Anda di halaman 1dari 168

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat


karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku
Betawi dari Masa ke Masa. Kami juga berterimakasih
kepada Bapak Didik Kusnanto, S.Pd. selaku guru
pembimbing Muatan Lokal Betawi XI-AKL.

Dalam penyusunan Buku Betawi dari Masa ke Masa


kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan kami. Buku Betawi dari Masa ke Masa dibuat
untuk meningkatkan literasi anak bangsa tentang budaya
Betawi dan sebagai tugas akhir semester Muatan Lokal.
Untuk itu kami menyampaikan ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang terlibat. Demikian semoga buku
Betawi Masa ke Masa ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Penulis

Jakarta, 11 Desember 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................... ii
TAHUN 1527-1627 ..........................................................1
TAHUN 1628-1727 ........................................................16
TAHUN 1728-1827 ........................................................52
TAHUN 1827-1927 ........................................................60
TAHUN 1923-2023 ......................................................116

ii
TAHUN 1527-1627
Betawi merupakan sebutan untuk suku bangsa yang
mendiami daerah Jakarta, sebagian Jawa Barat dan
Banten. Setidaknya, itulah yang tercatat dalam kamus.
Penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa,
seumpama orang Sunda, Jawa, atau Madura. Mengutip
sejarawan Sagiman MD, orang-orang Betawi telah
menghuni daerah yang kini menjadi Ibu Kota itu sejak
zaman Neolitikum. Penduduk Betawi pada masa dahulu
berbahasa Kawi atau Jawa Kuno. Seperti halnya orang-
orang Jawa atau Sunda, mereka pun sudah mengenal
aksara hanacaraka.
Pada abad kedua Masehi, wilayah Betawi masuk dalam
kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang berpusat di
kaki Gunung Salak. Sebagaimana daerah-daerah pesisir
lainnya di Nusantara, rakyat Salakanagara di muara
Sungai Ciliwung itu pun akrab dengan perniagaan dengan
bangsa-bangsa luar. Bahkan, pada 432 Salakanagara
diketahui telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Pada akhir abad kelima, Tarumanagara meluaskan
pengaruhnya hingga ke wilayah Betawi. Kerajaan Hindu
itu berpusat di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh guru
besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Poerbatjaraka
diidentifikasi sebagai Sungai Bekasi.

1
Raja Tarumanagara cenderung pada sektor pertanian.
Pemerintahannya diwarnai pembangunan banyak
bendungan untuk mendukung irigasi. Sejak saat itu, rakyat
setempat --termasuk masyarakat Betawi-- mengenal
persawahan menetap.
Pada medio abad ketujuh, Sriwijaya datang dari Pulau
Sumatra untuk menaklukkan Tarumanagara. Kerajaan
Buddha itu tak sekadar mengukuhkan kekuasaan politik,
tetapi juga pengaruh budaya, terutama dalam abad ke-10.
Sejak saat itu, bahasa Melayu mulai menggusur
dominasi bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan (lingua
franca). Penyebabnya, Shahab menyebutkan, perkawinan
antara penduduk asli dan pendatang yang berbahasa
Melayu. Mula-mula, penutur bahasa Melayu sebatas di
daerah pesisir. Lama kelamaan, bahasa itu juga dipakai
masyarakat penghuni kaki Gunung Salak dan Gunung
Gede.
Pada masa peralihan kekuasaan dari kerajaan Hindu ke
kerajaan Buddha itu penduduk Betawi sudah mengenal
kebudayaan yang khas. Ini didukung dengan besarnya
jumlah populasi setempat. Saat masih menjadi rakyat
Tarumanagara, menurut Saidi, penduduk Betawi paling
sedikit berjumlah 100 ribu jiwa.
Asumsinya, jika seekor lembu dapat dikonsumsi 30
orang, maka pesta itu paling sedikit dihadiri 30 ribu orang.

2
Anggaplah 5.000 orang pemuka keraton Tarumanagara
ikut hadir. Alhasil, rakyat yang ikut pesta itu sekurang-
kurangnya 25 ribu orang. Dengan pengandaian satu unit
keluarga empat orang, maka populasi penduduk mencapai
sekitar 100 ribu orang.
Dominasi Sriwijaya di Jawa bagian barat menyusut
pada abad ke-12. Selanjutnya, Pajajaran muncul sebagai
kekuatan baru yang berpusat di Batutulis, Bogor. Kerajaan
Hindu itu memiliki banyak bandar. Yang terpenting di
antaranya ialah Sunda Kelapa. Sementara itu, antara abad
ke-13 hingga 15 kedaulatan kian menyebar di sekujur
Nusantara. Pada 1475, Raden Patah mendirikan kerajaan
Islam di Demak.

Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, melakukan


ekspansi ke arah barat. Bersama dengan adik iparnya,
Syarif Hidayatullah, ia menggerakkan pasukan untuk
merebut Sunda Kelapa dari tangan kekuasaan Pajajaran.
Sebab, kerajaan Hindu itu telah berkoalisi dengan
Portugis.

Pada 22 Juni 1527 atau 22 Ramadhan 933 H, Sunda


Kelapa berhasil menjadi bagian dari kedaulatan Islam di
Tanah Jawa. Nama pelabuhan itu diubah menjadi lebih
islami --Fathan Mubina alias Jayakarta-- dan dimasukkan
sebagai bagian dari pengaruh Demak, hingga akhirnya
Kesultanan Banten.

3
Di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik itu,
menurut Babe Saidi, orangorang Betawi memilih tak
melibatkan diri. Ia berpendapat, mereka tak pernah
membantu naik atau turunnya penguasa, sejak zaman
Tarumanagara, Pajajaran, hingga Jayakarta. Termasuk
ketika para pemimpin Jayakarta diserang serdadu
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/Kompeni)
Belanda. Penyebabnya, lanjut Babe Saidi, baik Pajajaran
maupun Banten hendak memaksakan penduduk Betawi
untuk menggunakan bahasa Sunda.

Barulah pada 1628-1629, ketika pasukan Mataram


berkali-kali menyerbu Batavia (nama sesudah Jayakarta
dicaplok Kompeni), penduduk Betawi membuka diri
untuk bekerja sama. Babe Saidi menuturkan, masyarakat
lokal kala itu melihat Sultan Agung tak memaksakan
mereka agar berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan,
sambung dia, balatentara dari Mataram itu berupaya untuk
melakukan komunikasi dalam bahasa Betawi.
Sultan Agung sendiri bertekad mengusir Belanda dari
Tanah Jawa. Namun, dua kali misi militer ke Batavia itu
berakhir dengan kegagalan. Sisi baiknya, kontak antara
Mataram dan Betawi semakin terjalin erat. Beberapa
punggawa Mataram bahkan menetap di wilayah Betawi.
Di antara mereka, ada yang ahli dalam urusan agama.
Mereka tak hanya mengajarkan Islam, tetapi juga
menginisiasi pendirian sejumlah surau --yang kini menjadi

4
masjid bersejarah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Alhasil,
dakwah Islam semakin mendapatkan momen untuk
berkembang.

Nama Betawi
Babe Saidi mengatakan, nama Betawi baru dikenal
pada abad ke-18. Ini barangkali berkenaan dengan
kebiasaan masyarakat lokal dalam menyebut Batavia
secara "keliru" sehingga menjadi Betawi. Bagaimanapun,
tentu saja kebudayaan setempat sudah tumbuh
berkembang jauh sebelum Belanda datang. Mengutip
buku Rumah Etnik Betawi (2013), penelitian telah
dilakukan di situs-situs arkeologis di Babelan, Bekasi,
Karawang, dan Subang.
Banyak anting ditemukan di lokasi-lokasi itu yang
diketahui berasal dari abad kedua Masehi. Artinya,
kawasan tersebut sudah memiliki corak kebudayaan
sendiri sebelum kedatangan penduduk berbahasa Melayu
sekitar abad ke-10, yakni seiring pengaruh Imperium
Sriwijaya. Masyarakat proto Betawi itu menghuni daerah
sekitar aliran sungai-sungai besar, semisal Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum.
Sebelum zaman penjajahan pun, Babe Saidi
mengatakan, penduduk Betawi sudah disebut dengan
berbagai nama. Ketika Islam datang, mereka dinamakan
orang Selam. Ketika dikuasai Pajajaran, mereka dipanggil

5
kaum langgaran. Sebab, penguasa Pajajaran menganggap
mereka telah melanggar ajaran pusaka Sunda. Sebutan itu
bahkan membekas hingga kini pada istilah langgar, yang
berarti 'masjid'. Adapun saat era Jayakarta, masyarakat
Betawi disebut sebagai orang Jawa.
Hal itu bukan berarti kebudayaan Betawi tidak ada pada
zaman pra-Islam. Menurut Saidi, keliru bila menilai
kebudayaan Betawi baru berkembang sejak bersentuhan
dengan Hindu, Cina, Islam, dan Eropa.
Ia mencontohkan, dalam mitologi Betawi, hewan-
hewan tertentu, seperti macan atau buaya, mendapatkan
tempat "terhormat". Pengaruh ini tidak datang dari Hindu
yang menghormati lembu, atau Cina dan Eropa, apalagi
Islam. Artinya, ada kekhasan tersendiri yang dihasilkan
sejarah penduduk setempat sebelum datangnya pengaruh
dari luar.

Betapapun demikian, mantan anggota DPR itu


mengakui Betawi seperti halnya kebudayaan-kebudayaan
di Nusantara. Kaya akan interaksi dan akulturasi dengan
beragam budaya. Ini wajar kiranya. Sebab, sejak ratusan
tahun silam kawasan muara di Teluk Jakarta sudah
disinggahi berbagai kapal dari bangsa-bangsa dunia.

Islam dan Jakarta tak Terpisahkan


Aspirasi keislaman sudah melekat di Jakarta sejak masa
silam. Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam

6
Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Islam masuk
pertama kali ke wilayah kebudayaan Betawi sejak dibawa
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain pada abad ke-15.
Ulama asal Campa itu lantas mendirikan masjid dan
pusat pengajaran Islam di Karawang. Artinya, syiar Islam
sudah diterima masyarakat Betawi sebelum pengusiran
Portugis dari Sunda Kelapa pada 1527.

Jejak perjuangan Muslimin Betawi dapat terbaca jelas


setidaknya sejak abad ke-16. Yakni, ketika Syarif
Hidayatullah dan Fatahillah (Falatehan) berhasil
mengamankan Sunda Kelapa dari ancaman Portugis.
Keduanya juga mengubah nama setempat menjadi
Jayakarta (disingkat: Jakarta). Mereka pun tak sekadar
pemimpin politikmiliter, melainkan juga ulama.
Fatahillah ketika pertama kali mendarat di Sunda
Kelapa segera membangun masjid di Marunda (Jakarta
Utara). Menurut Dr F de Haan dalam buku Periangan,
daerah Marunda dalam abad ke-16 menjadi pusat
gerilyawan Islam, baik dari Cirebon, Demak, maupun
Banten. Sesudah berhasil mengusir Portugis, Falatehan
mendirikan keraton, masjid, alun-alun, dan pasar.
Masa berikutnya, Kompeni Belanda merebut Jayakarta.
Bangsa Eropa ini mengubahnya menjadi Batavia. Tatanan
islami yang dibangun Falatehan diratakan dengan tanah.

7
Bangunan fisik dapat sirna. Akan tetapi, semangat
berjuang tak padam dari dada pejuang Muslim.
Ini terbukti, misalnya, pada abad ke-17 ketika Mataram
Islam hendak mengusir Belanda dari Jakarta. Dengan
pimpinan Tumenggung Bahurekso, pasukan Muslim juga
mendirikan Masjid al-Alam di Marunda. Di sanalah
rencana penyerangan terhadap benteng-benteng Belanda
disusun. Pemusatan kekuatan pun dilakukan di masjid
tersebut.
Selain itu, pihaknya juga membangun Masjid al-Nawir
di Pekojan. Masjid-masjid lainnya yang bersejarah jihad
di Tanah Betawi ialah Masjid Luar Batang. Didirikan
bersamaan waktunya dengan pembangunan tempat tinggal
gubernur jenderal Kompeni.
Perintisnya adalah seorang ulama keturunan Rasulullah
SAW asal Hadramaut, Habib Husein bin Abubakar bin
Abdillah Alaydrus. Peranan kaum habaib menunjukkan,
kuatnya solidaritas antara keturunan Arab dan etnis
Betawi dalam semangat berislam sekaligus tekad melawan
penjajah.
Jakarta sebagai salah satu permata peradaban Islam di
Nusantara terus mengemuka memasuki abad modern.
Banyak tokoh agama Islam lahir dari sana. Pengaruhnya
pun tak berbatas pada komunitas lokal, melainkan juga
regional dan bahkan dunia. Bila ditilik sejak setidaknya

8
abad ke-19, kata Azyumardi Azra dalam pengantar buku
Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), kaum alim
dari Betawi jelas terlibat dalam jaringan ulama
internasional yang berpusat terutama di Makkah al
Mukarramah.
Untuk menyebut satu contoh saja: Syekh Junaid al-
Batawi. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi
imam besar Masjid al-Haram. Selama puncak kariernya,
tokoh kelahiran Pekojan itu digelari sebagai gurunya guru
(syaikhul masyakih) para ulama mazhab Syafii. Di dalam
negeri, ia dipandang sebagai poros silsilah ulama Betawi
hingga zaman modern.
Dalam budaya tradisional Betawi, pengaruh ulama di
tengah masyarakat begitu besar. Ini menandakan tingginya
religiusitas mereka. Kaum alim selalu mendorong
perjuangan melawan ketidakadilan. Sejak zaman JP Coen
hingga prakemerdekaan Indonesia, nyali penduduk
Betawi --khususnya kalangan jagoan mereka-- begitu
tinggi.

Kisah Si Pitung atau Entong Gendut menjadi legenda


bahkan hingga kini. Begitu pula selama revolusi fisik,
yakni periode 1945-1949. Ulama-ulama Betawi terjun
langsung memimpin umat di medan pertempuran, dalam
semangat jihad fii sabilillah.

9
Secara umum, Suku Betawi bermukim di Jakarta dan
daerah-daerah penyangganya, seperti Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi. Sejak zaman kolonial Belanda,
orang Betawi sudah ada di wilayah Jayakarta dan Sunda
Kelapa yang kini menjadi Jakarta.
Konon menurut para ahli sejarah, penduduk asli Betawi
telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sudah ada jauh
sebelum Kesultanan Banten menyerbu Pelabuhan Sunda
Kelapa pada tahun 1527, serta jauh sebelum Belanda
mengambil alih Jayakarta dari tangan Banten dan
mengubahnya menjadi Batavia.
Menurut sumber literatur, penduduk asli Betawi
dipercaya sudah ada sejak zaman Neoliticum sekitar 1.500
tahun sebelum masehi. Orang Betawi adalah penduduk
Nusa Jawa, yang merupakan nenek moyang dari orang
Sunda, Jawa, dan Madura.

Mereka berbahasa Kawi atau Jawa kuno, dan


mengenal aksara ‘hanacaraka’ yang juga merupakan
aksara Jawa dan Sunda. Pada abad ke-2 Masehi, hidup
seorang pria bernama Aki Tirem di daerah Kampung
Warakas (Jakarta Utara).
Kebetulan anak gadis Aki Tirem dipersunting oleh
Dewawarman, seorang berketurunan India. Dewawarman
mendirikan kerajaan Salakanagara pada tahun 130 Masehi
yang merupakan cikal bakal penduduk Betawi.

10
Salakanagara berasal dari bahasa Kawi, ‘salaka’ berarti
perak dan ‘nagara’ berarti kerajaan. Ridwan Saidi,
sejarawan Betawi mengkaitkan kerajaan ini dengan
laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus
pada tahun 160 dalam buku Geografia, yang menyebut
bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama ‘Argyre’ yang
artinya perak.

Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada


daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh
subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang
bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar.
‘Bale Kambang’ adalah pasangrahan raja dan ‘Batu
Ampar’ adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Keberadaan suku Betawi juga dikonfirmasi arkeolog,


yang membuktikan sejak 5.000 tahun yang lalu sudah ada
masyarakat yang bermukim di pinggir Kali Ciliwung,
antara lain di Condet. Sejarawan JJ Rizal juga mengatakan
bukti yang menunjukkan adanya pemukiman di pinggir
Kali Ciliwung 5.000 tahun yang lalu, yakni soal
ditemukannya peralatan rumah tangga, di antaranya kapak
perimbas.
Orang-orang Cina juga membuat peta sungai yang
menyebut adanya kota bandar. Dapat dipahami bahwa
masyarakat sungai di kota bandar Kalapa merupakan
bentuk lanjut dari masyarakat sungai. Karena ada

11
pengaruh ekspansi Sunda, maka kota ini kemudian lebih
dikenal sebagai Sunda Kalapa.

Masyarakat sungai dan magnet Pelabuhan Sunda


Kelapa
Masyarakat Betawi juga dikenal sebagai masyarakat
sungai, yang dibuktikan dengan banyaknya nama tempat
di Jakarta yang mengandung unsur air, misalnya
Kalimalang, Rawasari, dan Setu Babakan.
Salah satu kelurahan di Condet, yakni Batu Ampar,
konon berasal dari batu yang dipakai dalam kegiatan
memasak manusia prasejarah di Jakarta. Karena itu,
masyarakat sungai ini bisa disebut sebagai cikal bakal
alias nenek moyang orang Betawi.
JJ Rizal menyatakan, salah satu bukti orang Betawi
berasal dari masyarakat sungai adalah banyaknya mitos
maupun folklor yang berhubungan dengan buaya. Bahkan,
salah satu syarat dalam pernikahan cara Betawi adalah
membawa roti buaya.

Masyarakat tepian sungai ini kemudian membentuk


wilayah yang masuk dalam catatan Cina, yang disebut
Kalapa. Setelah ada ekspansi masyarakat Sunda, kota ini
kemudian dikenal sebagai Sunda Kalapa atau Kelapa.
Sanusi Pane (1955:27) dalam Sedjarah Indonesia
menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah

12
dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Ia menjadi
tempat bertemunya kaum pedagang dari berbagai penjuru
dunia, termasuk dari Eropa dan Arabia (Timur Tengah).
Tentunya tak hanya orang-orang Eropa dan Timur
Tengah, kaum saudagar lintas bangsa dari negeri-negeri
Melayu, India, Jepang, juga Cina, juga sering berkunjung
ke Sunda Kelapa. Bandar dagang yang selalu ramai ini
memang dikenal sebagai segitiga emas Nusantara bersama
Malaka dan Maluku.
Tapi menurut sejarawan Ridwan Saidi, Bandar Sunda
Kelapa sebagai zona perdagangan tidak dikuasai oleh
kerajaan manapun. Sama halnya dengan zona ekonomi
Bandar Lampung, Tuban, dan Pasuruan, yang tak dikuasai
kerajaan.
"Sunda Kelapa itu yang berkuasa orang Jakarta," ucap
sosok yang karib dipanggil 'Babeh' itu.

Dengan jatuhnya pesisir Jakarta alias Sunda Kelapa


dari Pajajaran dan Portugis, tambah beragam pula jenis
orang yang menjamahnya, yakni orang-orang Jawa dari
Kesultanan Demak, juga dari Cirebon. Penaklukan Kota
Sunda Kelapa oleh Fatahillah, yang kemudian mengubah
nama kota ini menjadi Jayakarta yang berarti
“kemenangan”, membuat masyarakat asli Jakarta terus
berevolusi.

13
Pada awal abad ke-17, wilayah Jayakarta dikelola oleh
pejabat dari Kesultanan Banten seiring runtuhnya
Kesultanan Demak. Namun, kedatangan orang-orang
VOC dari 10 Belanda yang dipimpin Jan Pieterszoon
Coen, berhasil mengambil-alih Jayakarta pada 1619.
Nama Jayakarta pun kemudian dihilangkan dan diganti
menjadi Batavia.

Nama Betawi kemudian muncul, dan merupakan


pemberian dari pihak Belanda. Usut punya usut, Betawi
diambil dari nama Jakarta pada masa itu, yakni Batavia.
Julukan kaum Betawi juga mulai populer pada 1918, saat
Mohammad Husni Tamrin membentuk 'Kaum Betawi'.
Masuknya Belanda, membuat orang Betawi yang
tadinya berciri masyarakat sungai berubah menjadi
masyarakat benteng. Sifat inklusif dan suka bercampur--
termasuk dalam urusan kawin--membuat terciptanya satu
suku etnis tertentu yang ternyata, menurut JJ Rizal, “Jawa
bukan, Sunda bukan”.
Masyarakat Betawi adalah kita.

Komposisi penduduk Batavia sangat beragam.


Tersusun atas orang-orang Sunda, Melayu (dari Sumatra
dan Borneo), Jawa, Bali, Sulawesi, Timor (Nusa
Tenggara, Maluku, dll), hingga orang-orang mancanegara
beserta keturunannya (semisal Portugis, Belanda, Cina,
Timur Tengah, India, Moor, dst).

14
Perpaduan masyarakat inilah yang sebenarnya telah
membentuk suku baru yang lantas dikenal dengan nama
Betawi, dan proses ini semakin kental selama masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Pada tahun 1930 dilakukan sensus dan ditemukan 80


ribu jiwa yang tidak bisa dideteksi suku bangsanya.
Dengan kebudayaannya yang bercorak Hindis, yang 11
menjadi salah satu aspek kebudayaan Betawi sekarang,
kelompok ini dinamakan sebagai Betawi-berasal dari
nama Batavia dalam pengucapan pribumi.

15
TAHUN 1628-1727

Di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik,


menurut Babe Saidi, orang-orang Betawi memilih tak
melibatkan diri. Ia berpendapat, mereka tak pernah
membantu naik atau turunnya penguasa, sejak zaman
Tarumanagara, Pajajaran, hingga Jayakarta. Termasuk
ketika para pemimpin Jayakarta diserang serdadu
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/Kompeni)
Belanda. Penyebabnya, lanjut Babe Saidi, baik Pajajaran
maupun Banten hendak memaksakan penduduk Betawi
untuk menggunakan bahasa Sunda.
Barulah pada 1628-1629, ketika pasukan Mataram
berkali-kali menyerbu Batavia (nama sesudah Jayakarta
dicaplok Kompeni), penduduk Betawi membuka diri

16
untuk bekerja sama. Babe Saidi menuturkan, masyarakat
lokal kala itu melihat Sultan Agung tak memaksakan
mereka agar berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan,
sambung dia, balatentara dari Mataram itu berupaya untuk
melakukan komunikasi dalam bahasa Betawi.
Sultan Agung sendiri bertekad mengusir Belanda dari
Tanah Jawa. Namun, dua kali misi militer ke Batavia itu
berakhir dengan kegagalan. Sisi baiknya, kontak antara
Mataram dan Betawi semakin terjalin erat. Beberapa
punggawa Mataram bahkan menetap di wilayah Betawi.
Di antara mereka, ada yang ahli dalam urusan agama.
Mereka tak hanya mengajarkan Islam, tetapi juga
menginisiasi pendirian sejumlah surau --yang kini menjadi
masjid bersejarah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Alhasil,
dakwah Islam semakin mendapatkan momen untuk
berkembang.

Betawi merupakan sebutan untuk suku bangsa yang


mendiami daerah Jakarta, sebagian Jawa Barat dan
Banten. Setidaknya, itulah yang tercatat dalam kamus.
Alwi Shahab dalam artikel Penduduk Asli Betawi (2006)
mengatakan, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa
Jawa, seumpama orang Sunda, Jawa, atau Madura.
Mengutip sejarawan Sagiman MD, orang-orang Betawi
telah menghuni daerah yang kini menjadi Ibu Kota itu
sejak zaman Neolitikum. Sementara itu, tokoh Lembaga
Kebudayaan Betawi (LKB) yang juga alumnus Fakultas

17
Sejarah Universitas Indonesia (UI), Yahya Andi Saputra,
berpendapat, penduduk Betawi pada masa dahulu
berbahasa Kawi atau Jawa Kuno. Seperti halnya orang-
orang Jawa atau Sunda, mereka pun sudah mengenal
aksara hanacaraka.
Pada abad kedua Masehi, wilayah Betawi masuk dalam
kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang berpusat di
kaki Gunung Salak. Sebagaimana daerah-daerah pesisir
lainnya di Nusantara, rakyat Salakanagara di muara
Sungai Ciliwung itu pun akrab dengan perniagaan dengan
bangsa-bangsa luar. Bahkan, pada 432 Salakanagara
diketahui telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Pada akhir abad kelima, Tarumanagara meluaskan
pengaruhnya hingga ke wilayah Betawi. Kerajaan Hindu
itu berpusat di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh guru
besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Poerbatjaraka
diidentifikasi sebagai Sungai Bekasi. Raja Tarumanagara
cenderung pada sektor pertanian. Pemerintahannya
diwarnai pembangunan banyak bendungan untuk
mendukung irigasi. Sejak saat itu, rakyat setempat --
termasuk masyarakat Betawi-- mengenal persawahan
menetap.

Pada medio abad ketujuh, Sriwijaya datang dari Pulau


Sumatra untuk menaklukkan Tarumanagara. Kerajaan
Buddha itu tak sekadar mengukuhkan kekuasaan politik,
tetapi juga pengaruh budaya, terutama dalam abad ke-10.

