan ini terbukti manjur dan Sultan
Amsterdam (anak dari Sultan Mandar Syah) terpaksa menyerah pada VOC di
tahun 1681.
Secara umum, keterlibatan Tidore dengan orang-orang Eropa tidak
sebanyak Ternate, tapi pengaruh VOC terhadap persoalan-persoalan Tidore makin
besar di akhir abad XVII dan awal abad XVIII.

12
Pada akhir abad XVIII, ancaman intervensi terhadap Belanda oleh
kekuatan Eropa lainnya muncul kembali di Indonesia bagian timur dalam bentuk
East India Company milik Inggris dan para ‘pedagang swasta’ Inggris lainnya
mengakibatkan meningkatnya pelayaran Inggris di wilayah tersebut dari tahun
1760-an, dan bersamaan dengan itu datanglah ancaman gangguan politik. Di
tengah situasi ini, Kaicili Nuku (w.1805) bangkit memberontak yang mendapat
dukungan dari Halmahera tenggara dan orang-orang Papua dari Pulau Raja
Ampat. Pada Oktober 1783, Sultan Tidore mengakui kekuasaan superior Nuku. Ia
menyerang pos-pos VOC di Tidore dan seluruh orang Eropa di sana dibunuh.
Atas dasar suatu otoritas, maka Inggris mengambil Ambon dan Banda
pada tahun 1796. Nuku dan Inggris kemudian beberapa kali berusaha menyerang
Ternate sebelum akhirnya berhasil mengalahkan Belanda pada tahun 1801. Nuku,
kini berusia 66 tahun, akhirnya diakui sebagai Sultan Tidore oleh kekuatan Eropa
yang dominan. Sebagai konsekuensi dari Perdamaian Amiens tahun 1802, Inggris
mengembalikan Maluku kepada Belanda pada tahun 1803. Permusuhan antara
Nuku dan Belanda terjadi lagi dan berlanjut sampai Nuku wafat pada tahun 1805.
Pada akhir abad XVII, musuh utama yang menentang hegemoni militer
dan perdagangan VOC di timur adalah Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan.
Pada pertengahan abad XVII, Gowa masih menjadi pusat utama dari apa yang
dianggap Belanda sebagai perdagangan ‘liar’ rempah-rempah. Dalam kasus
Gowa, pihak Belanda menjalin persekutuan dengan seorang pangeran Bugis
bernama La Tenritatta to Unru’ (1634-96) yang lebih dikenal dengan nama Arung
Palakka, salah seorang prajurit Indonesia paling terkenal di abad XVII.
Konflik-konflik antara VOC dan Gowa berlanjut hampir tak terputus sejak
tahun 1615. Pada tahun 1666, Gubernur Jendral Maetsuycker dan Dewan Hindia
akhirnya mengambil keputusan untuk menghadapi Gowa. Dihimpunlah suatu
pasukan ekspedisi yang terdiri atas 21 kapal yang mengangkut 600 orang beserta
pasukan Bugisnya.
Desember 1666, armada VOC itu tiba di Makassar. Perang melawan Gowa
ini meliputi pertempuran sengit di darat maupun di lautan yang memakan waktu
hampir satu tahun lamanya. Akhirnya VOC dan sekutu-sekutu Bugisnya keluar

13
sebagai pemenang dan Sultan Hasanuddin dipaksa mendanatangani Perjanjian
Bungaya (18 November 1667). Namun, perjanjian ini pun pada awalnya terbukti
tak berarti. Hasanuddin mengobarkan lagi pertempuran namun Sultan Makassar
dan kaum bangsawan pun kalah telak.
Kini, Perjanjian Bungaya benar-benar dilaksanakan. Kekuasaan Gowa
runtuh, dan Bone muncul menggantikan kedudukannya sebagai Negara yang
paling kuat di Sulawesi Selatan.
Pada akhir abad XVII, VOC telah berhasil mengonsolidasikan
kedudukannya di Indonesia Timur. Ternate, Tidore, dan Gowa sudah bukan lagi
merupakan kekuatan-kekuatan militer yang besar. Tanaman rempah-rempah yang
tidak dapat diawasi VOC ditebangi; tak ada lagi penduduk yang tinggal di
Hoamoal; sejumlah besar orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung
halaman mereka; jumlah korban tewas diantara orang-orang Eropa, sekutu-sekutu
dan lawan-lawan mereka tidak diketahui. Semua ini terjadi karena semata-mata
tujuan VOC memonopoli rempah-rempah Maluku. Makin lama rempah-rempah
makin kurang berarti bagi keuntungan VOC. Pertama, memang tidak mudah
menggantungkan keuntungan pada rempah-rempah karena biasanya pihak
Belanda mendapat kesulitan dalam meramalkan penawaran, permintaan, dan
harga secara tepat. Kedua, arti penting rempah-rempah relatif berkurang dalam
perdagangan VOC.
VOC pada abad XVII mempunyai dua pusat perhatian. Pertama, Maluku,
tempat kekuasaannya kini menjadi relatif kokoh. Kedua, Jawa di mana terjadi
peristiwa-peristiwa yang akan membuka jalan bagi politik intervensi pihak
Belanda.
VOC sudah aktif di Nusa Tenggara sejak abad ke XVII, tetapi masih pada
tingkat yang kurang begitu luas. Pulau Timor masih tetap menjadi sumber kayu
cendana, tetapi Flores, Sumba, Sawu, dan Roti hanya memilii arti perdagangan
yang kecil. VOC tiba di Timor pada tahun 1613 dan menduduki Kupang pada
tahun 1653. Pada abad XVII orang-orang Roti berangsur-angsur menganut agama
Kristen yang memberikan status sosial yang lebih tinggi, kebebasan dari
perbudakan, dan kemungkinan memperoleh dukungan VOC.

14
Bali di abad XVII dan XVIII bebas dari campur tangan VOC , namun
tetap terpengaruh atas kehadiran VOC. Periode ini tidak terdokumentasi dengan
baik dan sejauh ini hanya pada Kerajaan Mengwi pernah dilakukan penelitian
historis secara serius. Bali tidak terlalu terlibat dalam perdagangan laut
dibandingkan Negara-negara lain di Indonesia, tapi mengekspor sejumlah besar
kapas, beras, babi, ternak dan unggas. Mengwi muncul sebagai kekuatan utama di
Bali Selatan ±1700 dibawah pimpinan rajanya, Gusti Agung Sinom (w.1722).

2.4 Indonesia Bagian Barat, ± 1640-1800


Di Nusantara bagian barat, dari abad XVII sampai akhir abad XVIII, orang
dapat mengamati perkembangan umum yang diakibatkan integrasi Indonesia
bagian barat yang kian menyeluruh ke dalam ekonomi politik yang mengglobal.
Proses ini ditandai oleh munculnya berbagai produk baru dan pasar baru,
teknologi baru, campur tangan pemain-pemain baru-baik dari daerah-daerah di
Nusantara maupun dari daerah-daerah yang lebih jauh. Proses ini menekan
struktur negara yang telah ada yang tidak siap bertahan. Jadi, petumbuhan
perdagangan sering kali menjadi penyebab disintegrasi Negara.
Pada pertengahan abad XVII, negara-negara utama Nusantara bagian barat
ialah Johor-negara Malaysia pengganti Malaka yang sekarang menjadi Malaysia
bagian selatan, Palembang dan Jambi di Sumatera Selatan, dan basis VOC di
Batavia di Jawa bagian barat. Pada tahun 1641, VOC merebut Malaka dari
Portugis dan dengan demikian, mengusir pesaing penting mereka dari Eropa
sekaligus memperoleh basis strategis di sisi timur selat Malaka.
Palembang dan Jambi adalah sama-sama eksportir lada. Ketika penanaman
pohon lada meluas sejak tahun 1640 dan setelahnya, permintaan atas tenaga kerja
menyebabkan pertumbuhan pasar perbudakan di Nusantara bagian barat.
Mayoritas budak dipasok oleh pedagang Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan.
Tapi, pertumbuhan produksi ini juga menyebabkan kelebihan produksi lada di
Sumatera dan jatuhnya harga di Eropa, sehingga pada abad XVII dan XVIII
pamor lada dari segi ekonomi mengalami penurunan.

15
Pada tahun 1642, traktat VOC-Palembang secara teoretis memberi hak
monopoli kepada VOC untuk mengekspor lada Palembang. Kebijakan VOC di
wilayah ini, seperti di tempat-tempat lainnya, adalah menawarkan perlindungan
politik dan militer kepada para raja lokal seperti Sultan Palembang dengan
imbalan akses menguntungkan untuk produk-produk lokal.
Selain membuat traktat dengan VOC pada tahun 1642, pada tahun-tahun
berikutnya Sultan Palembang juga menandatangani perjanjian lain dengan
Portugis yang mengizinkan mereka terus berdagang disana. Namun demikian,
pamor perdagangan Portugis menurun. Para pedagang Cina, yang penting bagi
jaringan perdagangan Nusantara dan yang tidak berminat membuat traktat untuk
menegaskan posisi mereka, terus memperdagangkan lada Palembang beserta
produk-produk lain.
Pada tahun 1655, VOC berusaha menerapkan hak-hak traktat 1642-an di
Palembang. VOC menghentikan kapal-kapal para pedagang lain dan menyita
kargo-kargo lada mereka. Ketika VOC mencoba melanjutkan tindakan itu dengan
negosiasi, pihaknya diserang. Lebih dari 40 orang terbunuh dan 28 prajurit
Belanda yang tersisa dipaksa masuk Islam. Sebagai pembalasan, pada tahun 1658-
1659, VOC memblokade kemudian menyerang Palembang, dan berhasil merebut
kota dengan paksa. Para penyerang merampas dan membakar kota. Jambi telah
membantu VOC dengan informasi. Untuk itu, mereka diberi imbalan berupa
artileri dan peluang menempati singgasana Palembang.
Dalam pertentangan lokal antara Jambi dan Palembang memperebutkan
kekuasaan di Sumatera Selatan, tampak Jambi seolah-olah memimpin, dengan
dukungan VOC.
Di Malaysia, usaha VOC untuk memonopoli timah menyebabkan banyak
kesulitan dan kebingungan seperti halnya yang mereka alami di Sumatera. Pos
VOC di Malaka tidak bisa makmur, sebagian besar karena VOC mengadopsi
kebijkan-kebijakan dagang yang cenderung lebih membantu Batavia sebagai
pelabuhan daripada Malaka. Di ujung selatan Selat Malaka, Kerajaan Johor
mengambil untung dari nilai strategisnya bagi Belanda dengan membangun
Negara perdagangan yang makmur yang didasarkan pada pelabuhannya di Riau.

16
Pada tahun 1687, dilaporkan bahwa 500-600 kapal dagang terlihat di sana,
termasuk orang-orang Siam, Aceh, Cina, Perak, Kedah, Portugis, Inggris dan
lainnya. Pada awal abad XVIII, Johor tidak diragukan lagi merupakan kekuatan
Malaysia terbesar, yang membuat VOC merasa wajib mengakomodirnya. Pada
saat ini, VOC berada di ambang konflik-konflik yang baru dan mahal di Jawa
yang dapat membatasi statusnya sebagai pengamat yang netral atas konflik di
Selat Malaka. Berbagai usaha VOC mengendalikan produksi timah di Malaysia
langsung di wilayah sumbernya menemui kegagalan.
Di Jambi, ekspansi perdagangan lada membebani negara itu di tahun-tahun
akhir abad ke XVII, ketika kekayaan mengalir ke tangan para pemimpin yang
bukan penguasa.
Sultan Abdul Rahman dari Palembang (1662-1706) dikenang dalam tradisi
lokal sebagai pemimpin ideal. Di Palembang, kehadiran VOC dan berbagai
praktiknya di sana seringkali mengundang kebencian, khususnya ketika VOC
berusaha mengendalikan impor pakaian dan melarang penjualan lada di luar
wilayah yang menjadi kesepakatan monopolinya. Namun demikian, Abdul
Rahman menjaga hubungan baik dengan VOC, dan begitu pula sebaliknya.
Pertumbuhan pasar lada membuka banyak peluang dagang yang melanggar
monopoli teoretis VOC, yang mungkin menyebabkan VOC memperoleh,
maksimal, tidak lebih dari setengah produksi Palembang.
Penyebaran produksi lada sebagian besar dimungkinkan oleh
dimanfaatkannya budak-budak sebagai buruh. Maka, pasar perbudakan Nusantara
bagian barat terus berkembang, seiring bertambahnya kerugian-kerugian daerah,
terutama di bagian timur Indonesia dan Filiphina Selatan, yang memasok sebagian
besar pasar budak.
Permusuhan terbuka dengan VOC pecah pada tahun 1687 dan berakhir
dengan diturunkannya penguasa Jambi oleh VOC. Hal itu diikuti periode
bermasalah selama 30 tahun ketika dua bersaudara berebut kekuasaan atas Jambi,
dan VOC berusaha mencari kebijakan yang mungkin memberikan keamanan
sekaligus akses lada kesana. Pada tahun 1712, Sultan Jambi yang dikenal dengan
nama Kiai Gede (1687-1719) menundukkan Hulu secara militer dengan bantuan

17
VOC, tapi hal ini pun tetap tidak menghasilkan kesejahteraan. Johor mampu
menyerang Jambi pada periode ini dan, pada tahun 1719, Hulu memberontak lagi.
Setelah Kiai Gede meninggal, konflik antara para aristokrat dan perang sipil
muncul. Penggantinya, Sultan Astra Ingalaga (1719-1725, 1727-1743), adalah
orang yang tidak terlalu terkenal dan pecandu opium.
Dalam keadaan Jambi yang penuh masalah, sering kali para pejabat lokal
VOC berpeluang menjalankan fungsi pemerintahan, yang mereka lakukan dengan
cara sedemikian rupa sehingga sering menyakitkan hati orang setempat dan hanya
memperkaya pribadi mereka. Permusuhan terhadap VOC menjadi amat besar
sehingga pada tahun 1754, garnisun milik VOC lari dari Jambi menuju Palembang
karena takut jiwa mereka terancam. VOC membalas dengan merespons dengan
balas memblokade Jambi, yang menyebabkan lahirnya kontrak baru VOC-Jambi
pada tahun 1756. Tapi permusuhan berlanjut, dan sekarang dipertajam dengan
adanya petualang Bugis. Pada tahun 1768, pos VOC diserang.
Riau, sebaliknya adalah pelabuhan dagang yang menjanjikan.
Kenyataannya, VOC membutuhkan agar Riau makmur, dan dalam hal apapun
VOC tidak punya sarana untuk mencegahnya mewujudkan hal itu, karena VOC
membutuhkan sebuah negara yang dapat menegakkan kondisi dagang yang damai
di ujung selatan Selat Malaka. Sejak tahun 1708, adik Sultan, Raja Muda
Mahmud, menentang perdagangan VOC. Ia menekan negara-negara bawahannya
untuk mengirim barang-barang mereka ke Riau. Kapal-kapal Cina dan Jawa yang
menuju Malaka dipaksa singgah di Riau. Pada tahun 1713, Riau awalnya menolak
tawaran kontrak baru dari VOC yang akan memperbaiki hak-hak dagang istimewa
VOC sampai kemudian Batavia memaksa, pada saat mana sebuah traktat baru
ditandangani dan kemudian langsung diabaikan dalam praktik. Ekspor timah dan
lada Riau terus tumbuh dengan cepat.
Pada tahun 1718, gabungan orang laut yang terdiri dari orang-orang
Minangkabau dari Melayu menyerang Johor dari Siak. Mereka dipimpin oleh
Raja Kecik (1746), yang mengklaim sebagai turunan bangsawan Malaka-Johor.
Palembang mengalami periode perselisihan suksesi setelah kematian
Sultan Abdul Rahman pada tahun 1706, yang berakhir dengan naiknya Sultan

