Anda di halaman 1dari 14

Globalisasi dan Lokalitas

DALAM NASKAH BUJANGGA MANIK

Disusun sebagai tugas mata kuliah Globalitas dan Lokalitas

Disusun oleh:

Zaki Naufal Setiawan 223232024

Dina Nurajijah 223233001

Muhammad Taufikqur 223231024

Davina Fidia Siti Agustina 223232008

INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA BANDUNG

FAKULTAS BUDAYA DAN MEDIA

ANTROPOLOGI BUDAYA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa Atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun dengan baik. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dalam bekerjasama menyusun makalah ini.

Penulis berterimakasih kepada teman-teman kelompok penulis yang telah


memberikan idenya dan materinya untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL...........................................1

HALAMAN JUDUL.....................1

BAB I PENDAHULUAN.............1
1.1 Latar Belakang Masalah........2
1.2 Rumusan Masalah.................3
1.3 Manfaat Penulisan.................3

BAB II PEMBAHASAN..............3
2.1 Sejarah Bujangga Manik.......4
2.2 Kondisi pada Naskah Bujangga Manik di Masa Sekarang 5
2.3 Solusi Perkembangan Globalisasi Pada Bujangga Manik……………………………... 6

BAB III PENUTUP......................7


3.1 Kesimpulan...........................7
3.2 Saran.....................................7
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut UU Cagar Budaya No. Tahun 1992 pada Bab 1 Pasal 2 disebutkan bahwa naskah
kuno atau manuskrip merupakan dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis tangan atau diketik yang
belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih. Dengan demikian,
manuskrip dapat diartikan sebagai salah satu peninggalan tulisan yang mampu memberikan informasi
mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau seperti politik, ekonomi, sosial budaya,
pengobatan tradisional, tabir gempa atau gejala alam, fisikologi manusia, dan sebagainya. Hasil dari
tulisan tangan atau diketik tersebutlah yang menjadi dokumen yang disebut manuskrip Lahirnya
naskah berhubungan erat dengan munculnya kecakapan tulis-baca di kalangan masyarakat yang
menjadi bukti nyata catatan tentang kebudayaan di masa lalu. Naskah-naskah tersebut menjadi
semacam potret jaman yang menjelaskan berbagai hal yang terjadi di masa lampau yang berhubungan
dengan keadaan dan kondisi dan kondisi yang berbeda dengan saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat disimpulkan
yaitu sebagai berikut:

a. Sejarah Bujangga Manik


b. Kondisi pada naskah Bujangga Manik di masa sekarang
c. Solusi pada perkembangan globalisasi pada Bujangga Manik
1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang dapat disimpulkan
yaitu sebagai berikut:

a. Mengetahui sejarah Bujangga Manik


b. Mengetahui kondisi pada naskah Bujangga Manik di masa sekarang
c. Mengetahui solusi pada perkembangan globalisasi pada Bujangga Manik
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Naskah Bujangga Manik