18
Sejak saat itu, bahasa Melayu mulai menggusur dominasi
bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan (lingua franca).
Penyebabnya, Shahab menyebutkan, perkawinan antara
penduduk asli dan pendatang yang berbahasa Melayu.
Mula-mula, penutur bahasa Melayu sebatas di daerah
pesisir. Lama kelamaan, bahasa itu juga dipakai
masyarakat penghuni kaki Gunung Salak dan Gunung
Gede. Ridwan Saidi dalam Warisan Budaya Betawi
(2000) menegaskan, pada masa peralihan kekuasaan dari
kerajaan Hindu ke kerajaan Buddha itu penduduk Betawi
sudah mengenal kebudayaan yang khas. Ini didukung
dengan besarnya jumlah populasi setempat. Saat masih
menjadi rakyat Tarumanagara, menurut Saidi, penduduk
Betawi paling sedikit berjumlah 100 ribu jiwa.
Asumsinya, jika seekor lembu dapat dikonsumsi 30 orang,
maka pesta itu paling sedikit dihadiri 30 ribu orang.
Anggaplah 5.000 orang pemuka keraton Tarumanagara
ikut hadir. Alhasil, rakyat yang ikut pesta itu sekurang-
kurangnya 25 ribu orang. Dengan pengandaian satu unit
keluarga empat orang, maka populasi penduduk mencapai
sekitar 100 ribu orang. Dominasi Sriwijaya di Jawa bagian
barat menyusut pada abad ke-12. Selanjutnya, Pajajaran
muncul sebagai kekuatan baru yang berpusat di Batutulis,
Bogor. Kerajaan Hindu itu memiliki banyak bandar. Yang
terpenting di antaranya ialah Sunda Kelapa. Sementara itu,
antara abad ke-13 hingga 15 kedaulatan kian menyebar di
sekujur Nusantara. Pada 1475, Raden Patah mendirikan

19
kerajaan Islam di Demak. Raja Demak ketiga, Sultan
Trenggono, melakukan ekspansi ke arah barat. Bersama
dengan adik iparnya, Syarif Hidayatullah, ia
menggerakkan pasukan untuk merebut Sunda Kelapa dari
tangan kekuasaan Pajajaran. Sebab, kerajaan Hindu itu
telah berkoalisi dengan Portugis.
Pada 22 Juni 1527 atau 22 Ramadhan 933 H, Sunda
Kelapa berhasil menjadi bagian dari kedaulatan Islam di
Tanah Jawa. Nama pelabuhan itu diubah menjadi lebih
islami --Fathan Mubina alias Jayakarta-- dan dimasukkan
sebagai bagian dari pengaruh Demak, hingga akhirnya
Kesultanan Banten. Di tengah hiruk-pikuk perebutan
kekuasaan politik itu, menurut Babe Saidi, orang-orang
Betawi memilih tak melibatkan diri. Ia berpendapat,
mereka tak pernah membantu naik atau turunnya
penguasa, sejak zaman Tarumanagara, Pajajaran, hingga
Jayakarta. Termasuk ketika para pemimpin Jayakarta
diserang serdadu Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC/Kompeni) Belanda. Penyebabnya, lanjut Babe
Saidi, baik Pajajaran maupun Banten hendak memaksakan
penduduk Betawi untuk menggunakan bahasa Sunda.
Barulah pada 1628-1629, ketika pasukan Mataram
berkali-kali menyerbu Batavia (nama sesudah Jayakarta
dicaplok Kompeni), penduduk Betawi membuka diri
untuk bekerja sama. Babe Saidi menuturkan, masyarakat
lokal kala itu melihat Sultan Agung tak memaksakan
mereka agar berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan,

20
sambung dia, balatentara dari Mataram itu berupaya untuk
melakukan komunikasi dalam bahasa Betawi. Sultan
Agung sendiri bertekad mengusir Belanda dari Tanah
Jawa. Namun, dua kali misi militer ke Batavia itu berakhir
dengan kegagalan. Sisi baiknya, kontak antara Mataram
dan Betawi semakin terjalin erat. Beberapa punggawa
Mataram bahkan menetap di wilayah Betawi. Di antara
mereka, ada yang ahli dalam urusan agama. Mereka tak
hanya mengajarkan Islam, tetapi juga menginisiasi
pendirian sejumlah surau --yang kini menjadi masjid
bersejarah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Alhasil, dakwah
Islam semakin mendapatkan momen untuk berkembang.
Babe Saidi mengatakan, nama Betawi baru dikenal
pada abad ke-18. Ini barangkali berkenaan dengan
kebiasaan masyarakat lokal dalam menyebut Batavia
secara "keliru" sehingga menjadi Betawi. Bagaimanapun,
tentu saja kebudayaan setempat sudah tumbuh
berkembang jauh sebelum Belanda datang. Mengutip
buku Rumah Etnik Betawi (2013), penelitian telah
dilakukan di situs-situs arkeologis di Babelan, Bekasi,
Karawang, dan Subang. Banyak anting ditemukan di
lokasi-lokasi itu yang diketahui berasal dari abad kedua
Masehi. Artinya, kawasan tersebut sudah memiliki corak
kebudayaan sendiri sebelum kedatangan penduduk
berbahasa Melayu sekitar abad ke-10, yakni seiring
pengaruh Imperium Sriwijaya. Masyarakat proto Betawi

21
itu menghuni daerah sekitar aliran sungai-sungai besar,
semisal Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum.
Sebelum zaman penjajahan pun, Babe Saidi
mengatakan, penduduk Betawi sudah disebut dengan
berbagai nama. Ketika Islam datang, mereka dinamakan
orang Selam. Ketika dikuasai Pajajaran, mereka dipanggil
kaum langgaran. Sebab, penguasa Pajajaran menganggap
mereka telah melanggar ajaran pusaka Sunda. Sebutan itu
bahkan membekas hingga kini pada istilah langgar, yang
berarti 'masjid'. Adapun saat era Jayakarta, masyarakat
Betawi disebut sebagai orang Jawa.
Hal itu bukan berarti kebudayaan Betawi tidak ada pada
zaman pra-Islam. Menurut Saidi, keliru bila menilai
kebudayaan Betawi baru berkembang sejak bersentuhan
dengan Hindu, Cina, Islam, dan Eropa. Ia mencontohkan,
dalam mitologi Betawi, hewan-hewan tertentu, seperti
macan atau buaya, mendapatkan tempat "terhormat".
Pengaruh ini tidak datang dari Hindu yang menghormati
lembu, atau Cina dan Eropa, apalagi Islam. Artinya, ada
kekhasan tersendiri yang dihasilkan sejarah penduduk
setempat sebelum datangnya pengaruh dari luar.
Betapapun demikian, mantan anggota DPR itu mengakui
Betawi seperti halnya kebudayaan-kebudayaan di
Nusantara. Kaya akan interaksi dan akulturasi dengan
beragam budaya. Ini wajar kiranya. Sebab, sejak ratusan

22
tahun silam kawasan muara di Teluk Jakarta sudah
disinggahi berbagai kapal dari bangsa-bangsa dunia.
Aspirasi keislaman sudah melekat di Jakarta sejak masa
silam. Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dalam
Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Islam masuk
pertama kali ke wilayah kebudayaan Betawi sejak dibawa
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain pada abad ke-15.
Ulama asal Campa itu lantas mendirikan masjid dan pusat
pengajaran Islam di Karawang. Artinya, syiar Islam sudah
diterima masyarakat Betawi sebelum pengusiran Portugis
dari Sunda Kelapa pada 1527. Jejak perjuangan Muslimin
Betawi dapat terbaca jelas setidaknya sejak abad ke-16.
Yakni, ketika Syarif Hidayatullah dan Fatahillah
(Falatehan) berhasil mengamankan Sunda Kelapa dari
ancaman Portugis. Keduanya juga mengubah nama
setempat menjadi Jayakarta (disingkat: Jakarta). Mereka
pun tak sekadar pemimpin politik-militer, melainkan juga
ulama. Fatahillah ketika pertama kali mendarat di Sunda
Kelapa segera membangun masjid di Marunda (Jakarta
Utara).
Pasukan Belanda menyerang dan menghancurkan kata
Jayakarta, diambil dart Pierre Heijboe 1977, Klamboes
Kewarg Klapperbomen: Indie gewonnen en verloren,
Bussum: Unieboek. Ketika Coen kembali pada Mei 1619-
sangat telat karena halangan yagng tidak terduga-benteng
dan penghuninya berada dalam keadaan aman, walaupun

23
semua itu bukan berkat upaya mereka. Dengan kekuatan
superior yang sekarang ada di bawah komandonya, ia
mengambil kesempatan untuk menjadikan Jayakarta
sebagai markas besar VOC di Hindia yang sudah lama
diinginkannya. Pada 30 Mel, pasukan VOC
membumihanguskan kota dan istana Indonesia ini, semua
penduduknya melarikan diri.

Kota Terasing

Dalam jangka waktu panjang orang Belanda merasa


tidak aman di Batavia. Selama periode kedua Coen
sebagai gubernur jenderal kota ini menghadapi dua kali
pengepungan oleh Mataram yang Ingin menaklukkan
Jawa Barat. Pada Agustus 1628, 60 kapal datang dari
pelabuhan Mataram. Mereka menyatakan bahwa kapal-

24
kapal tersebut membawa makanan untuk kota. Coen hanya
mengizinkan 20 kapal memasuki kota. Malam itu, prajurit-
prajurit yang berasal dari seluruh 60 kapal tersebut
melancarkan serangan ke benteng. Tidak lama setelah
mereka berhasil dipukul mundur dalam pertempuran
sengit, pasukan Jawa berkekuatan 10.000 prajurit datang
dan mengepung Batavia. Mereka berupaya membuat kota
tersebut kekurangan air dengan membendung kali, tapi
tidak berhasil. Malah sebaliknya, pasukan jawalah yang
menghadapi kelaparan dan penyakit, karena komandannya
gagal mengatur perbekalan yang memadai. Belanda
keheranan menyaksikan komandan pasukan yang akan
mundur ini mengeksekusi lebih dari 700 anakbuahnya
sebagai hukuman, lalu berbaris pulang untuk menghadapi
nasib yang sama.
Sultan Mataram berang, kemudian melancarkan upaya
kedua dengan mengirimkan pasukan yang lebih besar
untuk mengepung kota. Sekali lagi, Jawa tidak dapat
menyediakan perbekalan untuk pasukannya. Karena jalan-
jalan di wilayah tersebut sangat buruk, mereka harus
mengirimkan perbekalan melalui laut, dan armada
angkatan laut VOC yang lebih superior memastikan
perbekalan tersebut tidak akan mencapai pasukan Jawa.
Pasukan pengepung terpaksa mundur dan kehilangan
anggotanya akibat kelaparan dalam perjalanan pulang ke
Mataram. Pada waktu itu, Belanda tidak merayakannya
karena pemimpin mereka, Jan Pieterszoon Coen,

25
meninggal akibat penyakit tropis pada 1629 ketika
pengepungan masih berlangsung. Meskipun Batavia tidak
mengalami serangan lagi dari Mataram yang nantinya
melemah akibat pertikaian internal, Batavia masih
diganggu oleh musuh di barat, yaitu Banten. Selama
bertahun-tahun, wilayah sekitar Batavia diteror para
perampok Banten. Setelah kesultanan tersebut menyerah
pada 1684, barulah orang-orang Batavia berani menetap di
luar dinding kota.
Salah satu penyebab terisolasinya Batavia dari
pedalaman adalah rasa takut terhadap wilayah-wilayah
sekitarnya. Berdasarkan peraturan VOC, orang Jawa tidak
diizinkan tinggal di dalam kota. Lagipula Batavia memang
bukan dirancang untuk menjadi ibukota kolonial sebuah
wilayah yang besar. Batavia diatur oleh sebuah
perusahaan dagang yang menginginkan kota ini sebagai
pelabuhan tempat kapal-kapal VOC dapat diperbaiki,
sebagai tempat komoditas dikumpulkan, dan sebagai
markas besar administratif untuk kegiatan VOC di wilayah
ini. Visi Coen terwujud dengan cepat. Pada abad ke-17,
Batavia menjadi pusat jaringan besar perdagangan
Belanda di Asia, dengan pos-pos perdagangan yang
membentang dari Cape Town dan Persia [Iran] melalui
India, Ceylon [Sri Lanka], Burma [Myanmar], Thailand,
Kamboja, Vietnam, Laos dan Melaka hingga Formosa
[Taiwan] serta Deshima [Dejima] di Jepang. Sebagian
besar tempat-tempat tersebut juga berperan meningkatkan

26
populasi Batavia yang bukan merupakan kota Jawa
melainkan kota VOC.
Coen mengajukan ide kolonisasi Eropa untuk Batavia
dengan penuh semangat. la berpikir bahwa inilah cara
terbaik untuk mendapatkan penduduk yang setia dan
terampil serta dapat melakukan pekerjaan penting (seperti
akuntansi dan pembangunan kapal) untuk VOC sekaligus
bertindak sebagai garnisun lokal sehingga VOC dapat
menghemat pengeluaran untuk pertahanan." Namun, la
segera mendapatkan kenyataan pahit bahwa sedikit sekali
orang Eropa yang ingin datang ke Batavia, sedangkan
yang sudah ada di sana, mayoritas adalah "sampah
masyarakat dalam pandangannya. Sia-sia ia memohon
kepada Heeren XVII untuk mengirimkan warga terhormat,
terutama gadis-gadis. Dalam sebuah surat pada 1620 la
mengeluh:

Siapa pun tahu bahwa laki-laki tidak dapat hidup tanpa


perempuan. Namun sepertinya Tuan-tuan mengharapkan
sebuah koloni yang dibangun tanpa perempuan. Untuk
mengatasi kekurangan ini, kami telah mengumpulkan
dana di sini untuk membeli banyak perempuan. Namun,
karena hingga kini Tuan-tuan hanya mengirimkan sampah
masyarakat, maka nampaknya hanya perempuan-
perempuan sampah pulalah yang dibeli untuk kami.
Beberapa lelaki baik-baik telah diracuni pikirannya oleh
mereka sehingga ada yang harus dihukum dengan keras.

27
Mengenal sampah sampah masyarakat ini, apakah kami
harus menyerah dalam meminta dilirimkan warga baik-
baik karena nampaknya Tuan-tuan telah sendiri telah
menyerah? Apakah Batavia terpaksa tamar riwayatnya?
Mengenai masalah ini, jika Tuan-tuan tidak bisa
mendapatkan pasangat menikah yang baik-baik,
setidaknya kirimkanlah gadis-gadis muda. Kami berharap
bisa mendapatkan hal yang lebih baik dari mereka
daripada perempuan-perempuan yang Jebih tua.
Jumlah orang Eropa di Batavia selalu sedikit dan
jumlah perempuan Eropa lebih sedikit lagi. Sebagian besar
orang Eropa adalah pegawai VOC. Monopoli VOC selalu
menjadi rintangan utama dalam menarik orang Eropa ke
permukiman ini. Hampir semua perdagangan swasta
dilarang untuk orang Eropa, apa lagi selain Itu yang dapat
mereka lakukan di kota? Para tukang Eropa terlatih yang
tidak bekerja untuk bengkel-bengkel VOC, tidak mungkin
dapat bersaing dengan tukang-tukang Asia yang dibayar
lebih murah dan bekerja lebih keras, Bahkan ketika lahan
di sekeliling kota dibuka untuk pertanian, ini bukanlah
jenis pertanian yang biasa dilakukan petani Belanda, dan
kondisi tropis Batavia menjadi halangan bagi banyak
pemukim. Apalagi pada saat itu dipercaya bahwa berjalan-
jalan di bawah matahari tropis dapat berakibat fatal bagi
orang Eropa, jika demikian, bagaimana mereka bisa
menggarap lahan?

28
Jadi, Batavia saina saja seperti awalnya, yaitu sebuah
kota berisi orang orang yang dibawa dari seluruh Asia
untuk kebutuhan Voc Praneng ahli dan loyal direkrut dari
tempat jauh hingga Jepang dan Filipina sebagai garnisun
kota. Orang Cina didorong untuk menetap di kota dan
membuka toko serta menjadi penghubung dengan
perdagangan Cina yang menguntungkan. Tenaga kerja
disediakan budak-budak yang dibawa dari berbagai
tempat kecuali Jawa, karena penduduknya terlalu
dicurigai. Inilah masyarakat yang dikumpulkan oleh VOC
hanya untuk kepentingannya sendiri.

29
Batavia Awal

Di tengah-tengah hutan, orang Belanda membangun


jalan- jalan dan kanal-kanal yang sama seperti di
negerinya, tidak gentar meskipun kadang kala buaya-
buaya menelusuri kanal hingga ke tengah kota. Struktur
pertama yang mereka dirikan adalah benteng yang pada
mulanya dibangun menjorok ke laut di muara Kali
Ciliwung, tapi tidak lama kemudian dikelilingi daratan

30
karena garis pantai bertambah jauh ke utara.10 (Lihat Peta
1.3.) Pada tahun-tahun awal Batavia, benteng tersebut
adalah VOC karena semua bangunan VOC berada di
dalam benteng, seperti kediaman gubernur jenderal,
bengkel, perbendaharaan, garnisun, gudang senjata,
gedung administrasi dan akuntansi, penjara, gereja
pertama dan ruang pertemuan Dewan Hindia [Raad van
Indië] yang merupakan badan pemerintah.
Para pengunjung menulis dengan penuh penghormatan
mengenai kemegahan dan formalitas penangan urusan
VOC di dalam benteng, dan ruang pertemuan Dewan
Hindia pun menjadi saksi peristiwa-peristiwa bersejarah
seperti penandatanganan kontrak dengan Sultan Makasar
pada 1669. Namun, benteng tersebut sangat kecil dan
penuh bangunan. Kondisi ini pasti sangat mengekang para
juru tulis yang harus duduk di kantor administrasi selama
berjam-jam di siang hari dan terperangkap di loteng pada
malam hari. Sejumlah aktivitas yang dilakukan di dalam
benteng berkembang pesat dan menyebar ke kota yang
dikelilingi dinding dan berkembang semakin jauh ke
selatan. Pada 1645, upaya memperkuat benteng pada dua
bagian kota di sisi timur dan barat Ciliwung telah selesai.
Bengkel-bengkel VOC yang mayoritas pekerjanya adalah
budak, dipindahkan ke sudut tenggara kota Pada sisi
seberang kali, Di benteng bagian baratdaya, berdiri
bangunan-bangunan dermaga utama yang masih ada
hingga kini dalam kondisi terbengkalai. Di tempat inilah

31
barang dagangan VOC dibongkar muat. Tidak jauh dari
sana dibangun gudang-gudang bergaya barat yang sangat
besar, kini menjadi Museum Bahari. Dinding tebal
gudang-gudang ini membentuk dinding utara kota, seperti
yang dapat dilihat dari tempat berjalannya para penjaga di
sepanjang bagian atas dinding, Ruangan-ruangan besar
dan loteng-loteng kayu gudang pada mulanya menjadi
tempat menyimpan pala dari Indonesia bagian timur, lalu
nantinya menjadi tempat menyimpan teh dan sutera Cina
serta kopi lokal yang menunggu diekspor ke Belanda.
Tidak ada barang dari Eropa yang diimpor dan disimpan
di gudang tersebut karena Belanda tidak memiliki sesuatu
yang diinginkan Asia selain koin perak. Dari jendela
loteng, orang dapat melihat kali yang berada dekat
gudang, di sanalah selama beratus- ratus tahun kapal-kapal
antarpulau yang bagus berlabuh.

Dari kali, VOC membangun kanal-kanal yang


mengelilingi dan melewati kota, serta memberikan
penampilan khas Belanda. Kali pun diluruskan sehingga
menjadi kanal terbesar. Semua ini dilakukan bukan demi
nostalgia, tapi demi kegunaan yang sama seperti kanal di
kota-kota Belanda. Karena dataran Batavia terlalu rendah,
maka tanah tempat gedung-gedung dibangun harus
ditinggikan agar permukiman tidak dilanda banjir. Selain
itu, seperti di kota-kota Belanda, kanal-kanal tersebut
digunakan untuk transportasi. Perahu perahu yang
membawa barang-barang dari pedalaman datang dari bulu

32
kali menelusuri kanal hingga tempat tujuan. sedangkan
kapal-kapal dari luar negeri yang terlalu besar untuk
memasuki kali berlabuh di teluk dan membongkar
muatannya ke tongkang yang biasa menelusuri jalur air
dalam kota. Sementara ita kapal jung Cina dapat berlayar
ke dalam kali hingga ke kanal untuk membongkar
muatannya. Di tempat yang sekarang bernama Jalan
Blandongan Selatan-dahulunya merupakan jalan kanal
yang dikenal dengan nama Bacharachtsgracht-masih
berdiri sebuat kuil kecil Cina yang dibangun pada abad ke-
18 bernama Wihara Dewi Samudera yang
dipersembahkan kepada dewi penguasa lautan. Para pelaut
Cina dapat melompat dari kapal jung di depan kuil untuk
membakar dupa sebagai tanda terimakasih atas
kesuksesan perjalanan mereka. Di depan serambi dengan
pilar-pilar merah yang dililit hiasan naga dan diapit patung
singa dari batu, kemungkinan sering digelar pertunjukan
wayang Cina sebagaimana dijelaskan pada 1720-an:
Ketika orang Cina selamat tiba di tempat setelah
berlayar dengan kapal jung atau wanglang, mereka biasa
menyelenggarakan pertunjukan wayang, yaitu teater Cina
dengan kisah lucu atau tragis seperti yang sering
dipentaskan di Batavia Para aktornya adalah pemuda-
pemudi miskin yang dikontrak untuk tujuan tersebut-
Pertunjukan tersebut, baik komedi mau pun tragedi,
dimulai pada Senin jam tiga atau empat sore dan
berlangsung lingga jam enam, setelah itu mereka istirahat

33
untuk makan lalu memulai pertunjukan lagi dari jam
sembilan malam hingga jam tiga atau empat pagi. Orang
orang Cina yang baru datang membayar biaya pementasan
ini secara patungan antara tiga atau empat orang Siapa pun
yang ingin dapat datang dan menyaksikan pertunjukkan
tanpa membayar. Bila ada tokoh terkemuka, mereka
dijamu di dalam kuil dengan teh, manisan dan sumpsoe
(bir Cina yang keras). Seperti di Belanda, orang ingin
tinggal di tepi kanal karena daerah tersebut lebih nyaman
dan lebih bergengsi. Perumahannya sangat menyerupai
Belanda, bangunannya berlantai satu atau dua dengan
dinding samping yang menempel dengan bangunan
sebelahnya. Peraturan bangunan mewajibkan penggunaan
bata untuk bangunan di dalam kota karena bahaya
kebakaran. Peraturan yang sama juga mencegah
menjamurnya kios yang sangat disukai orang Asia. Dalam
pandangan Belanda, kios-kios tersebut ini membuat jalan
menjadi kumuh. Orang Eropa menyukai area terbuka di
depan setiap rumah; karena tidak ada halaman depan,
rumah-rumah memiliki semacam serambi di depannya
yang dipisahkan dari trotoar dengan pagar hingga sekitar
tahun 1700, tempat para penduduk dapat duduk di pagi
atau sore hari yang sejuk untuk merokok dengan
cangklong atau meminum anggur.
Pada pandangan sekilas, rumah-rumah tersebut terlihat
persis seperti rumah-rumah di Belanda, dan perbedaannya
memang sangat kecil. Nuansa kota Batavia kuno masih

34
dapat dirasakan melalui berjalan kaki di banyak jalan di
Kota, bagian utara Jakarta modern, terutama di sepanjang
bagian selatan Kali Besar, yaitu kali yang dijadikan kanal.
Setelah melewati jembatan jungkit terakhir buatan
Belanda yang masih berdiri di Jakarta dan terlihat seperti
sebuah lukisan Rembrandt, terdapat deretan gedung tua
dan elok tak jauh dari tepi kali, dan beberapa gedung yang
paling mengagumkan di antara deretan tersebut terletak di
ujung baratdaya jalan ini. Gedung yang satu dibangun
dengan bata merah, sedangkan gedung yang satu lagi (kini
menjadi bank) dicat putih.
Gedung-gedung ini merupakan contoh arsitektur
Belanda lama. Satu-satunya kompromi arsitektur terhadap
iklim tropis adalah atap dengan kemiringan tajam yang
menjorok keluar dari lantai atas seperti serambi.
Tampilannya sederhana, dinding polos diselingi jendela-
jendala tinggi berbentuk persegi dan ornamen utamanya
berada di pintu masuk. Pintu bangunan merah tersebut
dipahat secara elegan dari batu yang diimpor sebagai
penyeimbang kapal dari pantai India, sedangkan pada
bagian atas kosen pintu bank terdapat panel kayu yang
diukir gaya barok dan bersepuh emas. Bagian dalam
bangunan-banguna ini sangat sempit dan pengap, udara
panas terperangkap di dalam halaman kecil dan tertutup di
bagian belakang gedung. Kebanggaan kota Batavia adalah
jalan kanalnya, dan kanal terbaik kota adalah Kanal
Harimau, tempat yang dipilih orang-orang Batavia terkaya

35
sebagai tempat tinggal. Sisi jalan yang diisi deretan rumah
sederhana dan teratur pada mulanya dinaungi banyak
pohon kelapa, pada akhir abad ke-17 diganti pohon asam
jawa, kenari dan tanjung yang lebih besar. Pemandangan
tersebut membuat kagum para pengunjung awal Batavia.
Jan de Marre-penyair yang ditunjuk pemerintah pada masa
Batavia Lama-memuji daerah ini melalui syair panjang
yang berlebihan dan bertele-tele, 12 para pengunjung lain
yang tidak bias pendapat pun memberikan sanjungan.
Seorang Jerman bernama Christopher Fryke yang
mengunjungi Batavia pada 1680-an menganggap tempat
tersebut lebih indah daripada Amsterdam. Pada 1718,
seorang Portugis bernama Innigo de Biervillas menuliskan
tentang keelokan kota, makanan yang berlimpah dan
lingkungan Batavia yang sehat-hal yang terakhir
disebutkan terdengar mengagumkan mengingat reputasi
buruk kota ini di kemudian hari. Pada 1720-an, Francois
Valentijn meningkatkan antusiasme orang-orang terhadap
16 kanal indah Batavia dengan pohon-pohon asam jawa
dan pohon berbunga lainnya yang membuat suasana terasa
menyenangkan sepanjang hari.
Meskipun tidak banyak bangunan di Batavia yang
dapat dibandingkan dengan bangunan terbaik di Belanda,
ada sebuah bangunan yang tidak akan membuat malu
Batavia dan masih berdiri hingga kini, yaitu Balai Kota.
Bangunan megah berlantai dua yang diselesaikan pada

36
1710 ini dihiasi sebuah menara beratap kubah. Balai Kota
dapat dilihat sebagai cabang sipil pemerintahan
dibandingkan dengan VOC yang bernaung di benteng dan
terletak berhadapan secara langsung di ujung sebuah jalan
pendek. Di Balai Kota dapat ditemukan sebagian besar
kelengkapan pemerintahan kota Belanda: dewan kota,
wali amanah panti asuhan, pengadilan sipil dan penjara,
serta badan pendaftaran perkawinan." Namun, dualisme
tersebut hanyalah ilusi karena kota ini dikuasai
sepenuhnya oleh VOC yang menunjuk sebagian besar
dewan kota. Perusahaan ini juga menunjuk para pendeta
gereja Reformasi yang selama bertahun-tahun menjadi
satu- satunya gereja yang diperbolehkan di Batavia.
Keputusan dewan harus disetujui gubernur jenderal yang
juga mengendalikan keuangan kota. Dengan lama
perjalanan rata-rata tujuh bulan dari Belanda, penduduk
Batavia berada dibawah kuasa VOC dan sistem
keadilannya yang berwujud sejumlah sayap penjara yang
menempel dengan Balai Kota dan penjara bawah tanah
yang berada di bawah gedung.
Populasinya tidak memiliki hak-hak sipil. Bagi para
pegawai VOC, disetujui atau tidaknya izin untuk kembali
ke Eropa tergantung pada dorongan hati gubernur
jenderal. Bahkan, menikah pun sulit jika ia tidak
menyetujuinya. Batavia Lama, seperti kebanyakan kota
pada abad ke-17 dan ke-18, merupakan tempat sering
terjadinya hukuman yang keras. Orang-orang dipasung di

37
lapangan berlantai batu di depan Balai Kota merupakan
pemandangan yang biasa terlihat pada masa itu. Suatu hari
pada 1676, seorang Eropa yang sedang berkunjung
menyaksikan 4 orang dipenggal, 6 orang disiksa di atas
roda, 1 orang digantung serta 8 orang dicambuk dan
dicap."