18
Mahmud Badaruddin (1724-1757). Ekonomi Palembang mulai tergantung pada
produk baru. Produksi lada mereka sedang menurun pada awal Abdul Rahman
berkuasa dan makin menurun di akhir masa kekuasaannya.mengendalikan Bangka
dan Belitung sesungguhnya adalah tujuan utama Mahmud Baharuddin. Seperti
halnya atas lada Palembang, atas timah Palembang pun VOC, secara teori,
mendapat hak monopoli melalui traktat. Namun sekali lagi, monopoli itu
sebetulnya hanya untuk tidak lebih dari separuh hasil produksi.
Kekayaan dan gaya pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin (1724-
1757). Membuat ia meraih reputasi tinggi di Palembang. Bagi VOC, Palembang
berbiaya tinggi, biaya yang hampir tidak bisa diimbangi oleh hasil penjualan
timah. Pada masa Mahmud Baharuddin, orang-orang Bugis merupakan kekuatan
besar di bagian barat Nusantara. Kehadiran Inggris juga meningkat, dan pada
tahun-tahun selanjutnya di abad XVIII, mereka menjadi kekuatan yang lebih
menakjubkan daripada Belanda di banyak tempat karena mereka merupakan
penjual senjata modern yang didatangkan dari wilayah itu dalam jumlah besar.
Penemuan emas pada tahun 1730-an di wilayah penghasil lada di Lampung
mengundang untuk menciptakan kekacauan lebih jauh disana.
Di bawah para pemimpin Bugis, Riau terus menjadi pusat perdagangan
swasta, dimana VOC tidak memiliki sarana untuk mengontrol. Pada Januari 1784,
kapal utama VOC diledakkan dalam aksi di Riau, yang menewaskan ratusan
orang.
Pada tahun-tahun terakhir abad XVIII, Sumatera dan Selat Malaka secara
umum sedang dalam keadaan kacau. Negara-negara pesisir Malaysia yang pernah
menjadi kekuatan dominan sekarang paling sedikit terancam. Baru pada abad
XIX, Belanda berusaha memegang kendali atas sebagian besar Sumatera, dan
baru pada abad XX, mereka berhasil melakukan hal itu di seluruh pulau Sumatera.

2.5 Jawa, 1640-1682


Pada pertengahan dan tahun-tahun terakhir abad XVII kerajaan Mataram
dan Banten menghadapi konflik-konflik yang berat di dalam negeri yang tidak
dapat diabaikan oleh VOC di Batavia. Dilihat dari segi kepentingan VOC, Banten

19
merupakan sumber utama lada yang menjadi komoditas dagang yang lebih
penting dibandingkan rempah-rempah di Maluku, Banten dapat dicapai dari laut,
dan perlawanan di Banten dapat membuat Batavia terganggu. Adapun Mataram
merupakan suatu masalah yang berbeda. Kerajaan ini jauh lebih besar dari pada
negeri manapun yang pernah diserang VOC, mempunyai luas wilayah pedalaman
yang sangat luas, jadi angkatan laut VOC tidak banyak berarti, Mataram juga
menjadi penting karena sebagai pemasok beras dan kayu.
Putra dan pengganti Sultan Agung sebagai penguasa atas kerajaan
Mataram adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-1677), Amangkurat I berusaha
keras meniadakan konsensus orang-orang terkemuka yang memiliki arti penting
bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang-orang yang dicurigai
menentangnya, baik di istana maupun dipelosok kerajaan. Maka pada masa
pemerintahannya meletup pemberontakan yang terbesar selama abad XVII, hal ini
mengakibatkan tumbangnya dinasti tersebut dan masuknya campur tangan VOC.
Sebelum runtuhnya dinasti Amangkurat I, pada tahun 1646 raja
menyetujui suatu perjanjian persahabatan dengan VOC yang menukar tawanan
dan pada tahun 1651 pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali, hubungan
dagang VOC dengan daerah pesisir mulai berkembang lagi. Karena yang laku
dibeli oleh VOC adalah sebagian besar kayu dan beras yang dihasilkan dari
daerah pesisir, maka keuntungan terbesar yang didapat dari dibuka kembalinya
perdagangan ini hanya di wilayah pesisir saja dan keuntungan bagi kerajaan
sangat sedikit, oleh karena itu, Amangkurat I melakukan pengawasan yang ketat
terhadap daerah pesisir.
Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai untuk menguasai daerah
pesisir dan keinginannya memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja saling
berkait erat. Dia tampaknya mempunyai empat tujuan pokok:
1. Menjamin supaya pajak dari perdagangan daerah pesisir
langsung tersalur ke istana.
2. Menegakkan kembali hubungan ‘vasal’ VOC yang menurut
keyakinannya telah ditetapkan dalam perjanjian tahun 1646.

20
3. Menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan
kemegahan dan keagungan istananya
4. Menerima uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang
kronis dikerajaannya.

Ketika Amangkurat I sedang berusaha untuk menguasai daerah pesisir


perlawanan terhadap Amangkurat I muncul suatu kekuatan untuk mengkudeta
Amangkurat I yakni putra mahkota yang nantinya bergelar Susuhanan
Amangkurat II (1677-1703).
Putra mahkota ini adalah anak Amangkurat I dengan putri Surabaya, anak
pangeran Pekik. Pada tahun 1661 putra mahkota mencoba mengkudeta tapi gagal
sehingga banyak dari pihak putra mahkota yang terbunuh. Mulai tahun 1660,
putra mahkota sudah menjalin hubungan dengan VOC. Antara tahun 1667 dan
1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari
ayam Belanda sampai kuda Persia dan gadis-gadis makasar. Bukan hanya putra
Mahkota saja yang ingin mengkudeta Amangkurat I, ada 6 pangeran kerajaan
yang ingin merebut kekuasaan, diantaranya adalah Pangeran Puger yang kelak
akan menjadi Susuhunan Pakubuwana I (1704-1719).
Pangeran Mahkota cukup lama berhubungan dengan Raden Kajoran yang
nantinya sekitar tahun 1670 mengenalkan pangeran mahkota dengan Raden
Trunajaya (1649-1680) pangeran dari Madura, yang keduanya sama-sama
membenci Amangkurat I. Hasilnya adalah suatu persekongkolan yang paling
menentukan dalam menentang Amangkurat I.
Kekuatan dihimpun dari Madura oleh Trunajaya dan dibantu oleh para
gerombolan-gerombolan dari Makasar yang menjadi sekutu dengan Trunajaya
yang mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan Jawa. Pada tahun 1675,
pemberontakan benar-benar berkobar. Orang-orang Makasar menyerang dan
membakar pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur sampai ke Tuban. Pasukan
Madura dibawah pimpinan Trunajaya dapat memasuki Jawa dan merebut
Surabaya. Pada awal tahun 1677, pasukan-pasukan pemberontak menguasai
semua pelabuhan setelah menang dalam pertempuran di Gogodog. Aspirasi

21
Trunajaya semakin meningkat sehingga lupa akan perjanjian persekutuan awal
dengan Putra Mahkota, bahkan menyebut dirinya sebagai keturunan Majapahit
sehingga berhak atas kekuasaan Mataram.
Pada akhir bulan Mei dan Juni 1677 pemberontakan mencapai puncaknya,
Istana Plered diserang dan jatuh ke tangan pasukan Trunajaya, tetapi Amangkurat
I sudah pergi meninggalkan kerajaan bersama Putra Mahkota dan kerajaan
diserahkan kepada anaknya yakni Pangeran Puger, tetapi pangeran Puger tidak
bisa menahan serangan pemberontak sehingga pasukan Trunajaya dapat
merampok harta kekayaan di Plered.
Amangkurat I meninggal dunia pada bulan juli 1677 dan menyerahkan
kekuasaan kerajaan pada putra mahkota, sehingga mulai di sinilah pertentangan
antara putra mahkota dengan Puger. Susuhan Amangkurat II (1677-1703)
memulai pemerintahannya dan membuat perjanjian dengan VOC agar bisa
menjadi penguasa di Jawa dengan bantuan VOC. Perjanjian tersebut memberikan
tawaran yang sangat menggiurkan bagi VOC, sehingga VOC mau membantu
Amangkurat II untuk menumpas pasukan Trunajaya, sehingga atas bantuan VOC
pada tanggal 25 November 1678 pasukan Trunajaya dapat dipukul mundur dari
kota Kediri tetapi Trunajaya berhasil melarikan diri. Tetapi pada akhir tahun 1679
Trunajaya tertangkap dan dibunuh sehingga bentuk pemberontakan kini telah
hancur.
Walaupun pemberontak sudah dihancurkan tetapi masalah tetap ada ketika
saudara Amangkurat II, Pangeran Puger tidak mengakui Amangkurat II sebagai
raja, sehingga menghalangi Amangkurat II untuk menduduki tahtanya. Pada bulan
September 1680, Amangkurat II pergi ke Pajang dan membuat sebuah istana yang
baru yang disebut Kartasura. Pada bulan November 1681 pasukan VOC dan
pasukan Amangkurat II berhasil mengalahkan Pangeran Puger dan akhirnya Puger
menyerahkan diri.
Di Jawa Barat juga kerajaan Banten mengalami suatu krisis yang
mengakibatkan intervensi VOC. Masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1682)
yang juga terkenal sebagai Sultan Tirtayasa, merupakan zaman keemasan
Kerajaan Banten. Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak

22
Belanda ingin mendapatkan monopoli atas penyediaan lada Banten yang sangat
kaya ini dan merasa cemas akan adanya sebuah negara yang kaya dan sangat kuat
yang letaknya dekat dengan markas besar mereka di Batavia.
Kerajaan Banten dan VOC sering kali terjadi peperangan, yakni pada tahu
1633-1639 dan juga pada tahun 1656. Pada tahun 1659 tercapai suatu kesepakatan
damai antara VOC dan kerajaan Banten.
Putra mahkota Banten, yang kelak bergelar Sultan Haji (1682-1687)
menjalankan kekuasaan yang sangat besar di Banten, dan memang djuluki VOC
sebagai ‘Sultan Muda’. Istana terpecah menjadi dua faksi yang memasalahkan
tentang hubungan Banten dengan VOC, pihak Putra Mahkota ingin bekerja sama
dengan VOC tetapi pihak Sultan Ageng menentang VOC.
Selama pemberontakan Trunjaya sultan Ageng menyatakan berpihak
kepada kaum pemberontak, mengirim amunisi kepada mereka, serta mengganggu
kapal-kapal VOC dan wilayah-wilayah Batavia. Ketika Mataram runtuh pada
tahun 1677, pasukan-pasukan Sultan Ageng bergerak menuju ke daerah-daerah
vassal Mataram barat yaitu Cirebon dan dataran-dataran tinggi. Penyerangan ini
dimaksudkan untuk mengepung VOC, tetapi strategi ini gagal karena VOC
berhasil memenangkan pertempuran di Kediri.
Pada tahun 1680 Sultan Ageng mengumumkan perang dengan VOC,
namun pada bula Mei, putra mahkota mengambil alih kekuasaan dan menawan
Sultan Ageng di kediamannya. Pangeran Mahkota meminta bantuan dengan VOC
dengan mempersetujui syarat-syarat yang diajukan oleh VOC kepada Pangeran
Mahkota.
Pada bulan Mei 1682, sebuah pasukan VOC yang dipimpin oleh Francois
Tack dan Isaac de Saint-Martin berlayar menuju Banten. Pada saat itu, Putra
Mahkota telah terkepung di dalam istananya, para pendukung Sultan Ageng telah
berhasil merebut kembali kota tersebut dan membakarnya. Pangeran tunduk
sepenuhya kepada VOC dan oleh karenanya, VOC pun mengakuinya sebagai
sultan. Artileri Belanda memaksa keluar Sultan Ageng dari tempat kediamannya
dan setelah dikejar sampai ke daerah-daerah pegunungan, pada bulan Maret 1683,
dia pun menyerah. Sultan Ageng ditahan di Batavia dan wafat pada tahun 1695.

23
Cirebon dan dataran tinggi Priangan kini juga mulai berada dibawah
pengaruh VOC. Mataram tidak mempunyai sarana-arana untuk menguasai
Priangan, dan bagaimanapun juga Amangkurat II telah menyerahkan wilayah ini
kepada VOC pada bulan oktober 1677. Sekitar tahun 1682, musuh-musuh utama
VOC di Jawa telah berhasil dihancurkan.

2.6 Jawa, Madura dan VOC 1680-1754


Nasib VOC dan penduduk Jawa kini jalin-menjalin. Bagi VOC, kejadian-
kejadian di Jawa merupakan masalah penting karena mereka telah
menginvestasikan tenaga dan dana bagi pemulihan dinasti Mataram, sehingga kini
ingin memperoleh keuntungan dari investasi itu.
Pada awal masa pemerintahannya, Susuhunan Amangkurat II (1677-1703)
tampak benar-benar merupakan ciptaan VOC. Berdasarkan perjanjian-perjanjian
tahun 1677-1678, VOC memang tampak berada pada kedudukan yang sangat
kuat. Tetapi ketika wilayah Jawa Tengah menjadi tenang dari bisa ditumpasnya
para pemberontak dan kebutuhan akan persenjataan VOC berkurang, maka hilang
pulalah rasa hormatnya kepada VOC.
Hubungan raja dengan VOC segera memburuk. Perjanjian-perjanjian yang
telah disepakati sebelumya mulai dilanggar satu-persatu. VOC sendiri kini
memasuki masa sulit yang panjang. Ketika Gubernur Jenderal Speelman
meninggal pada tahun 1684, terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaannya. Jumlah penjualan tekstil turun 90%, monopoli candu tidak efektif,
dan para pedagang swasta dibiarkan melanggar monopoli VOC. Dia juga telah
menggelapkan sejumlah besar dana.
Di Istana Kartasura, perasaan anti-VOC terus tumbuh. Meskipun
demikian, pihak keratin sangat berhati-hati agar tidak terjadi keretakan total,
karena pengalaman telah memberi cukup bukti tentang kemampuan militer VOC.
Tetapi, pada tahun 1684, di sana datang seseorang yang kelak menjadi musuh
yang paling dibenci VOC. Orang itu adalah Surapati, seorang budak Bali yang
memimpin segerombolan perampok.