Bujangga Manik merupakan salah satu naskah berbahasa Sunda Kuno yang memuat
perjalanan Bujangga Manik, penyair kelana dari Pakuan (Ibukota Kerajaan Sunda) yang
hidup pada abad 15 hingga 16. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif
berupa lirik yang terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56
baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata Tahun penulisan ini dapat dilihat dari
keterangan waktu yang tertulis di naskah ini: ”Ku ngaing gues kaideran lurah-lerih
Majapahit palataran alas Demak” (Aku berkelana, melewati wilayah-wilayah berbeda di
Majapahit dan daerah dataran Demak). Baris ini menunjukkan bahwa perjalanan
Bujangga Manik dilakukan pada era Majapahit dan Demak.
Bujangga Manik dalam naskah tersebut dikisahkan sebagai Rahib Hindu, dia
berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali. Perjalanan Bujangga Manik itu sendiri
berlangsung dalam dua fase. Pertama, sang Rahib berjalan kaki dari Pakuan hingga Jawa
Timur melalui jalur utara. Lalu kembali lagi ke Pakuan dengan menumpang kapal yang
bertolak dari Malaka.
Kedua, dia melakukan penggambaran lagi dari Pakuan ke Jawa Timur lalu
menyebrang ke Bali dan kembali lagi ke Pakuan melalui jalur selatan. Akhirnya dia
bertapa di gunung Patuha hingga kewafatannya.
Perjalanan pertamanya dilukiskannya secara terperinci. Waktu mendaki daerah
Puncak Bujangga Manik menghabiskan waktu seperti seorang pelancong zaman modern:
dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede
yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari kawasan Pakuan.
Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang
disebut Sungai Pemali) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke
berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di
Pamalang (sekarang Pemalang), Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan
untuk pulang. Namun pada kesempatan ini, dia memilih perjalanan laut dan menaiki
kapal yang datang dari Melaka. Kesultanan Malaka dari paruh kedua abad ke-15 hingga
penaklukannya oleh Portugis pada tahun 1511 merupakan kesultanan dengan kekuatan
perdagangan yang mendominasi wilayah tersebut. Ini mungkin saat cerita dibuat (ditulis).
Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta. Bedil
ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak
kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal
diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal
dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal
berasal dari berbagai tempat atau bangsa.
Perjalanan dari Pamalang ke Kalapa (sekarang adalah wilayah Kota Lama Jakarta),
pelabuhan utama Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan, yang memberi kesan
bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat di antara Pamalang
dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik membuat nama alias lainnya yaitu
Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga Manik berjalan melewati Pabeyaan dan
meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan. Bujangga Manik memasuki
Pakancilan, terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat
ibunya sedang menenun. Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali.
Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa
lapis tirai, dan naik ke tempat tidurnya.
Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki
bahan untuk mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia
kemudian turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut
anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan
ibunya.
Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai kehadiran putri Ajung Larang Sakean
Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang, meninggalkan istananya
lalu menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di
istana tersebut dia bertemu seorang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata
adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga
Manik.
Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang
yang kebetulan sedang sibuk menenun. Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya
ada kotak impor dari Cina, melihat Jompong Larang yang terburu-buru, menaiki tangga
dan kemudian duduk di sampingnya.
Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa
dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan
bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau
sepupu sang putri, atau siapa pun itu. Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam
daun lontar serta bisa berbahasa Jawa. Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta.
Dia kemudian menghentikan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia
sibuk menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai
perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat
hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: “Seluruh
wewangian tersebut berasal dari luar negeri”, juga baju dan sebilah keris yang indah.
Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya untuk menerima hadiah dari putri Ajung
Larang kemudian menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian
lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan untuk meyerahkan dirinya
kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan
putri Ajung Larang, “Saya akan menyerahkan diri saya. Saya akan menyambar seperti
elang, menerkam seperti harimau, meminta diterima sebagai kekasih.
Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan
menyebutnya sebagai kata-kata terlarang (carèk larangan) dan bertekad untuk menolak
hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga. Dia meminta ibunya bersama
Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur
putri. Dia lebih suka untuk hidup sendiri dan menjaga ajaran yang dia terima selama
perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu. Untuk itulah
Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya.
Pada perjalanan Bujangga Manik yang kedua, ia mengambil tasnya yang berisi buku
besar (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian
mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari
tempat nanti dia dikuburkan, untuk mencari "laut untuk hanyut, suatu tempat untuk
kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya”. Dengan kata-kata yang
dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.

Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang
sebagian masih digunakan sampai sekarang. Dalam perjalanan kedua ini, ia kembali
melewati pesisir utara Jawa Tengah, melewati Medang Kamulan, Gunung Karungrungan,
menyeberangi Ci Ronabaya, sampai ke kotaraja Majapahit, lalu menetap agak lama di
"Rabut Gajah Mungkur", salah satu puncak di Gunung Penanggungan yang memang
dianggap sebagai gunung suci pada masa Majapahit. Perjalanannya berlanjut ke timur
melewati Pasuruhan, Gunung Berahma (Pegunungan Tengger), sampai akhirnya
mencapai pelabuhan Balumbungan (Blambangan). Dari sini ia menyeberang ke Bali dan
menetap selama setahun.