Sebuah Masyarakat Campuran

Walaupun kekuasaannya sangat besar, VOC tidak


mampu memberikan kesan Eropa yang kuat terhadap kota
ini. Agak mengherankan bahwa dengan sangat sedikitnya
jumlah orang Eropa yang ada, kota ini mampu terlihat
seperti kota Eropa. Catatan-catatan pada masa itu
mencacat sejumlah besar kelompok etnis yang berbeda,
tapi tidak ada yang mendominasi. Sebuah sensus
penduduk di dalam dinding kota pada 1673 menunjukkan
hasil berikut:

38
Kebanyakan dari "orang-orang Belanda" tersebut
merupakan prajurit dan pelaut VOC yang bukan
merupakan orang Eropa kelas atas. Dengan bayaran
rendah, mereka bermabuk-mabukan dan berkelahi di
jalanan. Seorang pengamat pada akhir abad ke-18
menulis:
Militer di Batavia dan di seluruh wilayah milik Hindia
Timur Belanda pada umumnya hidup dalam kondisi
menyedihkan. Prajurit biasa di sana adalah makhluk yang
paling sengsara.... Mereka tidak diberikan kaus kaki atau
pun sepatu dan harus bertelanjang kaki. Selain itu mereka
diperlakukan dengan sangat keras dan agak brutal serta
terus-menerus dipukuli."

Seiring berjalannya waktu, sebagian besar orang yang


disebut orang Eropa di Batavia sebenarnya adalah orang
Eurasia. Berbeda dengan Inggris di Asia dan lebih
mengikuti model Portugis, Belanda di Hindia kerap
memberikan pengakuan hukum terhadap anak- anaknya
dari perempuan Asia. Mereka pun tak segan- segan
menikahi wanita Eurasia atau bahkan Asia. Dalam
pandangan mereka, hanya ada sedikit pilihan. Setelah
pengalaman tidak menyenangkan dengan pengiriman
wanita Belanda, VOC tidak menganjurkan para
perwiranya untuk membawa istri Eropa mereka. Jadi,
untuk menikmati kebersamaan dengan perempuan, orang
Belanda harus menikah dengan perempuan pribumi atau

39
mendirikan rumah dengan “pengelola rumah" (nyai dalam
bahasa Melayu Batavia) yang sebenarnya adalah gundik.
Meskipun jika mereka ingin melakukannya, orang Eropa
tidak selalu dapat menikahi perempuan Indonesia, karena
hingga abad ke-19, hukum melarang pernikahan antara
penganut Kristen dengan non-Kristen, sedangkan sedikit
sekali orang Indonesia yang menjadi penganut Kristen
walaupun telah diiming-imingi uang dan jatah beras yang
diberikan berkala. Namun, memelihara nyai diterima
secara terbuka dan anaknya diakui sebagai orang Eropa
karena sang ayah hanya perlu mendaftarkan anaknya ke
notaris setempat.
Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa orang Eurasia
memiliki status tinggi dalam masyarakat layaknya orang
Eropa asli. Dalam VOC, keutamaan hampir selalu
diberikan kepada orang Belanda yang datang dari
Belanda. Hingga abad ke-19, orang Belanda bahkan secara
resmi mencatat tingkat derajat keeropaan warga, serta
menggunakan istilah Portugis, yaitu mixtiezen dan
castiezen. Orang Eurasia juga tidak selalu dipercaya.
Reaksi terhadap ancaman nyata atau karangan seorang
Eurasia "pengkhianat" bernama Pieter Erbervelt
merupakan tanda kegelisahan Belanda. Jika berjalan di
area yang dahulu bernama Jacatraweg-kini dikenal dengan
nama Jalan Pangeran Jayakarta-di sebelah tenggara Kota
Tua yang dikelilingi gedung, terlihat pemandangan
mengerikan di tepi jalanan perniagaan yang ramai ini. Di

40
atas dinding batu ditempatkan sebuah tengkorak yang
ditancapkan pada tombak, dan di bawahnya terdapat
sebuah prasasti yang memperingatkan tentang
pengkhianatan Erbervelt.

Pada 1722, di dalam ruang penyiksaan, pemilik lahan


yang merupakan anak seorang pembuat sepatu yang kaya
dari Jerman dengan perempuan Asia mengaku berkomplot
untuk menguasai Batavia bersama para pemimpin Jawa.
Selanjutnya tubuhnya dicabikkan dengan cara ditarik
empat ekor kuda ke empat penjuru. Mitos Belanda
mengubah Erbervelt menjadi monster. Namun, satu-
satunya riset yang dilakukan terhadap cerita yang tidak
jelas ini menunjukkan bahwa gubernur jenderal pada masa
Erbervelt menolak rencana gubernur jenderal terhadap
tanahnya. Bersalah atau tidak, hukuman mengerikan yang
dijatuhkan kepada Erbervelt ini dimaksudkan sebagai
peringatan kepada semua populasi Batavia yang beraneka
ragam bahwa VOC sangat berkuasa dan keinginannya
akan terlaksana.

Para budak merupakan satu-satunya kelompok


populasi terbesar di Batavia hingga paruh terakhir abad
ke-18. Namun, karena berasal dari berbagai tempat, hanya
status merekalah yang menjadi semacam penyatu. Hukum
VOC melarang mengambil orang Jawa sebagai budak
karena mereka takut orang Jawa akan bersatu melawan
orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih menyukai

41
mengimpor budak dalam jumlah besar dari luar. Hal
tersebut memberikan keuntungan terhadap keamanan
karena para budak dari tempat yang jauh dan beragam
memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu.

Pada mulanya, budak-budak ini kebanyakan


didatangkan dari Asia Selatan yang terdapat koneksi
perdagangan VOC. Namun, ketika imperium perdagangan
Belanda mengalami penurunan di sana pada abad ke-18
dan kontak Indonesianya semakin bertambah, lebih
mudah bagi VOC untuk mengeksploitasi perdagangan
budak lokal yang sudah ada dan banyak dilakukan di
kepulauan ini. Apalagi perjalanan budak dari Sulawesi
hanya memerlukan waktu paling lama beberapa minggu,
sementara pengiriman dari India membutuhkan waktu
berbulan-bulan dan menimbulkan pemborosan. Sebuah
kapal yang mengangkut 250 budak dari pantai Arakan
hanya berhasil mengantarkan 114 orang budak ke pasar di
Batavia. Jadi, pada abad ke-18, mayoritas budak berasal
dari Sulawesi, Bali dan Kepulauan Sunda Kecil
[Kepulauan Nusa Tenggara] di Indonesia bagian timur.
Sebagian besar budak dimiliki oleh orang Eropa yang
menjadikan mereka sebagai pengiring untuk memamerkan
kekayaan. Orang yang paling kaya dapat memiliki seratus
budak atau lebih. Iklan penjualan budak menunjukkan
bahwa mereka mengisi posisi domestik yang sangat
spesifik, seperti juru masak juru lampu, pelayan,
pembantu rumahtangga, penjahit, pesuruh, penyetrika

42
pakaian, pembuat sambal, pembuat roti, pembuat teh dan
kusir. Sejumlah pembantu para nyonya hanya membuat
teh, sementara yang lain hanya bertanggungjawab menata
rambutnya dalam gaya Indonesia yaitu konde-rambut
yang disanggul di belakang kepala. Para tuan menyukai
budak tukang pijat yang dapat memijat dengan ahli hingga
mereka tertidur setelah makan siang ala Eropa yang sangat
banyak. Budak pemain musik sangat populer pada masa
itu.
Walaupun orang Eropa paling banyak memiliki budak,
sebuah register budak pada 1816 menunjukkan bahwa
pada kenyataannya jumlah orang Cina yang memiliki
budak agak lebih banyak daripada orang Eropa. Karena
membangun kekayaan melalui bisnis, orang Cina tidak
terlalu suka menggunakan budak hanya untuk
dipamerkan. Kebanyakan budak tersebut dipekerjakan di
penggilingan tebu dan penyulingan arak. VOC juga
memperkerjakan budak di bengkel-bengkelnya. Pada
masa itu tidak ada tenaga kerja bebas, hal ini terlihat dari
kebiasaan sejumlah pemilik budak yang mendapatkan
pemasukan dengan cara menyewakan budak-budaknya.
Pada akhir abad ke-18, nampaknya jumlah orang Arab,
India dan Indonesia yang menjadi pemilik budak sama
banyaknya dengan orang Eropa dan Cina. Hal ini
merefleksikan bertambahnya kekayaan mereka di kota.

43
Perlakuan terhadap budak mungkin tidak lebih buruk
daripada prajurit dan pelaut, dengan kata lain hukuman
yang diberikan sangat keras. Dalam rumahtangga Eropa
yang besar, budak-budak tidak terlalu banyak bekerja,
bahkan sejumlah pengamat menyatakan bahwa para budak
hanya memiliki sedikit pekerjaan sehingga mereka dapat
berjudi. Fakta ini menunjukkan bahwa para budak
memiliki uang. Orang Eropa (satu-satunya pengamat yang
memberikan komentar mengenai budak) umumnya
menyatakan bahwa kelompok etnis lain memperlakukan
budak mereka jauh lebih buruk. Namun, banyak pula bukti
perlakuan buruk oleh orang Eropa pemilik budak,
terutama pada abad ke- 17. Dengan menyebarnya ide
pencerahan pada abad ke-18, kondisi perbudakan
sepertinya membaik. Menggunakan jalur hukum untuk
mencambuk atau memenjarakan budak merupakan hal
yang biasa pada masa itu. Untuk waktu yang lama tidak
banyak usaha yang dilakukan untuk menghentikan
perlakuan buruk para pemilik budak terhadap budaknya.
Sebagai contoh, pada 1742, seorang Belanda yang
menembak mati seorang budak dan melukai tiga budak
lainnya hanya "diusir dari wilayah kekuasaan VOC
seumur hidup." Kasus perlakuan buruk terhadap budak
laki-laki biasanya berujung pada salahsatu dari dua akhir,
yaitu mereka kabur atau mengamuk. Para pemilik budak
menyimpan senjata yang mudah dibawa untuk melawan
budak yang mengamuk karena ketika tiba-tiba mengamuk,

44
budak tersebut akan berupaya membunuh siapa pun yang
ada di depannya. Sebagai paparan terhadap ketidakadilan,
Dirk van Hogendorp menulis sebuah sandiwara yang
berjudul Kraspoekol pada 1800. Sandiwara tersebut
mengisahkan seorang perempuan Eropa yang
memperlakukan para budaknya dengan buruk sehingga
mereka mengamuk dan membunuhnya.

Usaha yang dilakukan untuk menghentikan perlakuan


buruk para pemilik budak terhadap budaknya. Sebagai
contoh, pada 1742, seorang Belanda yang menembak mati
seorang budak dan melukai tiga budak lainnya hanya
"diusir dari wilayah kekuasaan VOC seumur hidup."
Kasus perlakuan buruk terhadap budak laki-laki biasanya
berujung pada salahsatu dari dua akhir, yaitu mereka kabur
atau mengamuk. Para pemilik budak menyimpan senjata
yang mudah dibawa untuk melawan budak yang
mengamuk karena ketika tiba-tiba mengamuk, budak
tersebut akan berupaya membunuh siapa pun yang ada di
depannya. Sebagai paparan terhadap ketidakadilan, Dirk
van Hogendorp menulis sebuah sandiwara yang berjudul
Kraspoekol pada 1800. Sandiwara tersebut mengisahkan
seorang perempuan Eropa yang memperlakukan para
budaknya dengan buruk sehingga mereka mengamuk dan
membunuhnya.
Ketika Batavia masih dikelilingi hutan lebat, budak-
budak dapat melarikan diri dengan mudah ke luar kota.

45
Untuk waktu yang lama lingkungan sekitar kota menjadi
tidak aman karena aksi perampokan yang dilakukan geng-
geng budak, terutama pada abad ke-17. Salahsatu budak
yang menjadi perampok-yaitu orang Bali bernama
Surapati-menyerang pasukan Belanda dekat Batavia pada
1684. Kemudian, sebuah rombongan yang berasal dari
Keraton Kartasura bergabung dalam pembantaian
rombongan Duta Besar Belanda untuk keraton tersebut
pada 1686. Surapati kemudian mendirikan sebuah daerah
otonom di Jawa Timur yang dipimpin oleh dirinya dan
keturunannya hingga akhir abad ke-18. 8.25 Tindakan
tegas dan permukiman bertahap mengurangi ancaman
budak yang lari selama abad ke-18. Pada saat itu, VOC
mulai berpikir bahwa orang Cina lebih mengkhawatirkan
daripada para budak.

Orang Cina Batavia


Lama sebelum VOC muncul, orang Cina sudah
berdagang di Jayakarta. Beberapa bahkan sudah menetap
di wilayah tersebut cukup lama untuk menanam tebu dan
menyuling arak yang terkenal di kalangan pelaut yang
datang. Ketika VOC mulai menjejakkan kakinya di
wilayah ini, perusahaan tersebut menjalin hubungan baik
dengan orang Cina. Coen sangat mendorong perdagangan
dan industri mereka, serta menjadi teman dekat pemimpin
mereka, yaitu So Bing Kong yang disebutnya sebagai
Kapiten Bencon. Ditemani oleh rombongan pendamping

46
yang terdiri dari pembawa payung, 12 orang halberdier
dan 24 orang musketeer, Coen biasa berjalan kaki di sore
hari untuk minum- minum dengan Bencon. Merasa
frustrasi karena keinginannya membangun masyarakat
Eropa di Batavia sukar terpenuhi, ia meletakkan
harapannya pada orang Cina: "... tidak ada bangsa yang
lebih berguna bagi VOC dan mudah didapatkan daripada
orang Cina". Coen begitu bersemangat untuk
meningkatkan jumlah mereka di Batavia dengan cepat,
sampai-sampai pada 1622 ia mengirim kapal-kapal ke
Cina untuk menculik orang-orang Cina di pesisir. Namun,
setelah pelabuhan Jayakarta menjadi mapan di bawah
kendali VOC, tindakan semacam itu tidak perlu lagi
dilakukan. Para pedagang Cina datang atas kemauan
sendiri, membawa kuli-kuli miskin dari Cina selatan.
Orang Eropa sangat tergantung pada tenaga kerja Cina dan
barang-barang dari Asia Timur yang dibawa oleh kapal-
kapal jung Cina. Pada 1625, armada Cina yang berdagang
di Batavia memiliki minimal total tonase yang sama besar
dengan seluruh armada VOC yang kembali ke Eropa.
Tidak seperti orang Eropa yang secara teoritis dilarang
berdagang secara mandiri, orang Cina diizinkan dan
bahkan didorong untuk berdagang karena barang-barang
yang mereka bawa ke Batavia berguna bagi populasi lokal
serta bagi perdagangan VOC dengan Eropa. Selain
membawa uang perak Belanda, mereka kembali ke Cina
dengan membawa barang- barang yang ditujukan untuk

47
pasar Cina-lada, cendana dan bahan makanan mewah,
seperti sarang burung dan teripang (timun laut). Yang juga
tidak kalah pentingnya untuk ekonomi Batavia adalah
kontribusi pekerja terampil dari Cina. Sebagaimana ditulis
(secara berlebihan) oleh Valentijn pada 1720-an:
Orang-orang Cina sangat pintar, sopan, giat dan
penurut, serta sangat berjasa bagi kota ini. Mereka tidak
hanya berdagang segala macam hal dalam partai besar di
kota, seperti teh, porselen, kain sutera dan barang berlapis
lak, namun juga sangat giat dalam banyak bidang
pertukangan. Mereka sangat ahli sebagai pandai besi,
tukang kayu, pembuat kursi, baik kursi ruang tamu mau
pun kursi tandu yang penuh ornamen. Mereka membuat
semua parasol yang digunakan di sini. Hasil pekerjaan
mempernis dan menyepuh yang mereka lakukan sangat
rapi. Mereka merupakan pembuat arak, petani penyewa
lahan, pembuat bata terbaik, dan pengolah gula di
penggilingan di luar Batavia serta pembelinya di dalam
kota. Banyak pula yang membuka rumah makan dan kedai
teh untuk pelaut dan prajurit. Sangat banyak juga yang
mencari penghasilan dengan membawa air, menangkap
ikan atau mengantarkan orang ke mana pun dengan perahu
Cina yang mereka dayung sambil berdiri menggunakan
dua dayung bersilangan ini merupakan transportasi yang
praktis. Banyak pula yang mendayung sampan dan perahu
besar untuk mengangkut barang-barang dari kapal Seluruh
pertanian di Batavia juga tergantung pada mereka. Orang

48
Cina sangat banyak akal dan tekun. Mereka tidak hanya
memastikan bahwa semuanya tersedia sepanjang tahun,
tapi juga berkeliling membawa apa pun yang bisa
dibayangkan. Sepanjang hari mereka membawa sayuran,
kain, porselen, barang berlapis lak, teh, dan menjualnya
dari rumah ke rumah meskipun keuntungan yang
didapatkan kecil. Tidak ada hal yang dapat dibayangkan
yang tidak mereka kerjakan atau praktikkan.
Berdasarkan semua ini, Valentijn menyimpulkan
dengan serius bahwa, "Jika tidak ada orang Cina, Batavia
akan sangat sepi dan kehilangan banyak kebutuhannya".
Begitu dominannya peran orang Cina, seorang sejarawan
masa kini berargumentasi bahwa dari 1619 hingga 1740,
Batavia secara ekonomi "pada dasarnya merupakan kota
kolonial Cina di bawah perlindungan Belanda." Tidak ada
wilayah khusus semacam pecinan di Batavia sebelum
1740. Orang Cina dapat ditemukan di mana-mana di
seantero kota. Menurut Valentijn, "Mereka tinggal di
mana pun di wilayah-wilayah terbaik. Mereka mengadopsi
sejumlah insitusi Eropa, termasuk panti asuhan,
rumahsakit dan rumah jompo. Rumah-rumah mereka
merupakan campuran arsitektur Eropa dan rumah toko di
Cina selatan dengan macam-macam ciri khas, seperti
bubungan atap yang melengkung ke atas. Mereka tidak
ragu-ragu mengubah bangunan Eropa untuk kepentingan
mereka. Ketika pekuburan Cina diperluas pada 1760,
mereka mengambilalih sebuah rumah Belanda milik

49
seorang anggota Dewan Hindia dan mengubahnya
menjadi kuil Buddha, yaitu Klenteng Gunung Sari atau
Klenteng Sentiong, dekat Pasar Baru. Kuil ini merupakan
satu-satunya yang tersisa di Jakarta yang memiliki pendeta
Buddha.
VOC berupaya merangkul orang Cina dengan
memberikan gelar kapiten dan letnan kepada para
pemimpin yang mereka tunjuk. Berdasarkan kronik para
perwira tersebut, besar sekali kemungkinan bahwa orang
Cina melihat hubungan ini sebagai hubungan setara.
Perayaan pengangkatan perwira-perwira tersebut sangat
meriah seolah mereka diangkat menjadi mandarin oleh
kaisar. Salahsatu perayaan tersebut tercatat melibatkan
sebuah prosesi yang terdiri atas 156 orang Cina pembawa
umbul- umbul, 312 budak pembawa lentera, serta 190
orang Papanger (kelompok milisi-namanya diambil dari
tempat asal mereka, yaitu Pampangan di Filipina) yang
berjalan paling belakang sambil membawa tembiang dan
keris. Prosesi tersebut diiringi oleh sebuah kelompok
pemusik."
Kota ini juga dipenuhi kuil-kuil Cina, termasuk kuil
tertua yang masih berdiri di Batavia-kini bernama Wihara
Dharma Bhakti- sebuah kuil Buddha yang tersembunyi di
jalan-jalan belakang Glodok. Komplek kuil ini besar dan
banyak dikunjungi, memiliki impluvium dengan atap
terbuka yang membiarkan cahaya matahari masuk ke

50
bagian utama kuil, serta sebuah klinik herbal Cina dan
pembakar kertas berukuran besar di luar kuil. Valentijn
menyebutkan bahwa kuil ini memiliki 18 pendeta, tapi kini
satu pun tidak ada.

51
TAHUN 1728-1827

 Batavia (1728)

Batavia, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, adalah


ibu kota Hindia Belanda pada tahun 1728. Pada saat itu,
Batavia adalah kota terbesar di Asia Tenggara dan salah
satu pelabuhan paling penting di dunia. Kota ini adalah
pusat perdagangan dan pemerintahan Belanda di wilayah
tersebut.

Batavia terletak di tepi Sungai Ciliwung, di pesisir


utara Pulau Jawa. Kota ini dikelilingi oleh tembok benteng
yang dibangun untuk melindunginya dari serangan musuh.
Tembok benteng ini memiliki panjang sekitar 10 kilometer
dan dilengkapi dengan 12 bastion.
Batavia dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kota Tua dan
Kota Baru. Kota Tua adalah pusat pemerintahan dan
perdagangan Belanda. Di kota ini terdapat kantor-kantor
VOC, gereja-gereja, dan rumah-rumah orang Belanda.
Kota Baru adalah tempat tinggal penduduk pribumi dan
pendatang dari berbagai negara.
Penduduk Batavia pada tahun 1728 diperkirakan
berjumlah sekitar 100.000 orang. Kota ini dihuni oleh
orang-orang dari berbagai ras dan etnis, termasuk Belanda,
Portugis, Tionghoa, Arab, dan pribumi.

52
Kehidupan di Batavia pada tahun 1728 sangatlah
beragam. Kota ini merupakan pusat perdagangan dan
budaya yang ramai. Di Batavia terdapat berbagai macam
toko, restoran, dan tempat hiburan. Kota ini juga menjadi
tempat kelahiran berbagai macam seni dan budaya, seperti
musik, teater, dan seni lukis.
Berikut adalah beberapa fakta menarik tentang Batavia
(1728) :
o Pada tahun 1728, Batavia adalah kota terbesar
di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk
sekitar 100.000 orang.
o Kota ini dikelilingi oleh tembok benteng yang
dibangun untuk melindunginya dari serangan
musuh.
o Batavia dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kota
Tua dan Kota Baru.
o Penduduk Batavia pada tahun 1728 berasal dari
berbagai ras dan etnis, termasuk Belanda,
Portugis, Tionghoa, Arab, dan pribumi.
o Batavia adalah pusat perdagangan dan budaya
yang ramai.
o Di Batavia terdapat berbagai macam toko,
restoran, dan tempat hiburan.
o Kota ini juga menjadi tempat kelahiran berbagai
macam seni dan budaya.

53
Cetakan langka pertengahan abad ke-18 yang
menunjukkan pembantaian mengerikan terhadap orang
Tionghoa yang terjadi di Batavia 9 Oktober 1740, diukir
oleh Adrian van der Laan dari Amsterdam. Gambar
tersebut menunjukkan tentara Belanda menembakkan
meriam ke rumah-rumah Tionghoa di tepi Kali Besar,
membantai orang-orang yang meninggalkan rumah
mereka yang terbakar dan menunggu di perahu untuk
membunuh mereka yang berusaha melarikan diri di
sungai; diperkirakan sekitar 10.000 orang Tiongkok
terbunuh. Pembantaian ini dipicu oleh cerita kekejaman
Tiongkok setelah kematian 50 tentara Belanda di tangan
para pekerja perkebunan tebu Tiongkok yang marah
karena memprotes penindasan Pemerintah dan
menurunnya harga gula.
Pembantaian Batavia tahun 1740 (bahasa Belanda:
Chinezenmoord, secara harafiah berarti “Pembunuhan
Orang Tionghoa”; bahasa Indonesia: Geger Pacinan,
berarti “Kekacauan Pecinan”) adalah pogrom etnis
Tionghoa di kota pelabuhan Batavia (sekarang Jakarta) di
Timur Belanda Hindia. Kekerasan di dalam kota
berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740,
dengan pertempuran kecil di luar tembok berlanjut hingga
akhir November tahun itu. Para sejarawan memperkirakan
setidaknya 10.000 etnis Tionghoa dibantai; hanya 600
hingga 3.000 yang diyakini selamat.

54
Pada tahun-tahun awal penjajahan Belanda di Hindia
Timur, banyak orang keturunan Tionghoa yang dikontrak
sebagai tukang terampil dalam pembangunan Batavia di
pantai barat laut Jawa. Mereka juga berperan sebagai
pedagang, pekerja pabrik gula, dan pemilik toko. Ledakan
ekonomi, yang dipicu oleh perdagangan antara Hindia
Timur dan Tiongkok melalui pelabuhan Batavia,
meningkatkan imigrasi Tiongkok ke Jawa. Jumlah etnis
Tionghoa di Batavia berkembang pesat, mencapai lebih
dari 10.000 orang pada tahun 1740. Ribuan lainnya tinggal
di luar tembok kota.

 Batavia (1744) :

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf


Willem, Baron van Imhoff antara tahun 1743 dan 1750,
benteng Batavia diperluas. Di antara pekerjaan yang
terlibat adalah pembongkaran tembok tenggara benteng
yang asli. Tembok tenggara baru dibangun lebih jauh ke
selatan di sepanjang Amsterdamse Gracht (sekarang jalan
Nelayan Timur), dengan demikian memasukkan Castle
Square di dalam halaman kastil. Gerbang yang baru
dibangun diubah menjadi gaya Rococo.[1] Pintu masuk
melalui tembok baru dibentuk oleh gerbang setinggi dua
lantai dan di atasnya terdapat kubah dan jam. Sebagian
bangunan ini digunakan sebagai penjara, mirip dengan
Gevangenpoort di Den Haag.

 Batavia (1778) :
55
Seorang pejabat muda VOC—J.C.M Radermacher
tertarik pada seni dan sains di Hindia. Radermacher
mengusulkan pembentukan asosiasi di Batavia yang
serupa dengan Hollandsche Maatschappij der
Wetenschappen (HMW) di Haarlem. Awalnya, usulan ini
tidak diterima dengan baik hingga tahun 1777 ketika
dalam peringatan 25 tahun HMW ada niat untuk membuka
cabang di koloni. Paguyuban tersebut merupakan
perkumpulan ilmiah independen yang didirikan di
Batavia.

Pada tanggal 24 April 1778, sebuah perkumpulan


didirikan di Batavia dengan nama Bataviaasch
Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat
Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia), sering disingkat BG.
Gubernur Jenderal dan pejabat tinggi VOC ditunjuk
sebagai anggota dewan direksi dan tokoh-tokoh kunci
masyarakat menjadi anggota asosiasi. Semboyan
Bataviaasch Genootschap (BG) adalah Ten Nutte van Het
Gemeen (Untuk Kepentingan Umum).[1]:12 Tujuan
utama BG adalah untuk menganalisis aspek budaya dan
ilmiah Hindia Timur, termasuk masyarakat dan
lingkungan alamnya, melalui memfasilitasi penelitian
yang dilakukan oleh para ahli.