24
Pada tahun 1685, Kapten Francois Tack diangkat menjadi duta. Tack
diperintahkan untuk menangani serentetan daftar keluhan. Dia harus mengatur
masalah Cirebon sebagai vassal VOC, batas-batas Batavia, penyediaan kayu dan
beras, dsb. Pada November 1685, dia berangkat dari Semarang menuju Kartasura.
Menjelang hari kedatangan Tack di istana, Raja menghadapi suatu dilema.
Dia tidak bersedia menyerahkan Surapati, tetapi dia juga takut menunjukkan
perlawanan terang-terangan kepada VOC. Karena itu, dilancarkanlah sebuah
serangan tipuan oleh prajurit raja terhadap tempat tinggal Surapati pada tanggal 8
februari 1686. Saat itulah Tack tiba, dengan strategi jitu Tack tewas, konon
terdapat 20 luka pada tubuhnya. 74 serdadu Belanda mengalami hal serupa.
Setelah serangan tersebut, Surapati pergi ke pasuruan Jawa Timur dan
membangun suatu kekuatan. VOC menemukan berbagai surat yang memberikan
informasi bahwa kapten Tack dibunuh oleh rencana yang dirancang oleh
susuhunan.
VOC maupun Amangkurat II sama sama merasa takut dengan dihadapinya
kesulitan-kesulitan di berbagai medan, maka VOC tidak menginginkan
meletusnya perang baru di Jawa Tengah. Lagi pula, dengan meningkatnya
kesulitan keuangan, VOC tidak mampu membayar ongkosnya. Pada tahun 1691
terjadi perselisihan antara Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704
dengan Dewan Hindia, khususnya dengan direktur jenderal Johan van Hoorn.
Bagi Amangkurat II, berperang melawan VOC tidak memilik prospek
menarik. Kerajaannya sedang mengalami perpecahan. Kekuasaan Surapati
semakin bertambah besar di timur, pada tahun 1699 sudah mencapai Madiun.
Jawa Timur di sebelah utara sungai Brantas jatuh ke pelukan penguasa kuat dari
Madura Barat, Panembahan Cakraningrat II (1680-1707), bersama dengan
menatunya Angabei Jangrana I (1693) dan putranya, Jangrarana II (1693-1709).
Istana Amangkurat II terpecah-pecah kedalam kelompok-kelompok: kelompok
putra mahkota (kelak Amagkurat III) berhadapan dengan kelompok pendukung
Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I). Dalam usahanya mencari sekutu, tampak
putra mahkota mempunyai hubungan erat dengan surapati.

25
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat dan digantikan oleh putranya,
Amagkurat III (m 1703-8 ; w. 1734). karena perselisihan yang tidak kunjung
terhenti, Pangeran Puger meninggalkan kerajaan dan mencari bantuan kekuatan
dari VOC serta akhirnya medapat bantuan dari Cakraningrat II.
Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana I
(1704-1719) dan meletuslah konflik yang terkenal sebagai Perang Suksesi Jawa I
(1704-1708). Daerah-daerah pesisir kini bahu-membahu meyusun kekuatan, dan
pada agustus 1705 suatu kekuatan yang terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura
serta serdadu-serdadu VOC bergerak menuju Kartasura. Pasukan utama
Amangkurat III berbalik setelah Pakubuwana I dan sekutu-sekutunya mendekati
Ungaran, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Amangkurat III kecuali melarikan
diri dari Kartasura. Pada bulan September, Pakubuwana I memasuki Kartasura
tanpa mendapatkan perlawanan dan menduduki singgasana.
Amangkurat III lari ke arah timur dan bergabung dengan Surapati. Pada
tahun 1706, 1707, dan 1708 pasukan-pasukan VOC, Madura dan Kartasura
melancarkan serangan besar-besaran di Jawa Timur. Pada tahun 1706 Surapati
terbunuh di Bangil tetapi pada tahun 1707-lah Pasuruan berhasil ditaklukan,
sedangkan Amangkurat III dan putra-putra Surapati melarikan ke diri ke Malang.
Baru pada tahun 1708 Amagkurat III menyerahkan diri kepada VOC dan langsung
ditawan serta dibuang di Sri Lanka sampai wafatnya pada tahun 1734.
Pada Oktober 1705, Pakubuwana I dan VOC mencapai suatu perjanjian
baru. Pihak Belanda menghapuskan segala utang dinasti tersebut sebelum tahun
1705, sebagai imbalan atas konsesi-konsesi besar yang diberikan Pakubuwana I
kepada VOC.
VOC menghadapi masalah-masalah keuangan yang sangat berat.
Penghasilan semakin berkurang dan akibat dari banyaknya pemberontakan
menjadikan pengeluaran lebih tinggi.
Pangeran Cakraningrat III (1708-1718) dari Madura Barat mulai
menyusun rencana untuk memperluas pengaruhnya. Pada tahun 1712,
Cakraningrat III dan tahun 1714 Jayapuspita dari Surabaya tidak bersedia
menghadap ke istana lagi.

26
Pada tahun 1717, Surabaya memberontak dan mendatangkan prajurit-
prajurit Bali untuk dijadikan sekutu. Dengan demikian meletuslah perang yang
kejam selama 6 tahun. VOC berhasil menaklukan kembali kota Surabaya pada
tahun 1718 tetapi pasukan-pasukan pemberontak tidak dapat dihancurkan. Pada
tahun 1718 Ponorogo, Madiun, Magetan dan Jogorogo memberontak.
Ditengah runtuhnya vaguan timur kerajaannya ini, Pakubuwana I wafat
pada februari 1719. Dia digantikan oleh putranya, Amangkurat IV (1719-1726).
Pada juni 1719, adik-adiknya Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, melancarkan
serangan terhadap Istana. Tetapi mereka dapat dipukul mundur oleh tembakan
meriam dari pasukan VOC yang mengawal Istana. Pangeran Arya Mataram yang
juga paman mereka, meinggalkan istana dan membuat kerajaan tandingan. Maka
dimulailah Perang Suksesi Jawa II (1719-1723). Sekali lagi, hanya VOC-lah yang
dapat menyelamatkan raja.
Pada November 1719, VOC melakukan serangan dan berhasil mengahalau
tokoh-tokoh pemberontak itu dari kubu pertahanan mereka di Mataram.
Sebelumya, pada bulan Oktober 1719, Pangeran Arya Mataram sudah menyerah,
dan lalu dicekik di Jepara. Dari kalangan keluarga Surabaya, Jangrana III wafat
pada tahun 1718 dan Jayapuspita pada tahun 1720. Pangeran Blitar wafat pada
tahun 1721. Akhirnya, pada bulan Mei dan Juni 1723, sisa-sisa pemberontak
menyerah, termasuk beberapa keturunan Surapati, Surengrana dari Surabaya,
Pangeran Purbaya, serta Pangeran Dipanagara. Purbaya ditahan di Batavia,
sedangkan yang lain dibuang ke Sri Lanka.
Meskipun kaum pemberontak telah ditumpas, namun tahun-tahun terakhir
pemerintahan Amangkurat IV masih jauh dari ketentraman. Pangeran
Cakraningrat IV (1718-1746) dari Madura Barat melawan kekuasaan Raja
sebagaimana telah dilakukan para pendahulunya. Bagi VOC, ini adalah masa
frustrasi berkelanjutan, ketika makin jelas bahwa peran mereka dalam
kemenangan Amangkurat IV tidak memberi keuntungan atau kekuasaan yang
mereka cari. Di bagian barat pantai utara Jawa, yang dianggap penting bagi VOC
karena suplai beras dan kayu, bangsa Eropa menghadapi gubernur berdarah Cina-
Jawa, Adipati Jayaningrat (1726), yang bersama tuan tanah lokal lainnya

27
menguasai pasar beras lokal dan memanipulasi harga sehingga merugikan VOC.
Mereka juga mengacaukan akses cadangan kayu, yang sekarang mulai habis.
Bulan maret 1726, raja jatuh sakit dan para pembesar kraton dan
meracuninya sehingga sehingga dia wafat pada tanggal 20 april dan digantikan
oleh putranya Pakubuana II (1726-1749). Pakubuana II waktu itu baru berusia 16
tahun. Pada awal masa pemerintahannya, dia dikuasai oleh ibunya, Ratu
Amangkurat, Patih Danureja dan nenek suri yang sangat berpengaruh, Ratu
Pakubuana, yang juga seorang sufi shaleh. Ratu Pakubuanalah yang
mempengaruhi raja menjadi seorang pemimpin yang berpegang teguh kepada
nilai-nilai islam.
Meskipun pada awal pemerintahan Pakubuana II tampak ada harapan,
dengna cepat istana menjadi pusat intrik diantara orang-orang kuat yang
melakukan manufer demi kekayaan dan pengaruh. Lagi-lagi halite melibatkan
hubungannya dengan VOC. Kekuatan Danureja tumbuh dengan cepat. Sodara
laki-laki raja pangeran Arya Mangkunegara yang belum melakukan
pemberontakan pertama.
Raja Pakubuana II berbeda pendapat dengan Patih Danureja yang
membenci VOC. Pada tahun 1732, Pakubuana II mulai berbalik melawan
patihnya. Pada tahun 1733 ia mengumumkan akan mengambil alih tanggung
jawab atas urusan-urusan kenegaraan dan meminta VOC membuang Danureja.
Ketika di kartasura terpecah menjadi beberapa faksi, Kerajaan Pakubuana
II di perbatasan sebelah timur mulai runtuh. Pada tahun 1738 Cakraningrat IV
menolak menghadap ke istana. Kekuasaan Cakraningrat IV di Jawa timur makin
besar dan mengancam kekuasaan Bali di ujung timur, lagi-lagi ia berkeras
melepaskan kesetiaannya kepada Kartasura meminta dijadikan vassal VOC.
Pejabat tinggi VOC terpecah akibat konflik dan banyak berselisih setelah
meninggalnya Gubernur Jendral Dirk van Cloon (1732-1735). Dewan hindia tidak
bisa bersepakat tentang siapa yang harus menggantiakan Van Cloon sehingga
terpaksa dilakukan pengundian, undian itu dimenangkan oleh Abraham Patras
yang tua renta. Sebelum heeren XVII mengabulkan permintaannya agar
dibebaskan dari tugas itu, Abraham sudah wafat pada tahun 1737. Sementara itu,

28
pembukuan VOC untuk Banten dan pesisir Jawa terus menunjukan kerugian
besar. Nilai export kecil dan perhitungan-perhitungan pasarnya keliru.
VOC mendapatkan masalah baru ketika orang-orang Cina menjadi salah
satu kekuatan besar di bidang ekonomi, perasaan saling curiga menyebabkan
meletusnya tindak kekerasan pada bulan oktober 1740 yang disebabkan
kecurigaan VOC kepada orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan.
Pada tanggal 7 Oktober gerombolan-gerombolan Cina yang berada di luar kota
menyerang dan membunuh orang-orang Eropa. Pada tanggal 9 Oktober
dimulailah penggeledahan rumah-rumah orang Cina dan dimulai juga
pembunuhan besar-besaran terhadap orang Cina. Akhirnya ada sekitar 10.000
orang Cina yang tewas.
Peperangan yang sekarang meletus di Jawa akan berlangsung terus,
hampir tanpa henti selama 17 tahun. Orang-orang Cina yang lolos dalam
pembantaian di Batavia melarikan diri ke daerah pesisir dan bergabung dengan
orang Cina lainnya. Orang Cina dapat merebet pos VOC di Juwana pada Mei
1741. Markas besar VOC untuk wilayah pesisir di Semarang dikepung dan pos-
pos lainnya terancam.
Pakubuwana II kini menghadapi suatu keputusan yang paling sulit dalam
pemerintahannya. Istananya terbagi menjadi dua kelompok utama. Kelompok
yang satu di pimpin oleh patih Natakusuma, memilih melawan VOC dan yang
satu lagi menunggu VOC terpuruk barulah menyerangnya. Pada November 1741,
pos VOC di Semarang dikepung oleh kira-kira 20.000 orang Jawa dan 3.500
orang Cina dengan 30 pucuk meriam. Cakraningrat IV kini merasa yakin bahwa
Pakubuwana II sedang menuju bencana, Karena itu ia memandang
persekutuannya dengan VOC sekarang lebih penting lagi daripada sebelumnya.
VOC sudah menduga bahwa Pakubuwana II telah hampir memutuskan
hubungannya. Semua keraguan selama ini lenyap pada Juli 1741, ketika para
prajurit Raja Kartasura menyerang pos garnisun VOC disana. Pada serangan awal
Komandan VOC, Kapten Johannes van Velsen dapat memukul mundur pasukan
Jawa tetapi pasukan Jawa langsung mengepung benteng VOC tersebut selama 3
minggu. Van Velsen dibunuh dan benteng VOC di Kartasura dihancurkan.

29
Pakubuwana II telah dengan tegas menyatakan dirinya sebagai musuh orang-
orang Eropa, raja-mistik-penakluk Perang Suci.
Dalam keputusasaan, VOC akhirnya melakukan kerjasama dengan
Cakraningrat IV dan laskar Maduranya. Cakraningrat IV mengatakan akan
membantu tetapi dengan beberapa syarat, salah satunya adalah melepaskan diri
dari Kartasura. Pada bulan Juni-Juli 1741, VOC dengan resmi menerima tawaran
Cakraningrat. Akan tetapi Cakraningrat IV terus meningkatkan usahanya untuk
menguasai sebagian besar wilayah tersebut. Pasukan-pasukan bala bantuan telah
tiba di Semarang dan VOC dapat merebut kembali wilayahnya dan membunuh
semua orang Cina, sementara pasukan Cakraningrat IV meneruskan operasi
pembersihan di Jawa Timur.
Pakubuwana II sekarang baru menyadari bahwa keputusannya sangatlah
tidak tepat karena sekutunya orang-orang Cina dapat dikalahkan oleh VOC dan
bagian timur kerajaannya juga dapat dikuasai oleh Cakraningrat IV. Dia dan
ibunya akhirnya mengirimkan permohonan maaf dan pengampunan kepada VOC.
Pada awal 1742, kaum pemberontak mengangkat susuhan baru, seorang
cucu laki-laki Amangkurat III yang dibuang VOC, dan baru berusia 12 tahun
bernama Raden Mas Garendi (Sunan Kuning). Selain bersifat anti-VOC, perang
tersebut sekarang bersifat anti-Pakubuwana II juga. Pada akhir Juni 1742,
pemberontakan mencapai puncaknya dengan takluknya Kartasura. Pakubuwana II
dan Van Hohendroff melarikan diri ke arah timur, menuju Panaraga.
Pakubuwana II mengajukan permohonan bantuan kepada VOC untuk
mengembalikan kerajaan Kartasura dengan berbagai persetujuan yang sangat
menguntungkan VOC, namun VOC tidak dapat berbuat apa-apa untuk dapat
menyerang daerah pedalaman.
Pada November 1742, pasukan Cakraningrat IV berhasil merebut
Kartasura dan memukul mundur pihak pemberontak. Karena berhasil menaklukan
Kartasura Cakraningrat IV akhirnya berhasil menguasai Kartasura selama hampir
tujuh dasawarsa. Karena atas desakan VOC akhirnya Cakrabuana mengembalikan
Kartasura kepada Pakubuwana II, karena takut hubungannya dengan VOC putus.
Di lain pihak VOC sekarang mulai khawatir terhadap ambisi sekutunya dari

30
Madura itu. Hubungan VOC dipulihkan kembali dalam perjanjian November
1743, yang secara resmi menundukkan kembali Pakubuwana II kesinggasananya.
Gustaaf Willem Baron van Imhoff telah dipilih oleh Hereen XVII untuk
memulihkan VOC dan sejak kedatangannya di Batavia pada tahun 1740, dia
memimpin kelompok penentang Gubernur Jenderal Valckenier. Pada Mei 1743,
kapal Van Imhoff tiba di Batavia dan dia segera mengambil alih jabatan dari
Gubernur Jenderal sementara Johannes Thedens (1741-1743).
Ambisi Cakraningrat yang memiliki ambisi yang sangat kuat dan merasa
mempunyai hak atas sebagian besar wilayah Jawa Timur. Akan tetapi VOC tidak
mau mengakui “hasrat luar batasnya itu”. Cakraningrat IV melakukan berbagai
manuver politik untuk mencapai ambisinya, sehingga VOC menganggap
Cakraningrat IV telah menjadi seorang pemberontak. Peperangan pun tidak
terhindarkan, Cakraningrat IV terjun dalam perang dan berhasil merebut Madura
Timur. Peperangan kini berlangsung di seluruh Madura dan di sepanjang daerah
pesisir Jawa, dari Pasuruan sampai Rembang. Satu pasukan VOC yang berada di
Madura dikepung selama enam bulan. Tetapi setelah tahun 1745, VOC mulai
memetik beberapa kemenangan. Akhirnya Cakraningrat pada tahun 1745
melarikan diri ke Banjarmasin, Kalimantan. Di sana dia mencari perlindungan di
atas sebuah kapal Inggris, di mana dia dirampok. Kemudian sultan
mengkhianatinya dan menyerahkannya kepada VOC yang membawanya ke
Batavia dan kemudian membuangnya ke Tanjung Harapan pada tahun 1746.
Putranya menggantikan dia sebagai raja vassal VOC di Madura Barat.
Intervensi pembesar-pembesar Madura di Jawa berakhir dan Pakubuwana
II kembali bertakhta.