Dari Bali ia menyeberang kembali ke Blambangan dan melanjutkan perjalanan


kembali ke arah barat melewati pesisir selatan Jawa, melalui Gunung Mahameru, Gunung
Kampud, dan berhenti di Rabut Palah (Candi Penataran) untuk belajar kitab. Karena
menganggap Rabut Palah terlalu ramai, ia melanjutkan perjalanan ke barat melewati sisi
selatan Gunung Wilis dengan menyeberangi Ci Ronabaya dan Ci Wuluyu (Bengawan
Solo), kemudian melewati "Bobodo" (diduga adalah Pajang atau Pengging). Dari sana, ia
melewati selatan Marapi, menyeberangi Ci Loh Paraga dan Ci Watukura. Selanjutnya ia
menuju ke barat, melewati Segara Anakan dan Pananjung. Dari sini ia menuju ke Gunung
Patuha dan "Gunung Sunda", lalu bertapa hingga akhir hayatnya.

2.2 Kondisi pada Naskah Bujangga Manik di Masa Sekarang


Menurut catatan Noorduyn (1968, 429) dan Ricklefs/Voorhoeve, 1977, 1818.
Naskah ini disimpan di Bodleian Library, Oxford Unversity sejak tahun 1627 berasal dari
seorang pedagang dari Newport bernama Andrew James. Menurut penjelasan Atep
Kurnia, peneliti literasi Pusat Studi Sunda, yang membawa naskah tersebut ke Inggris
sebenarnya adalah Richard James pada akhir abad 16 yang memboyong dua naskah ke
negerinya. Richard James kemungkinan pernah ikut dalam salah satu ekspedisi pelayaran
Inggris ke wilayah timur antara 1579-1611 Masehi. Di rentang periode itu ada setidaknya
tiga pelayaran besar oleh armada Inggris. Yaitu ekspedisi Sir Francis Drake (1580), Sir
Thomas Cavendish (1587), dan Sir James Lancaster (1601). Kapal pelayaran terakhir ini
konon sempat mendarat di Banten. Kedua naskah itu diserahkan bukan oleh Richard, tapi
lewat kakaknya, Andrew James. Adik bungsu mereka, Thomas James, merupakan
pustakawan pertama di perpustakaan tersebut. Tahun 1967, atau setelah 340 tahun
tersimpan, Bujangga Manik ditemukan dan diteliti J Noorduyn (Sumargo 2019) Direktur
KITLV (The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies)
Belanda yang pensiun pada 1991.
Naskah ini menjadi sejak diteliti oleh Nourduyn, Ricklefs dan Voorhoeve pada
tahun 1968. Artinya, naskah Bujangga Manik ini baru menjadi perhatian publik setelah
tersimpan di perpustakaan Bodleian selama 340 tahun. Dalam penelitian ini Nourduyn
membandingkan naskah Bujangga Manik dengan Negarakretagama, Jyang Kamanikam
dan beberapa naskah Nusantara lainnya. Selain melakukan penelitian mengenai isi dan
kandungan pengetahuan dari naskah Bujangga Manik, Nourduyn bersama A. Teeuw juga
menerjemahkan naskah tersebut dalam bahasa Inggris. Hasil terjemahan ini dimuat dalam
buku Three Old Sundanese Poem. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh A. Teeuw
bersama Undang Sudarsa dari Universitas Pajajaran Bandung. bahan kajian menarik bagi
para peneeliti.
Naskah ini sekarang menjadi bahan kajian manarik tidak hanya bagi peneliti
maupun kalangan akademik tetapi juga para budayawan, komunitas adat dan masyrakat.
Mereka menjadikan serat Bujangga Manik sebagai bahan diskusi yang kemudian di tulis
dan diunggah di berbagai portal dan media sosial. Selain itu banyak juga yang
menerjemahkan naskah ini dalam bahasa Indonesia dalam berbagai versi. Jika kita
searching di google dengan kata kunci Bujangga Manik akan muncul sekitar 46.700 hasil.
Ini menunjukkan naskah ini menjadi bahan perbincangan yang menarik di kalangan
masyarakat.
Satu hal yang menarik dari naskah ini adalah penyebutan berbagai nama tempat
yang ada di pulau jawa secara rinci. Iskandar Wassid yang melakukan terjemahan naskah
Sunda menemukan setidaknya ada 450 nama tempat yang disebut dalam naskah ini.
Berdasarkan nama-nama tempat, sungai dan gunung yang ada dalam naskah ini Wassid
membuat peta topografi Pulau Jawa. Sebagian besar nama-nama itu masih digunakan
sampai saat ini.
Dalam naskah ini dijelaskan perjalanan Bujangga Manik dimulai dari Pakancilan,
istana Pakuan. Setelah keluar dari pintu istana, Bujangga Manik menulis secara rinci
nama-nama tempat yang dia lewati, seperti Tajur Nyanghaalang, Engkih Sungai Ciliwung
dan tempat-tempat lain di wilayah Sunda hingga sampai ke sungai Citarum dan Sungai
Cipali. Setelah menyeberangi sungai Cipali disebutkan masuk ke wiayah Jawa. Di