 Batavia (1797) :

Jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar membuat


pemakaman yang ada hampir penuh. Apalagi korbannya
56
terus bertambah. VOC pun paham benar masalah itu.
Upaya menanggulangi perihal pemakaman dilakukan.
VOC lebih memilih membangun pemakaman baru
dibanding meningkatkan perlawanan terhadap wabah.

Pemakaman baru itu diberi nama Pemakaman Kebon


Jahe Kober. Pemakaman yang dibangun pada 28
September 1795 memiliki luas 5,5 hektare. Orang Belanda
yang dikubur di sini dari berbagai macam kalangan. Dari
pengusaha hingga tokoh agama. Orang-orang pun
menjuluki pemakaman tersebut sebagai Graaf der
Hollander: Kuburan Orang Belanda.
“Letaknya begitu jauh dari pusat pemukiman sehingga
jenazah-jenazah harus diangkut dengan perahu lewat Kali
Krukut. Tidak terlalu mengherankan bahwa orang segan
menguburkan keluarganya di tempat itu. walaupun dalam
tahun 1799 semua kuburan Kristen di dalam kota Batavia
(yang batas sebelah selatan terletak di sekitar Glodok
sekarang) dinyatakan tertutup alias tidak boleh menerima
penghuni baru,” tertulis dalam buku Batavia: Kisah
Jakarta Tempo Doeloe (1988).
Pembangungan Pemakanan Kebon Jahe Kober, Tanah
Abang pada 28 September 1795 menjadi catatan sejarah
hari ini di Indonesia.

 Batavia (1811) :

57
Invasi Jawa pada tahun 1811 adalah operasi amfibi
Inggris yang sukses melawan pulau Jawa di Hindia Timur
Belanda yang terjadi antara Agustus dan September 1811
selama Perang Napoleon. Awalnya didirikan sebagai
koloni Republik Belanda, Jawa tetap berada di tangan
Belanda selama Revolusi Perancis dan Perang Napoleon,
selama waktu itu Perancis menginvasi Republik dan
mendirikan Republik Batavia pada tahun 1795, dan
Kerajaan Belanda pada tahun 1806. Kerajaan Belanda
Belanda dianeksasi ke dalam Kekaisaran Perancis Pertama
pada tahun 1810, dan Jawa menjadi koloni Perancis,
meskipun pulau ini terus dikelola dan dipertahankan
terutama oleh personel Belanda.

 Batavia (1821) :

Gedung Kesenian Jakarta adalah bangunan tua


peninggalan bersejarah pemerintah Belanda yang hingga
sekarang masih berdiri kokoh di Jakarta. Terletak di Jalan
Gedung Kesenian No. 1 Jakarta Pusat.

Gedung yang berpenampilan mewah ini pernah


digunakan untuk Kongres Pemoeda yang pertama (1926).
Dan, di gedung ini pula pada 29 Agustus 1945, Presiden
RI pertama Ir. Soekarno meresmikan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian beberapa kali
bersidang di gedung ini [6] Kemudian dipakai oleh
Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi & Hukum

58
(1951), dan sekitar tahun 1957-1961 dipakai sebagai
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Selanjutnya tahun 1968 dipakai menjadi bioskop
“Diana” dan tahun 1969 Bioskop “City Theater”. Baru
pada akhirnya pada tahun 1984 dikembalikan fungsinya
sebagai Gedung Kesenian (Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibu kota Jakarta No. 24 tahun
1984).[7] Gedung ini direnovasi pada tahun 1987 dan
mulai menggunakan nama resmi Gedung Kesenian
Jakarta. Sebelumnya gedung ini dikenal juga sebagai
Gedung Kesenian Pasar Baru dan Gedung Komidi.[8]
Untuk penerangan digunakan lilin dan minyak tanah dan
kemudian pada tahun 1864 digunakan lampu gas. Pada
tahun 1882 lampu listrik mulai digunakan untuk
penerangan dalam gedung.

59
TAHUN 1827-1927

Setelah
Vereenigde Oost-
Indische Compagnie
(VOC) bangkrut dan
dibubarkan pada
tahun 1800, Republik
Batavia
menasionalisasi
utang dan harta
bendanya,
memperluas seluruh
klaim teritorial VOC
menjadi koloni penuh
bernama Hindia
Belanda. Batavia
berevolusi dari lokasi
kantor pusat regional perusahaan menjadi ibu kota koloni.
Kota ini secara bertahap meluas ke arah selatan.
Selama periode tersebut, gedung-gedung administratif
direlokasi ke daerah yang kemudian dikenal sebagai
Weltevreden, misalnya di sebelah selatan Koningsplein,
Waterlooplein, dan Rijswijk (Jalan Veteran). Kawasan
yang kemudian dikenal dengan nama Weltevreden, yang
meliputi Koningsplein, Rijswijk, Noordwijk, Tanah
Abang, Kebon Sirih, dan Prapatan ini kemudian menjadi
60
kawasan hunian, hiburan, dan perdagangan yang populer
di kalangan elit kolonial Eropa. Nama Weltevreden
bertahan hingga tahun 1931, ketika secara resmi dikenal
sebagai Batavia Centrum (Batavia Pusat).

Periode ini juga menyaksikan pembangunan Pasar Baru


pada tahun 1820-an, penyelesaian pelabuhan Tanjung
Priok pada tahun 1886, pengembangan kota taman
Menteng dan Gondangdia pada tahun 1910-an, dan
dimasukkannya Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) ke
dalam wilayah Jakarta pada tahun 1935.

61
 Pembangunan Hotel des Indes (1829)

Reinier de Klerk merupakan pemilik tanah untuk lokasi


hotel ini sejak
tahun 1760. Tanah dan
rumah di atasnya dijual
de Klerk kepada C.
Postmans pada tahun
1774. Pada
tahun 1824 tanah dan
bangunan dibeli
pemerintah untuk
sekolah asrama putri. Pada tahun 1829, tanah dan
bangunan di atas lokasi dibeli orang Prancis bernama
Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel
bernama Hotel de Provence. Pada tahun 1845, putra
Etienne Chaulan mengambil alih hotel dari tangan
ayahnya.
Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis
Denning Hoff, hotel ini berganti nama menjadi
Rotterdamsch Hotel. Pada tahun berikutnya (1852), hotel
ini dibeli orang Swiss bernama François Auguste Emile
Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari
Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs menamakan
hotel ini sebagai Hotel des Indes atas usulan Douwes
Dekker.

62
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada
orang Prancis bernama Louis George Cressonnier.
Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia
pada tahun 1861,

“Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu


disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke
beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan
kopi sore. ... Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table
d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya
dengan harga per hari yang pantas. ”

Setelah Cresonnier meninggal dunia pada tahun 1870,


keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas.
Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob
Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan
cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt
mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan
perseroan terbatas N.V. Hotel des Indes pada tahun 1897.
Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen
J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.

John T. McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa


bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di
Asia berada di bawahnya. Lebih lanjut, ia bercerita tentang
kemewahan rijsttafel di hotel ini,
“ Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup
waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam.

63
Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang
berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan
kembali ke dapur dengan berbaris. ... Setiap pelayan
membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari
keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda
mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga
lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi.
Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti
bunker di padang golf yang dipenuhi nasi. “
Setelah Indonesia
merdeka, hotel ini hotel
itu kemudian
dianeksasi tanpa
kompensasi pada tahun
1949. Kemudian
diambil alih
Pemerintah Indonesia
pada tahun 1960, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta
Indonesia. Namun, hotel itu terus mengalami penurunan
pendapatan, terlebih pasca-tahun 1962. Saat itu, Presiden
Soekarno meresmikan berdirinya Hotel Indonesia yang
menjadi saingan berat hotel tiga zaman itu. Pada
tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan
Pertokoan Duta Merlin. Meski telah tiada, nama Hotel des
Indes tetap tercatat sebagai bagian sejarah Jakarta, bahkan
Indonesia.

64
 Gempa bumi Jawa (1834)

Gempa bumi Jawa 1834 atau Gempa bumi Bogor


1834 melanda pulau Jawa, di dekat kota Bogor, Hindia
Belanda. Gempa
tersebut terjadi pada
pagi hari tanggal 11
Oktober 1834. Itu
ditetapkan pada skala
VIII (Parah) hingga IX (Keras) Skala intensitas Mercalli
yang dimodifikasi, Gempa itu didahului oleh serangkaian
gempa ringan pada malam hari sebelum gempa utama
datang.

Gempa itu didahului oleh sejumlah gempa bumi yang


sangat terasa pada malam sebelumnya pada tanggal 11
Oktober. Ketika gempa utama melanda keesokan paginya,
gempa itu sangat terasa. Getaran juga terdeteksi oleh
orang-orang dari Tegal di Jawa
Tengah hingga Lampung di pulau Sumatra.

Meskipun gempa tersebut menyebabkan sangat sedikit


korban jiwa dan luka-luka, bangunan banyak yang rusak
parah dan beberapa runtuh. Kerusakan jalan seperti retak
dilaporkan dari Bogor hingga Cianjur, dan Kabupaten
Cianjur. Banyak gudang dan pabrik juga terkena dampak
parah. Sebuah stasiun pos di kota terkubur tanah longsor,
menewaskan lima orang dan sepuluh ekor kuda. Banyak
rumah dan bangunan batu di Batavia yang rusak. Gudang
65
pedesaan dan sejumlah townhouse juga rusak. Istana
Bogor di kota itu, yang merupakan kediaman Jean
Chrétien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, rusak
parah sehingga Jean Chrétien Baud memerintahkannya
untuk dibongkar. Istana ini dibangun kembali dengan gaya
arsitektur Eropa abad ke-19 yang baru.

 Kapal uap pertama (1836)

Pada tahun 1836, kapal uap pertama yang tiba di


Batavia adalah
kapal uap bernama
"SS Willem I".
Kapal ini adalah
kapal uap pertama
yang dioperasikan
oleh pemerintah Hindia Belanda di koloni Hindia Belanda.

SS Willem I, yang dinamai sesuai dengan Raja Willem


I dari Belanda, tiba di Batavia pada tanggal 5 Juli 1836.
Kedatangan kapal uap ini menandai awal era transportasi
laut dengan mesin uap di Hindia Belanda. Mesin uap
memungkinkan kapal untuk bergerak lebih efisien dan
mandiri dari angin atau daya tarik hewan.

Kapal uap ini dimaksudkan untuk digunakan dalam


transportasi antar pulau di Hindia Belanda, membawa
penumpang dan kargo. Kedatangan SS Willem I adalah

66
langkah penting dalam perkembangan transportasi
maritim di wilayah tersebut pada masa itu.

 Pembangunan Benteng Frederik Hendrik (1837)

Lokasi benteng ini awalnya adalah lokasi sebuah kedai


minum yang dibangun sebelum tahun 1669. Pada tahun
1723, Sersan Mayor Herman van Baijen merenovasi kedai
minum tersebut
menjadi sebuah rumah
peristirahatan besar.
Kemudian, mulai tahun
1743 hingga 1820,
rumah tersebut
digunakan sebagai
sebuah rumah sakit,
yang disebut Rumah
Sakit Luar, karena
terletak di luar tembok
kota.

Rumah tersebut
dianggap sehat, karena terletak di perbukitan rendah di
pedalaman Batavia, sehingga risiko malaria lebih rendah.
Lokasi rumah tersebut kemudian menjadi lokasi Taman
Wilhelmina yang terletak di Weltevreden, di antara dua
cabang Sungai Ciliwung. Rumah tersebut dikelilingi tanah
yang sangat subur, dengan lapisan atas yang dalam dan
kaya nutrisi.
67
Benteng ini dibangun pada tahun 1837 sesuai perintah
dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, sebagai
bagian dari rencana garis pertahanan di wilayah yang kini
menjadi Kebon Sirih, Menteng. Insinyur Kolonel Carel
van der Wyck pun merancang benteng ini, dan Kapten
Lucius Gerhard Johan George Schonermarck bertanggung
jawab membangun benteng ini. Pangeran Willem Frederik
Hendrik (1820–1879) meletakkan batu pertama benteng
ini, dan kemudian juga meresmikan benteng ini. Benteng
ini diberi nama sesuai nama pangeran tersebut, yang
merupakan salah satu anak dari Raja William II dari
Belanda dan merupakan salah satu dari hanya beberapa
keluarga kerajaan Belanda yang pernah mengunjungi
Hindia Belanda.

 Pendirian sekolah medis (1851)

School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (bahasa


Indonesia: Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra), atau
yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah
sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada
zaman kolonial Hindia Belanda. Saat ini sekolah ini telah
menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kekhawatiran akan kurangnya tenaga kesehatan untuk


menghadapi berbagai macam penyakit berbahaya di
wilayah-wilayah jajahannya, membuat pemerintah
kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu
kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Pada 2 Januari
68
1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22
mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat
pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD
Gatot Subroto) di kawasan
Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya).
Pada tanggal 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru
kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat
Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter
Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya
berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian
besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar.
Pada akhir abad ke-19,
Belanda mengalami
perubahan kebijakan dengan
penerapan politik etis yang
bertujuan untuk menciptakan
kesetaraan kepada warga
pribumi atau rakyat Indonesia
saat itu. Kebijakan ini mencakup tiga bidang, yaitu irigasi,
edukasi, dan emigrasi. Salah satu bidangnya, yaitu edukasi
inilah yang membuka kesempatan untuk warga pribumi
mengenyam pendidikan. Ditambah lagi, wabah penyakit
telah tersebar di Pulau Jawa, tetapi biaya untuk
mendatangkan dokter dari Eropa membutuhkan biaya
yang sangat mahal. Kondisi inilah yang menimbulkan
pemikiran untuk memberikan pendidikan pada kaum

69
pribumi untuk menjadi mantri. Sebagai solusi dari
masalah ini, Hermanus Frederik Roll, yang saat itu
menjabar sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa pun
mengusulkan ke pemerintah Belanda untuk membangun
tempat pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan
dengan pendidikan kedokteran yang ada di Belanda.
STOVIA pun didirikan pada tahun 1851, yang berlokasi
di sebelah rumah sakit militer. STOVIA tidak
membutuhkan biaya serta memberikan peralatan kuliah,
seragam gratis sekaligus beasiswa 15 gulden tiap bulannya
untuk menarik perhatian kaum pribumi bersekolah disini.
Situasi inilah yang menyebabkan STOVIA mendapat
julukan sebagai 'sekolah orang miskin'. Mahasiswa
STOVIA wajib menjalani ikatan dinas selama sepuluh
tahun. Apabila ikatan dinas tidak ditepati, mereka akan
didenda sebesar 5.800 gulden.

Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa terus-menerus


mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.
Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot
Opleiding van Inlandsche
Geneeskundigen (atau Sekolah
Pendidikan Ahli Ilmu
Kedokteran Pribumi), lalu pada
tahun 1898 diubah lagi
menjadi School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi).
Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah

70
kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia)
karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja,
termasuk penduduk keturunan "Timur Asing" dan Eropa,
sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi.

Cikal bakal dari


pergerakan nasional
di Hindia Belanda
berawal dari sekolah
ini ketika Dr. Wahidin
Soedirohoesodo dan
Dr. Soetomo yang
keduanya merupakan
alumni STOVIA mendirikan organisasi pergerakan
nasional pertama bernama Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

 Pendirian Gymnasium William III (1860)

Koning Willem III School te Batavia disingkat KW III


School yang dalam pelafalan bahasa
Belanda menjadi Kawedri adalah pendidikan
menengah umum yang pertama kali didirikan
pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada tanggal 15
September 1860. Nama sekolah ini diambil dari nama
raja Belanda kala itu, yakni Koning (raja) Willem III.
Sekolah KW III berada di lokasi yang sekarang
ditempati Perpustakaan Nasional Indonesia di Jalan
Salemba Raya 28A, Jakarta Pusat. Dari sisi kepemilikan,
sekolah ini termasuk kategori Gouvernements
71
HBS atau Openbare HBS dalam pengertian bahwa HBS
tersebut diselenggarakan dan dimiliki pemerintah dan
berstatus sekolah negeri. Direktur (kepala sekolah) KW III
School yang pertama adalah Dr. S. A. Naber.

Berdasarkan Besluit Gouverneur Generaal 5 Juni 1859


Nomor 11, Mr. A. Prins diangkat sebagai Ketua
Kehormatan Collegie van Curatoren van het Gymnasium
Willem III; sebagai Kurator adalah T. Ament, Dr. P.
Bleeker, G. F. de Bruijn Kops, J. W. C.
Diepenheim, Jhr. Mr. F. Junius van Hemert, C. F. W.
Wiggers van Kerchem, Mr. T. H. der Kinderen, Mr. W.
Rappard, G. Suermondt, G. H. Uhlenbeck, F. van
Vollenhoven, N. H. Whitton. Pada tahun yang sama
Pemerintah telah menyetujui usulan Kommissie van
Curatoren voor het Gymnasium Willem III (komisi
kurator untuk Gymnasium Willem III) untuk membeli
rumah almarhum Pierre Jean Baptiste de Perez untuk
lokasi sekolah tersebut. Properti ini terletak di
daerah Ommelanden di Wayback Machine., Batavia.

Pada tanggal 13 September 1860 diadakan ujian masuk


dengan hasil cukup memuaskan, 37 orang lulus dari 45
calon siswa.

Pada tanggal 15 September 1860 Gymnasium Willem


III dibuka dengan masa studi tiga tahun.

72
Pada hari Selasa, 27 November 1860 diadakan Upacara
Peletakan Batu Pertama Gedung Utama Gymnasium
Willem III oleh Gouverneur Generaal.
Berdasarkan Besluit Gouverneur Generaal 21 Agustus
1867 Nomor 1, Gymnasium Willem III dibagi menjadi dua
bagian:
Bagian A: Hoogere Burgerschool (HBS) dengan masa
studi 5 tahun yang dimaksudkan agar setelah selesai
pendidikan ini dapat melanjutkan ke perguruan tinggi;
Bagian B: masa belajar selama 3 tahun, setelah
menyelesaikan pendidikan ini dimaksudkan agar siswa
dapat melanjutkan ke pendidikan
lanjutan perwira, pegawai negeri, atau pendidikan
perdagangan dan kerajinan di Delft, Belanda.
Walaupun ditingkatkan menjadi HBS 5 tahun namun
sebutan Gymnasium
Willem III tetap
digunakan hingga tahun
1900an menjadi Koning
Willem III School.
Ketika Jepang masuk ke
Indonesia tahun 1942,
sekolah ini ditutup. Gedungnya dipergunakan untuk
Pertahanan Sipil Belanda. Setelah Belanda menyerah,
Jepang menggunakannya. Demikian juga saat sekutu

73
mengalahkan Jepang, gedung ini dipakai oleh tentara
sekutu. Tahun 1949, setelah Belanda mengakui kedaulatan
RI, gedung KW III sempat menjadi markas kesatuan TNI
Batalyon Kala Hitam. Kemudian beralih menjadi kantor
dan perumahan Jawatan Kesehatan TNI AD.
Pada awal 1987, bekas lokasi sekolah KW III tersebut
direnovasi dan dipergunakan untuk Perpustakaan
Nasional Indonesia. Pada tanggal 11 Maret 1989, secara
resmi kompleks tersebut dibuka dengan penandatanganan
sebuah prasasti marmer oleh Presiden dan Ibu Tien
Suharto.

 Pendirian Kebun Binatang (1864)

Taman Margasatwa Ragunan adalah kebun binatang


pertama di Indonesia. Kebun binatang ini didirikan pada
tahun 1864 dengan nama Planten En Dierentuin yang
memiliki arti "Tanaman dan Kebun Binatang." Terletak
pada tanah seluas 10 hektare di kawasan Cikini, Menteng,

74
Jakarta Pusat yang merupakan pemberian Raden Saleh.
Saat itu, Planten En Dierentuin dikelola oleh Perhimpunan
Penyayang Flora dan Fauna Batavia yang tergabung
dalam Culturule Vereniging Planten en Dierentuin at
Batavia.
Pada tahun 1949,
nama Planten En
Dierentuin diubah
menjadi Kebun
Binatang Cikini dan
pada tahun 1961
dipindahkan ke kawasan Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan pada tahun 1964. Pemerintah DKI
Jakarta menghibahkan lahan seluas 30 hektare yang
menjadi rumah bagi kebun binatang ini. Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin meresmikan Taman Margasatwa
Ragunan pada 22 Juni 19.

 Pembukaan Museum Nasional (1868)

Pada tanggal 24
April 1778, para
akademisi di Hindia
Belanda dan sejumlah
pejabat Pemerintah
Hindia Belanda bersama-
sama membentuk sebuah
perhimpunan bernama Bataviaasch Genootschap van
75
Kunsten en Wetenschappen. Perhimpunan ini didirikan
dengan tujuan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan
melalui pengembangan museum. J.C.M. Radermacher,
ketua perkumpulan, menyumbang sebuah gedung yang
bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku
dan benda-benda budaya yang nanti menjadi dasar untuk
pendirian museum.

Pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816), Sir


Thomas Stamford Raffles yang juga merupakan direktur
dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung
baru yang terletak di Jalan Majapahit No. 3. Gedung ini
digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan
untuk Literary Society (dahulu bernama "Societeit de
Harmonie".) Lokasi gedung ini sekarang menjadi bagian
dari kompleks Sekretariat Negara.

Pada tahun 1862, setelah koleksi memenuhi museum di


Jalan Majapahit, pemerintah Hindia Belanda mendirikan
gedung yang hingga kini masih ditempati. Gedung
museum ini dibuka untuk umum pada tahun 1868.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Lembaga Kebudayaan
Indonesia yang mengelola menyerahkan museum tersebut
kepada pemerintah Republik Indonesia, tepatnya pada
tanggal 17 September 1962. Sejak itu pengelolaan
museum dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan,
di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

76
Mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah
pengelolaan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata sehubungan dengan dipindahnya Direktorat
Jenderal Kebudayaan ke lingkungan kementerian tersebut.

Museum Nasional juga dikenal sebagai Museum Gajah


karena dihadiahkannya patung gajah
berbahan perunggu oleh Raja
Chulalongkorn dari Thailand pada tahun 1871 yang
kemudian dipasang di halaman depan museum. Meskipun
demikian, sejak 28 Mei 1979, nama resmi lembaga ini
adalah Museum Nasional Republik Indonesia.

 Pembangunan Istana Negera (1869)

Bangunan yang sekarang menjadi Istana Merdeka


dibangun di lokasi Istana Rijswijk (sekarang Istana
Negara) yang dianggap tidak lagi memadai untuk
keperluan administratif, seperti resepsi dan konferensi
besar pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1869,
instruksi untuk membangun istana baru diberikan oleh
Gubernur Jenderal Pieter Mijer.
Pembangunan dilakukan di halaman selatan Istana
Rijswijk pada tanggal 23 Maret 1873 pada masa Gubernur
Jenderal James Loudon. Istana Neo-Palladian dirancang
oleh Jacobus Bartholomeus Drossaers dan dibangun oleh
Departemen Pekerjaan Umum dan perusahaan kontraktor
Drossaers & Company dengan biaya ƒ 360.000. Bangunan

77
baru ini dibangun di bagian selatan halaman Istana
Rijswijk, menghadap langsung ke Koningsplein (sekarang
Lapangan Merdeka).
Pembangunan istana
selesai pada tahun 1879
pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Johan
Wilhelm van Lansberge.
Istana baru ini diberi
nama resmi Paleis van de
Gouverneur Generaal ("Istana Gubernur Jenderal"),
kediaman resmi gubernur jenderal Hindia Belanda dan
keluarganya.

Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge


(1875-1881) adalah orang pertama yang tinggal di gedung
ini. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer (1936-1942) adalah gubernur jenderal
Belanda terakhir yang tinggal di Istana ini.

 Penemuan sumur artesis (1870)

Pada tahun 1865, Gubernur


Jenderal Hindia Belanda pada
saat itu, Ludolph Anne Jan Wilt
Sloet van de Beele,
menghadapi masalah serius
terkait pasokan air bersih di

78
Batavia. Pada saat itu, air bersih diperoleh dari sungai
Ciliwung dan sumur-sumur dangkal, tetapi kualitas airnya
kurang memuaskan dan sering kali menimbulkan wabah
penyakit.

Dalam upaya untuk meningkatkan pasokan air bersih,


pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mencari
sumber air alternatif. Pada tahun 1865, di bawah
kepemimpinan Gubernur Jenderal Sloet van de Beele,
diputuskan untuk mencoba menggali sumur artesis di
kawasan Jatinegara. Lokasi ini dipilih karena tanahnya
yang berbatu, diyakini dapat menciptakan tekanan yang
cukup untuk mendapatkan air tanah yang bersih.
Pada tanggal 17 Agustus 1865, dimulailah pekerjaan
penggalian sumur artesis pertama di Batavia. Proses ini
dilakukan oleh insinyur Belanda bernama A. L. de
Cheusses. Pekerjaan tersebut memakan waktu beberapa
tahun, dan akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1868, sumur
artesis pertama di Batavia, yang kemudian dikenal sebagai
"Sumur Jatinegara," berhasil menemukan sumber air
bersih dengan tekanan yang cukup untuk naik ke
permukaan tanah tanpa bantuan pompa.
Sumur Jatinegara menjadi langkah penting dalam
meningkatkan pasokan air bersih di Batavia pada masa itu.
Keberhasilan proyek ini kemudian memicu pembangunan
sumur-sumur artesis tambahan di wilayah tersebut, yang
semakin memperkuat infrastruktur air bersih di kota

79
tersebut. Sumur-sumur artesis ini memainkan peran
penting dalam memenuhi kebutuhan air bersih penduduk
Batavia pada abad ke-19.
Layanan air di Jakarta pada masa colonial dibagi
menjadi dua periode, yaitu periode air sumur artesis
(1870-1920) dan periode jaringan mata air (1920-1945).
Pembuatan sumur artesis di Batavia dimulai pada 1873
oleh pemerintah pusat yang saat itu diduduki oleh Raad
van Indië (Dewan Hindia) untuk mengatasi masalah
kesehatan terkait kualitas air. Pada 1873-1876, pemerintah
colonial membangun tujuh sumur artesis yang
didistribusikan melalui hidran komunal disejumlah titik di
kota.

 Pembagunan Stasiun kereta api Jakarta Kota


(1870)

Nama Beos
pada julukan
stasiun ini
memiliki banyak
versi. Pertama,
nama Beos
mengacu pada
nama stasiun Batavia BOS Bataviasche Oosterspoorweg
Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia
Timur), yang berada pada lokasi yang sama sebelum
dibongkar. Perusahaan ini adalah sebuah perusahaan
80
kereta api swasta yang menghubungkan Batavia dengan
Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia
En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, yang
berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi
kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan
kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor),
Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan
lain-lain.
Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta
Kota ini, yakni Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia
Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19,
Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api.
Satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara)
yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah
Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan
milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij, dan merupakan terminus untuk
jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-
Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda
dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu
kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok belum
termasuk gemeente Batavia.

Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1887,


kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk direnovasi
menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini
dibangun, kereta-kereta api menggunakan stasiun Batavia

81
Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini
dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang.
Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan
secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara
peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan
penanaman kepala kerbau oleh Gubernur
Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa pada Hindia
Belanda pada 1926-1931.
Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama
seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, 8
September 1882, yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels.
Bersama teman-temannya seperti Hein von Essen dan F.
Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya
di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur
Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa dilihat dari
gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan
Merdeka Timur dan Rumah Sakit PELNI di Petamburan
yang keduanya di Jakarta serta Rumah Sakit Panti Rapih
di Yogyakarta.

Stasiun ini, pada zaman kolonial ada dua, yaitu Batavia


NIS (Batavia Noord) dan Batavia BOS (Batavia Zuid).
Setelah kedua stasiun tersebut dibeli oleh pemerintah
kolonial, perusahaan kereta api negara Staatsspoor en
Tramwegen, berencana untuk membangun stasiun besar
baru di atas lahan Stasiun Batavia BOS yang mulai ditutup
sejak tahun 1923. Sebagai gantinya, maka stasiun Batavia

82
Noord eks-NIS yang berjarak 200 meter ke arah Utara
sebagai stasiun utama untuk melayani penumpang.
Tahun 1926, stasiun eks-BOS mulai dibongkar.
Pembangunan ini adalah proyek dari pembangunan
gedung stasiun milik negara, maka Burgerlijke Openbare
Werken, (Departemen Pekerjaan Umum Hindia Belanda),
terlibat dalam pembangunannya.

Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang


dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni
perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu
dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan
balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini
terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai
dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan
terpendek menuju keindahan.

 Pembangunan Batas jalan kereta api Batavia-


Buitenzorg (1871)

Setelah Nederlands-
Indische Spoorweg
Maatschappij (NIS) berhasil
membangun jalur kereta api
Samarang-Tanggung, William
Poolman melalui NIS kembali
memperoleh izin membangun jalur kereta api dari Batavia
menuju Buitenzorg pada tanggal 27 Maret 1864. Izin
tersebut diberikan untuk membantu pengangkutan hasil
83
perkebunan di wilayah Priangan Barat ke Pelabuhan
Batavia. Secara politik jalur ini juga penting untuk
melancarkan hubungan administrasi pemerintahan.
Namun Pemerintah mengurungkan rencana tersebut
karena masih banyaknya pro dan kontra terkait
pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg.
Pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg baru
terealisasi pada tanggal 15 Oktober 1869 yang disaksikan
langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Mr. Pieter Mijer. Adapun pelaksana
pembangunan dipimpin oleh Ir. J.P. de Bordes yang juga
merupakan pelaksana pembangunan jalur kereta api
Samarang-Tanggung.

Awalnya, pembangunan jalur ini mengalami kendala


karena masalah keuangan. Pada saat itu, Menteri Urusan
Jajahan Belanda De Wall mengubah teknis penyesuaian
lebar sepur dari 1.435 mm menjadi 1.067 mm. Hal ini
sesuai dengan Keputusan Menteri Urusan Jajahan Belanda
tanggal 27 September 1869. Adanya perubahan lebar
sepur tersebut membuat anggaran pembangunan jalur
kereta api Batavia–Buitenzorg dapat ditekan oleh NIS.
Dengan kata lain, NIS dapat menghemat anggaran sebesar
ƒ 806.300,00 dari anggaran yang sebelumnya sudah
direncanakan, yakni sebesar ƒ 4.000.000,00.

84
Pekerjaan pertama dimulai dari 15 Oktober 1869
sampai Februari 1870 dimana selama kurun waktu itu jalur
sepanjang 7.590 m untuk bagian Kleine Boom, Meester
Cornelis sejauh 13.087 m, dan jalur sepanjang 18.730 m
untuk bagian Buitenzorg selesai dikerjakan. Pekerjaan
kedua baru bisa dilaksanakan pada Juni 1870 sampai Juni
1871, yaitu jalur di Buitenzorg sepanjang sekitar 9.270 m.
Selanjutnya, pada Juni 1871 hingga Januari 1873 barulah
seluruh proyek pembangunan jalur kereta api Batavia–
Buitenzorg selesai, termasuk segmen Weltevreden–
Meester Cornelis NIS, sampai ke Buitenzorg.
Di sepanjang lintasan Batavia–Buitenzorg, Pada
awalnya hanya terdiri dari 15 Stasiun. Stasiun Paling
pertama adalah Stasiun Kleine Boom, kemudian kereta
akan berhenti di Stasiun Batavia. Stasiun berikutnya
adalah Sawah
Besaar, Noordwijk, Weltevreden, Pegangsaan, Meester
Cornelis, Pasarminggoe, Lenteng Agong, Pondok
Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjileboet,
dan Buitenzorg.
Seiring perkembangan waktu, jumlah penduduk di kota
Batavia bertambah. NIS, Staatsspoorwegen (SS), dan
Jawatan Pekerjaan Umum Hindia Belanda turut
mengembangkan lintas perkeretaapian di kota Batavia.
Disamping itu, Stasiun-stasiun baru juga mulai dibangun
untuk menunjang transportasi publik masyarakat. Pada

85
tahun 1881, SS membangun ulang Stasiun Weltevreden di
tempat Stasiun Gambir kini berada, dan merombak
Stasiun Buitenzorg menjadi bangunan yang masih
bertahan sampai sekarang. Bangunan baru tersebut
diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1881 bersamaan
dengan dibukanya segmen Buitenzorg–Tjitjoeroeg dari
jalur kereta api Buitenzorg–Bandoeng–Bandjar–
Koetoardjo–Jogjakarta
Menjelang akhir abad ke-20, Stasiun Kleine Boom dan
Pelabuhan Batavia dinilai tidak layak untuk keperluan
bongkar muat barang. Sebagai gantinya, Pemerintah Kota
Batavia mulai membangun Pelabuhan baru yang terletak
di daerah Tandjongpriok. SS juga turut membangun jalur
kereta api dari Stasiun Batavia menuju Tandjongpriok.
Akibatnya, Stasiun Kleine Boom ditutup pada tahun 1891
dan jalurnya dibongkar pada tahun 1897.

 Pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok (1877)

Pembangunan
pelabuhan baru
dimulai pada tahun
1877 oleh Gubernur
Jenderal Johan
Wilhelm van
Lansberge (1875-
1881). Beberapa fasilitas dibangun untuk mendukung

86
fungsi pelabuhan baru, antara lain Stasiun Tanjung
Priok (1914).
Pelabuhan air modern terbesar se-Indonesia di Jakarta.
Dibangun untuk menggantikan pelabuhan lama yakni
Pasar Ikan yang dinilai sudah tidak memenuhi syarat lagi.
Lokasinya berjarak sekitar 9 km di sebelah timur dari
pelabuhan lama. Wilayahnya masuk dalam lingkup
administratif pemerintahan Kelurahan Tanjung Priok,
Kec. Tanjung Priok, wilayah Kotamadya Jakarta Utara.
Pelabuhan Tanjung Priok merupakan suatu pelabuhan laut
dalam yang pertama di mana kapal-kapal dapat bersandar,
memuat batubara dan diperbaiki di suatu dok yang kering.
Sebuah jalan kereta api juga dibuat untuk menghubungkan
Tanjung Priok dengan kota lama Batavia dan daerah baru
di selatan. Bermula dari kritik atas kelemahan fasilitas
pelabuhan lama di Batavia, Tanjung Priok sampai
sekarang tetap eksis sebagai pelabuhan penting bagi
Jakarta untuk lalu lintas kapal-kapal besar.
Sebelum menjadi areal pelabuhan, awalnya areal ini
merupakan tanah partikelir Tanjung Priok dan tanah
partikelir Kampung Kodya Tanjung Priok, yang dikuasai
oleh beberapa orang tuan tanah yaitu: Hana birtti Sech
Sleman Daud; Oeij Tek Tjiang; Said Alowie bin Abdulah
Atas; Ko Siong Thaij; Gouw Kimmirt; dan Pattan. Tanah
partikelir tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah
Hindia Belanda, lalu disewakan kepada maskapai

87
pelayaran Koninklijke Paketvaar Maatschappij (KPM)
guna pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan
Tanjung Priok. Tanah partikelir tersebut merupakan areal
kebun kelapa. Gagasan pembangunan Pelabuhan Tanjung
Priok dipelopori oleh kalangan swasta pemilik modal
(kaum kapitalis) di negri Belanda.
Kemudian KPM bermitra dengan Perusahaan Burn
Philip Lina, Rotterdamsche Loyd Ocean, Nederlandsche
Loyd Ocean. Selain itu juga meminta jaminan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk membantu dalam
pengendalian keamanan dan pengerahan tenaga buruh
pribumi. Pemerintah Hindia Belanda segera membatalkan
status tanah partikelir Kampung Kodya Tandjung Priok
dan tanah partikelir Tandjung Priok, kemudian disewakan
kepada KPM selama 75 tahun sejak tahun 1877.
Pemerintah Hindia Belanda juga menekan para bupati di
Jawa khususnya bupati-bupati di Banten dan Priangan
serta Jawa Tengah untuk mengirimkan rakyatnya bekerja
bagi pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok.

Pengerjaan Pelabuhan Tanjung Priok dimulai pada


bulan Mei 1877 dan selesai pada tahun 1886. Dimulai
dengan pembangunan Pelabuhan I setelah adanya
ketentuan bahwa kegiatan Pelabuhan Sunda Kelapa
dipindahkan ke Tanjung Priok. Perencana pelabuhan ini
adalah Ir.J.A.A. Waldrop, seorang insinyur yang berasal
dari Belanda sedangkan pelaksananya adalah Jr. J.A. de

88
Gelder dari Departement B.O.W., seorang Insinyur
Perairan. Dengan diresmikannya Pelabuhan Tanjung
Priok 1886, maka kegiatan pelabuhan utama Batavia yang
semula berada di Kali Ciliwung sekitar kasteel Batavia
dialihkan ke Pelabuhan Tanjung Priok, dan Pelabuhan
Kali Ciliwung tersebut, kemudian dikenal dengan nama
Pelabuhan Pasar Ikan. Selain membangun Pelabuhan
Tanjung Priok, KPM juga membangun Pelabuhan Teluk
Bayur-Padang (Port Van der Capellen) pada tahun 1886
dan Pelabuhan Belawan Deli tahun 1891. Pada awal
peresmiannya, hanya beberapa kapal bermesin uap dan
mayoritas adalah kapal-kapal layar. Memasuki abad ke-20
jumlah kapal bermesin uap meningkat menggantikan
kapal-kapal layar. Pada tahun 1912 sejalan dengan
perkembangan ekonomi yang pesat pelabuhan itu
dirasakan terlalu kecil maka dilakukan perluasan.

Pada tahun 1914 dimulai pembangunan Pelabuhan II.


Pemborong bangunannya adalah Volker. Tahun 1917
pembangunan selesai dengan panjang kade pelabuhan 100
meter dan kedalaman air 9,5 meter LWS, sedangkan
bendungan bagian luar diubah dan diperpanjang sedang
lebar kade 15 meter untuk double spoor kereta api dan
kran-kran listrik. Tahun 1917 dibangun juga tempat
penyimpanan batubara oleh NISHM serta tempat
penyediaan bahan bakar oleh BPM dan Shell.

89
Pelabuhan III mulai dibangun tahun 1921, tetapi
terhenti akibat Malaise. Kemudian dilanjutkan kembali
tahun 1929 dan selesai tahun 1932 dengan panjang kade
550 meter di sebelah barat. Pada masa pendudukan
Jepang, Pelabuhan Tanjung Priok dikuasai oleh Djawa
Unko Kaisya yang berada di bawah Kaigun (Angkatan
Laut Jepang). Kondisi pelabuhan sebagian rusak,
khususnya sengaja dirusak oleh Belanda yang menyerah
kepada Jepang (7 Maret 1942). Agar pelabuhan dapat
dioperasikan, Jepang mengerahkan tenaga Romusha untuk
memperbaiki pelabuhan. Seperti pengerukan alur,
pembersihan alur dari ranjau-ranjau yang sengaja
ditebarkan oleh Belanda. Selain alur pelabuhan, banyak
fasilitas lainnya yang rusak dan harus diperbaiki, seperti
gudang-gudang, dok, dermaga dan jalan.
Setelah kemerdekaan RI (17 Agustus 1945), Pelabuhan
Tanjung Priok diambil alih oleh bangsa
Indonesia/pemerintah RI melalui Badan Keamanan
Rakyat Laut Tanjung Priok bersama pejuang Indonesia
lainnya yang umumnya merupakan pekerja pada
Pelabuhan Tanjung Priok pada masa Kolonial Belanda
maupun masa Kolonial Jepang. Pada pertengahan
September 1945 Pelabuhan Tanjung Priok dikuasai oleh
pemerintah RI, namun beberapa minggu kemudian
dikendalikan oleh NICA yang membonceng pada Sekutu
29 September 1945. Pengendalian oleh NICA berlangsung
sampai tanggal 27 Desember 1949.

90
Setelah pengakuan kedaulatan RI (27 Desember 1949),
berdasarkan pasal perjanjian KMB (Konferensi Meja
Bundar) Pelabuhan Tanjung Priok harus dikembalikan
kepada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang
masih memiliki hak pengelolaan berdasarkan konsesi
selama 75 tahun sejak tahun 1877, yang berarti KPM
masih memiliki hak pengelolaan sampai tahun 1952. Pada
tahun 1952 pemerintah RI melakukan "Nasionalisasi" atas
Pelabuhan Tanjung Priok, pengelolaannya diserahkan
kepada Kementerian Perhubungan, Djawatan
Perhubungan Laut, sedangkan pelaksananya adalah Badan
Pengusahaan Pelabuhan (BPP).
Untuk pelaksanaan aktivitas pelabuhan, seluruh kapal
KPM diambil-alih lalu diserahkan kepada PN.Dok
Tanjung Priok. Fasilitas gudang, fasilitas dermaga, dan
fasilitas lainnya dikelola BPP yang melibatkan berbagai
instansi terkait seperti Djawatan Bea dan Cukai, Djawatan
Pengerukan, Djawatan Imigrasi, Komandan Militer Kota,
KPPP, KPLP dan lainnya. Untuk meningkatkan jasa
pelayanan pelabuhan, pemerintah RI melakukan
perbaikan atas fasilitas yang rusak akibat perang
kemerdekaan (1945-1949), juga melakukan pembangunan
fasilitas/ sarana/prasarana infrastruktur dalam rangka
menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan
utama Indonesia. Pada tahun 1955 diresmikan fasilitas
Pelabuhan Nusantara I dalam areal pelabuhan Tanjung
Priok.

91
Pelabuhan Tanjung Priok ditetapkan sebagai
Perusahaan Negara. Sistem organisasi kepelabuhan
diubah dengan penguasa tunggal di pelabuhan adalah
"Komandan Penguasa Pelabuhan" yang di dalamnya
tergabung Kesyahbandaran sebagai staf Operasi dan P.N.
Pelabuhan sebagai staf jasa. Tahun 1969 organisai P.N.
Pelabuhan lebih diarahkan pada segi Ekonomi dan
Perdagangan, sedang Penguasa Pelabuhan diubah menjadi
administrator pelabuhan selaku penanggung jawab umum
dan tinggal di pelabuhan di dalam organisasi Badan
Penguasa Pelabuhan (BPP) dengan dibantu oleh semacam
Penasihat yaitu Badan Musyawarah Pelabuhan (BMP)
sedangkan Adpel sendiri berada di bawah pengawasan
Kepala Daerah Pelayaran.
Pada tanggal 13 Januari 1971, terjadilah
penandatanganan perjanjian kerjasama Pelabuhan
Tanjung Priok dengan Priams (Amsterdam) dengan tukar
menukar data dan pendalaman sebagai bahan
perbandingan. Kemudian Presiden membentuk Team
Penertib Pelabuhan Tanjung Priok yang disebut
"Walisongo" yang mengadakan perbaikan-perbaikan di
pelabuhan.

Pada tahun 1974, Pembangunan Proyek Besar


Dermaga Pelabuhan III Timur dan Dermaga Pelabuhan I
Timur sebagai tambahan terbesar untuk fasilitas tempat di
pelabuhan. Selain itu dibuat juga Operation

92
Room BPP yang diresmikan pemakaiannya oleh Ketua
Team Walisongo Slamet Danudirdjo tanggal 5 Juli 1975
dengan mengibaratkan Tanjung Priok sebagai "Si Denok
Bandarwati". Motto tersebut bermakna "Hari esok
haruslah lebih baik dari hari ini karena hari ini telah lebih
baik dari hari kemarin". Dengan motto ini Pelabuhan
Tanjung Priok ditata dari hari ke hari tanpa mengenal
lelah. Si Denok Bandarwati yang telah mencapai usia
seabad ini telah mengubah wajahnya, mengubah
bentuknya menyesuaikan diri pada perkembangan masa
kini. Pelabuhan bisa mencapai keadaan seperti sekarang
ini adalah pula atas kerja sarna semua unsur di pelabuhan
mulai dari buruhnya sampai kepada Adpelnya, dari para
penguasanya sampai pada pengelolanya. Pada Upacara
peringatan 100 tahun, tercetus puisi persembahan untuk Si
Denok Bandarwati ciptaan Slamet Danudirdjo.

Pada tahun 1977, Pelabuhan Tanjung Priok mencapai


usia 100 tahun atau seabad, dalam rangka peringatan ini
diadakan "7 tahun Interport Sports Meet " dengan para
pesertanya dari Pelabuhan Singapura, Penang, Sabah,
Kuching, Bangkok, Rejang Johor, Manila, Kuantan,
Belawan dan Tanjung Perak. Puncak acara peringatan ini
berlangsung tanggal 17 Juni 1977 di mana secara resmi
Peringatan 100 tahun Pelabuhan Tanjung Priok dimulai.
Pada daerah tanjung priok terdapat daerah bernama
mambo atau yang di kenal dengan nama "mambo city"

93
yang berdiri sejak tahun 1876 dimana mambo city
merupakan wilayah red zone atau wilayah di takuti di
seluruh priok. Terdapat bangunan yang sangat autentik
dan sangat bersejarah di mambo city yang terletak pada
barat daya mambo city yang bernama "FIKAR HOUSE"
dimana bangunan ini merupakan kastil kediaman
pemimpin "VOC" Johan Wilhelm van Lansberge pada
zaman belanda. Bangunan ini masih berdiri sampai saat ini
"FIKAR HOUSE" sempat ingin di lestarikan oleh unesco
tetapi pemilik "FIKAR HOUSE" saat ini yaitu Ramdan
Van Persie panjaitan enggan untuk memberikan atau
menjual pada unesco, dan membuat unesco sempat merasa
kebingungan, bangunan ini terus mengalami peremajaan
sampai saat ini yang di lakukan kuli bernama Rezos
Pahlevo.

 Dermaga pertama dari perusahaan Dok kering


Hindia Belanda dibuka (1881)

Ibu kota Indonesia,


Jakarta, terletak di tepi
Laut Jawa. Dalam
sebagian besar
sejarahnya, 'pelabuhan
Jakarta' merupakan
tempat di laut di mana
kapal-kapal berlabuh, sehingga mereka dapat bongkar
muat melalui kapal-kapal yang lebih kecil. Hal ini berubah

94
ketika Pelabuhan Tanjung Priok (Belanda: Tandjong
Priok) yang baru dibangun dibuka pada tahun 1881–1883.
Di Tanjung Priok kapal bisa berlabuh di dermaga. Idenya
adalah ketika transloading yang mahal tidak lagi
diperlukan, posisi kompetitif Batavia akan diperkuat.
Tanjung Priok pada awalnya kurang memiliki fasilitas
perbaikan yang baik, terutama dermaga kering. Galangan
perbaikan kapal Nederlandsch Indische Droogdok
Maatschappij (NIDM) di dekat Pulau Amsterdam
memiliki Dermaga Volharding tetapi ini terlalu kecil
untuk sebagian besar kapal modern. Kombinasi dermaga
kecil dan sedikit lalu lintas membuat NIDM dilikuidasi
pada tahun 1884. Maatschappij tot Exploitatie van
Droogdokken en Scheepstimmerwerven di Nederlands-
Indië kemudian melanjutkan bisnisnya di Pulau
Amsterdam hingga tahun 1891. Sama seperti
pendahulunya, NIDM gagal mendapatkan konsesi. Untuk
mengeksploitasi dok kering di Tanjung Priok, dan
meninggalkan Pulau Amsterdam pada tahun 1893.

Yang diinginkan pemerintah Belanda adalah memiliki


dermaga kering modern di Tanjung Priok. Untuk itu
diperlukan modal baru agar masyarakat tidak berinvestasi
pada perusahaan yang sudah ada. Pada bulan Juni 1890
kemudian dilakukan kesepakatan yang berujung pada
pendirian Droogdok Maatschappij Tandjong Priok
(perusahaan dermaga kering Tanjung Priok). Salah satu

95
kesepakatannya adalah perusahaan ini akan menyewa
Onrust Dock seberat 3.000 ton. Ia juga akan menyewakan
dok silinder secara gratis. Dermaga kering baru berbobot
4.000 ton, yaitu Dermaga Tanjung Priok berbobot 4.000
ton akan dibangun di Belanda, dan kemudian disewakan
oleh perusahaan sebagai ganti dermaga berbobot 3.000
ton.

Perusahaan dermaga kering Tanjung Priok langsung


meraih kesuksesan. Dalam beberapa tahun pertama
perusahaan, Dermaga Onrust berbobot 3.000 ton cukup
sibuk. Setelah mulai menggunakan Dermaga Tanjung
Priok seberat 4.000 ton pada tahun 1896, lama kelamaan
dermaga ini memiliki lebih dari 365 hari merapat dalam
setahun. Pada tahun 1904 perusahaan mendapat slip paten
sebanyak 2.000 ton. Ketika perjanjian dengan pemerintah
harus dinegosiasi ulang pada tahun 1915, dukungan
pemerintah berakhir, dan dermaga seberat 4.000 ton itu
dibeli oleh perusahaan seharga 350.000 gulden.

 Pembangunan perusahaan telepon Hindia


Belanda di Batavia (1883)

Pada tahun 1875, kantor-


kantor pos dan telegraf di
Hindia Belanda digabung
untuk membentuk sebuah
lembaga dengan nama Post en
Telegraafdienst. Dua tahun
96
kemudian, lembaga ini telah menjadi anggota
dari Universal Postal Union (UPU). Pada tahun 1884, Post
en Telegraafdienst mulai menyediakan
layanan telepon.[9] Pada tahun 1906, nama lembaga ini
pun diubah menjadi Post, Telegraaf, en
Telefoondienst (PTT). Pada tahun 1923, kantor pusat PTT
dipindah dari Weltevreden, Jakarta ke Gedung
Departemen Badan Usaha Milik Negara Hindia
Belanda (Department van Gouvernementsbedrijven/GB)
di Bandung. Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 27
September 1945, Angkatan Muda PTT (AMPTT)
mengambil alih PTT. Pemerintah Indonesia kemudian
mengubah PTT menjadi sebuah jawatan dengan nama
Djawatan Pos, Telegrap, dan Telepon (PTT). Tanggal 27
September pun kini diperingati tiap tahun sebagai Hari
Bakti Postel.

Bekas kantor pusat Pos Indonesia di Jl. Cilaki,


Bandung. Gedung ini dibangun bersamaan dengan
pembangunan Gedung Sate

Pada tahun 1961, pemerintah mengubah Djawatan PTT


menjadi sebuah perusahaan negara (PN) dengan nama PN
Pos & Telekomunikasi (Postel). Pada tahun 1965,
pemerintah memisahkan bisnis telekomunikasi dari
perusahaan ini menjadi sebuah perusahaan tersendiri
dengan nama PN Telekomunikasi, sehingga nama
perusahaan ini juga diubah menjadi PN Pos & Giro dengan

97
bisnis di bidang pos dan jasa keuangan. Pada tahun 1978,
badan hukum perusahaan ini diubah menjadi perusahaan
umum (Perum). Pada tahun 1995, badan hukum
perusahaan ini kembali diubah menjadi persero dengan
nama PT Pos Indonesia (Persero).
Pada tahun 2000, perusahaan ini mendirikan Yayasan
Pendidikan Bhakti Pos Indonesia (YPBPI) untuk
menyelenggarakan perguruan tinggi. Setahun kemudian,
perusahaan ini juga mendirikan PT Bhakti Wasantara
Net untuk berbisnis di bidang internet. Pada tahun 2012,
perusahaan ini mendirikan PT Pos Logistik
Indonesia untuk berbisnis di bidang logistik. Setahun
kemudian, perusahaan
ini juga mendirikan
PT Pos Properti
Indonesia untuk
berbisnis di
bidang pengembangan
properti. Pada tahun
2019, perusahaan ini
mengubah nama PT Bhakti Wasantara Net menjadi
PT Pos Finansial Indonesia dan mengalihkan bisnis
perusahaan tersebut ke penyediaan teknologi pembayaran
digital.

98
 Pembangunan stasiun Tanjung Priok (1883)

Pada masa
lalu, Tanjung
Priok adalah
hutan dan
rawa yang
berbahaya
sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada
saat itu (kereta api). Pada akhir abad ke-19, pelabuhan
Jakarta yang semula berada di daerah sekitar Pasar Ikan
tidak lagi memadai, dan Belanda membangun fasilitas
pelabuhan baru di Tanjung Priok. Stasiun Tanjung Priuk
yang pertama terletak di dekat dermaga Pelabuhan
Tanjung Priok. Stasiun ini selesai dibangun
oleh Burgerlijke Openbare Werken pada 1883 dan baru
pada tahun 2 November 1885 diresmikan pembukaannya
bersamaan dengan pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok.
Selanjutnya, operasional jalur kereta api Sunda
Kelapa–Tanjung Priuk diserahkan
kepada Staatsspoorwegen (SS). Sampai dengan tahun
1900, dalam sehari tidak kurang dari 40 perjalanan kereta
api rute Tanjung Priuk–Batavia SS/NIS pp serta Tanjung
Priuk–Kemayoran pp

99
 Pembangunan stasiun Gambir (1884)

Stasiun ini
merupakan stasiun
kereta api yang
terletak di ruas
pertama jalur
kereta api
Batavia–
Buitenzorg yang
diresmikan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg
Maatschappij (NIS), yaitu ruas Batavia–Weltevreden.
Pada awalnya, stasiun ini diperkirakan merupakan stasiun
kecil (halte) yang diresmikan pada 15 September 1871,
bersamaan dengan pembukaan ruas pertama jalur
tersebut. Halte ini dulu sangat kecil dan sederhana.