2.7 Jawa dan VOC 1745-1792


Pada februari 1746 secara resmi Pakubuwana II memindahkan istananya
kira-kira 12 kilometer jauhnya dari istana lama. Istana baru tersebut sama tidak
stabilnya dengan istana lama. Mas Said, Pangeran Singasari dan sedikitnya empat
pangeran melakukan pemberontakan kepada Pakubuwana II. Untuk meredam
pemberontak raja mengumumkan siapapun yang dapat megusir mereka akan

31
diberi tanah sejumlah 3.000 cacah. Pangeran Mangkubumi menerima tantangan
itu dan pada tahun 1746 dia berhasil mengalahkan Mas Said dan menuntut
hadiahnya. Akan tetapi musuh lamanya di Istana Patih, Pringgalaya membujuk
Pakubuwana II agar menahan hadiah tersebut. Di tengah keadaan sulit ini
datanglah Gubernur Jenderal Van Imhoff ke istana dengan tujuan menagih hak
VOC atas daerah yang sempit di sepanjang wilayah pesisir dan semua sungai
yang mengalir ke laut. Tetapi yang diinginkan Van Imhoff, adalah penyerahan
semua pelabuhan yang belum diserahkan beserta wilayah-wilayah pedalaman. Dia
mengajukan hal ini kepada raja sebagai solusi atas ketidakmampuan istana
memerintah wilayah pesisisr. Pakubuwana II yang peragu tidak tahu bagaimana
harus beraksi. Tetapi Van Imhoff terus mendesak sehingga ia terpaksa menyerah.
Daerah pesisir disewakan kepada VOC seharga 20.000 real.
Tak ayal berita ini membuat Pangeran Mangkubumi marah karena harga
20.000 terlalu sedikit. Selain itu Mangkubumi beranggapan bahwa raja telah
melanggar prinsip pokok kerajaan Jawa, yaitu mengambil keputusan penting
tanpa berkonsultasi dengan para pembesar keraton. Kemarahan Mangkubumi
semakin memuncak ketika Van Imhoff ikut campur dalam percekcokan mengenai
hadiahnya yang berjumlah 3.000 cacah. Van Imhoff meyakinkan raja bila
memberi hadiah tersebut akan membuat Mangkubumi memiliki kekuatan yang
besar.
Dengan alasan-alasan di atas Mangkubumi pada Mei 1746 melancarkan
pemberontakan, dan meletuslah Perang suksesi Jawa. Di tengah peperangan itu,
pada Desember 1749, Pakubuwana II jatuh sakit. Di tengah sakitnya itu
Pakubuwana II mengusulkan agar Gubernur VOC untuk wilayah pesisir Timur
laut, Baron van Hohendorff agar mengambil alih kepemimpinan atas negara.
Meski awalnya terkejut, Van Hodenhorff segera menyetujui usul tersebut.
Dibuatlah suatu perjanjian pada tanggal 11 Desember 1749, yang menyerahkan
kedaulatan atas seluruh kerajaan kepada VOC. Raja wafat sembilan hari
kemudian.
Setelah wafatnya raja pada 15 Desember 1749, Van Hohendroff
mengumumkan pengangkatan putra mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.

32
Tetapi sebelum upacara penobatannya terlaksana, Mangkubumi telah dinyatakan
sebagai raja oleh para pengikutnya. Pada tanggal 12 Desember 1749, di markas
besarnya Yogyakarta, Mangkubumi juga memakai gelar Susuhunan Pakubuwana
III. Dan pada tahun 1755 dia memakai gelar Hamengkubuwana yang dipakai oleh
semua penerusnya. Dengan demikian, sejak akhir tahun 1749, Jawa sekali lagi
terbagi antara seorang raja pemberontak dan seorang raja yang didukung VOC.
Dari tahun 1750 sampai tahun 1754, pemberontak semakin kuat. Mas Said
kini bergabung dengan Mangkubumi sebagai pemberontak dan menyerang
Surakarta yang menyebakan kerugian yang besar di pihak VOC. Dalam perang ini
tidak satu pihak pun dapat memperoleh kemenangan. Pihak pemberontak
meskipun berhasil meraih kemenangan demi kemenangan, namun mereka tidak
dapat menyingkirkan raja dari Surakarta. Malah pada tahun 1752, timbul
perpecahan di pihak pemberontak antara Mangkubumi dan Mas Said . Karena
ketakutan kehilangan kekuasaannya atas pasukan-pasukan pemberontak,
Mangkubumi bersedia melakukan perundingan dengan VOC untuk membantunya
melawan Mas Said. Pada September 1754 terjadi kesepakatan antara VOC dan
Mangkubumi. Di antaranya Mangkubumi akan mendapatkan separuh bagian
kerajaan Surakarta dan Mangkubumi mengakui kekuasaan VOC atas wilayah
pesisir. Pada mulanya, Mangkubumi merasa keberatan atas kesepakatan ini, tetapi
akhirnya Mangkubumi mengakuinya sebagai sebuah imbalan atas sebuah
persekutuan dan pada kesepakatan ini juga disetujui bahwa VOC akan
membantunya untuk melawan Mas Said.
Pada 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani dan VOC
mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I penguasa setengah
Jawa Tengah. Itu berarti di tahun 1755 di Jawa Tengah terdapat dua kerajaan.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti belum berarti perang
berakhir karena masih ada pemberontak yang masih berkeliaran yaitu Mas Said.
Pada Oktober 1755 Mas Said berhasil mengalahkan satu pasukan VOC dan pada
Februari 1756 dia hampir berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-
pasukan dari Surakarta, Yogyakarta dan VOC tidak sanggup menawan Mas Said,
tetapi jelas pula Mas said tidak mampu menaklukan Jawa karena menghadapi

33
lawan gabungan semacam itu. Di bulan Februari 1757 Mas Said menyerah kepada
Pakubuwana III dan di bulan Maret ia mengucapkan sumpah setia kepada
Surakarta atas perbuatannya itu. Pakubuwana menghadiahkan tanah berikut 4.000
cacah kepadanya. Dengan begitu Mas Said memiliki daerah kekuasaan sendiri
yang berada di bawah Surakarta.
Sesudah Pakubuwana memberikan kekuasaan pada Mas Said pada tahun
1757 sampai 1825 praktis tidak ada lagi peperangan besar, periode damai
terpanjang sejak awal abad XVI. Pada awal tahun 1770-an, pemisahan Jawa telah
mencapai tingkat yang lebih mantap dan kebutuhan terhadap hadirnya VOC
sebagai penengah di antara kedua istana menurun lagi. Pada tahun 1773-1774,
sensus baru dan kesepakatan pembagian wilayah antara Surakarta dan Yogyakarta
dicapai, dan tata cara penyelesaian sengketa selanjutnya ditetapkan. Disetujui pula
perundang-undangan baru, yang mengakhiri masalah Yurisdiksi yang rumit akibat
dari pembagian tersebut dan yang secara resmi mengatur hubungan antar warga
kedua istana. Dengan demikian , pembagian yang tetap atas Jawa Tengah terhadap
dua istana akhirnya menjadi kenyataan.
Ujian besar pertama terhadap ketahanan pembagian kerajaan terjadi ketika
Pakubuwana III wafat pada tahun 1788 dan kedudukannya diganti oleh putranya
yang baru berumur 19 tahun. Pada awal tahun 1789, Pakubuwana IV mengangkat
sutu kelompok baru yang disenanginya pada jabatan-jabatan yang tinggi.
Kelompok ini meyakinkan Raja agar beranggapan bahwa Surakarta dapat menjadi
kerajaan Jawa yang lebih senior, dan dengan demikian, meniadakan asas
kesetaraan yang mendasari pembagian permanen antara Surakarta dan
Yogyakarta. Istana Yogyakarta merasa yakin bahwa Pakubuwana IV sedang
merencanakan perang untuk mempersatukan kembali kerajaan.
Desas-desus mulai tersebar. Mangkunegara I mencemaskan masa
depannya sendiri dan keturunannya, Yogyakarta merasa khawatir akan stabilitas
pembagian kerajaan dan tokoh terkemuka dari Surakarta yang tersisih
mencemaskan nasib mereka dan nasib kerajaan. Mereka semua berusaha
mengajak VOC untuk melawan Pakubuwana IV namun VOC menolak.

34
Pada bulan Juli 1789, pihak Belanda tiba-tiba terguncang karena ada
desas-desus bahwa Pakubuwana IV dan para penasihatnya yang baru
merencanakan suatu pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Eropa yang
ada di Jawa. Belum benar apakah desas-desus akan dibantai orang Eropa oleh
Pakubuwana IV, istana Yogyakarta semakin menyebarkan rumor yang lebih
menggemparkan kepada VOC. Dengan cara begini, Istana Yogyakarta berhasil
meyakinkan orang Belanda akan perlunya langkah-langkah militer untuk
menghentikan rencana-rencana Pakubuwana IV. Baik Hamengkubuwana I
maupun Mangkunegara I sama-sama percaya bahwa ancaman dari Pakubuwana
IV akan berdampak dahsyat sehingga diperlukan kerjasama.
Pada November 1790, musuh-musuh Pakubuwana IV mulai mengepung
istana. Beberapa ribu prajurit dari Yogyakarta dan daerah Mangkunegara I
mengambil posisi disekitar Surakarta. VOV mengirim ratusan serdadu ke
bentengnya yang berada di dalam kota. Sadar bahwa posisinya tidak mungkin
tertolong Pakubuwana IV menyerahkan diri dan memohon pengampunan kepada
VOC, dan dengan cepat dikabulkan.
Krisis 1790 menghasilkan sebuah perjanjian baru yang merupakan unsur-
unsur pokok dari pembagian yang permanen atas Jawa Tengah. Atas desakan
VOC perjanjian ini ditandatangani oleh Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I,
Mangkunegara I dan Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut Jan Greeve.
Perjanjian baru ini lebih maju dari perjanjian-perjanjian sebelumnya karena nyata-
nyata mengakui Mangkunegara I. Juga, perjanjian ini secara resmi mengakui
VOC merupakan pengadilan banding yang terakhir bagi sengketa-sengketa yang
tak terpecahkan di antara para penandatangan.

2.8 Jawa, 1792-1830


Perdamaian yang terjadi dari tahun 1750-an sampai 1800-an di Jawa telah
membawa kesejahteraan dan pelbagai segi dan Yogyakarta khususnya merupakan
sebuah kerajaan yang sangat kuat. Misalnya prajurit profesional Sultan
Hamengkubuwana II pada sekitar tahun 1808 mencapai 1.765 orang dan secara

35
teori dia dapat mengumpulkan pasukan sebanyak 100.00 prajurit lebih dari negeri-
negeri taklukannya.
Akan tetapi keunggulan militer Yogyakarta terancam oleh pemerintahan
Hamengkubuwana II, yang merusak mufakat golongan elite yang sangat penting
artinya bagi kekuatan dan stabilitas. Sultan ini bertikai dengan saudara-
saudaranya, terutama dengan Pangeran Natakusuma yang memiliki pengaruh di
istana. Sebagian besar pejabat dan penasihat Hamengkubuwana I sudah
meninggal dunia atau berusia sangat lanjut, dan Hamengkubuwana II segera
mengganti mereka dengan orang-orangnya sendiri yang disukainya tetapi kurang
cakap. Patih ayahnya yang cakap, Danureja I diganti oleh cucunya Danureja II.
Dia tidak efisien dan segera menggalang persekutuan yang erat dengan suatu klik
istana yang mengelilingi putra mahkota (kelak bergelar Hamengkubuwana III).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan
Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Prancis sejak tahun
1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka
Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di
negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal
Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi gubernur-jenderal (1808-
1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di
Samudera Hindia.
Daendels memperlakukan para penguasa di Jawa Tengah seolah-olah
mereka merupakan vasal-vasal Batavia. Para residen di istana-istana kini
dinamakan “Minister”, bukan residen. Dalam semua urusan protokol, mereka
mulai sederajat dengan raja-raja Jawa. Hamengkubuwana II secara terang-
terangan menolak semua perubahan yang dilakukan Daendels dan di sinilah
bermula suatu periode konflik yang panjang yang akan berakhir dengan
meletusnya perang Jawa.
Pada tahun 1810, kepala pemerintahan sultan untuk wilayah-wilayah luar
(mancanegara), Raden Rangga melancarkan sebuah pemberontakan terhadap
pemerintah Eropa. Pemberontakan ini berhasil ditumpas dengan mudah dan
Rangga terbunuh. Sementara itu semakin meningkatnya ketegangan di istana

36
mendorong Sultan untuk melangkahi Patih Danureja II (yang menurut perjanjian,
jabatannya merupakan penunjukan bersama Jawa-Belanda) dan menyerahkan
wewenangnya kepada Pangeran Natadiningrat, putra saudara Sultan yang bernama
Natakusuma.
Pemberontakan Raden Rangga menyebabkan dikeluarkannya ultimatum
oleh Daendels yang ditujukan kepada Hamengkubuwana II. Dia harus menyetujui
perubahan terhadap upacara istana yang berkaitan dengan kedudukan “Minister”
Eropa, mengangkat kembali Danureja II dengan kekuasaan penuh dan
bertanggung Jawab atas pemberontakan Rangga. Sultan menolak pada bulan
Desember 1810, Daendels bergerak menuju Yogyakarta dengan membawa 3.200
serdadu dan memaksa Hamengjubuwana II turun takhta dan menyerahkannya
kepada putranya Hamengkubuwana III atas desakan sultan yang baru
Hamengkubuwana II diperkenankan tinggal di Yogyakarta.
Pada bulan Mei 1811, kedudukan Daendels sebagai gubernur jenderal
digantikan oleh Jan Willem Janssens. Dia mampu bertahan cukup di Jawa namun
pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia berikut daerah-daerah sekitarnya jatuh ke
tangan Inggris.
Penaklukan Inggris itu diikuti suatu periode kekacauan. Hamengkubuwana
II memanfaatkan ksempatan ini untuk merebut kembali takhta Yogyakarta.
Putranya diturunkan kedudukannya semula sebagai putra mahkota. Setelah
Inggris berhasil menaklukan Batavia, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai
Letnan gubernur Jawa. Raffles adalah seorang pembaharu dan penentang
“depotisme” sebagaimana Daendels. Pada mulanya dia membiarkan semua
tindakan Hamengkubuwana II, tetapi segera menjadi jelas bahwa Sultan adalah
orang yang keras dan tegas yang tidak dapat diharapkan kerja samanya oleh
Inggris.
Pada bulan November 1811, John Crawfurd tiba di Yogyakarta sebagai
residen yang baru. Dia menerima hinaan dan cercaan keras ketika di istana sampai
dia berkesimpulan hanya dengan langkah-langkah yang keraslah yang akan dapat
merubah situasi. Pakubuwana IV kini melibatkan diri ke dalam konflik tersebut.
Secara diam-diam dia mengadakan surat menyurat dengan Hamengkubuwana II