wilayah Jawa naskah ini menyebut beberapa tempat di antaranya adalah Pemalang.
Sesampai di Pemalang dia kembali lagi ke Pakuan karena rasa rindu kepada ibunya yang
tak tertahan. Setelah bertemu dengan ibunya, sang pangeran kembali melakukan
perjanannya yang kedua.
Pada perjalanan yang kedua ini Bujangga Manik sampai ke wilayah Jawa Timur
hingga ke Bali. Perjalanan ke arah timur ini diperkirakan melalui jalur utara Pulau Jawa.
Hal ini terlihat pada penyebutan nama-nama tempat yang ada di sebelah utara Gunung
Mahameru dan Gunung Brahma. Di wilayah ini dia mengunjungi Kadiran, Tandes,
Ranobawa dan Dingding. Saat kembali ke Barat dia melalui daerah selatan Gunung
Mahameru, berturut-turut melewati Pacira, Kayu Taji, Kukuh, Kasturi, Segara Dalem dan
Kegenengan, kemudian tiba di gunung Kawi.
Selain nama-nama tempat tinggal, naskah tersebut juga menyebut tempat-tempat
ibadah, di antaranya tiga mandala yang ada di dekat gunung Mahameru yaitu Kasturi,
Kukuh dan Sagara. Tempat spiritual lain yang disebut dalam naskah ini Kukuh. Dalam
Kidung Panji Margasmara disebutkan bahwa Kukuh adalah pusat keagamaan yang
terletak di sebelah Timur Singosari. Dalam naskah juga disebutkan adanya suatu bukit
diantara gunung Kawi dan gunung Kamput (sekarang Kelud) yang disebut Gunung Anar.
Dari beberapa nama yang disebutkan secara lengkap dan detail, dapat dikatakan bahwa
naskah Bujangga Manik merupakan toponimi pulau Jawa.
Selain menggambarkan toponimi Jawa, naskah ini juga menjelaskan bagaimana
kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Misalnya ketika kapal yang ditumpangi
Bujangga Manik hendak bersandar di pelabuhan Muara, ada upacara pemukulan gong dan
tembakan senapan. Dalam naskah itu disebutkan: “Bijil Aing ti muara, masang wedil
tujuh kali, ing na gong brang na ngangsa, seah nan gendang sarunay, seok nu kawih
tarahan, nu kawih a(m)bah-a(m)bahan. Ba(n)tar kali buang pelang. Sarung sarang suar
gading. Manyura ditedas u(ny)cal” (Tiba aku di Muara, senapan ditembakkan tujuh kali,
gong ditabuh simbal dibunyikan genderang dan gendang dimainka, suara keras datang
dari gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan kencang, “Muara sungai pohon pelang, alas
lantai dari suar gading, seekor merak terluka parah oleh seekor rusa”)
Naskah ini tidak hanya menyebut toponimi Jawa tetapi juga berisi pesan moral
dan spiritual, sesutu yang menjadi ciri utama dari naskah kuno Nusantara. Kekuatan
spiritual ini tercermin dalam untaian bait berikut: “Nyiar lemah pamasaran, nyiar tasik
panghayatan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nunta raga” (Mencari tempat untuk
pakuburan, mencari telaga untuk tenggelam, tempat untuk kematianku, tempat untuk
meninggalkan badan) (Terj. Wahyu W., Ibid). Bait ini jelas menunjukkan bahwa
perjalanan Bujangga manik bukan semata-mata untuk membuat catatan toponimi
beberapa tempat yang dikunjungi. Tetapi menjadi bagian dari laku spiritual seorang resi.
Pengembaraan spiritual Bujang Gamanik ini juga disebut oleh Agus Sunyoto,
dalam novel sejarah, Suluk Abdul Jalil jilid 4. Dalam novel tersebut Agus menyebut
perjalanan bujang Gamanik saat itu didirong oleh keinginannya untuk menghindari
kekuasaan karena situasi Dayeuh Pakukan Pajajaran yang pada saat pada saat itu terjadi
banyak ketimpangan. Kemakmuran dan kemewahan hanya dinikmati oleh kalangan elit,
seangkan rakyat jelata hidup dalam kesulitan kemiskinan.
Dalam penelusuran penulis melalui cerita tutur yang berkembang di masyarakat
Brebes, saat perjalanan pulang ke Pakuan, Bujangga Manik sempat melakukan pertemuan
dengan Syech Siti Jenar di suatu tempat bernama Jalawastu. Suatu daerah yang berada di
kawasan Brebes Selatan, Penulis pernah datang ke Jalawastu, di sana ada petilasan yang
terletak di alas tutupan (hutan lindung) yanag diyakini masyarakat setempat sebagai
tempat pertemuan antara Bujang Gamanik dengan Syech Siti Jenar. Pertemuan ini
dianggap sebagai momentum bersatunya spiritualitas Islam, Sunda, Jawa dan Hindu.
Naskah Bujangga Manik ini unik karena memaparkan toponimi yang dapat
menjadi petunjuk awal untuk melakukan penelitian topografi dan geografi pulau Jawa.
Dapat dikatakan naskah ini merupakan naskah kuno yang paling lengkap menggambarkan