Perhentian ini kemudian digantikan dengan Stasiun


Weltevreden yang lebih menetap, dibuka pada 4 Oktober
1884 di tempat Stasiun Gambir kini berada. Sampai tahun
1906, stasiun ini merupakan stasiun pemberangkatan
untuk tujuan Bandung dan Surabaya. Pada bangunan
stasiun ini mempunyai atap yang bertumpu pada bantalan
besi cor menurut rancangan Staatsspoorwegen (SS),
demikian keterangan pada tahun 1881. NIS hingga saat itu
tidak menempatkan atap-atap jenis tersebut,
sementara SS telah menempatkannya di beberapa tempat.
Pada tahun 1928, setelah pengambilalihan SS pada tahun

100
1913, stasiun tersebut diperbesar dan pada satu tahun
kemudian mengalami perubahan besar-besaran sehingga
memiliki gaya bangunan Art Deco. Atap penutup
diperpanjang pada tahun 1928 hingga ke
sisi utara sepanjang 55 meter. Pada 16 November 1937,
stasiun tersebut diresmikan sebagai Stasiun Batavia
Koningsplein dan nama stasiun pun kemudian diubah
menjadi Stasiun Gambir per tahun 1950.
Stasiun ini tidak mengalami perubahan bentuk
setelah kemerdekaan Indonesia hingga pada pertengahan
dasawarsa 1980-an.
Pada Februari 1988, bersamaan dengan pembangunan
jalur layang Jakarta Kota–Manggarai, stasiun lama yang
berlanggam Art Deco peninggalan Hindia
Belanda dibongkar dan diganti dengan bangunan baru
yang masih ada hingga saat ini. Pada 5 Juni
1992, Presiden Soeharto beserta ibu negara Siti
Hartinah dan jajaran pemerintahan meresmikan
Stasiun Gambir baru dengan menaiki KRL dari
Stasiun Gambir menuju Stasiun Jakarta Kota. Terdapat 4
jalur di Stasiun Gambir saat sudah menjadi jalur layang,
dan bangunan stasiun ini sepenuhnya modern dengan
sentuhan panel berwarna hijau pupus yang sampai hari ini
masih dipertahankan. Warna cat tidak mengalami
perubahan, hanya tiang peron saja yang mengalami
pewarnaan ulang menjadi hijau lumut. Proyek ini telah

101
menghabiskan dana sebesar Rp432,5 miliar rupiah dan
belum sepenuhnya selesai pada saat diresmikan, hingga
akhirnya bisa beroperasi penuh setahun kemudian. Setelah
pembangunan stasiun layang selesai, jalur kereta di bawah
mulai dicabut dan kawasan yang pada awalnya merupakan
emplasemen Stasiun Gambir lama sudah beralih menjadi
halaman parkir mobil mulai tahun 1994.

 Pembangunan Laboratorium dan Bakteri (1888)

Pada tahun 1888, pemerintah Hindia


Belanda mendirikan Geneeskundig Laboratorium (bahasa
Inggris: The Central Laboratory of Public Health Service,
bahasa Indonesia:
Laboratorium Pusat
Pelayanan Kesehatan
Masyarakat)
di Batavia. Christiaan
Eijkman ditunjuk
sebagai direktur pertama
dan menjabat sejak 15
Januari 1888 hingga 4
Maret 1896.

Pada tahun 1938, bertepatan dengan peringatan 50


tahun berdirinya institusi ini, nama Lembaga Eijkman
mulai digunakan sebagai bentuk penghargaan
terhadap Christiaan Eijkman. Christiaan Eijkman
meraih hadiah Nobel di bidang kedokteran pada
102
tahun 1929 atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri
yang disebabkan oleh kekurangan senyawa yang terdapat
pada kulit beras, sebuah konsep yang menjadi cikal-bakal
penemuan vitamin.

Sejak tahun 1938, Lembaga Eijkman dipimpin


oleh Prof. Dr. Achmad Mochtar hingga kematiannya pada
tahun 1945 akibat hukuman pancung oleh
tentara Jepang untuk menyelamatkan peneliti-peneliti di
institusinya yang dituduh mencemari vaksin tetanus. Dr.
Achmad Mochtar adalah orang Indonesia pertama yang
menjabat posisi sebagai direktur Lembaga Eijkman.
Batavia-Surabaya berhubung dengan pembukaan
bagian jalan kereta api Tasikmalaya-Maos (1894)

Batavia – Surabaya kemudian terhubung dengan


jaringan kereta api sejak November 1894. Adapun kota-
kota yang dilewati jalur antara Batavia – Surabaya berada
di sebelah selatan Jawa. Dari Batavia, kereta api harus
melewati Buitenzorg, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya,
Maos, kemudian Yogyakarta, Madiun, dan Surabaya.

103
Pemerintah membangun jalur dari dari Batavia dengan
melewati kota-kota tersebut karena banyaknya jumlah
penduduk yang berpotensi menjadi penumpang dan
daerahnya yang subur.

Melalui jalur ini, Batavia – Surabaya ditempuh dalam


waktu dua hari. Perjalanan membutuhkan waktu dua hari
karena saat hari mulai gelap, kereta api diharuskan untuk
berhenti di Stasiun Maos dan baru bisa melanjutkan
perjalanan di keesokan harinya seperti yang ditulis dalam
buku panduan wisata di Hindia Belanda yang diterbitkan
Vereeniging Toeristenverkeer, Java the Wonderland
(1900).

 Pengoperasian kereta api elektrik (1899)

Pada 10 April 1899,


Batavia kedatangan
transportasi umum
massal yang baru
berupa trem bertenaga
listrik. Armada trem
listrik didatangkan
langsung dari pabrik Dyle et Bacalan, Belgia.

Saat itu Batavia Elektrische Tram


Maatschappij (BETM) merupakan operatornya. Acara
peresmian diadakan di belakang Bataviasche Planten En
Dierentuin atau Kebun Binatang Batavia yang berlokasi di

104
Cikini, Menteng. Di tempat itu juga telah didirikan depo
trem BETM yang dilengkapi bangunan bengkel dan ruang
mesin pembangkit tenaga listrik.
Jejaring lintasan rel trem listrik di Batavia pada 1900
meliputi Harmoni, Tanah Abang, Menteng, Kramat, Pasar
Senen, Pintu Besi, dan Stasiun Batavia. Trem listrik secara
tak langsung bersaing dengan perusahaan trem
uap Nederlandsch Indische Tramway
Maatschappij (NITM) yang sudah berdiri sejak 1880-an.
Disebut bersaing secara tak langsung karena NITM
memiliki trayek yang berbeda yakni menghubungkan
wilayah Benedenstad (Kota Bawah/Kota Tua), Bovenstad
(Kota Atas/Weltevreden), sampai pinggir kota Batavia,
Meester Cornelis (Jatinegara).
Peningkatan jalur trem Batavia terus dilakukan dengan
mengganti trem uap jadi trem listrik pada tahun 1899.
Jalurnya mencapai 14 km pada 1909. Trem listrik
dioperasikan oleh perusahaan yang berbeda dengan trem
uap, yaitu Batavia Elektrische Tramweg Maatschappij
(BETM). Kedua perusahaan trem uap dan trem listrik
kelak bergabung pada tanggal 31 Juli 1930 sebagai
Batavia Verkeers-Maatschappij (BVM).

105
 Peresmian Gereja Katedral (1901)

Gereja Katedral Jakarta, atau


bernama resmi Gereja Santa
Maria Diangkat ke
Surga (Belanda: De Kerk van
Onze Lieve Vrouwe ten
Hemelopneming; bahasa
Inggris: The Church of Our Lady
of the Assumption) adalah
sebuah gereja katedral Katolik yang terletak di Jakarta
Pusat, Jakarta, ibu kota Indonesia. Gedung gereja ini
diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan
arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang
sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja
beberapa abad yang lalu.

Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh


Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya
dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan
ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika
Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian
diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh
Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik
Jakarta.
Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya
bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena
Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun
106
pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180
rumah penduduk di sekitarnya saat terjadi kebakaran
besar. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890, Gereja itu pun
sempat roboh oleh masalah struktur sehingga harus
dilakukan renovasi. Arsitektur bangunan gereja yang
sekarang sangat mirip dengan Gereja Sint-Petrus-en-
Pauluskerk, Oostende, Belgia.

 Pengoperasian pasar Gambir (1906)

Pada tahun 1906,


jumlah pengunjung
kegiatan ini tercatat
mencapai 75.000 orang
dari dalam dan luar
Batavia. Harga karcis
untuk pribumi adalah 10
sen, sedangkan untuk orang Belanda sebesar 25
sen. Menurut surat kabar "Bataviaasch Nieuwsblad" pada
23 September 1921, laba bersih yang didapat dari
penyelenggaraan Pasar Gambir adalah 18.848.38 Gulden
dengan jumlah pengunjung 334.985 orang.
Salah satu hal yang menjadi daya tarik Pasar Gambir
adalah pintu gerbang selalu dirancang dengan meniru
berbagai bangunan khas Indonesia yang setiap tahun

107
selalu berbeda-beda. Kota
Praja mengumpulkan satu tim
insinyur yang bertugas
menentukan tema pintu masuk
dan membangunnya sesuai,
beberapa rancangan yang
telah dibuat adalah Pura dari
Bali dan rumah Gadang.
Setiap pembukaan,
penutupan, dan tepat pada hari
ulang tahun Ratu,
penyelenggara Pasar Gambir selalu menyalakan kembang
api. Produk kembang api yang digunakan berasal dari
pabrik Gorz di Krukut dan Lauw Kang Boen di kawasan
Angke.
Sejak awal diadakan hingga tahun 1930-an, Pasar
Gambir hanya menyediakan hiburan saja. Stand terbuka
yang diadakan di pasar ini memuat foto-foto Perang
Waterloo, permainan lotre, permainan konel, dan layar
tancap yang berisi film Charlie Chaplin yang semuanya
tidak dipungut biaya. Sedangkan stand tertutup yang
dikenakan biaya masuk 10 sen, berisi pertunjukan sulap
Schand, motor dalam keranjang, tong setan, aksi manusia
dibakal, Alxoha Hawai, dan Dancing Hall. Pada tahun
1923, pertunjukan Karapan Sapi dari Madura juga
diadakan di Pasar Gambir.

108
Dalam perkembangannya, beberapa lembaga
pemerintahan memamerkan hasil penggalian minyak dan
tanaman khas Indonesia dalam Pasar Gambir. Selain itu,
Balai Pustaka ikut memamerkan buku bacaan serta
pelajaran. Pada tahun 1937, kesenian rakyat seperti tarian
doger, wayang wong, dan ketoprak serta
perlombaan keroncong, dansa, paduan
suara, kasti, layang-layang, panjat pohon pinang, dan
sepak bola ikut ditampilkan dalam perayaan tahunan ini.

 Pembangunan stasiun Jatinegara (1909)

Bangunan eksisting
Stasiun Jatinegara mulai
beroperasi pada tanggal
15 Oktober 1909 dan
diperkirakan dirancang
oleh arsitek Ir. S. Snuyf,
kepala sementara Biro
Perancang Departemen Pekerjaan Umum. Kota Meester
Cornelis yang terletak di kedua sisi Sungai
Ciliwung merupakan kotapraja yang mandiri sejak tahun
1935. Pada mulanya stasiun ini dinamakan Rawa Bangke,
sebutan untuk rawa-rawa yang terletak di dekatnya, yang
tampaknya juga memisahkan stasiun NIS Meester
Cornelis dan seberang sungai. Stasiun Meester Cornelis
BOS, yang beroperasi sejak hari-hari pertama jalur kereta
api Batavia–Bekasi pada 1887, terletak lebih ke arah barat

109
dan masih sempat berfungsi sebagai kantor dinas selama
beberapa waktu.
Sang arsitek S. Snuyf mulanya bermaksud untuk
membangun stasiun yang besar untuk persinggahan kereta
api menuju Bandung. Harapannya adalah bahwa
penumpang dari Weltevreden akan memilih stasiun ini
daripada Stasiun Kemayoran, yang ketika itu adalah
stasiun SS yang paling utama, tetapi tidak bersifat
permanen. Pengambilalihan jalur NIS ke Bogor, yang
sedianya dibatalkan, tetapi masih memungkinkan
perbaikan struktural dan tetap dipertahankan, sehingga
rencana tersebut tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Walau begitu, kebutuhan akan suatu stasiun yang luas
masih dirasakan karena Meester akan menjadi stasiun
penghubung yang penting sebagai rangkaian yang baru ke
Stasiun Weltevreden dan jalur yang ada ke Tanjung Priok
melalui Pasar Senen.[9] Perluasan Kota Batavia tetap
mengarah terus ke Meester Cornelis. Stasiun baru ini
dalam perencanaan diusahakan memiliki ciri pedesaan
Belanda, tetapi juga disesuaikan untuk daerah tropis.
Tampaknya usaha itu membuahkan hasil.

110
 Pembangunan Bursa Efek Jakarta (1912)

BEJ berawal dengan dibukanya sebuah bursa saham


oleh pemerintah Hindia
Belanda pada 1912 di Batavia dengan nama Amsterdamse
Effectenbeurs sebagai Filiaal. Setelah sempat tutup
beberapa kali karena terjadinya perang, BEJ kembali
dibuka pada 1977 di bawah pengawasan Bapepam.
Pada 13 Juli 1992, BEJ diprivatisasi dengan
dibentuknya PT. Bursa Efek
Jakarta. Kemudian pada 1995,
perdagangan elektronik di
BEJ dimulai.

Setelah sempat jatuh ke


sekitar 300 poin pada saat-saat
krisis, BEJ mencatat rekor
tertinggi baru pada awal
tahun 2006 setelah mencapai
level 1.500 poin berkat adanya sentimen positif dari
dilantiknya presiden baru, Susilo Bambang Yudhoyono.
Peningkatan pada tahun 2004 ini sekaligus membuat BEJ
menjadi salah satu bursa saham dengan kinerja terbaik
di Asia pada tahun tersebut.
Pada tahun 2007 BEJ melakukan merger dengan Bursa
Efek Surabaya dan berganti nama menjadi Bursa Efek

111
Indonesia. Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya
memilki satu pasar modal.

 Pembangunan saluran Kanal Banjir Barat (1913)

Pembangunan saluran Kanal Banjir Barat (KBB), yang


pada era BOW disebut
Kanal Banjir Kali
Malang, ini dimulai
tahun 1913. Kanal
Banjir Kali Malang
pada awalnya dimulai
dari Matraman sampai
Karet. Usulan penggalian Kanal Banjir Kali Malang
tersebut diajukan oleh van Breen didasarkan pada hasil
penelitian terhadap sungai-sungai di Batavia. Proyek
Kanal Banjir Kali Malang dimulai dari Ciliwung dengan
titik awal penggalian di Matraman dan kemudian dari
Karet akan diteruskan ke Kali Angke melalui Kanal
Krukut yang telah ada. Saluran kolektor tersebut akan
menampung luapan air dari Ciliwung, Sungai Krukut, dan
Sungai Cideng yang kemudian akan dialirkan ke laut.
Tujuan pembuatan kanal ini adalah untuk melindungi area
Batavia, Menteng, Gambir, Senen, Harmoni, Kota, Pasar
Ikan, dan Priok.
Proyek penggalian Kanal Banjir Kali Malang
sepanjang 4,5 km seluruhnya dikerjakan dengan
tangan. Kedalaman kanal tersebut bervariasi antara 4
112
meter sampai 12 meter, dengan kemiringan juga bervariasi
antara1 meter sampai 1,5 meter dan lebar dasar kanal
antara 13,5 meter sampai 16 meter. Proyek pembangunan
kanal banjir dari Matraman sampai Karet ini selesai pada
tahun 1915.
Setelah proyek pembangunan kanal banjir dari
Matraman ke Karet selesai, van Breen mengusulkan untuk
meneruskan proyek kanal banjir tersebut dari Karet
sampai Muara Karang. Pada tanggal 1 November 1915,
Gubernur Jenderal menyetujui rencana yang diajukan oleh
van Breen untuk menlanjutkan proyek kanal banjir tahap
II dari Karet sampai ke laut di Muara Angke. Proyek Kanal
Banjir Tahap II ini selesai pada tahun 1919.

 Pembangunan perusahaan daerah air minum


(1918)

Pada tahun 1905


terbentuklah Pemerintah
Kota Batavia dan pada
tahun 1918 Ditemukan
sumber mata air Ciburial
di daerah Ciomas Bogor
oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan kapasitas 484
l/dt. Dan tahun berdirinya Gementeestaat-waterleidengen
van Batavia.

113
Pada tanggal 23 Desember 1922 untuk pertama kalinya
air yang berasal dari Ciburial Bogor dialirkan ke kota
Batavia (Jakarta), dan pada tanggal tersebut dijadikan
sebagai hari jadi PAM JAYA.

Pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda dengan


nama Water Leideng Bedryf berada di Babakan
Tangerang mendirikan Perusahaan yang bergerak
dibidang Air Minum adalah salah satu perusahaan daerah
yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang yang
saat ini Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kerta Raharja
(PDAM TKR).

 Penemuan Masjid Cut Mutiah (1922)

Bangunan ini diprakarsai


pada tahun 1922 sebagai
N.V. (Naamloze
vennootschap) Bouwploeg,
sebuah firma pengembang
properti/arsitektur Belanda
milik Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879-1955). Firma
ini merencanakan dan mengembangkan area perumahan di
dekatnya, yaitu Gondangdia. Setelah itu, bangunan ini
digunakan sebagai departemen air minum.
Pada masa berikutnya, gedung ini digunakan untuk
berbagai fungsi seperti kantor pos dan kantor perusahaan
kereta api. Dari tahun 1959 hingga 1960, gedung ini

114
digunakan sebagai kantor walikota Jakarta Pusat.
Kemudian gedung ini digunakan sebagai kantor
Perusahaan Air Minum, Kantor Dinas Urusan Perumahan
Jakarta, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS).
Dari tahun 1964-1970, gedung ini digunakan sebagai
Kantor Departemen Dalam Negeri dan Agama (1964-
1970).

Setelah masa jabatan Ali Sadikin sebagai Gubernur


Jakarta, bangunan ini dialihfungsikan sebagai masjid
provinsi pada tanggal 18 Agustus 1987 berdasarkan SK
Gubernur No. 5184/1987.

115
TAHUN 1923-2023

 1928 – Masa Kolonial Belanda dan Pendudukan


Jepang

A. Pusat Pemerintahan
Pada masa
kolonial Hindia
Belanda,
kepemimpinan
umumnya
dipegang oleh
pejabat-pejabat
Belanda yang diangkat dari tanah air mereka. Gubernur-
Jenderal, yang diangkat oleh Pemerintah Belanda,
merupakan pemimpin tertinggi di Hindia Belanda. Para
pejabat kolonial ini memiliki kendali atas aspek militer,
ekonomi, dan administratif. Struktur administratifnya
mencakup tingkat pemerintahan yang hierarkis dengan
berbagai tingkatan, seperti residen, bupati, dan camat.
Kepemimpinan kolonial cenderung otoriter, dengan
kontrol yang ketat dari pihak Belanda terhadap penduduk
pribumi. Kebijakan ekonomi yang merugikan dan praktik
monopoli memperkuat dominasi Belanda. Selain itu,
sistem tanam paksa (cultuurstelsel) memaksa penduduk
setempat untuk menanam komoditas tertentu, seperti kopi

116
atau tembakau, yang kemudian dijual untuk kepentingan
Belanda. Penduduk pribumi tidak memiliki banyak hak
politik atau partisipasi dalam pemerintahan, dan
penindasan serta eksploitasi menjadi ciri khas rezim
kolonial pada masa itu.

B. Pembangunan Infrastruktur
Tugu Proklamasi:

Tugu Proklamasi didirikan untuk memperingati dan


menghormati momen penting dalam sejarah Indonesia,
yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Tugu ini menjadi simbol kemerdekaan dan kebangkitan
nasional. Lokasinya di Jakarta, dekat dengan tempat
dimana Proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta, menambah makna historisnya.

117
Museum Nasional:
Museum Nasional, atau
lebih dikenal sebagai
Museum Gajah, didirikan
untuk melestarikan dan
menampilkan kekayaan
budaya dan sejarah

Indonesia. Museum ini berfungsi sebagai tempat


penyimpanan koleksi arkeologi, etnografi, numismatik,
dan benda-benda bersejarah lainnya. Tujuannya adalah
untuk memberikan pemahaman mendalam tentang
keberagaman budaya dan sejarah Indonesia kepada
masyarakat dan pengunjung.

Keduanya menjadi bagian integral dari warisan arsitektur


dan sejarah kota, mengingatkan generasi saat ini dan yang
akan datang akan perjuangan dan pencapaian yang
membangun dasar negara Indonesia.

C. Pendidikan

118
Setelah perginya kolonial, Universitas Indonesia (UI)
tetap tumbuh sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan
dampak positif pada intelektualitas masyarakat:

 Kemerdekaan Akademik: UI dapat mengembangkan


kurikulum secara mandiri setelah kemerdekaan,
mencakup beragam bidang studi.
 Pentingnya Pendidikan Pasca-Kolonial: Pendidikan
tinggi di UI dianggap kunci untuk membangun bangsa
yang merdeka dan modern, fokus pada pembangunan
intelektualitas masyarakat.
 Pusat Kajian Lokal: UI menjadi pusat kajian lokal,
memahami dan memecahkan masalah khusus
masyarakat Indonesia.
 Dukungan Pemerintah: Pemerintah mendukung
pengembangan UI sebagai lembaga unggul,
mendorong inovasi, dan pengembangan sumber daya
manusia.
 Kontribusi Terhadap Pembangunan Nasional: UI
berperan aktif dalam kontribusi pada pembangunan
nasional melalui penelitian, inovasi, dan
pengembangan sumber daya manusia.

119
D. 1945 - Masa Perang Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan
Jakarta, sebagai saksi
proklamasi kemerdekaan
Indonesia di daerah Menteng
pada tanggal 17 Agustus 1945,
menandai awal perjuangan
menuju kedaulatan. Kota ini juga menjadi saksi berbagai
momen bersejarah bangsa Indonesia, mencakup peristiwa-
peristiwa penting dalam perjalanan sejarah nasional.

Pusat Perjuangan

Jakarta memainkan peran sentral dalam perjuangan


merebut kemerdekaan Indonesia, mengukuhkan posisinya
dalam sejarah nasional dengan beberapa cara:

 Pusat Koordinasi Perjuangan: Jakarta berfungsi


sebagai pusat koordinasi perjuangan nasional. Banyak
organisasi perjuangan kemerdekaan, seperti Badan

120
Keamanan Rakyat (BKR) dan Badan Perjuangan
Rakyat (BPR), berkantor di Jakarta untuk menyatukan
upaya dalam merebut kemerdekaan.
 Peristiwa Bersiap-siap: Jakarta menjadi saksi
peristiwa bersiap-siap menjelang kemerdekaan, di
mana rakyat bersiap menghadapi pasukan
pendudukan dan menggalang semangat perlawanan.
 Pusat Pemerintahan Republik: Setelah kemerdekaan,
Jakarta menjadi pusat pemerintahan Republik
Indonesia. Faktor ini mengukuhkan peran Jakarta
sebagai ibu kota dan pusat administrasi nasional.

Melalui peristiwa-peristiwa ini, Jakarta bukan hanya


menjadi saksi sejarah kemerdekaan, tetapi juga pusat
perjuangan dan pengambilan keputusan yang membentuk
fondasi negara Indonesia modern. Posisinya sebagai ibu
kota terus mengukuhkan peran sentralnya dalam sejarah
dan perkembangan bangsa.

121
E. 1950 – Pembangunan Kota Modern
Monas (Monumen
Nasional)
Monas resmi dibangun pada
17 Agustus 1961 dan mulai
dibuka untuk umum pada
tanggal 12 Juli 1975. Monas
(Monumen Nasional) di
Jakarta tidak hanya menjadi
landmark kota yang
membanggakan, tetapi juga
simbol kemerdekaan
dengan beberapa alasan:

 Pencakar Langit
Ikonik: Dengan tinggi sekitar 132 meter, Monas
menjadi salah satu pencakar langit ikonik Jakarta.
Struktur Monas yang elegan dan mencolok
membuatnya menjadi daya tarik visual yang
membanggakan.
 Simbol Kemerdekaan: Monas didirikan untuk
memperingati perjuangan dan kemerdekaan
Indonesia. Tugu ini mencerminkan semangat
perjuangan nasional dan peneguhan kemerdekaan
setelah masa penjajahan.
 Lokasi Strategis: Terletak di pusat Jakarta, Monas
menjadi pusat perhatian dan menjadi landmark
122
penting yang melambangkan kedaulatan dan
kemerdekaan Indonesia.
 Museum Nasional: Di dasar Monas, terdapat Museum
Nasional yang menyajikan koleksi-koleksi
bersejarah, menyediakan wawasan lebih dalam
tentang perjuangan kemerdekaan dan sejarah bangsa.
 Tempat Peringatan dan Upacara: Monas sering
digunakan sebagai tempat upacara dan peringatan
nasional. Acara-acara seperti peringatan Hari
Kemerdekaan, pengibaran bendera, dan kegiatan
nasional lainnya secara rutin diadakan di sana.
 Rekreasi Publik: Area sekitar Monas juga
menyediakan ruang rekreasi bagi masyarakat, dengan
taman dan lapangan yang sering digunakan untuk
kegiatan olahraga dan kegiatan keluarga.
 Melalui kehadirannya yang mencolok dan makna
simbolisnya, Monas tidak hanya menjadi landmark
yang membanggakan bagi warga Jakarta, tetapi juga
menyatukan dan membangkitkan rasa nasionalisme
dengan menjadi simbol kemerdekaan Indonesia.

Seni dan Kebudayaan

123
Seni dan Kebudayaan Betawi Tahun 1950’an – Musik
Tradisional adalah musik yang berkembang secara
tradisional di kalangan suku-suku tertentu. Seperti pada
etnik lain, seni musik tradisional pada masyarakat Betawi
pun hidup dan berkembang serta diwariskan dari generasi
satu ke generasi berikutnya.
Tonil Samrah merupakan pengembangan dari teater
bangsawan dan komedi stambul. Ia sudah muncul di
Betawi sekitar tahun 1918. Tonil Samrah termasuk
kesenian yang komplit: musik, pantun, tari, lawak, dan
lakon.
Pada awalnya, seluruh pemain Tonil Samrah umumnya
laki-laki. Karena kesenian ini memegang prinsip agama
Islam, yang melarang campur baurnya lelaki dan
perempuan dalam satu kegiatan.
Pada tahun 1940-an, khususnya pada masa pendudukan
Jepang, Tonil Samrah mengalami paceklik. Baru pada
tahun 1950-an tonil ini muncul kembali, tetapi namanya
menjadi Orkes Harmonium. Tonil Samrah sesudah
kemerdekaan ini ditata lebih rapi dan dikemas seperti
halnya persiapan pementasan teater. Pemain perempuan
sudah diperbolehkan ikut meramaikan pementasan.