37
yang menyebabkan Sultan percaya bahwa Surakarta akan mendampinginya dalam
perlawanan bersenjata terhadap Eropa. Tujuan Pakubuwana IV yang
sesungguhnya ialah mendorong supaya sultan menjadi berani, sehingga akan
menyebabkan hancurnya kesultanan di tangan orang-orang Eropa. Pihak Inggris
segera mengetahui adanya surat-menyurat Surakarta-Yogyakarta ini. Mereka
mulai mengadakan perundingan-perundingan rahasia dengan putra mahkota
Yogyakarta (Hamengkubuwana II) dan Natakusuma serta bersiap-siap
menghancurkan Yogyakarta.
Pada bulan Juni 1812, 1.200 prajurit berkebangsaan Eropa dan sepoy India
didukung 800 prajurit legiun Mangkunegara, berhasil merebut istana Yogyakarta
setelah tembakan-tembakan artileri yang seru. Pakubuwana IV tidak berbuat apa-
apa kecuali menempatkan pasukannya di seberang jalur-jalur komunikasi Inggris.
Akibat peristiwa ini Hamengkubuwana IV dimakzulkan dan dibuang ke Penang.
Kedudukannya sebagai sultan digantikan oleh putranya, Hamengkubuwana III.
Natakusuma, atas bantuannya kepada pihak Inggris, dihadiahi suatu daerah
merdeka dan dianugerahi gelar Pakualam I.
Pakubuwana IV segera menyadari bahwa dia telah gagal dalam
rencananya menghancurkan Yogyakarta, sementara Surakarta tetap utuh. Pada
tahun 1814-1815 Pakubuwana IV mengadakan suatu persengkokolan yang
terakhir. Dia bersengkokol dengan prajurit-prajurit Sepoy India, yang ditempatkan
di Jawa unutk menghancurkan pemerintahan Eropa maupun Yogyakarta. Akan
tetapi persengkokolan tersebut terbongkar. Hampir 70 orang Sepoy yang menjadi
biang keladi dihadapkan ke pengadilan militer, 17 orang ditembak mati. Raflles
mengambil keputusan untuk tidak memakzulkan Pakubuwana IV atas
keterlibatannya itu, tetapi membuang seorang pangeran yang terlibat dalam
persengkokolan tersebut.
Dari tahun 1812 sampai tahun 1825, perasaan tidak senang terhadap orang
Eropa di Jawa semakin meningkat. Orang-orang Eropa masih tetap melakukan
campur tangan terhadap urusan-urusan istana pada umumnya, dan khusunya
dalam pergantian raja di Yogyakarta. Korupsi dan persengkokolan semakin
merajalela di kedua istana. Orang-orang Eropa dan Cina menyewa tanah yang

38
bertambah luas di Jawa Tengah untuk dijadikan perkebunan-perkebunan tebu,
kopi, nila dan lada. Di perkebunan-perkebunan tersebut, penduduk pedesaan Jawa
dan hukum adat dipandang rendah. Para petani semakin terpaksa untuk membayar
pajak dalam bentuk kontan, yang semakin mendorong mereka untuk meminjam
uang dari lintah darat, kebanyakan adalah orang Cina. Ini membuat ketegangan
antar etnis Cina dan Jawa.
Di daerah-daerah yang tetap berada di bawah penguasa-penguasa Jawa,
para penarik pajak dan para pengelola pajak lalu lintas bertindak memeras. Di
daerah-daerah yang baru dicaplok oleh pemerintah penjajah, kondisi-kondisi
mungkin malah menjadi makin buruk lagi bagi petani yang harus membayar
pajak. Penderitan yang dialami rakyat menyebabkan terjadinya dislokasi sosial
dan gerombolan-gerombolan perampok semakin bertambah banyak dan berani.
Pemakaian opium meluas di kalangan penduduk Jawa sebagai konsekuensi
dislokasi semacam itu, yang meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial.
Di tengah-tengah keadaan yang semakin kacau itu munculah seorang
tokoh yang terkenal dengan sebutan Pangeran Dipanagara. Sekitar tahun 1805
sampai 1808, Dipanagara mengalami suatu pengalaman religius yang
membuatnya yakin bahwa dia calon raja Jawa yang ditunjuk secara supranatural.
Selama hampir 20 tahun ,Dipanagara menantikan waktunya yang baik. Selama
masa itu, situasi di Jawa bertambah buruk dan pengikut Dipanagara bertambah
banyak.
Pada tahun 1823, gubernur Jenderal G.A.G. Ph van der Capellen (1816-
1826) mengambil keputusan untuk mengakhiri penyelewengan-penyelewengan di
seputar penyewaan tanah swasta di Jawa Tengah. Dia memerintahkan agar sewa
menyewa tanah seperti itu dihapuskan. Para bangsawan yang telah menyewakan
tanah mereka, kini tidak hanya kehilangan sumber pendapatan, tetapi juga harus
mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan oleh penyewa-penyewa Cina
dan Eropa dan membatar ganti rugi kepada mereka atas perbaikan yang telah
mereka lakukan.
Pada bulan Mei 1825 terjadi bentrokan antara Pangeran Dipanagara dan
Patih Danureja IV ketika patok-patok untuk jalan raya dibuat. Sesudah itu terjadi

39
periode ketegangan. Pada tanggal 20 Juli Pihak Belanda mengirim serdadu-
serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Dipanagara. Tetapi Dipanagara
berhasil meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan. Perang Jawa
(1825-30) pun dimulai. Tetapi pada tahun 1828 tampak jelas bahwa perang telah
berbalik menguntungkan Belanda dan sekutunya. Perang Jawa merupakan
perlawanan terakhir kelompok elite bangsawan Jawa.
Dominasi politik atas seluruh Jawa akhirnya diperoleh pada tahun1830,
tetapi secara finansial, sebaliknya usaha ini merupakan suatu kegagalan.
Keuntungan dari Jawa diperlukan sekali. Keuntungan tidak hanya harus bisa
menutupi biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga diperlukan untuk
mendukung posisi keuangan di negeri Belanda yang sedang memburuk. Selama
perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan bagaimana rencana untuk
Jawa. Yaitu bagaimana memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga
yang tepat sehinga akan memberikan keuntungan. Pemikiran Van den Bosch
menyampaikan pada raja mengenai cultuurstelsel namun usulan tersebut tidak
pernah dirumuskan secara eksplisit, tetapi tampaknya sistem itu didasarkan pada
suatu prinsip umum yang sederhana. Dalam teori, setiap pihak akan memperoleh
keuntungan dari sistem ini. Namun, dalam praktiknya tidak pernah ada “sistem”
sama sekali yang menguntungkan. Struktur administrasi cultuurstelsel sesuai
dengan konservatisme kebijakan Belanda yang baru setelah tahun 1830. Desa
menjadi unit dasar pemerintahan. Kepala desa merupakan mata rantai antara
petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatannya. Yang
mencapai puncaknya pada bupati. Bupati bertangung jawab kepada pemerintahan
bangsa Eropa, tetapi bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan yang
lebih rendah. Hal itu menunjukan kepada rakyat bahwa hidup mereka
dikendalikan oleh pemerintahan kolonial.

2.9 Jawa pada 1830-1900


Pada tahun 1830, dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam
sejarah Jawa. Dimulai dari tahun ini, kekuasaan Belanda di pulau Jawa tidak
mendapatkan tantangan yang serius sehingga Belanda dapat mengeksploitasi dan

40
menguasai seluruh pulau ini. Menguasai di sini adaah mendominasi dalam
dimensi politik, bukan dalam perekonomian yang dapat dikatakan gagal.
Selanjutnya, masih dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
Ricklefs mengatakan bahwa, hanya perkebunan-perkebunan kopi di Priangan
(Jawa Barat) yang merupakan usaha-usaha yang selalu mendatangkan
keuntungan. Akan tetapi, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, keuntungan-
keuntungan yang berhasil diperoleh dari sana telah habis untuk biaya militer dan
administrasi.
Persoalan ini secara tidak langsung membuat satu pertanyaan yang
dihadapi pihak Belanda, yaitu, apakah dominasi atas Jawa yang mereka usahakan
selama ini memberikan keuntungan pada Belanda?
Keuntungan sangatlah diperlukan oeh pihak Belanda, selain untuk
menutupi biaya administrasi, tapi juga diperlukan untuk mendukung posisi
keuangan di negeri Belanda yang sedang memburuk. Hal tersebut diakibatkan
oleh berbagai hal, tapi akan dipaparkan beberapa contoh, yaitu, sebagai akibat
perang-perang Napoleon, utang dalam negeri Belanda berikut bunganya
melambung tinggi. Yang kedua, adalah ketika uni Belanda-Belgia yang dibentuk
oleh Kongres Wina pada tahun 1815 runtuh dalam revolusi Belgia pada tahun
1830.
Hal-hal tersebut membuat urgensi bagi Belanda untuk sesegera mungkin
meraih keuntungan finansial dari Jawa. Hingga pada tahun 1829, Johannes van
den Bosch (1780-1844) menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang
kelak disebut cultuurstelsel (sistem tanam paksa).
Rencana van den Bosch ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan
sebagian tanahnya guna ditanami komoditas ekspor (khususnya kopi, tebu dan
nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
ditentukan.
Dalam teori, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini.
Namun, dalam praktik, tidak pernah ada ‘sistem’ sama sekali. Konsepnya tentang
akan diperolehnya keuntungan oleh semua pihak menjadi bagian dari kisah-kisah
pemerasan yang lebih besar di dalam sejarah penjajahan.

41
Para penjabat lokal, baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia,
menetapkan taksiran besarnya pajak tanah maupun banyaknya komoditas ekspor
bagi setiap desa kemudian memaksa mereka untuk merealisasikannya. Hal ini,
secara tidak langsung telah memberikan ‘variasi’ atas konsep sistem tanam paksa
di berbagai daerah.
Seperti sebelum kedatangan van den Bosch, kopi merupakan komoditas
yang selalu sangat menguntungkan; komoditas ini juga merupakan jenis
komoditas terakhir yang dihapuskan ketika cultuurstelsel berakhir. Di kebanyakan
tempat, kopi benar-benar merupakan hasil terbesar, tapi di Pekalongan, Tegal,
Jepara, Madiun, Pasuruan dan Surabaya, gulalah komoditas utamanya.
Dengan diadakannya cultuurstelsel, administrasi tentu akan berubah lagi
jenis dan bentuknya. Contohnya, seperti yang ditulis Ricklefs dalam bukunya
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, bahwa,
Kepala desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat
bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatannya, yang mencapai puncaknya pada
bupati (yang disebut regent oleh Belanda), yaitu seorang bangsawan yang
mengepalai kabupaten. Bupati bertanggung Jawab kepada pemerintahan bangsa
Eropa, tetapi para penjabat bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan
yang lebih rendah.
Hal ini menunjukkan kepada rakyat biasa bahwa hidup mereka telah
sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Para pejabat, baik yang
berkebangsaan Belanda maupun orang lokal, ditugaskan untuk menjalankan
sistem cultuurstelsel dan dibayar sesuai persentase komoditas yang diserahkan
pada pemerintahan Belanda. Hal ini, secara tidak langsung akan membuat para
pejabat untuk melakukan apapun asalkan mendapatkan gaji yang tinggi, termasuk
memeras, memaksa masyarakat pribumi untuk terus bekerja memenuhi kuota
yang telah mereka tentukan, yang melebihi permintaan Belanda dan kelebihannya
itu untuk diri mereka sendiri. Ini merupakan sarang-sarang korupsi.
Di luar daerah-daerah untuk tanaman kopi, maka untuk seluruh Jawa
hanya 6% yang dijadikan tanah garapan pada tahun 1840 dan 4% pada tahun
1850.

42
Mengenai tenaga kerja, Ricklefs menuliskan, angka-angka yang
dilaporkan Fasseur, yang tidak dikoreksi, menunjukkan bahwa 57% dari jumlah
penduduk Jawa terlibat dalam penanaman komoditas-komoditas pertanian
pemerintah pada tahun 1840, dan 46% pada tahun 1850. … Van Niel
memperkirakan bahwa selama kurun waktu 1837-51, lebih dari 70% keluarga
petani menghasilkan komoditas-komoditas ekspor, lebih dari separuhnya kopi. …
tetapi angka untuk Banten pada tahun 1840 adalah 92%, dan untuk Kedu pada
tahun 1845 adalah 97%.
Persentase-persentase tersebut barangkali menunjukkan suatu eksploitasi
yang terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah manusianya, karena
selama abad XIX, jumlah penduduk Jawa tetap menunjukkan peningkatan yang
telah dimulai pada abad XVIII. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
tersedianya tenaga kerja yang selalu bertambah inilah yang menjadi salah satu
kunci berhasilnya cultuurstelsel.
Sementara itu, dampak cultuurstelsel terhadap orang Jawa dan Sunda di
seluruh Jawa sangat beragam dan masih diperdebatkan. Namun, bagi kebanyakan
kalangan elite bangsawan di seluruh Jawa, ini adalah zaman yang benar-benar
menguntungkan. Mereka sering kali membuat keuntungan yang besar dari
persentase yang dibayarkan atas penyerahan-penyerahan hasil bumi. Akan tetapi,
mereka juga tergantung secara langsung pada kekuasaan Belanda untuk
kedudukan dan penghasilan mereka, dan harus melakukan pemaksaan terhadap
petani yang sangat diperlukan bagi berlangsungnya cultuurstelsel.
Berbeda dengan dampak cultuurstelsel pada para pejabat, dampak untuk
masyarakat Jawa yang lebih rendah tidak bisa ditarik generalisasinya secara pasti
karena dua alasan, yaitu:
a. Bukti statistik dari periode ini sangat banyak tapi kedanalannya
sering kali meragukan.
b. Ada perbedaaan yang besar antara satu dan lain daerah di Jawa.

Dan pada akhirnya, benarlah apa yang dikatakan Ricklefs bahwa, orang
yang paling berpeluang mengambil keuntungan dari cultuurstelsel adalah para
elite desa dan yang berwenang pada tingkat di atas desa lewat penguasaan mereka

43
atas tanah dan wewenang lokal, para pedangan nonpri (terutama Cina, juga Arab)
lewat penguasaan mereka atas modal dan pajak (khususnya distribusi candu), serta
para pejabat dan pedagang Eropa lewat penguasaan mereka atas modal dan
pengaruh mereka atas modal dan pengaruh mereka atas pemerintahan.
Sementara itu, akibat cultuurstelsel bagi pihak Belanda sudah sangat jelas.
Diraih keuntungan yang sangat besar. Berikut fakta-fakta yang Ricklefs (2009:
268) tuliskan mengenai keuntungan yang didapat Belanda.
Sejak tahun 1831, anggaran belanja kolonia Indonesia sudah seimbang,
dan sesudah itu utang-utang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang
sangat besar dikirim ke Belanda; dari tahun 1831 hingga 1877, perbendaharaan
negeri Belanda menerima 877 juta florins (f). Sebelum tahun 1850, kiriman uang
ini mengisi sekitar 19% dari pendapatan Negara Belanda, lalu menjadi sekitar
32% pada tahun 1851-1860, dan sekitar 3% pada tahun 1860-1866.
Dengan hal itu, perekonomian di negeri Belanda sana menjadi membaik
seiring dengan banyaknya pemasukan yang datang dari Indonesia. Utang-utang
menjadi dilunasi, pajak-pajak diturunkan pertahanan, terusan-terusan dan jalan
kereta api dibangun. Selain itu, surplus ini digunakan untuk menopang
pemerintahan penjajahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukkannya di
daerah-daerah luar Jawa. Bukannya untuk melakukan pembangunan di negeri
jajahannya itu. Malah, dana-dana tersebut digunakan untuk membayar ganti rugi
kepada para pemilik budak guna memerdekakan kaum budak.
Lalu, tak bisa dimungkiri bahwa kerja paksa merupakan jantung dari
cultuurstelsel, sementara banyak kegiatan yang tidak dikelola seperti itu.
Misalnya, pembuatan tembikar dan karung goni, produksi tekstil, tukang
bangunan, hiburan, peleburan besi, pengolahan hasil tani, transportasi darat
maupun laut dan lain-lain. Bahkan, sebagian panen tebu, terbuka untuk upah
buruh dan pengusaha lokal. Dari kegiatan-kegiatan inilah mulai bermunculan
pribumi kelas menengah. Dengan demikian, kini terdapat cikal-bakal kelas
pekerja dan kelas menengah baru yang akan memiliki peran penting dalam
pergerakan reformasi.