toponimi pulau Jawa. Beberapa nama tempat yang disebut dalam naskah ini memang
sudah tidak dikenal karena terjadi pergantian nama. Tetapi jika dilacak secara lebih
mendalam dengan melakukan perbandingan dengan naskah lain seperti Pararaton,
Negarakretagama dan lain-lain maka akan dapat dikenali dan ditemukan. Bagi mahasiswa
maupun para peneliti geografi rasanya perlu membaca naskah ini untuk mendapatkan
gambaran topografi Jawa di masa lalu.
2.3 Solusi Perkembangan Globalisasi Pada Bujangga Manik
Sastra sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa sunda atau dari daerah
kebudayaan suku bangsa Sunda atau di mana mereka memberikan pengaruh besar. Sastra
sunda yang mulai muncul pada abad ke-15, awalnya dituliskan di atas daun lontar, dan
kemudian diatas kertas. Aksara yang dipakai pada saat itu adalah aksara sunda kuno,
aksara Sunda-Jawa, dan juga huruf Arab. Pada era globalisasi ini tidak banyak anak
generasi milenial mengenal bahasa sunda yang baik itu seperti apa dan tidak banyak juga
anak generasi milenial tau kesusastraan sunda. Terlebih pada aksara sunda yang memiliki
sedikit peminat untuk mempelajarinya.Kesusastraan bahasa sunda ini berawal dari sastra
lisan. Salah satu ciri paling umum dari kesusastraan lisan ini adalah dikemukakannya
karya-karya sastra yang tidak diketahui pengarangnya. Fungsi sastra dari zaman kezaman
itu berubah, namun dengan sifatnta yang kreatif tidaklah turut berubah.
Mulai dari awal taun 2000-an masayarakat Jawa Barat pada umumnya hanya
mengenal adanya satu jenis aksara Jawa Barat yang kita kenal dengan sebutan Aksara
Sunda. Namun perlu diperhatikan kembali bahwa sebetulnya ada empat jenis aksara yang
menyandang aksara sunda itu, yaitu aksara sunda kuno, aksara sunda cacarakan, aksara
sunda pegon, dan akasara sunda baku. Dalam empat jenis akasara sunda ini, aksara sunda
kuno dan aksara sunda baku bisa disebut serupa namun tidak sama. Aksara sunda baku
merupakan modifikasi dari aksara sunda kuno yang telah disesuaikan sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan untuk menuliskan bahasa kontemporer.modifikasi tersebut
meliputi oenambahan huruf (misalnya huruf va dan huruf fa), pengurangan huruf
(misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na
dan ma).
Dalam sejarah, penggunaan aksara sunda kuno dalam bentuk paling awal antara lain
dijumpai pada prasasti-prasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali,
Kabupaten Ciamis, dan Prasasti kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi. Edi S.
Ekajati mengungkapkan bahwa peradaban aksara sunda kuno sudah lama tergeser karena
adanya ekspansi kerajaan Mataram Islam kewilayah Priangan kecuali Cirebon dan
Banten. Pada waktu itu para menak sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai
anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda menjadi tergeser oleh kebudayaan
Jawa. Bahkan banyak para penulis dan kebudayawan Sunda yang memakai tulisan Jawa.
Aksara Sunda kuno umumnya dapat dijumpai pada naskah-naskah berbahan daun lontar
yang tulisannya digoreskan dengan pisau. Naskah yang ditulis menggunakan aksara ini
diantaranya adalah Bujangga Manik, Sewa ka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita
Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, dan Carita Waruga guru. Dalam
perkembangannya, aksara sunda kuno tidak mempertahankan huruf-huruf dari aksara
kawi yang tidak digunakan dalam Bahasa Sunda Kuno. Huruf-huruf aksara kawi yang
punah pada Aksara Sunda Kuno Yaitu:
1. Huruf konsonan : meliputi huruf kha, gha, cha, jha, ṭa (cerebral), ṭha (cerebral), ḍa
(cerebral), ḍha (cerebral), ṇa (cerebral), tha, dha, pha, bha, ṣa (cerebral), dan śa (palatal).
2. Huruf vokal : meliputi huruf ā (a panjang), ī (i panjang), ū (u panjang), ṝ (ṛ
panjang), dan ḹ (ḷ panjang) sebagian besar naskah maupun prasasti tidak membedakan
huruf dan tanda diakritik antara bunyi ӗ (e pepet) dengan ӧ (e pepet panjang ), walaupun
demikian beberapa naskah membedakan huruf dan tanda diakritik antara bunyi ӗ dengan
ӧ.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bujangga Manik sebagai seorang penjelajah berhasil membuat cerita perjalanannya