Pada tahun 1950-an orkes Tanjidor melakukan


pertunjukan ngamen, khususnya pada Tahun Baru Masehi
dan Tahun Baru Cina (Imlek). Dengan bertelanjang kaki

124
atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah.
Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elit, seperti :
Menteng, Salemba, Kebayoran Baru, yang merupakan
daerah pemukiman orang Belanda. Atau mereka ke daerah
lain yang penduduknya memeriahkan Tahun Baru. Pada
Tahun Baru Cina biasanya Tanjidor ngamen lebih lama.
Karena Tahun Baru Cina dirayakan sampai perayaan Cap
Gomeh, yang dirayakan pada hari ke-15 setelah Imlek.

Perkembangan dan Pergeseran Lenong Betawi


Tahun 1950-an, lenong mulai dijauhi penonton. Dalam
kajian Dinamika Kesenian Lenong Betawi 1970-1990
(Ary Setyaningrum, 2011) disebutkan, waktu itu sudah
banyak orang bekerja di kantor. Akibatnya, kian banyak
orang tidak punya cukup waktu menonton lenong
semalam suntuk. Ditambah lagi tanah lapang semakin
berkurang karena tingginya arus urbanisasi. Masyarakat
juga lebih memilih pertunjukan layar tancap sebab
biayanya lebih murah.

Orkes Melayu dan Dangdut dari Betawi


Sekitar awal tahun 1950-an merupakan masa peralihan
dari lagu-lagu berirama Orkes Melayu Deli ke lagu-lagu
yang bertemakan tentang cinta. Terbukti dengan
munculnya Orkes Gumarang pimpinan Asbon, yang
membawakakan lagu-lagu Melayu berirama Minang.
Berikutnya juga mulai bermunculan musisi gambus

125
terkenal di Pekojan Jakarta Barat dengan mendirikan
Orkes Melayu Kenangan dibawah pimpinan Husein Aidit.
Orkes-orkes Melayu lainnya mulai bermunculan
seperti Orkes Melayu Sinar Medan di bawah pimpinan
Umar Fauzi Aseran, Sawah Besar, juga ada musik melayu
Bukit siguntang pimp. A.Halik. Jakarta.
Kemunculan OM tersebut bersamaan dengan
memudarnya lagu-lagu Melayu Deli. Namun, saat itu,
seorang anak Betawi keturunan Cina, yang ikut ngkong
(kakek)-nya ke Medan, berhasil menciptakan puluhan lagu
Melayu. Nama penyanyi dan pencipta tersebut adalah Lily
Suhairy yang lagunya ‘Bunga Tanjung’ hingga kini
terkenal di Malaysia dan Singapura.

126
F. 1960 – Pembangunan Infrastruktur dan
Modernisasi
1. Gedung-Gedung Ikonik

a. Masjid Istiqlal

Masid Istiqlal
merupakan masjid
terbesar di Indonesia
hingga saat ini. Masjid ini
memiliki luas bangunan
hingga 24.20 meter
persegi dan berdiri diatas
tanah seluas 98.247 meter persegi. Masjid ini dikenal
sebagai salah satu ikon ibu kota Jakarta, yang lokasinya
berseberangan dengan Gereja Katedral dan Gereja
Imanuel. Dalam sejarah Islam di Indonesia, Masjid Istiqlal
menjadi sebuah bangunan yang memiliki berbagai nilai
penting, seperti nilai ilmu pengetahuan, pendidikan, dan
keagamaan.
Masjid ini menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara
dan masjid terbesar keenam di dunia dalam hal kapasitas
jamaah. Masjid ini dibangun untuk memperingati
kemerdekaan Indonesia, masjid nasional Indonesia ini
diberi nama “Istiqlal”, kata bahasa Arab untuk
“kemerdekaan”. Mengutip laman Istiqlal.or.id, Masjid

127
Istiqlal dibangun pada 1951 yang digagas oleh presiden
pertama Indonesia, Soekarno. Ide awal pembangunan
Masjid Istiqlal sebenarnya sudah muncul sejak 1944
dalam sebuah pertempuan sejumlah ulama dan pimpinan
organisasi serta para tokoh Islam yang berada di
Pegangsaan Timur, Jakarta.
Para ulama dan tokoh-tokoh Islam menghendaki agar
dibangun sebuah masjid agung di Kota Jakarta yang sudah
lama diinginkan umat Islam. Soekarno menyebut
pembangunan masjid ini dengan nama Masjid Jami’ yang
berarti masjid agung.Setelah mendengar permintaan
tersebut, Soekarno menanyakan kepada para ulama
mengenai biaya yang sudah mereka siapkan untuk
membangun Masjid Istiqlal. Mereka pun mengatakan bisa
menjamin pendanaan sebesar Rp 500 ribu dari hasil
patungan.

Soekarno menganggap dana tersebut tidak cukup


karena dia ingin Masjid Istiqlal dibangun dengan megah
dan kokoh. Para ulama pun mencoba meyakinkan
Soekarno bahwa dana tersebut cukup. Terlebih, banyak
umat Islam yang juga bersedia membantu dengan
menyumbangkan kayu, bahan bangunan, kapur, dan
genteng. Begitu mendengar kata kayu dan genteng,
Soekarno semakin yakin untuk menunda proses
pembangunan masjid agung. Soekarno kemudian meminta
agar para ulama dan tokoh Islam bersabar lebih dahulu.

128
Soekarno kemudian menjelaskan supaya Masjid
Istiqlal dibangun dengan tujuan bisa bertahan dalam waktu
lama, sehingga dibutuhkan bahan material yang jauh lebih
bagus. Oleh sebab itu, Soekarno mengatakan bahwa
Masjid Jami’ harus dibangun dari kerangka besi, beton,
pintu dari perunggu, dan lantai dari batu pualam supaya
dapat bertahan selama seribu tahun.

Penentuan Lokasi Masjid Istiqlal


Lokasi pendirian Masjid Istiqlal sempat menuai pro dan
kontra antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Presiden Soekarno ingin Masjid
Istiqlal dibangun di atas tanah bekas benteng Belanda
Frederick.

Benteng itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Van den


Bosch pada 1834, yang berada di Jalan Perwira, Jalan
Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran.
Sementara itu, Mohammad Hatta menyarankan agar
Masjid Istiqlal dibangun di tengah-tengah umatnya, yaitu
di Jalan Thamrin yang kala itu dikelilingi oleh kampung-
kampung.
Selain itu, Mohammad Hatta juga menganggap
pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan
biaya besar. Pada akhirnya, Presiden Soekarno
memutuskan membangun Masjid Istiqlal di lahan bekas
benteng Belanda. Sebab, tepat di seberang lokasi itu sudah

129
berdiri Gereja Katedral, sehingga dapat menggambarkan
kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di
Indonesia.

Sejarah Pembangunan Masjid Istiqlal


Arsitektur Masjid Istiqlal dirancang oleh Friedrich
Silaban. Pencanangan tiang pertama Masjid Istiqlal
dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961,
bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
disaksikan oleh ribuan umat Islam. Ketika proses
pencanangan berlangsung, Soekarno yakin bahwa Masjid
Istiqlal akan menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara dan
mengalahkan masjid-masjid besar dari negara lain.
Sayangnya, proses pembangunan masjid tidak berjalan
dengan lancar.
Sejak direncakan pada 1950 hingga 1965,
pembangunan Masjid Istiqlal tidak mengalami banyak
kemajuan akibat adanya gejolak politik dan ekonomi.
Persoalan yang menghambat pembangunan Masjid Istiqlal
mulai dari kurangnya dana karena krisis ekonomi pada
1960-an sampai meletusnya peristiwa G30S pada 1965.
Setelah kondisi sudah lebih kondusif, pada 1966, Menteri
Agama KH Muhammad Dahlan mempelopori kembali
pembangunan masjid ini. Tujuh belas tahun setelahnya,
Masjid Istiqlal selesai dibangun.

130
Masjid Istiqlal diresmikan pada 22 Februari 1978 oleh
Presiden Soeharto. Peresmian masjid ditandai dengan
prasasti yang dipasang di area tangga pintu As-Salam.
Diketahui, biaya pembangunan Masjid Istiqlal mencapai
Rp 7 miliar (diperoleh terutama dari APBN) dan US$ 12
juta.

b. Sarinah

Mal Sarinah di Jalan M.H


Thamrin, Jakarta Pusat,
menyimpan banyak catatan
sejarah sebagai mal pertama
di Indonesia. Pembangunan
Sarinah digagas oleh Presiden pertama Republik
Indonesia, Ir. Soekarno, dan diresmikan pada 15 Agustus
1966. Gedung Sarinah merupakan salah satu bangunan
pencakar langit pertama di Indonesia. Gedung ini
menjulang setinggi 74 meter dan memiliki 15 lantai.
Sarinah juga menjadi mal pertama di Indonesia yang
memiliki fasilitas eskalator atau tangga berjalan.

Seiring perkembangan zaman, Sarinah bertransformasi


ke arah yang lebih modern. Mal Sarinah seperti terlahir
kembali dengan mengusung konsep yang lebih modern
pasca direnovasi pada 2020. Dengan mengusung slogan
“The Window of Indonesia”, Sarinah memberikan ruang
yang seluas-luasnya bagi kreativitas masyarakat untuk
memasarkan produk-produk dalam negeri. Nama Mal

131
Sarinah sangat akrab dan lekat di ingatan warga Jakarta
pada khususnya. Bukan hanya sebagai tempat berbelanja
dan wisata kuliner saja, tetapi kini Sarinah telah menjadi
tujuan rekreasi warga untuk mengisi waktu bersama
keluarga dengan menikmati sajian musik atau sekedar
berfoto. Lalu, siapa Sarinah yang namanya diabadikan
sebagai nama mal pertama di Indonesia?

Sarinah dan Soekarno


Dikutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sarinah adalah
nama asisten rumah tangga di keluarga Soekarno.
“Disamping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang
membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga
bukanlah pelayan menurut pengertian orang barat,” kata
Soekarno dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia (2007) karya Cindy Adams.

Soekarno menyebut Sarinah sebagai bagian dari


keluarganya. Sarinah tinggal satu atap di rumah Soekarno,
memakan apa yang keluarga Soekarno makan di
kehidupan sehari-hari. “Sarinah adalah bagian dari rumah
tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota
keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan
kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak
mendapat gaji sepeserpun,” sebut Soekarno.

132
Dari Sarinah, Soekarno belajar tentang cinta kasih.
Sarinah juga mengajarkan Soekarno untuk mencintai
rakyat. Pada suatu hari Soekarno mendengarkan ucapan
yang disampaikan Sarinah bahwa mencintai sosok Ibu
adalah yang utama, kemudian mencintai rakyat jelata.
“Dialah yang mengajariku untuk mengenal cinta‐kasih.
Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku
menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat.
Massa rakyat, rakyat jelata,” ucap Soekarno.
“Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku
duduk disampingnya dan kemudian ia berpidato, ‘Karno,
yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi
kemudian engkau harus mencintai pula rakjat jelata.
Engkau harus mencintai manusia umumnya,’” tutur
Soekarno. Dalam buku tersebut, Soekarno sangat
mengagumi sosok Sarinah. Bahkan, dia menyebut Sarinah
memiliki kekuasaan yang paling besar dalam hidupnya.
“Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah
yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu
kekuasaan yang paling besar dalam hidupku. Di masa
mudaku, aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai
suami‐isteri. Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil.
Ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada
lagi,” kata Soekarno.

Ekspansi Kota

133
Pembangunan Jawa sentris terutama di Ibukota DKI
Jakarta membuat banyaknya arus urbanisasi menuju
Jakarta sejak zaman orde baru tahun 1960an-2000. Hal
tersebut berdampak sangat signifikan terhadap fisik
Ibukota DKI Jakarta yang kini menjadi pusat dari
perekonomian.
Tahun 1960 pembangunan Kota Jakarta masih terbatas,
pada masa ini kegiatan pembangunan ekonomi secara
makro memang sangat kurang, Penanaman Modal Asing
(PMA) hampir tidak ada karena pemerintah orde lama
sangat antikapitalisme, termasuk modal asing (Firman
Lubis, 2018 : 209). Pembangunan pada tahun 1960-an
baik skala perumahan tidak terjadi secara siginifikan
karena pemerintah sendiri tidak membuka investasi di
Indonesia, Soekarno selaku Presiden tidak mengizinkan
untuk dilakukan penanaman modal asing, jika ditinjau
aspek tahun 1950-an terjadi pembangunan kota satelit
Kebayoran Baru yang cukup besar. Rencana
pembangunan ini sesuai dengan rencana dasar
pembangunan Outline Plan Jakarta 1957 yang
membangun daerah Pinggiran Jakarta untuk pemukiman
penduduk dikelas bawah, penduduk yang direncanakan
dalam proses pembangunan agar sistem penataan Kota
Jakarta sesuai dengan kebutuhan pola hidup masayarakat
dan wajah Kota Jakarta menjadi sebuah dimensi baru dan

134
menjadikan kota yang mensejahterakan penduduk dengan
dibangunnya pemukiman secara tertata.
Pembangunan Wajah Ibu Kota Jakarta secara perlahan
mulai terwujud dengan dimenangkannya Indonesia
sebagai tuan rumah Asian Games Ke IV di Jakarta pada
tahun 1962, Presiden Soekarno dengan sebuah
konsepsinya, mulai membangun beberapa tempat untuk
penyelenggaraan Asian Games dan menata Jakarta untuk
menjamu para atlit dalam acara ini, sarana olahraga yang
dimiliki Jakarta hanyalah stadion Ikada (Ikatan Atletik
Djakarta) (Firman Lubis, 2018 : 213). Pembangunan
Jakarta secara perlahan mulai terbentuk dengan kata lain
menjadi sebuah puncak Presiden Soekarno untuk
menggelorakan pembangunan sejumlah monumen dan
patung seantero Jakarta sebagai simbol kebanggan
nasional. Soekarno yang memiliki keinginan untuk
mempersatukan bangsa dan menciptkan manusia
Indonesia yang baru.
Bangunan bergaya maju dianggap sebagai arsitekur
yang tepat untuk menyertakan keragaman manusia
Indonesia dan menyertakan dengan negara-negara di
dunia. Soekarno percaya seperti halnya arsitek modernis
zamannya, bahwa bangunan mempunyai kekuatan untuk
mendidik dan merubah jiwa pemakainya. Bangunan harus
didesain seperti patung yang bisa dilihat secara 3 dimensi
dari jarak tertentu. Pemikiran ini cukup tersebar

135
dikalangan arsitek dan seniman di dunia. Tapi rasa
pemujaan Soekarno terhadap seni estetika arsitektur
modernis terutama sistem pembangunan dari gaya tersebut
berkaitan dengan sesuatu hal yang lebih pribadi yang ingin
dituangkan kedalam sebuah wajah kota Jakarta di masa
Demokrasi Terpimpin sebagai suatu prestasi yang ingin
dicita-citakan agar sebuah bangunan dapat dikenang oleh
bangsa Indonesia.
Pembangunan Jakarta yang mulai mendesak dengan
adanya kegiatan Asian Games IV di Jakarta
mengakibatkan Soekarno menyalurkan ide-ide untuk
pembangunan Jakarta, Demokrasi Terpimpin yang
dijadikan kendaraan oleh Soekarno mengharuskan untuk
membangun bangunan dengan skala besar, seperti
membangun Gelora Senayan, Hotel Indonesia dan TVRI
sebagai sarana utama dalam mendukung Asian Games IV
Jakarta. Soekarno yang merupakan tipe pemimpin
Solidarity maker memiliki strategi dalam melakukan
retorika dalam mengumbar gelora dan penyatuan
solidaritas dengan memainkan simbol-simbol identitas
dan memiliki karakter dalam menghadapi tantangan.
Soekarno yang saat itu mesra dengan Partai Komunis
Indonesia meminta bantuan untuk mencarikan dana demi
keperluan Asian Games IV Jakarta. Soekarno dan Partai
Komunis Indonesia mencoba mengirimkan proposal
pengajuan dana kepada Uni Soviet dengan harapan
mendapatkan pinjaman dana lunak. Nikita Kruscev selaku

136
Perdana Menteri Soviet kemudian menerima proposal
Soekarno dan Soviet menjadi peminjam dana lunak bagi
Indonesia.
Presiden Soekarno yang merupakan lulusan Arsitektur
memiliki pandangan tersendiri dalam membangun sebuah
kota. Untuk menyelenggarakan Asian Games IV Jakarta
maka pemerintah menyiapkan lahan untuk membangun
kompleks olahraga. Jakarta yang saat itu memiliki
perencanaan pendahuluan atau Outline Plan Kota Jakarta
yang dirancang oleh Soediro, akhirnya mengambil
keputusan untuk membangun sebuah kompleks olahraga
dengan meminta dukungan kepada masyarakat Jakarta
agar mendukung kegiatan ini. Sebagai arsitek Soekarno
merancang pembangunan Gelora Senayan, Hotel
Indonesia. Pada pembangunan pola rancangan yang
memiliki teknologi tinggi dengan memadukan
kebudayaan lokal kepada bangunan yang dirancang oleh
Soekarno sesuai dengan pemikiran yang dimilikinya serta
pengalaman hidupnya Soekarno berhasil menciptkan
sebuah pola arsitektur yang khas darinya. Pada akhirnya
melihat segala permasalahan di Jakarta Soekarno berusaha
menciptakan sebuah pola pembangunan berbasis
menyelesaikan masalah, masalah yang berada di Jakarta
berusaha diselesaikan oleh para walikota dan Gubernur
Jakarta seperti menekan jumlah penduduk, angka
kelahiran serta membanguan wilayah pemukiman baru
bagi para pendatang dan masyarakat Jakarta, dalam

137
sebuah petikan kalimat Si Doel Anak Betawi “Semua ini
akan menjadi kenangan, tak lama 10-20 tahun kenangan
ini akan hilang. Jakarta tambah lama semakin besar takkan
sepi, kebutuhan tanah yang tinggi untuk keperluan
industri, orang asli Jakarta harus minggir, hilang karena
zaman” gambaran kota Jakarta yang semakin padat
mengharuskan merubah tata kota untuk menganggulangi
masalah yang ada, Outline Plan menjadi sebuah proyek
membaca pola masalah yang berada di Jakarta serta
kebutuhan kota yang akan dicapai dalam 20 mendatang,
masalah industri, penduduk dan pembangunan kota yang
menjadi kajian utama dalam menangani permasalah ini.
Soekarno memberikan perhatian serius terhadap
pembangunan Jakarta yang dijadikan sebagai representasi
wajah Indonesia, demi menganggulangi masalah ini,
Soekarno dalam konstelasi percaturan dunia ingin
mengenalkan Indonesia dimata dunia dengan cara menjadi
tuan rumah Asian Games IV Jakarta, dengan membangun
segala lini yang akhirnya merubah secara perlahan wajah
Jakarta yang dahulu menjadi Kota Jakarta dengan
pembangunan berdasarkan menyelesaikan permasalah
kota serta tantangan diwaktu mendatang, setelah Presiden
Soekarno mengambil kekuasaan di Jakarta dengan politik
mercusuarnya, kini Jakarta menjadi sebuah dimensi
wilayah pembangunan Soekarno untuk menyalurkan ide-
ide pembangunan di Jakarta, kelompok masyarakat
Jakarta diharuskan minggir dari wilayah yang dijadikan

138
sebagai kompleks olahraga demi mendukung perhelatan
Asian Games IV Jakarta 1962. Masyarakat Jakarta
mendukung perhelatan Asian Games IV dengan
melakukan transmigrasi lokal kesejumlah wilayah yang
ada di Jabodetabek dengan lahan yang disediakan oleh
pemerintah dan uang ganti rugi diberikan pemerintah
Untuk menyelesaikan penggusuran kompleks tersebut.
Perubahan sosial di Jakarta muncul dengan pola
pembangunan yang terus-menerus digalakan pemerintah
di Jakarta, mulai dari pembangunan sampai kepada
kehidupan masyarakat di Jakarta berubah secara
signifikan dengan adanya urbanisasi yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat yang berasal dari daerah masing-
masing, kehidupan masyarakat Jakarta bercampur dan
beragam yang membuat Jakarta tidak kembali pada tahun
1950, pembangunan diakhir 1950 menyisakan sebuah
pertanda bagi masyarakat Jakarta, sudahkah masyarakat
menikmati pola pembangunan yang dirancang oleh
Presiden Soekarno sebagai tokoh Demokrasi Terpimpin
yang merancang Jakarta sebagai kota modern di mata
dunia demi menyambut perhelatan Asian Games IV
Jakarta dan menjadikan Jakarta gerbang Indonesia bagi
masyarakat dunia.

139
G. 1970 – Pertumbuhan Ekonomi dan
Pariwisata
Pariwisata
Jakarta menjadi tujuan belanja utama dengan
munculnya pusat perbelanjaan modern seperti Pasaraya
Sarinah. Pusat perbelanjaan ini menawarkan berbagai
produk lokal maupun internasional.

Pasar Sarinah
Bukan hanya sebagai mall,
Sarinah pada kisaran tahun ini
mewujudkan komitmennya
terhadap misi untuk mendukung
dan mendorong pembangunan
ekonomi Indonesia. Melalui
berbagai upaya promosi produk
kerajinan lokal seperti batik telah dijajalkan pada rentang
tahun ini. Melansir dari situs resminya, pada 10 April 1979
secara resmi, Sarinah berganti nama menjadi PT Sarinah
(Persero). Dengan perolehan dana segar yang cukup besar,
pada periode tahun ini Sarinah berekspansi membuka
gedung pusat perbelanjaannya di Semarang, Jawa Tengah.
Pada periode ini, Sarinah berekspansi melalui pembukaan
cabang selain di Jakarta.

140
Hal tersebut dibarengi dengan peluncuran sejumlah
program baru yang bertujuan untuk mempromosikan
produk UMKM kepada konsumen. Berbagai langkah itu
menjadi bagian dari upaya Sarinah dalam memperkuat
eksistensinya di tanah air. Pada tahun 1970-an, Sarinah
merenovasi gedung untuk pertama kalinya di Jalan M.H.
Thamrin, Jakarta. Hal itu dilakukan sebagai upaya
menarik tenant baru. Selain itu juga, perenovasian gedung
Sarinah itu untuk memperkuat reputasinya sebagai pusat
perbelanjaan terkemuka di Indonesia.

Pembangunan Jalan Tol


Tol adalah singkatan dari
Tax on Lication. Ini karena
orang yang mengakses jalan
tol harus membayar di
tempat sesuai dengan biaya
yang diterapkan. Raden
Soediro merupakan inisiator pertama dalam pembangunan
jalan tol pertama di Indonesia, Tol Jagorawi. Ia merupakan
walikota Jakarta dari tahun 1953 hingga 1960. Biaya
pembangunan Tol Jagorawi menghabiskan dana hingga
Rp350 juta per kilometer. Dana yang dipakai untuk
pembangunan tol ini diambil dari APBN dan utang negara.
Proses pembangunan jalan tol ini terbagi dalam dua
sesi:

141
Pembangunan tahap 1

Pembangunan tahap 1
membangun kurang lebih
sepanjang 27 kilometer di
sepanjang jalan Cibubur,
Jakarta, sampai Cibinong,
Kabupaten Bogor pada
tahun 1973 dan diresmikan oleh Soeharto pada 9 Maret
1978.
Pembangunan Tahap 2

Pembangunan kedua baru diresmikan 1 tahun setelah


pembangunan tahap pertama. Tol ini ini dibangun
sepanjang 10 kilometer dari Cibinong, Bogor, sampai
Ciawi. Ide pembangunan ini bermula saat kondisi
ekonomi Jakarta yang menipis setelah pengeluaran besar-
besaran dari pembangunan Jalan Soedirman dan M.H.
Thamrin. Namun ide pembangunan jalan bebas hambatan
berbayar ini ditolak oleh sebagian besar anggota dewan
karena beresiko menghambat kelancaran lalu lintas.
Beberapa di antara mereka juga berpendapat bahwa
konsep jalan berbayar ini dapat menimbulkan perpecahan,
seperti di masa Kolonial Belanda.

Di tahun 1970, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga


Listrik (PUTL) Sutami kembali mengusulkan ide
pembangunan jalan tol berbayar Jakarta-Bogor karena

142
ruas jalan yang tersedia pada saat itu sudah tidak sanggup
mengatasi masalah kemacetan. Akhirnya Soeharto
menerima ide tersebut dan memulai proyek pembangunan
jalan tol pertama di tahun 1973 yang menghubungkan 3
wilayah, Jakarta, Bogor, dan Ciawi sepanjang 59
kilometer.
Pihak kontraktor yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
membangun jalan tol ini adalah PT Jasa Marga (Persero)
bersama perusahaan kontraktor swasta, Hyundai
Construction Co (Korea Selatan) dan konsultan supervisi
Amman-Whitney & Trans Asia Engineering Associates
Inc (Amerika Serikat). Secara total, investasi untuk ruas
tol adalah sebesar Rp 615 triliun. Sekitar 20% dari
pemerintah, dan 80% dari non-APBN berupa investasi
dari investor ataupun pinjaman.

H. 1998 : Reformasi dan Demokratisasi


a. Reformasi
Demokrasi Indonesia periode reformasi (1998-
sekarang)
Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden pada Sidang
Umum MPR pada Maret 1998. Tetapi penyimpangan-
penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru
membawa Indonesia pada krisis multidimensi, diawali
krisis moneter yang tidak kunjung reda. Krisis moneter
membawa akibat terjadinya krisis politik, di mana tingkat
143
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah begitu kecil.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di
Indonesia. Akibatnya pemerintahan orde baru di bawah
pimpinan Presiden Soeharto terperosok ke dalam kondisi
yang diliputi berbagai tekanan politik baik dari luar
maupun dalam negeri. Dari dunia internasional, terutama
Amerika Serikat, secara terbuka meminta Soeharto
mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Dari dalam
negeri, timbul gerakan massa yang dimotori oleh
mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari
jabatannya.

Lengsernya Soeharto
Tekanan massa mencapai puncaknya ketika sekitar
15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR.
Akibatnya proses politik nasional praktis lumpuh.
Soeharto ingin menyelamatkan kursi kepresidenan dengan
menawarkan berbagai langkah. Seperti perombakan
(reshuffle) kabinet dan membentuk Dewan Reformasi.
Tetapi pada akhirnya Presiden Soeharto tidak punya
pilihan lain kecuali mundur dari jabatannya. Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka menyatakan
berhenti sebagai Presiden. Dengan menggunakan UUD
1945 pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil
Presiden Habibie disumpah sebagai penggantinya di
hadapan Mahkamah Agung. Karena DPR tidak dapat
berfungsi akibat mahasiswa mengambil alih gedung DPR.