44
Namun, pada tahun 1840, cultuurstelsel sudah menghadapi berbagai
masalah.
1. Batang tebu ditanam di tanah yang sama untuk penanaman padi dan
waktu yang diperlukan untuk tumbuhnya tebu dan menuainya, disusul
dengan persiapan lahan bagi penanaman padi, telah mempersulit
tercapainya pergiliran yang konstan bagi kedua komoditas tersebut.
2. Pabrik-pabrik gula juga bersaing dengan pertanian padi untuk jatah air.
3. Gizi tanah di Pekalongan yang digunakan untuk menanam nila
semakin terkuras habis sehingga mengakibatkan panen yang buruk
selama beberapa tahun.
4. Kelangkaan beras yang menyebabkan harganya naik.
5. Kelaparan massal yang meldana Jawa diakibatkan oleh kemelaratan
petani dan keserakahan orang-orang yang memegang kekuasaan.
6. Pada tahun 1844, terjadi gagal panen besar-besaran yang diikuti oleh
kelaparan di Cirebon, munculnya wabah penyakit, khususnya tipus.
7. Pemerintah menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya.
8. Kepergian penduduk dari desa mengakibatkan semakin turunnya hasil
pertanian padi.
9. Krisis keuangan terjadi pada perusahaan dagang Belanda maupun pada
anggaran belanjanya.
10. Merosotnya ekspor kopi, gula dan nila pada 1845-1850.
Surplus keuangan dari Hindia-Belanda akhirnya benar-benar berakhir pada
tahun 1877.
Pada tahun 1848, untuk prtama kalinya sebuah kontitusi yang liberal
memberikan kepada parlemen Belanda (states-general) peranan yang berpengaruh
dalam urusan-urusan penjajahan. Mereka mendesak diadakannya suatu perubahan
yang ‘liberal’. Akan tetapi, kaum liberal di Belanda menghadapi sebuah dilema
bahwa mereka ingin membebaskan negeri jajahan mereka dari cultuurstelsel,
tetapi tidak dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh Belanda dari Jawa.
Hasil dari perdebatan politik di negeri Belanda ini adalah dihapuskannya
cultuurstelsel sedikit-sedikit. Bagaimana dan seperti apa penghapusan
cultuurstelsel, Ricklefs menjelaskannya sebagai berikut.
Penghapusan tersebut dimulai dari yang paling sedikit mendatangkan
keuntungan atau yang tidak menguntungkan sama sekali: lada pada tahun 1862,
cengkih dan pala pada tahun 1864 (ini benar-benar merupakan akhir dari suatu

45
masa, setelah lebih dari 250 tahun), nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan
tembakau pada tahun 1866 … kopi dan gula—yang disebut terakhir merupakan
sumber yang khas bagi terjadinya skdanal-skdanal—adalah yang paling
menguntungkan dan paling akhir dihapuskan.
Setelah pelan-pelan sistem tanam paksa dihapuskan, lalu dicetuskanlah
Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang membuka Jawa bagi perusahaan
swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang-orang
Indonesialah yang dapat memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperkenankan
menyewanya dari pemerintah sampai selama 75 tahun atau dari para pemilik
pribumi untuk masa paling lama antara 5 dan 20 tahun.
Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran
dengan kapal uap dalam waktu yang kira-kira sama seakan membuka,
memudahkan, dan mendorong orang-orang swasta Eropa untuk datang dan
menanamkan modalnya di Indonesia.
Periode ‘liberal’ ini (sekitar 1870-1900) merupakan zaman ketika semakin
hebatnya eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian Jawa maupun daerah-
daerah luar Jawa. Hal ini mematahkan harapan-harapan para pembaharu liberal
bila yang dijadikan ukuran adalah anggapan mereka bahwa pengaturan ekonomi
baru dapat menguntungkan rakyat pribumi dan sekaligus melanjutkan penyerapan
surplus pertanian Jawa untuk keuntungan ekonomi negeri Belanda dan para
pedagang swasta.
Pada tahun 1880-an terjadi krisis besar yang memengaruhi rakyat pribumi
maupun Belanda. Hal itu dimulai dari tahun 1870-an dimana penyakit kopi dan
hama gula mulai menyebar. Industri gula Jawa kemudian terpukul lebih jauh
ketika gula bit membanjiri pasar Eropa. Para petani kopi dan gula banyak yang
harus menanggung kerugian.
Kemudian, pembebasan petani secara berangsur-angsur dari kewajiban
menanam komunitas ekspor hanya menciptakan sedikit perbaikan, karena tetap
saja, pajak tanah dan bentuk-bentuk pembayaran lainnya tetap harus diserahkan
pada pemerintah, sementara sumber penghasilan untuk membayar pajak-pajak
tersebut telah dihapuskan. Untuk membayar pajak dan mencukupi kehidupan
sehari-hari, para petani—utamanya petani kopi yang pada tahun 1870-an terkena

46
gagal panen akibat penyakit daun kopi—harus berpaling pada lintah darat.
Hasilnya, ketika mereka tidak dapat membayar, tanah milik mereka akan disita
pada orang-orang yang disebut sebagai haji lokal. Menurut van Deventer sendiri,
orang-orang Arablah yang merupakan lintah darat paling serakah di antara yang
lain.
Berikut kemudian akan dipaparkan mengenai situasi politik, sosial,
budaya, dan juga keagamaan pada rentang tahun 1830 hingga 1900-an.
1. Situasi Politik
Elite kerajaan Jawa, mau tak mau, seiring dengan berkembangnya waktu,
kini mulai tergeser dari urusan-urusan politik. Pemberontakan yang dulu acap kali
digerakkan untuk melawan kolonial Belanda benar-benar mulai ditinggalkan
sesudah tahun 1830.
Memang terjadi beberapa kekacauan, tapi tidak melibatkan para anggota
keluarga kerajaan. Kalaupun ada, tidak akan mempersulit Belanda bahkan bisa
ditumpas dalam waktu yang begitu singkat. Seperti misalnya, yang dipaparkan
Ricklefs pada bukunya. Pada tahun 1842, lima orang pangeran muda Surakarta
pergi meninggalkan istana dan berusaha menimbulkan kerusuhan, tetapi mereka
dapat ditangkap dalam waktu lima hari. Di Yogyakarta, sebuah pemberontakan
untuk kepentingan seorang pangeran yang agak dungu yang bernama Pangeran
Suryengalaga direncanakan oleh ibunya pada tahun 1883.
Di antara semua istana kerajaan, Mangkunegaranlah yang paling berhasil
menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan Belanda. Inilah
juga satu-satunya istana di mana tradisi militer bangsawan Jawa juga tetap hidup,
sekalipun di bawa kekuasaan Belanda.
Namun demikian, hanya sedikit isi yang tertinggal dalam kehidupan
istana; kalangan elite kerajaan merupakan ksatria-ksatria yang tidak pernah lagi
menghadapi pertempuran. Oleh karena itulah, istana-istana turun derajatnya
menjadi suatu formalisme yang lemah, suatu instansi buatan yang rumit dan kuno.
Selama dilaksanakannya cultuurstelsel, para bupati dan kalangan elite
pemerintahan yang lebih tingkatannya memperoleh banyak keuntungan, baik

47
dalam hal penghasilan maupun jaminan kedudukannya. Akan tetapi, korupsi dan
kerja paksa pada rakyat pribumi sendiri menimbulkan dendam dari masyarakat.
Akan tetapi, lama kelamaan praktik pihak Belanda melangkahi mereka dan
lebih menaruh kepercayaan pada pembantu-pembantu mereka, yaitu para patih
dan Wedana (kepala distrik).
Pada tahun 1867, para elite bangsawan dicabut apanage-nya dan sebagai
gantinya mereka diberikan gaji yang kurang. Pada tahun ini pula, persentase-
persentase yang biasanya diberikan pegawai Belanda pada Bupati atas penyerahan
hasil bumi dihapuskan, tapi mereka tetap dibayar hingga cultuurstelsel
dihapuskan.
2. Situasi Sosial
Belanda sebelumnya tidak pernah tertarik untuk ‘memodernkan’ para
bupati. Tingkat pendidikan mereka rendah. Pada tahun 1900, hanya ada 4 bupati
dari 72 bupati yang dikatakan dapat berbahasa Belanda. Bahkan, mulai tahun
1900, penampilan-penampilan luar dari status kebangsawanan juga mendapat
serangan. Hormat circulaire (surat edaran mengenai etika) dari tahun 1904
mengakhiri dukungan resmi Belanda terhadap penampilan-penampilan yang
‘sudah ketinggalan zaman’ seperti payung-payung, jumlah pelayan yang banyak,
tdana kebesaran, dan lain sebagainya.
Hoofdenscholen (sekolah untuk para kepala) didirikan mulai tahun 1878
untuk kalangan elite atas. Mulai ketika tahun 1893, sekolah-sekolah ini lebih
bersifat kejuruan dengan mata pelajaran di bidang hokum, tata buku, pengukuran
tanah, dll. Akan tetapi, kalangan keluarga bupati sudah kehilangan semangat,
sehingga regenerasi tidak terjadi. Untuk mengisi kekosongan jabatan maka
terpaksa diisi oleh anak-anak pejabat yang lebih rendah jabatannya, bahkan dari
luar kalangan bangsawan pribumi.
Kalangan atas dalam pemerintahan Jawa secara kolektif disebut priyayi
dan kelompok pejabat baru disebut priyayi ‘baru’. Para priyayi baru tersebut
berbeda dari elite bangsawan yang lama lebih atas dasar status mereka daripada
asal-usul sosial mereka. Priyayi baru ini mendapatkan kedudukan dengan

48
menggunakan bakat pribadi mereka, sedangkan priyayi lama memperoleh status
itu dikarenakan keturunan.
Pada abad XX, priyayi baru akan memainkan peranan yang penting.
Mereka tetap berada di dalam birokrasi bersama priyayi lama untuk menjadi
tulang punggung pemerintahan; dari mulai pemerintahan Belanda, Jepang, lalu
pemerintahan Indonesia yang sudah merdeka.
3. Situasi Budaya
Karena hanya sedikit peluang untuk menjalankan maneuver politik, maka
kalangan elite kerajaan mengalihkan perhatian mereka ke bidang budaya.
Misalnya saja, Pakubuwono V ketika masih menjadi putra mahkota telah
memerintahkan disusunnya Serat Centhini; buku ini merupakan suatu karya besar
yang memberikan pengetahuan tentang mistik Jawa melalui kisah seorang murid
beragama yang sedang berkelana bernama Seh Amongraga pada zaman Sultan
Agung. Adapula Raden Ngabei Ronggawarsita yang dikenal sebagai pujangga
prosa Pustakaraja Purwa, Paramogaya. Adapula Mangkunegara IV yang juga
bekerja sama dengan Ronggawarsita. Dia dikenal membuat sajak Wedatama.
Kalangan elite kerajaan Yogyakarta juga merupakan pelindung kesusastraan.
Seperti Pakualam II dan Pakualam III yang merupakan penulis.
Akan tetapi, kegiatan budaya istana-istana sesudah tahun 1830 tidak
menimbulkan banyak pembaruan. Kegiatan itu sebagian besar merupakan
ungkapan cita-cita etos kebangsawanan yang semakin tidak relevan dalam masa
damai, akan tetapi, etos itu menyenangkan kalangan elite kerajaan dan dianggap
berfaedah oleh pihak Belanda sebagai bagian dari kebijakan mereka
memanfaatkan penguasa tradisional untuk keamanaan.
Di bidang seni rupa, ada tdana-tdana munculnya pemikiran-pemikiran
baru. Raden Saleh keturunan keluarga yang berkuasa di Semarang, tinggal di
Eropa lebih dari 20 tahun, di mana dia dipengaruhi oleh Delacroix dan menjadi
seorang pelukis yang terkenal.
Adapula perkembangan pers. Surat kabar berbahasa daerah pertama dalam
sejarah Indonesia mulai diterbitkan di Surakarta pada tahun 1855. Koran ini,
Bramartani, diterbitkan dalam bahasa dan aksara Jawa serta dipimpin oleh

49
penerjemah Indo Eropa. Setahun kemudian, surat kabar mingguan pertama dalam
bahasa melayu diterbitkan di Surabaya dengan nama Soerat Kabar Bahasa
Melaijoe.
4. Situasi Keagamaan
a. Agama Kristen
Untuk pertama kalinya, agama Kristen menjadi bagian dari
kehidupan pribumi pada abad XIX. Di Jawa Timur, tumbuh
komunitas Kristen yang dipimpin oleh guru-guru Kristen
setempat. Mereka diilhami dan ingin mengasimilasikan Kristen
dengan identitas dan gaya hidup Jawa mereka. Gerakan ini
dimulai oleh C.L Coolen dari Surakarta. Ia menggabungkan
Kristen dengan mistik dan adat lokal Jawa. Adapula pemimpin
yang paling terkenal adalah Sadrach Surapranata. Ia
menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah ratu adil.
b. Agama Islam
Islam kejawen yang terbentuk pada akhir abad XVIII—
sufisme dengan tiga ciri khas; identitas Islam yang kuat,
ketaatan menyeluruh pada lima rukun slam dan penerimaan
atas kekuatan supernatural Jawa—mendapat tantangan dari
pergerakan reformasi Islam yang menyebar dari Timur Tengah
dan pembaharuan yang diwakili oleh kolonialisme Belanda
dan peradaban Eropa yang industrial dan berkemajuan abad
XIX. Dengan hal itu, Islam Kejawen tidak ditinggalkan
seluruhnya, tetapi tidak dianggap hanya satu-satunya corak
Islam orang Jawa.
Sementara itu, gerakan reformis Islam mulai tercatat dalam
sejarah Jawa sejak sekitar tahun 1850-an dengan didukung
oleh orang Jawa kelas menengah. Semakin banyak mereka
yang mampu naik haji ke Mekkah, semakin banyak juga dari
mereka yang bersinggungan dengan tokoh-tokoh penggerak
reformasi Islam. Bahkan, beberapa orang Indonesia menjadi

50
sosok penting di Mekkah, seperti Syekh Muhammad Nawawi
dari Banten yang menerbitkan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa
Arab.
Selain itu, ibadah haji memberikan danil bagi pesatnya
tingkat perkembangan jumlah pemimpin agama dan pesantren.
Catatan pemerintah kolonial pada tahun 1893 melaporkan
bahwa hamper 11.000 pesantren berdiri di daerah dengan santri
lebih dari 272.000 orang.
Kemudian banyak juga ajaran-ajaran yang menyebar di
antara masyarakat Jawa. Seperti Tarekat Naqsyabdaniyyah
(Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan Qadiriyyah wa
Naqsyabdaniyyah (gabungan dua tarekat). Tarekat yang
terakhir itu banyak menarik pengikut dan terkenal dalam
gerakan antikolonial, terutama pemberontakan petani di
Banten pada Juli 1988.
Namun, tidak semua orang Jawa menanggapi positif
berkembangnya Islam ‘versi baru’ ini. Untuk pertama kalinya,
dalam sejarah Jawa sejak tahun 1850-an mulai muncul
sekolompok orang Jawa biasa yang menjauhkan diri mereka
sendiri dari amalan dan ajaran Islam. Kalangan yang lebih taat
menganggap golongan itu sebagai ‘abangan’ dan mereka
sendiri menjadi minoritas.
Kalangan elite priyayi juga berkembang karena bersentuhan
dengan kemajuan a la Eropa. Namun, di kalangan elite priyayi,
bahkan beberapa menganggap dianutnya Islam oleh orang
Jawa sebagai kesalahan peradaban. Pada tahun 1870-an, ditulis
tiga buku yang menolak pengaruh Islam dalam sejarah Jawa.
Islam dianggap pengkhianat karena menggulingkan Majapahit.
Akhir kesimpulan mengenai pekembangan keagamaan
sosial, dan intelektual ini memicu polarisasi di masyarakat
Jawa. Seperti yang dituliskan oleh Ricklefs.