keliling Jawa dan Bali, di mana pada saat itu Pulau Jawa masih terbagi dalam beberapa
kerajaaan. Perjalanan Bujangga Manik tersebut tentu saja sebelum ada Jalan Raya Pos dari
Anyer – Panarukan. Naskah tersebut kini tersimpan di perpustakaan Bodleian di Oxford
(Inggris) sejak 1627 Masehi atau 1629 Masehi (Noorduyn 1982). Tidak jelas mengapa
naskah kuno yang sangat berharga ini dapat sampai ke Inggris sejak 4 abad yang lalu.

Perjalanan Bujangga Manik itu sendiri berlangsung dalam dua fase. Pertama, sang Rahib
berjalan kaki dari Pakuan hingga Jawa Timur melalui jalur utara. Lalu kembali lagi ke
Pakuan dengan menumpang kapal yang bertolak dari Malaka.

Kedua, dia melakukan penggambaran lagi dari Pakuan ke Jawa Timur lalu menyebrang
ke Bali dan kembali lagi ke Pakuan melalui jalur selatan. Akhirnya dia bertapa di gunung
Patuha hingga kewafatannya.

Aksara Sunda kuno umumnya dapat dijumpai pada naskah-naskah berbahan daun lontar
yang tulisannya digoreskan dengan pisau. Naskah yang ditulis menggunakan aksara ini
diantaranya adalah Bujangga Manik,

3.2 Saran

Berdasarkan yang sudah dipaparkan, ternyata membaca naskah Bujangga Manik tidak
saja membawa kita ke dalam lorong waktu untuk kembali ke masa lalu, tetapi juga akan
mengantarkan kita menjelajah pulau Jawa degan tempat-tempatnya yang eksotik dan
menarik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Historism. 2021. Arti dan Fungsi Naskah Kuno.


museumpendidikannasionalupi.edu. 30 April 2023
2. J. Noorduyn (alihbahasa oleh Iskandar Wassid). 1984. Perjalanan Bujangga Manik
Menyusuri Tanah Jawa: data topografis dari sumber Sunda Kuno. KITLV & LIPI,
Jakarta
3. El Zastraw, Ngatawi. 8 January. Toponomi Jawa dalam Naskah Bujangga Manik.
fin.unusia.ac.id. 30 April 2023
4. Anonim. 2019. Naskah Bujangga Manik. histroryofcirebon.id. 30 April 2023
5. Nuansa.nusaputra.ac.id pertama kali diindeks. Kesusastrastraan sunda 2021/03/20

Anda mungkin juga menyukai