144
Kepemimpinan Indonesia segera beralih dari Soeharto
ke BJ Habibie. Hal ini merupakan jalan baru demi
terbukanya proses demokratisasi di Indonesia. Kendati
diliputi kontroversi tentang status hukumnya,
pemerintahan Presiden BJ Habibie mampu bertahan
selama satu tahun kepeminpinan.

b. Kemerdekaan Pers
Setelah mengalami pengekangan yang begitu lama di
era pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia
akhirnya benar-benar mendapatkan kebebasan ketika
reformasi bergulir pada bulan Mei 1998. Reformasi
bergulir karena masyarakat menginginkan reformasi pada
segala bidang, baik ekonomi, sosial, dan budaya yang pada
masa pemerintahan orde baru terbelenggu. Termasuk
reformasi pada bidang pers.

Reformasi pada bidang pers ditujukan agar kehidupan


pers di Indonesia benar-benar memperoleh kebebasan.
Langkah pertama untuk memulai kebebasan pers di
Indonesia adalah dengan mencabut aturan Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan dicabutnya
SIUPP, akhirnya berbagai perusahaan pers baru
bermunculan, baik itu media cetak, televisi, maupun radio.
Munculnya berbagai macam perusahaan pers tersebut

145
merupakan bentuk sukacita setelah sekian lama
dibelenggu oleh kekuasaan pemerintah orde baru.
Selain dicabutnya SIUPP, upaya lainnya adalah
penghapusan Departemen Penerangan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Departemen Penerangan di
era pemerintahan orde baru memiliki kekuatan yang luar
biasa untuk menekan dan mengatur pers. Oleh sebab
itulah, Departemen Penerangan dihapus agar pers bisa
leluasa melaksanakan kegiatan jurnalistiknya. Selain
kedua tindakan tersebut, ada satu tindakan terpenting
untuk memulai kebebasan pers di Indonesia yaitu
diterbitkanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers. Undang-undang ini merupakan tonggak awal
kebebasan pers di Indonesia.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Inge Hutagalung
dalam jurnalnya Dinamika Sistem Pers di Indonesia
(2013) menjelaskan bahwa dengan diterapkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
secara normatif pers di Indonesia telah menganut sistem
pers tanggung jawab sosial. Sistem pers tanggung jawab
sosial menekankan kebebasan pers yang bertanggung
jawab kepada masyarakat atau kepentingan umum.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga memberikan

146
kewangan pada masyarakat untuk mengontrol kinerja
pers.
Hal tersebut jelaslah berbeda dengan Undang-Undang
nomor 21 tahun 1982 yang memberikan wewenang pada
pemerintah orde baru untuk mengontrol kinerja pers.
Ketika reformasi bergulir, berbagai elemen masyarakat
Indonesia berusaha untuk menata kembali sistem
demokrasi yang ideal. Salah satunya adalah dengan
menegakkan kebebasan pers. Sebab kebebasan pers
merupakan cermin sistem demokrasi yang ideal.

Dalam buku Komunikasi Politik, Media, dan


Demokrasi (2012) karya Henry Subiakto dan Rachmah
Ida, dijelaskan bahwa melalui kebebasan pers masyarakat
dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja
pemerintah sehingga muncul mekanisme check and
balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat
sendiri. Selain itu, dengan adanya kebebasan, pers bisa
secara leluasa menjalankan fungsinya sebagai pengawas
pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan.

147
I. 2000 : Pembangunan Infrastruktur
Modern
a. TransJakarta
Bagi masyarakat
Jakarta penumpang bus
pasti sudah akrab dengan
layanan TransJakarta.
Artikel ini akan mengulas
sejarah TransJakarta yang
sudah jadi salah satu transportasi andalan masyarakat
Jakarta selama 18 tahun.
Sebenarnya, ide pembangunan proyek Bus Rapid
Transit (BRT) ini sudah muncul sejak tahun 2001. Namun,
realisasinya baru dapat dilakukan 3 tahun setelahnya. Saat
diluncurkan, TransJakarta merupakan suatu sistem
transportasi Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia
Tenggara dan Selatan.

Koridor Pertama Transjakarta


Dilansir dari laman resminya, sistem BRT ini didesain
berdasarkan sistem TransMilenio di Bogota, Kolombia.
Saat itu, TransJakarta diklaim memiliki jalur lintasan
terpanjang di dunia dengan 208 kilometer. Transjakarta
sendiri resmi menjadi transportasi publik di DKI Jakarta
sejak 1 Februari 2004. Pada saat itu, kehadiran bus ini

148
menjadi solusi dan mengubah wajah transportasi umum di
Ibu Kota. TransJakarta koridor I rute Blok M-Kota
sepanjang 12,9 kilometer pertama kali diluncurkan pada
tanggal 15 Januari 2004. Koridor ini sekaligus menjadi
koridor tertua yang dimiliki TransJakarta. Transjakarta
diluncurkan melalui restu dari Gubernur DKI Jakarta saat
itu, Sutiyoso. Saat itu, ia berharap TransJakarta dapat
mengatasi kemacetan di pusat pemerintahan ini. Institute
for Transportastion & Development Policy (ITDP)
ditunjuk menjadi pihak yang mengiringi proses
perencanaan proyek ini.

Pengelola Transjakarta
Pada awal kemunculannya, bus Transjakarta dikelola
oleh Badan Pengelola Transjakarta Busway. BP
Transjakarta Busway merupakan badan non-struktural
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor
110 Tahun 2003. Pengelolaan bus Transjakarta berubah
menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta sejak
4 Mei 2006. UPT ini bernaung di bawah Dinas
Perhubungan DKI Jakarta sesuai Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 48 Tahun 2006. Pengelolaan bus
Transjakarta kemudian diserahkan ke Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) bernama PT Transportasi Jakarta
(Transjakarta) pada 27 Maret 2014.
Transjakarta juga bekerja sama dengan operator bus
reguler mulai tahun 2011. PT Transjakarta terus berupaya

149
memperbaiki layanannya dengan mengganti bus-bus reyot
dengan armada baru. Dalam pengoperasiannya,
TransJakarta didukung beberapa perusahaan operator
yang mengelola armada. Adapun, operator bus tersebut
adalah PT Jakarta Trans Metropolitan (JTM), PT
Primajasa Perdanaraya Utama (PP), PT Jakarta Mega
Trans (JMT), PT Eka Sari Lorena (LRN), PT Bianglala
Metropolitan (BMP), PT Trans Mayapada Busway
(TMB), Perum DAMRI (DMR/DAMRI), Kopaja,
Mayasari Bakti, dan Perum PPD. TransJakarta memiliki
sekurang-kurangnya 7 jenis bus yang dioperasikan. Jenis
bus yang dapat ditemui di jalan antara lain adalah
articulate bus, low entry bus, double decker bus, maxi bus,
single bus, medium bus, dan mikrotrans.

Tarif awal tiket TransJakarta


Di awal kemunculannya pada Februari 2004, tarif
TransJakarta dipatok seharga Rp 2.000 saja. Kemudian,
sejak tahun 2013 sistem tiket pada halte TransJakarta
menggunakan kartu elektronik sebagai pengganti uang
tunai. Penerapan ini dilakukan bertahap hingga akhirnya
pada 22 Februari 2015 pembayaran dengan akrtu
elektronik ini berlaku di seluruh koridor Transjakarta.
Kemudian, sejak tahun 2013 sistem tiket pada halte
TransJakarta menggunakan kartu elektronik sebagai
pengganti uang tunai. Penerapan ini dilakukan bertahap
hingga akhirnya pada 22 Februari 2015 pembayaran

150
dengan akrtu elektronik ini berlaku di seluruh koridor
Transjakarta.
Pada tahun 2016, TransJakarta resmi mengoperasikan
bus khusus wanita yang berwarna pink. Peluncurannya
dilakukan dalam rangka memperingati Hari Kartini pada
tanggal 21 April. Tak hanya bus khusus wanita,
TransJakarta juga membuka lowongan untuk sopir bus
wanita.
Sejak 2020, TransJakarta juga mulai menerima
pembayaran tiket melalui QR Code dari penyedia dompet
elektronik. Namun, saat ini pemabayaran baru dapat
dilakukan menggunakan dompet elektornik LinkAja dan
AstraPay. Teranyar, Trans Jakarta diketahui mulai
mengoperasikan bus listrik. Kehadiran bus ini merupakan
inisiatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
meningkatkan kualitas udara ibu kota hingga target untuk
mencapat Nett Zero Emmision. Penumpang dapat
mencoba layanan baru bus listrik ini pada rute 1N (Tanah
Abang-Blok M) dan 1P (Senen-Blok M).

b. Pembangunan Perumahan dan Mall


Plaza Semanggi atau
yang dikenal juga
dengan sebutan Plangi
merupakan salah satu
pusat perbelanjaan atau

151
mal legendaris besutan PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR)
yang beroperasi sejak 2004. Dikutip dari situs Lippo
Malls, Plaza Semanggi memiliki 8 lantai utama dengan
luas lahan kotos 91,232 meter persegi dan luas bangunan
sebesar 57.917 meter persegi. Mal ini terletak di kawasan
Simpang Susun Semanggi, Jakarta Selatan yang
gedungnya diapit oleh Balai Sarbini dan Gedung Veteran
RI. Pada tahun 2004, Plaza Semanggi dibuka resmi oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri.
Plaza Semanggi menjadi mal yang tampak modern saat
pertama kali dibangun. Arsitekturnya menerapkan
teknologi tinggi yang identik dan mencolok di tengah
hiruk pikuk kota.

Adapun, konstruksinya dilakukan oleh Pembangunan


Perumahan dan Total Bangun Persada dengan lama
pembangunan sejak tahun 2001-2004. Pusat perbelanjaan
yang disebut menghabiskan dana Rp400 miliar pada 2003
itu memiliki konsep Downtown Sensation memberikan
pengalaman mulai dari pusat jajanan serba ada, acara
kebudayaan, busana, hiburan, alat elektronik, taman
bermain, dan lainnya.

152
J. 2010-2023 : Pembangunan Berkelanjutan
a. MRT Jakarta
Ide pembangunan MRT di Jakarta telah dicetuskan
sejak 1985
oleh Kepala
Badan
Pengkajian
dan
Penerapan
Teknologi
saat itu, B. J. Habibie. Pihak BPPT mengatakan bahwa
pertumbuhan populasi di Jakarta menurun antara tahun
1985 hingga 1990. Namun, pertumbuhan kota satelit
Jakarta tinggi sehingga mobilitas warga dari ibukota ke
Bodetabek sangat besar. Jalan-jalan di Jakarta dinilai akan
tidak mampu lagi mengakomodasi mobilitas penduduk.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu moda transportasi yang
mengakomodasi mobilitas masyarakat dari wilayah
Bodetabek.
Diperkirakan sekitar empat juta penduduk di wilayah
Jabodetabek menglaju setiap harinya. Masalah
transportasi ini mulai menarik perhatian politik. Pada
tahun 2004, studi oleh Badan Kerja Sama Internasional
Jepang (JICA) mengungkapkan bahwa pertumbuhan
kendaraan di Jabodetabek yang sangat cepat akan mulai
berakibat pada arus lalu lintas. Jika tidak ada terobosan
153
untuk membangun sebuah sistem transportasi publik yang
utama, hal tersebut akan mengakibatkan kemacetan yang
semakin padat dan semakin parah. Hal ini jika terjadi
secara berlanjut, maka pada tahun 2020 semua penduduk
akan terhalang kemacetan bahkan pada saat baru keluar
dari garasi mereka.
Transportasi umum yang ada di Jakarta juga baru
melayani sekitar 56% dari komuter sehari-hari. Angka ini
tentunya harus ditingkatkan lagi mengingat pertumbuhan
populasi kendaraan yang cukup tinggi. Rata-rata
pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta berjumlah
9,5%, sementara untuk pertumbuhan panjang jalan hanya
mencapai 0,1% pada rentang tahun 2005 hingga 2010. Hal
ini tentunya harus disiasati dengan suatu kebijakan untuk
mengurangi dan mencegah terjadinya kemacetan yang
sangat parah.

Rencana pembangunan MRT Jakarta telah digulirkan


dari masa ke masa sebagai salah satu pilihan untuk
mengurai kemacetan. Pada tahun 1996, pemerintahan
Presiden Soeharto menetapkan pembangunan MRT
Jakarta dengan rute Blok M–Stasiun Jakarta Kota
sepanjang 14 km dan dibangun di bawah tanah. Namun,
usaha ini gagal akibat adanya krisis ekonomi 1997–1998.
Pada tahun 2000, proyek ini kembali dilanjutkan setelah
kondisi sosial-politik ekonomi Indonesia membaik. Ketika
itu kajian tentang Rencana Induk Transportasi Terpadu

154
untuk Jabodetabek (Study on Integrated Transportation
Master Plan for Jabodetabek – SITRAMP) tahap I dimulai.
Poin utama dari SITRAMP I adalah pengkajian ulang
proyek MRT rute Fatmawati–Monas dan pemasangan
konsep untuk SITRAMP II. Atas permintaan Pemerintah
Indonesia, JICA mendapat kepercayaan oleh Pemerintah
Jepang untuk mengerjakan kajian SITRAMP II yang
berlangsung sejak November 2001 sampai Maret 2004.
JICA menawarkan rute Fatmawati–Monas dengan
beberapa alternatif desain pembangunan kepada
pemerintah yang didapatkan setelah melakukan studi
kelayakan.[6] Meskipun begitu, usaha untuk membangun
MRT baru diseriuskan kembali pada tahun 2005. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan MRT Jakarta
sebagai proyek nasional. Dari penetapan ini, proses-proses
persiapan pembangunan jalur pertama MRT Jakarta
dimulai. Pemerintah Jepang juga bersedia untuk
memberikan pinjaman pada proyek nasional ini.

Pengembangan Pertana
Proses pengembangan jalur pertama MRT Jakarta
dimulai saat Presiden SBY menetapkan sistem ini sebagai
proyek nasional. Pada November 2006, ditandatangani
perjanjian pinjaman pertama kepada JICA untuk proyek
MRT. Perjanjian tersebut memuat pendanaan studi dan
pendanaan pekerjaan konstruksi untuk jalur pertama
MRT. Pada tanggal 17 Juni 2008, Pemerintah DKI Jakarta

155
mendirikan PT MRT Jakarta sebagai perusahaan badan
usaha milik daerah penunjang pembangunan dan
pengoperasian MRT Jakarta.
Pengerjaan desain dasar jalur pertama ini dilakukan
pada tahun 2010 hingga 2012. Pada tanggal 26 April 2012,
pencanangan persiapan proyek Lin Utara–Selatan MRT
Jakarta dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi
BoBow Setahun setelahnya, pada tanggal 11 Juni 2013
ditandatangani tiga kontrak proyek pertama, yaitu
konstruksi lintasan bawah tanah. Sementara itu, kontrak
untuk lintasan layang ditandatangani pada tanggal 10
Oktober 2013. Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan
dengan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya
konstruksi oleh Gubernur Joko Widodo.
Konstruksi seluruh lin ini tersambung sepenuhnya pada
31 Oktober 2017. Mulai tanggal 12 Maret 2019, jalur ini
dibuka untuk umum dalam kegiatan uji coba publik
terbatas yang berlangsung hingga sebelum peresmian.
Jalur pertama MRT Jakarta resmi dioperasikan pada
tanggal 24 Maret 2019 setelah diresmikan oleh Presiden
Joko Widodo.

Pengembangan Lanjutan
Pada saat yang sama dengan peresmian fase pertama
Lin Utara–Selatan, Presiden Joko Widodo juga
mencanangkan pembangunan fase kedua Lin Utara–

156
Selatan. Proses konstruksi fase kedua ini, khususnya fase
IIA, dinilai akan terlambat dari target. Hal ini disebabkan
adanya Pandemi Covid-19 yang berimbas pada anggaran
serta proses pelelangan kontrak. Akibatnya, ada beberapa
paket kontrak yang digabung dan dilakukan secara
pengadaan langsung. Target pembangunan segmen
pertama yang awalnya selesai tahun 2024, diyakini akan
terlambat hingga tahun 2025. Hingga saat ini, proses
pembangunan untuk fase ini masih berlangsung. Berbeda
dengan fase sebelumnya, fase kedua ini telah didesain
untuk dibangun dengan konsep kawasan berorientrasi
transit sehingga memudahkan pengguna untuk beralih
moda transportasi. Sementara itu, fase IIB hingga saat ini
masih dalam studi kelayakan.

Tarif
Pada tanggal 26 Maret 2019 tarif MRT Jakarta
ditetapkan. Tarif awal yang dikenakan sebesar Rp3.000
sebagai tarif minimal dan bertambah Rp1.000 setiap
melewati stasiun. Tarif tertinggi sebesar Rp14.000, yaitu
perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus ke Stasiun Bundaran
HI. Tarif ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2019.
Metode Pembayaran :

 Kartu Jelajah
 Jak Lingko
 Kartu Elektronik Perbankan
 Kartu Multi Trip KAI Commuter
157
 Aplikasi MRT Jakarta

b. Pusat Bisnis dan Teknologi


KEPALA Kantor Perwakilan BI DKI Jakarta, Ony
Widjanarko optimistis Jakarta akan bisa tumbuh menjadi
kota bisnis saat tak lagi menjadi ibu kota RI. Hal tersebut
disebabkan Jakarta sudah memiliki infrastruktur yang
memadai untuk menjadi kota bisnis.Teknologi digital
sangat berkembang di sini. Contohnya teknologi
pembayaran. Tidak ada yang tidak ada di Jakarta. Semua
ada. Infrastruktur fisik pun Jakarta punya. Segi kesehatan
dan pendidikan Jakarta punya. Untuk provinsi lain jika
ingin mengejar Jakarta mungkin butuh puluhan tahun.

Tak hanya itu, Jakarta kini tengah mengembangkan


pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan hadirnya
integrasi transportasi. Ia mencontohkan melalui titik-titik
transit Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta yang bakal
memunculkan lokasi pasar baru. Lokasi-lokasi ini bakal
menumbuhkan pusat bisnis UMKM baru. Sirkuit Formula
E yang sedang dibangun hingga stadion Jakarta
International Stadium (JIS) juga diyakini bakal menjadi
lokasi pusat penyelenggaraan agenda internasional yang
dapat menarik masyarakat internasional ke Jakarta. Pusat
bisnis dan teknologi yang berkembang menandakan
Jakarta sebagai pusat ekonomi modern.

158
c. Indonesia Menjadi Tuan Rumah Asian Games 18

Indonesia sukses mewujudkan Energy of Asia dalam


Asian Games ke-18 yang diselenggarakan di Jakarta dan
Palembang pada 18 Agustus – 2 September 2018. Hal
tersebut disampaikan dalam sambutan President Olympic
Council of Asia, Ahmad Al Fahat Al Sabah pada closing
ceremony Asian Games 2018, 2 September di Stadion
Gelora Bung
Karno, Jakarta.
Sebelumnya,
dalam konferensi
pers yang
diselenggarakan
pada sabtu, 1
September 2018 di Istana Negara, Thomas Bach selaku
President International Olympic Committee turut
mengucapkan selamat kepada Presiden RI, Ir. H. Joko
Widodo atas keberhasilan besar dari penyelenggaraan
Asian Games di Indonesia yang sangat mengesankan.
Kemeriahan Asian Games 2018 sudah terlihat
sejak opening ceremony yang mengangkat tema kolosal
dengan tampilan set yang masif serta menunjukkan
keindahan alam dan budaya Indonesia. Kompetisi
olahraga ini diikuti oleh 45 negara yang melibatkan sekitar
16.000 atlet dan 13.000 volunteer. Jumlah atlet yang
berpartisipasi ini melebihi jumlah yang ditargetkan dan

159
mengalami peningkatan 20% dari Asian Games
sebelumnya.Kompetisi yang diselenggarakan empat tahun
sekali ini mempertandingkan 40 cabang olahraga yang
terdiri dari 32 cabang olahraga olimpiade dan 8 cabang
olahraga non-olimpiade. Pesta olahraga Asia kali ini
menjadi begitu berbeda sebab pertama kali dalam sejarah
Asian Games diselenggarakan pada dua kota berbeda,
Jakarta – Palembang. Penyelenggaraan Asian Games 2018
turut menyedot animo masyarakat Indonesia, sebab
kesempatan menjadi tuan rumah Asian Games merupakan
hal yang istimewa, harus menunggu 56 tahun lagi untuk
dapat merasakan Asian Games di Indonesia.
Suksesnya Asian Games 2018 ini tidak lepas dari
dukungan dan kerja keras pemerintah, panitia
penyelenggara dan seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Dukungan untuk Asian Games 2018 juga hadir dari
seluruh BUMN. PT. Kawasan Industri Wijayakusuma
(Persero) turut merasakan kemeriahan Asian Games 2018.
Sebagai perusahaan BUMN, PT. KIW (Persero) ikut serta
dalam mendukung perhelatan olahraga terbesar se-Asia
ini. Salah satu bentuk dukungan PT. KIW (Persero)
dengan menyemarakkan Asian Games di lingkungan
perusahaan melalui pemasangan atribut Asian Games di
KIW, pemutaran theme song Asian Games pada kegiatan
senam PT. KIW (Persero) setiap hari jum’at, serta
sosialisasi media sosial.

160
d. Wisata Jakarta di Nobatkan Sebagai The Best
Cultural Heritage Of The Year 2023
Indonesia memiliki keragaman dengan berbagai suku
dan budaya masyarakatnya dari Sabang hingga
Merauke. Saat Jakarta dikenal sebagai kota macet dan
berpolusi, sejenak warga Jakarta khususnya orang Betawi
asli bisa bangga karena wisata kotanya baru saja
dianugerahi sebagai "The Best Cultural Heritage
Destination of The Year 2023."
"Wisata Jakarta berhasil meraih apresiasi dan
penghargaan dari Trip.com Group 2023 Global Summit
pada tanggal 24 Oktober 2023 di Singapura.
Pada penghargaan ini, Jakarta dinobatkan sebagai The
Best Cultural Heritage Destination of The Year." tulis
akun resmi Instagram Dinas Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif (Disparekraf) DKI pada Rabu, 2 November 2023.

Dengan penghargaan ini, masyarakat pun diajak untuk


terus berwisata di Jakarta karena begitu banyak pesona
indah dari tatanan kota yang kini telah banyak
berkembang dengan nilai-nilai wisata budayanya. Tur
budaya di Jakarta sendiri sangat banyak ragamnya, mulai
yang digelar di dalam ruangan hingga luar ruangan.
Seperti saat menyambangi Museum Gajah atau yang
dikenal umum sebagai Museum Nasional.

161
K. Budaya dan Perayaan
a. Jakarta Fair
Jakarta Fair merupakan Perayaan tahunan
mempromosikan kekayaan budaya, kuliner, dan kerajinan,
mempererat identitas Jakarta. situs resmi Jakarta Fair,
Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair Kemayoran pertama
kali diadakan sejak tahun 1968 silam. Kala itu Pekan Raya
Jakarta bertempat di Lapangan Ikada, yang dikenal
sebagai Kawasan Monumen Nasional pada masanya.

Pembukaan Pekan Raya Jakarta pertama kali saat itu


dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan pelepasan
burung merpati. Tak lama setelah itu, Pekan Raya Jakarta
berubah nama menjadi Jakarta Fair, hal ini dinilai agar
lebih dinamis. Ide pembentukan Pekan Raya Jakarta
pertama kali dicetuskan oleh Haji Syamsudin Mangan,
yang saat itu menjabat sebagai Ketua Kadin (Kamar
Dagang dan Industri). Pada tahun 1967, Haji Mangan
mengusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin
untuk dibuatnya pameran besar yang menghadirkan
produk dalam negeri.
Gagasan tersebut disambut baik oleh Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta karena ingin menyatukan
pasar malam yang masih menyebar di sejumlah wilayah
Jakarta. Setahun setelah dibuka, Pekan Raya Jakarta
memecahkan rekor sebagai pameran terlama dengan

162
penyelenggaraan acara selama 71 hari. Presiden Amerika
Serikat pada tahun itu, Richard Nixon, pun sempat
berkunjung ke Pekan Raya Jakarta 1969. Sejak saat itu,
Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair diselenggarakan tiap
tahunnya sampai sekarang. Tahun ini merupakan
penyelenggaraan yang ke-54 kalinya dari acara pameran
terbesar, terlama dan terlengkap di kawasan Asia
Tenggara itu.

Tema Jakarta Fair Kemayoran 2023


Pada penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta ke-54 tahun
ini, Jakarta Fair Kemayoran 2023 mengusung tema
“Bersatulah Indonesia Mendukung Perdagangan Dalam
Negeri dan Ekspor ke Pasar Dunia” dengan subtema
“Warga Bangsa Indonesia meningkatkan kreativitas
produk-produk Indonesia dan berjuang terus sampai
sukses – Indonesia Jaya, Rakyatnya Sejahtera”.

Tema tersebut diambil mengingat perekonomian


Indonesia yang mulai nampak bangkit serta pemerataan di
semua sektor industri sehingga ekonomi dalam negeri
kembali bergeliat pasca COVID-19. Di samping itu,
Jakarta Fair Kemayoran juga merupakan salah satu tolak
ukur perkembangan industri Meetings, Incentives,
Conventions and Exhibitions (MICE) dan juga industri
pariwisata di Indonesia.

163
Menjadi salah satu tujuan terbesar warga, acara Jakarta
Fair 2023 akan berlangsung selama 33 hari, mulai dari
tanggal 14 Juni sampai 16 Juni 2023. Pekan Raya Jakarta
2023 ini bertempat di arena JIEXPO, Kemayoran, Jakarta
Pusat (Jakpus).

b. Festival Jakarta
Merupakan Acara tahunan menampilkan kekayaan
seni, budaya, dan pertunjukan dari seluruh Indonesia,
memperkuat keragaman budaya kota. Salah satu gelaran
event dalam rangka HUT DKI Jakarta dan telah menjadi
program Unggulan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
adalah Festival Jakarta Great Sale (FJGS). Perhelatan
besar yang digelar di Jakarta tersebut, mulai diperkenalkan
ke masyarakat pada tahun 1980-an, tepatnya pada 1982,
dimana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
memprakarsai sebuah ajang belanja yang dinamakan
“Festival Pertokoan”.
Ajang tersebut kemudian berganti nama menjadi “Pesta
Diskon” di tahun 1990-an dan diubah lagi menjadi
“Jakarta Great Sale”, hingga akhirnya namanya berubah
menjadi “Festival Jakarta Great Sale” sampai saat ini.
Penambahan kata “Festival” dimaksudkan agar cakupan
peserta FJGS semakin luas dan dapat diikuti oleh lebih
banyak peritel dan penjual, tidak saja oleh peritel modern,
tetapi juga oleh trade centre hingga penjual di pasar
tradisional.

164
Sampai dengan tahun 2007 Program tersebut masih
diselenggarakan oleh KADIN DKI Jakarta, sejak tahun
2008 perhelatan akbar tersebut mulai diselenggarakan
oleh asosiasi , yang pada saat itu oleh APRINDO (Asosiasi
Pengusaha Retail Indonesia), dan sejak tahun 2009 oleh
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DPD
DKI Jakarta bekerjasama dan didukung oleh beberapa
asosiasi & perusahaan terkait.

165
166

Anda mungkin juga menyukai