51
Banyak cendikiawan Jawa merasa masyarakat mereka
tengah berada dalam krisis, dikalahkan oleh penguasa asing,
termiskinkan, sekaligus terancam dalam identitas budayanya
sendiri. Bagi muslim reformis yang taat, Jawaban atas
tantangan ini adalah menyempurnakan islamisasi masyarakat
melalui pemurnian iman. Bagi kebanyakan priyayi,
Jawabannya adalah memajukan masyarakat dengan
menerapkan buah pendidikan Barat. Bagi sebagian kecil lagi,
cara untuk maju adalah menyingkirkan semua pengaruh Islam
dan kembali pada budaya murni pra-Islam. Bagi kebanyakan
rakyat jelata, barangkali tidak ada Jawaban sama sekali.

2.10 Daerah-Daerah Luar Jawa pada 1800-1900


Pada sekitar tahun 1910, sebagian besar wilayah yang sekarang ini
membentuk Republik Indonesia telah jatuh di bawah kekuasaan Belanda. Mulai
tahun 1840 dan seterusnya, keterlibatan Belanda di seluruh wilayah luar Jawa
semakin meningkat. Ada banyak alasan untuk hal ini. Sering kali ada dorongan-
dorongan ekonomi, termasuk usaha melindungi perdagangan antarpulau.
Ada dua pertimbangan umum yang berlaku dimana-mana. Pertama, untuk
menjaga keamanan daerah-daerah yang sudah berhasil dikuasai, Belanda merasa
terpaksa untuk menaklukkan daerah-daerah yang lain yang mungkin akan
mendukung atau membangkitkan gerakan perlawanan. Kedua, ketika persaingan
mendapatkan Negara jajahan meningkat pada akhir abad XIX, pihak Belanda
merasa wajib untuk menetapkan hak mereka terhadap daerah-daerah di luar Jawa
dalam rangka mencegah masuknya kekuatan Barat lain di sana, termasuk tempat
yang pada awalnya tidak diminati Belanda.
Perluasan kekuasaan Belanda ke daerah-daerah lain di luar Jawa benar-
benar berbeda dengan perluasan kekuasaan di Jawa, karena di sebagian besar
daerah luar itu tidak pernah ada tuntutan yang permanen atau sungguh-sungguh
untuk menguasai dari pihak Belanda. Pada dasarnya, perluasan kekuasaan pada
abad XIX pada dasarnya untuk melambangkan pembentukan suatu kekuasaan

52
baru, bukan lanjutan, penegasan, perkembangkan maupun pembangunan atas
kekuasaan yang lama.
Berikut akan dipaparkan bagaimana kekuasaan Belanda di berbagai daerah
di luar Jawa.
1. Madura
Madura mempunyai keterlibatan yang lama dengan Belanda
dikarenakan keterlibatan orang-orang Madura di Jawa mulai abad XVII
dan seterusnya. Madura Timur diserahkan kepada VOC pada tahun 1705
dan Madura Barat pada tahun 1743. Hasil utamanya adalah manusia yang
melakukan migrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur untuk bekerja.
Selain itu, Madura merupakan pemasok serdadu yang amat penting bagi
Belanda. Akan tetapi, setelah pertengahan abad XIX Madura mempunyai
nilai ekonomi yang lebih besar yaitu sebagai pemasok utama garam ke
daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh Nusantara.
2. Bali
Belanda menjadi pembeli utama budak-budak Bali, yang kemudian
dijadikan bertugas di dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial.
Akan tetapi Belanda tidak terlibat secara langsung di pulau yang
bergejolak ini. Pemerintah Inggris di Jawa berusaha untuk mengakhiri
perdagangan budak dengan jalan berperang, namun walaupun Bali kalah,
perdagangan budak tetap dilanjutkan.
Selama abad XIX, Bali mengalami rangkaian tragedi alam, budaya,
ekonomi, dan politik. Dari April sampai Juli 1815, Gunung Tambora di
Pulau Sumbawa meletus, menewaskan lebih banyak orang dibandingkan
letusan Krakatau pada 1883. Tragedi ini disertai dengan sejumlah
gelombang wabah penyakit seperti pes, kelaparan, cacar, kolera, disentri,
Ekonomi Bali pada abad XIX masih sangat tergantung pada ekspor
Budak. Sekitar 2000 orang dijual pertahunnya oleh bangsawan Bali.
Sebagai gantinya, mereka mengimpor koin-koin tembaga, senjata dan
candu. Dalam dua dasawarsa, Bali beralih dari sebuah Negara pengekspor
Budak menjadi pengekspor hasil bumi dan kini, bukannya menjual

53
rakyatnya, para raja Bali sekarang justru membutuhkan mereka untuk
menggarap lahan-lahan pertanian.
Pada sekitar tahun 1840, dua faktor meyakinkan pihak Belanda
bahwa Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka. Yang pertama,
adalah perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali
terhadap kapal yang terdampar dan yang kedua adalah adanya
kemungkinan kekuatan Eropa lainnya akan campur tangan di Bali.
Pada tahun 1841, seorang duta besar Belanda membujuk raja-raja
Badung, Klungkung, Karangasem dan Buleleng untuk mendanatangani
perjanjian-perjanjian yang mengakui kedaulatan pemerintah kolonial
Belanda, tapi intinya, Belanda hanya menciptakan dasar hukum untuk
menutup Bali dari kekuatan Barat lainnya. Pada 1842-1843, raja-raja
tersebut akhirnya mendanatangani dan menyetujui, namun perjanjian itu
tidak efektif dan perampasan kapal-kapal masih terus berlanjut.
Hal itu menyebabkan ketegangan di antara kedua belah pihak.
Buleleng dan Karangasem berkoalisi untuk menaklukkan Negara-negara
Bali lainnya. Namun, pada percobaan yang ketiga, Belanda berhasil
mengambil alih Bali Utara. Pada tahun 1882, Bali dan Lombok disatukan
menjadi satu karesidan Hindia Timur Belanda dan Bali Utara ditempatkan
di bawah kekuasaan langsung Belanda.
Pada tahun 1900, Raja Gianyar yang merasa teranncam
menawarkan diri untuk menjadi jajahan Belanda, dan tawarannya diterima.
Hal itu dikarenakan dia melihat bagaimana Karangasem yang sudah
menjadi jajahan Belanda mendapatkan perlindungan. Hal ini tentu
mendapatkan protes dari raja-raja lainnya.
Memasuki abad XX, Belanda menerapkan kebijakan etis. Dalam
kasus Bali, pihak Belanda hanya bermaksud memberangus peraturan yang
sewenang-wenang, perbudakan dan penyelundupan candu.
Kemerdekaan Bali berakhir dengan cara mengejutkan. Perampasan
terhadap sebuah kapal yang terdampar pada tahun 1904 memberikan
kesempatan dan sebuah momentum bagi Belanda untuk menyerang Bali

54
pada 1906. 1908, Akhirnya Raja Bali yang terakhir, dari Klungkung, Raja
Agung pun mencoba memberontak dan tewas dalam puputan yang
terakhir. Hal ini secara tidak langsung membuat Bali jatuh sepenuhnya ke
tangan Belanda.
3. Nusa Tenggara
Pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (Kepulauan Sunda Kecil) baru
berhasil diletakkan di bawah kekuasaan Belanda yang efektif pada
dasawarsa pertama abad XX. Pulau-pulau yang penting adalah Sumbawa,
Flores Sumba, Savu, Roti, Timor, serta kepulauan Solor dan Alor. Flores
merupakan sasaran utama kegiatan Belanda dikarenakan adanya
perdagangan Budak dan perampasan terhadap kapal-kapal yang terdampar
di kawasan ini. Walaupun orang-orang Portugis masih menguasai Timor-
Timur, pada tahun 1859 mereka mengakui klaim Belanda atas Flores.
Adanya pemberontakan pada tahun 1907 membuat Belanda turun tangan
dan menumpas perlawanan di seluruh tempat. Daerah-daerah lainnya jua
dapat ditundukkan di bawah kekuasaan Belanda pada sekitaran tahun
1905-1907. Akan tetapi, pihak Portugis tetap menguasai Timor Timur.
Orang-orang Savu pemeluk Kristen yang ditolak oleh
masyarakatnya sendiri dipindahkan ke Sumba, sementara orang-orang Roti
yang juga beragama Kristen dipindahkan ke Timor. Di kedua pulau
tersebut, kaum pendatang tadi membentuk suatu elite yang terpercaya dan
terpelajar, yang juga dilindungi oleh pihak Belanda. Dan pada abad XX,
orang-orang Roti dan Savu yang beragama Kristen itu mendominasi dinas
pemerintahan maupun gerakan anti-penjajahan di Timor.
4. Sulawesi Selatan
Sebagai sekutu utama VOC dulu, Bone telah menjadi Negara
terkuat di wilayah itu. Ketika kemudian Belanda kembai datang pada
tahun 1816, tidak ada permusuhan lagi, akan tetapi muncul ketegangan di
antara kedua pihak. Banyak penguasa Sulawesi Selatan yang beranggapan
bahwa mereka tidak memiliki lagi hubungan dengan Belanda karena

55
Belanda sudah menyerah pada Inggris di tahun 1811, juga karena
Perjanjian Bongaya (1667) sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum.
Van der Capellen datang dan membujuk para penguasa untuk
memperbaharui Perjanjian Bongaya, namun ditolak dan ketika van der
Capellen pergi, mereka merebut wilayah-wilayah yang asalnya dikuasai
Belanda.
Pada tahun 1825, Bone sudah dikalahkan Belanda dan pasukan
Makassar. Pada tahun 1838 Bone memperbaharui lagi perjanjian Bungaya,
namun dengan diperbaharuinya perjanjian itu tidak lantas membuat
Belanda menegakkan supremasinya. Pemberontakkan masih tetap ada.
Pada tahun 1905-1906 lah baru perlawanan dari Negara-negara Bugis dan
Makassar dapat diredam dan ditumpas sepenuhnya. Masih pada tahun
1905, Belanda juga memperluas kekuasaan mereka ke Toraja di Sulawesi
Tengah yang masih menganut animisme dan pengayau.
Pada akhir abad XIX, dataran tinggi Toraja utamanya dikenal
sebagai pengekspor kopi dan budaknya. Barangkali, hampir 10%
penduduknya diekspor sebagai budak. Perdagangan senjata juga tumbuh
pada sekitar tahun 1870-an.
Rakyat Toraja, pada tahun 1905, berusaha untuk membendung
serangan Belanda, namun gagal. Misionaris Protestan, pada tahun 1914
didatangkan Belanda, namun pada 1917 dibunuh. Setelah itu, Belanda
tidak mendapatkan lagi perlawanan sampai Jepang datang pada 1942.
Agama Islam dan Kristen sendiri yang menyebar di sana hanya menjadi
agama minoritas. Tetap saja rakyat Toraja kembali menganut agama
mereka, Aluk.
5. Ambon
Rakyat Ambon merasa senang dengan dua masa pemerintahan
Inggris dan telah kehilangan kekaguman mereka terhadap kekuasaan pihak
Belanda yang dulu pertama kali menguasai mereka. Seorang prajurit
Kristen yang bernama Thomas Matulesia, yang terkenal juga sebagai
Pattimura memimpin sebuah pemberontakkan di Saparua. Ia berhasil

56
merebut benteng Belanda dan berhasil memukul mundur pasukan yang
dikirim untuk melawannya. Pihak Belanda pun dikirim bala bantuan dari
Batavia dan pemberontakkan itu pun berhasil ditumpas. Pada Desember
1817, Pattimura digantung bersama tiga orang lainnya.
Setelah itu, sedikit demi sedikit Ambon kembali menjadi wilayah
yang paling tunduk pada Belanda. Bagi orang-orang Ambon yang lebih
terpelajar, kesempatan utama untuk meraih keuntungan ekonomi adalah
dengan bekerja pada pemerintah kolonial yang sedang meluaskan
kekuasaannya.
6. Papua
Wilayah ini merupakan daerah terakhir yang masuk ke dalam
yurisdiksi Belanda. Pada tahun 1828, benteng Du Bus didirikan untuk
mencegah kekuasaan lain masuk. Namun, dengan cepat, orang-orang
Belanda menarik kesimpulan bahwa tidak ada satupun hal menarik di sana.
Pada tahun 1836, benteng itu pun ditinggalkan.
Papua sebenarnya baru berada di bawah pendudukan Belanda pada
tahun 1898, terutama pada kurun 1919-1928. Bagi Belanda, hanya Aru
yang memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai pemasok mutiara dan burung
cendrawasih. Aru dan Tanimbar berada di bawah kekuasaan Belanda
secara tetap pada 1882.

7. Kalimantan
Pada awal abad XIX, baik Inggris maupun Belanda mempunyai
kepentingan di Kalimantan. Bagi Inggris, persoalannya bersifat strategis.
Kalimantan, di mata mereka, kurang berarti. Namun, karena ia diapit jalur
pelayaran antara antara India dan Cina, Inggris tidak bisa mengabaikannya
begitu saja. Bagi Belanda, kepentingannya bersifat penjajahan: Kalimantan
terletak di sebelah utara Laut Jawa dan merupakan pusat para bajak laut
dan orang-orang Cina yang anti-Belanda. Walaupun bagian pedalamannya
tidak begitu dikenal, Belanda berminat untuk menguasai pesisir selatan
dan baratnya.

57
Pada akhir tahun 1820-an dan 1830-an, pihak Belanda telah
mendanatangani perjanjian-perjanjian dengan Pontianak, Mempawah,
Sambas dan negeri-negeri kecil lainnya. Di beberapa daerah, setelah
ditangani perjanjian tersebut, Belanda tidak mempunyai hubungan lebih
lanjut sampai tahun 1840-an.
Adalah James Brooke, seorang gubernur daerah Kucing yang
mendapatkan jabatan itu karena teah membantu menyelesaikan perang
saudara di sana. Dia yang berasal dari Inggris dan kini memiliki daerah
sendiri membuat Belanda menjadi lebih aktif dan protektif pada
Kalimantan. Mulai tahun 1846, tambang-tambang batu bara mulai dibuka
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dan inilah yang
menyebabkan pulau ini mulai memiliki sisi ekonomis bagi Belanda.
Ketika Sultan Adam meninggal pada tahun 1857, Belanda
mengangkat Tamjidillah menjadi Sultan. Masalahnya adalah bahwa rakyat
tidak menyukai perangai Tamjidillah dan memilih adiknya, Pangeran
Hidayatullah sebagai sultan. Tapi, Belanda bersikeras untuk mengangkat
Tamjidillah karena janji akan konsesi yang lebih besar. Tak lama
kemudian, meletuslah Perang Banjarmasin pada 1859-1863.
Pada bulan April 1859, sebuah pemberontakan besar hadir di
Banjarmasin dengan Pangeran Antasari dan dua orang pemimpin buruh
tani sebagai pemimpinnya. Pemberontakkan itu menelan biaya dan korban
jiwa yang besar di pihak Belanda sehingga pada Juni 1859, Tamjidillah
diturunkan dari takhta dan diasingkan ke Bogor. Pada tahun 1860, pihak
Belanda menyatakan bahwa Kesultanan Banjarmasin ‘dihapuskan’ dan
mengumumkan kekuasaan kolonial yang bersifat langsung. Hidayatullah
yang ikut menentang kemudian diasingkan ke Cianjur dan menjadikan
Antasari sebagai pusat-kesetiaan dari rakyat yang ingin melawan.
Namun, pada Oktober 1862, Antasari meninggal karena cacar.
Pertempuran dan perlawanan pun masih ada, namun sifatnya sporadis.
Tapi, pada akhirnya, tahun 1905, Sultan Mahmud Seman dari keluarga
Antasari terbunuh, yang menyebabkan berakhirnya garis kepemimpinan

58
raja. Perlawanan terakhir terhadap kekuasaan Belanda di Kalimantan
selesai pada tahun 1906.
8. Sumatera
a. Palembang
Kerajaan ini penting karena posisinya yang strategis,
ladanya, dan kedaultannya atas pulau bangka dan Belitung. Sultan
Mahmud Badaruddin, sultan Palembang, tidak berlaku kooperatif
pada Belanda maupun Inggris. Hal itu menyebabkan penyerangan
Inggris terhadap Palembang pada tahun 1812. Bukan hanya
menyerang, namun juga merampok istana dan melantik adik
Badaruddin, Ahmad Najamuddin menjadi sultan.
Karena Palembang masih tetap merdeka, Belanda
mengirimkan pasukan untuk menyerang. Akhirnya pada serangan
kedua baru berhasil dan Badaruddin diasingkan ke Ternate. Pada
tahun 1823, Belanda menempatkan Palembang di bawah kekuasaan
langsung mereka. Ahmad Najamuddin diangkat menjadi sultan, dan
melakukan pemberontakan namun gagal. Pada tahun 1825, sultan
menyerahkan diri dan pemberontakan 1849 yang dapat ditumpas.

b. Jambi
Jambi telah berhubungan dengan VOC sejak abad XVII,
tetapi posnya ditinggalkan, dan ditinggalkan pada tahun 1768.
Muhammad Fakhruddin meminta dan mendapat bantuan Belanda
dalam menyerang para bajak laut, tetapi sesudah itu berpindah
haluan menyerang Palembang. Kesempatan itu digunakan pihak
Belanda untuk memaksa sultan untuk mengakui kedaulatan
Belanda. Penolakan untuk mendanatangani perjanjian itu membuat
Belanda menyerang pada tahun 1858. Membuat Taha, sultan kabur
ke pedalaman.
c. Minangkabau

59
Di daerah minangkabau, ekspansionisme Belanda
berbenturan dengan gerakan pembaruan Islam. Minangkabau mulai
diislamkan pada abad XVI, dan sesudah itu muncul sistem tiga
raja: Raja Alam (Raja dunia), Raja Adat (raja hukum adat), dan
Raja Ibadat (raja Agama Islam). Minangkabau terkenal atas
penguasaan emas dan perdagangannya.
Dari kegiatan perdagangan yang baru ini, muncullah suatu
gerakan pembaruan Islam yang bermula di Agam pada tahun 1780-
an. Setelah sekitar tahun 1803-1804, gerakan pembaruan Islam
tersebut menjadi terkena sebagai gerakan Padri karena
pimpinannya adalah orang Pidari, ‘orang dari Pedir’ yang telah
pergi ke Mekkah melalui pelabuhan Aceh yang bernama Pedir.
Kaum pembaharuan di Aceh, terilhami oleh pemurnian Wahhabi
dan sepeti Wahhabi, mereka ingin memurnikan ajaran Islam
dengan menggunakan kekerasan. Akan tetapi, mereka tidak
mengikuti maupun menyetujui semua pemurnian seperti gerakan
Wahhabi itu.
Para pengamat Belanda cenderung memahami konflik
tersebut dalam perpektif Islam melawan Adat. Akhirnya, terjadi
konflik antar saudara di antara kedua golongan tersebut. Para
penghulu yang anti Padri meminta bantuan pada pihak Belanda.
Serangan pertama Belanda terhadap kaum Padri dilancarkan segera
sesudah itu dan meletuslah Perang Padri (1821-1838). Kaum Padri
kalah, namun perang tetap berlanjut. Pada 1837, Kota Bonjol yang
berbenteng berhasil direbut Belanda dan pada 1838 perang padre
berakhir. Belanda kini menguasai seluruh Minangkabau.
d. Aceh
Aceh kini tumbuh sebagai kekuatan perdagangan dan
politik. Pada tahun 1820-an, daerah ini menghasilkan lebih dari
separuh pemasokan ada dunia. Aceh terlalu kuat dan kaya untuk
dibiarkan merdek oleh Belanda.

60
Belanda, yang sebelumnya telah melakukan Perjanjian
London, baru menyadari bahwa perjanjian memungkinkan untuk
masuknya kekuatan lain di luar Inggris dan Belanda. London pun
mengambil keputusan bahwa akan lebih baik membiarkan Belanda
menguasai Aceh daripada Negara yang lebih kuat seperti Prancis
atau Amerika. Hasilnya adalah terwujudnya Perjanjian Sumatera
antara Inggris dan Belanda pada bulan November 1871 yang
bersama-sama dengan dua perjanjian terkait, dianggap sebagai
salah satu pertukaran yang terbesar selama zaman penjajahan.
Belanda menyerahkan Pantai Emas di Afrika kepada Inggris dan
Belanda diberi kebebasan penuh di Sumatera,
Lalu, terjadilah perlawanan dari lawan yang paling kaya,
paling tegas, paling terorganisasikan, paling baik persenjataannya,
dan paling kuat rasa kemerdekaannya hingga Belanda berkali-kali
melancarkan ekspedisi berupa penyerangan-penyerangan. Namun,
penyerangan pertama Belanda (1873) berhasil dipukul mundur,
pada ekspedisi kedua (akhir tahun 1873) berhasil merebut Banda
Aceh, namun warga Aceh tetap memberikan perlawanan.
Utamanya, perang gerilya yang didominasi oleh para ulama,
contohnya Teungku Cik dan perlawanan-perlawanan tersebut
berubah sifat menjadi perang sabil kaum muslim melawan kaum
kafir. Pada tahun 1884-1885, Belanda diperintahkan untuk mundur.
Belanda akhirnya menemukan solusi atas alotnya konflik
dengan Aceh dalam kebijakan yang diusulkan Snouck Hurgronje
dan Benedictus van Heutsz. Snouck mengatakan bahwa untuk
meredakan perlawanan Aceh yang berbasiskan Islam, maka
pemerintah Belanda perlu mengdanalkan uleebalang (pemimpin
adat atau sekuler). Belanda mencari-cari kaum uleebalang yang
bersedia diajak kompromi, dan hal itu menimbulkan perpecahan di
antara masyarakat Aceh.

61
Belum lagi, Snouck mengajukan bentuk kesepakatan politik
yang baru dengan raja lokal, yang disebut Pernyataan Singkat yang
di dalamnya seorang penguasa Indonesia mengakui kekuasaan
pemerintah Hindia Timur Belanda dan setuju menerima
perintahnya.
Kapan perang Aceh berakhir memang merupakan masalah
pendapat. Beberapa ulama terkemuka gugur dalam pertempuran
pada tahun 1910-1912. Akan tetapi, di antara orang Aceh ada yang
berpendapat bahwa perang tersebut tidak pernah berakhir.

2.11 Zaman Penjajahan Baru


Pada permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami
perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial
Belanda tersebut kini juga memiliki tujuan baru. Eksploitasi terhadap Indonesia
mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan
dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kebijakan ini dinamai ‘Politik Etis”. Masa di mana kebijakan ini muncul
melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasarnya di lingkungan
penjajahan. Dalam kebijakan-kebijakan politik Etis terdapat fakta-fakta penting
tentang eksploitasi dan penaklukkan sesungguhnya tidak berubah, tetapi ini tidak
mengurangi arti penting zaman penjajahan baru ini.
Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada
keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda
yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar (1860) dan dalam berbagai
pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara Belanda
yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang
tertindas. Pada akhir abad XIX, para pegawai kolonial baru berangkat menuju
Indonesia dengan membawa Max Havelaar di dalam kopor mereka. Selama
kapitalisme liberal (±1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang
sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Modal Belanda maupun
internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan-

62
bahan mentah, khususnya di daerah-daerah luar Jawa. Kebutuhan akan tenaga
kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern pun mulai terasa. Oleh
karena itu, kepentingan-kepentingan bisnis mendukung keterlibatan yang semakin
intensif dari penjajah dalam rangka mencapai ketentraman, keadilan, modernitas,
dan kesejahteraan. Para pejuang kemanusiaan membenarkan apa yang oleh
kalangan pengusaha diperkirakan akan menguntungkan itu, dan lahirlah Politik
Etis tadi.
Pada tahun 1899, C. Th van Deventer (1857-1915), seorang ahli hukum
yang pernah tinggal di Indonesia selama tahun 1880-1897, menerbitkan sebuah
artikel yang berjudul ‘suatu utang kehormatan’, di dalam jurnal Belanda de Gids.
Dia menyatakan bahwa negeri Belanda berutang kepada negeri Indonesia atas
semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Pada tahun 1901, Ratu
Wilhelmina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan
dengan demikian politik Etis secara resmi disahkan. Pada tahun 1902, Alexdaner
W.F Idenburg mempraktikkan pemikiran-pemikiran politik Etis, lebih dari
siapapun. Pihak Belanda menyebutkan tiga prinsip yang dianggap merupakan
dasar kebijakan baru tersebut: pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk.
Semua ini berlangsung dalam suatu lingkungan ekonomi yang sedang
berubah dengan cepat. Aksi-aksi penaklukannya di daerah-daerah luar Jawa telah
memperluas wilayah kekuasaan Belanda, dan daerah-daerah tersebut menjadi
fokus yang lebih penting daripada Jawa dalam pembangunan ekonomi baru. Di
tangan perusahaan swasta, produksi komodias daerah tropis meningkat dengan
cepat di daerah luar Jawa. Produksi gula, teh, tembakau, lada, kopra, timah, kopi
dan komoditas-komoditas lainnya semakin meningkat. Ada dua jenis komoditas
yang sangat penting untuk menempatkan Indonesia pada garis depan bagi
kepentingan perekonomian dunia pada abad XX: minyak bumi dan karet.
Bukan hanya perusahaan Belanda yang aktif di Indonesia. Pembentukan
Royal Dutch Shell pada tahun 1907 mencerminkan internasionalisasi investasi
secara umum. Pengembangan pertanian hampir sepenuhnya dikuasai modal
Belanda. Namun, pembangunan di daerah luar Jawa lebih menginternasional.

63
Semua kegiatan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah luar Jawa
telah mengungguli Jawa, baik sebagai pusat investasi maupun sumber ekspor.
Komoditas-komoditas ekspor Jawa yang terpenting adalah kopi, teh, gula, karet,
ubi kayu dan tembakau.
Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa menimbulkan
kesulitan yang besar dalam kebijakan pemerintah. Lapangan-lapangan investasi
dan penghasil-penghasil komoditas ekspor yang terpenting adalah derah luar
Jawa. Kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ekonomi, yang perpaduannya
telah menghasilkan politik Etis, dalam kenyataannya berjalan sendiri-sendiri.
Ketika kondisi keuangan kolonial terancam setelah Perang Dunia I, maka pajak
yang dikenakan kepada orang Indonesia mengalami kenaikan yang sangat besar,
yang menunjukkan bahwa kesejahteraan kurang penting daripada anggaran yang
seimbang.
Daerah-daerah luar Jawa mempunyai ikatan dengan Islam yang lebih
mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar, komoditas-komoditas
ekspor yang lebih berharga, dan investasi asing yang lebih besar. Sebaliknya,
Jawa merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam, yang nilainya
sebagai sumber komoditas ekspor merosot, yang pertumbuhan ekonominya tidak
pesat, yang menghadapi campur tangan penjajah lebih lama dan lebih mendasar,
serta yang jumlah penduduknya sangat padat.
Pertumbuhan ekonomi dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi
hanya berkaitan dengan proyek infrastruktur. Belanda dalam meningkatkan
produksi bahan pangan dengan jalan mengadakan percobaan dengan bibit-bibit
baru, mendorong pemakaian pupuk, dan sebagainya. Usaha-usaha ini snagat
berhasil namun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk.
Dalam bidang pendidikan, semua pendukung politik Etis menyetujui
ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia. Mereka menginginkan
pendidikan yang lebih bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarnya. Kaum elite di Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat
mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintah
yang berkebangsaan Belanda. Perbaikan-perbaikan pendidikan yang paling berarti

64
ialah dalam sistem sekolah dasar dua kelas yang dibuka secara kecil-kecilan untuk
orang-orang Indonesia sejak tahun 1892-1893. Titik puncak upaya perbaikan
pendidikan tersebut tercapai sekitar tahun 1930.
Pendidikan tidak menghasilkan elite baru yang tahu berterima kasih dan
bersikap bersedia bekerja sama, tidak pula melahirkan semangat yang baru yang
berkobar-kobar di kalangan rakyat.
Desentralisasi merupakan sasaran utama para pendukung politik Etis.
Desentralisasi dari Den Haag ke Batavia, dari Batavia ke daerah-daerah, dari
orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia. Langkah paling nyata ke arah
desentralisasi dan peningkatan peran serta orang-orang Indonesia dalam
pemerintahan adalah pembentukan ‘Volksraad’ (dewan rakyat), yang
menyelenggarakan sidangnya pertama pada tahun 1918.
Sebuah pertanyaan besar tentang periode politik etis yang telah
menimbulkan perbedaan pendapat di antara banyak ilmuwan ialah kapan
kebijakan tersebut berakhir. Beberapa pendapat telah diajukan. Ada yang
menyebutkan periode Menteri Daerah Jajahan Simon de Graff (1919-1925) yang
konservatif dan Dirk Fock sebagai gubernur jenderal (1921-1926).
Akan tetapi, apabila kita memerhatikan bentuk umum dari masa
penjajahan yang baru ini, pertanyaan mengenai kapan masa tersebut berakhir
menjadi semakin rumit.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Kritik dan Saran


A. Kritik Internal
Tidak ada pemisahan antar bagian atau subtemanya. Tidak ditemukannya
kutipan dari tokoh lain di sepanjang buku, namun di halaman belakang terdapat

65
daftar pustaka membuat tidak jelas—bagian manakah yang Ricklefs kutip dan
mana yang merupakan bagian dari pemikirannya. Tidak ada penjelasan mengenai
istilah yang digunakan, misalnya, apanage.
B. Kritik Eksternal

C. Saran

66

Anda mungkin juga menyukai