Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Sejarah Kesultanan Cirebon

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Sejarah Indonesia Madya 1

Dosen Pengampu : Dr. Djono., M.Pd

Disusun Oleh:

Adelio Aksel Haryanto (K4419002)

Anezia Syaharani (K4419014)

Disti Orisa Satifa (K4419032)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan hidayah
dan karunia-Nya sehingga tugas Pendidikan Pancasila yang berjudul “Sejarah Kesultanan
Cirebon” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas
kelompok. Penulis menyadari makalah ini dapat tersusun sedemikian rupa dan terselesaikan
dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu saya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Djono.,
M.Pd selaku pengampu dosen mata kuliah Sejarah Indonesia Madya 1 dan teman-teman yang
banyak memberikan masukan, informasi, reversensi demi pemenuhan tugas ini. Saran dan
kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk perbaikan tugas ini karena penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangannya. Semoga tugas makalah ini dapat memberi manfaat bagi
pembacanya.

Surakarta, 9 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I (PENDAHULUAN)................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH............................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN...............................................................................................2
1.4 MANFAAT PENULISAN...........................................................................................2
BAB II (PEMBAHASAN).................................................................................................3
2.1 AWAL TERBENTUKNYA KESULTANAN CIREBON........................................3
2.2 KEHIDUPAN DAN KEJAYAAN KESULTANAN CIREBON.............................4
2.3 KERUNTUHAN KESULTANAN CIREBON..........................................................5
2.4 PENINGGALAN KESULTANAN CIREBON.........................................................7
BAB III (PENUTUP).........................................................................................................7
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................8
3.2 KRITIK DAN SARAN................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Cirebon merupakan wilayah kekuasan Kesultanan Demak sedari 1470 dan
Cirebon ini kaya akan hasil alamnya yang berupa bahan-bahan makanan seperti beras,
gula, garam, dan lain sebagainya. Wilayah Cirebon juga merupakan wilayah bawahan
dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang menyebabkan wilayah Cirebon ini wajib
membayarkan upeti berupa hasil alam yaitu garam dan terasi ke Kerajaan Sunda
Pajajaran. Tetapi pada mas kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon mulai
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda Pajajaran dengan cara memberhentikan upeti wajib
dan hal ini berhasil serta membuat Cirebon merdeka dan memiliki kesultanan dan
pemerintahan sendiri dan utuh tanpa campur tangan wilayah lain.
Kehidupan kegamaan di Cirebon sendiri mayoritas adalah agama Islam dan agama
ini sangat berkembang dan memberi pengaruh karena pemimpin yang memimpin
Kesultanan ini berasal dari pihak Wali Songo (pendakwah) yaitu Sunan Gunung Jati pada
1479. Kehidupan agama ini sangat maju dibuktikan dengan adanya Masjid Agung dan
pendirian Pesantren. Tak hanya agama, kehidupan politik, sosial, dan budaya pun juga
berkembang.

Masa akhir dari kerajaan adalah ketika datangnya VOC ke wilayah Jawa dan
mulainya kegiatan kolonialisasi yang menyebabkan VOC ikut campur dalam
pemerintahan di Cirebon, dan hal ini membuat Kesultanan Cirebon terbagi menjadi 2
wilayah yaitu Kacirebonan dan Kaprabonan pada tahun 1697. Akibat hal ini
menyebabkan kemrosotan berbagai aspek kehidupan di Cirebon terutama di
kepemerintahannya. Serta, juga didukung oleh kematian Sunan Gunung Jati yang
menyebabkan kemunduran juga dibidang agama dan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana awal terbentuknya Kesultanan Cirebon ?
2. Bagaimana kehidupan dan kejayaan di Kesultanan Cirebon ?
3. Bagaimana akhir pemerintahaan dan kemunduran Kesultanan Cirebon ?
4. Apa saja peninggalan dari Kesultanan Cirebon?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui awal terbentuknya Kesultanan Cirebon
2. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan dan kejayaan di Kesultanan Cirebon
3. Untuk mengetahui masa akhir dan kemunduran Kesultanan Cirebon
4. Untuk mengetahui peninggalan dari Kesultanan Cirebon

1.4 Manfaat Penulisaan


1. Bagi Universitas Sebelas Maret

Untuk menambah sumber literasi mengenai kajian Sejarah Indonesia Madya


terutama di dalam materi Sejarah Kesultanan Cirebon.

2. Bagi Mahasiswa

Untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai kajian Sejarah Indonesia


Madya terlebih pemahaman akan Sejarah Kesultanan Cirebon.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Awal Terbentuknya Kesultanan Cirebon


Menurut berita yang ditulis oleh Tome Pires (1513) Daerah Cirebon merupakan
daerah kekuasaan dari Kerajaan Demak, dan Cirebon merupakan komoditi ekspor beras,
gula, garam, dan bahan makanan lainnya. Untuk keagamaan Islam sendiri di Cirebon
telah berkembang sejak 1470 M oleh Syarif Hidatullah di Gunung Sembung bersama
dengan Haji Abdullah / Pangeran Cakrabumi, kemudian Syarif Hidatullah ini menikahi
Pangkuwati dan pada 1479 M Syarif Hidatullah menggantikan mertuanya dan menjadi
Penguasa di Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati atau Gunung Jati. Ia kemudian
membangun Keraton Pangkuwati.
Semenjak kepemimpinan Sunan Gunung Jati ini agama Islam terus berkembang
dengan hadir dan menetapnya berbagai tokoh-tokoh Islam seperti Syekh Datuk Khafi,
Syekh Siti Jenar, syekh Majagung, dan Syekh Magribi. Jadi, selain menjadi penguasa
Sunan Gunung Jati ini masih aktif juga dalam kegiatan penyebaran agama Islam oleh
sebab itu kehidupan agama Islam di Cirebon sangat-sangat berkembang pesat. Contohnya
dengan dibangunnya Masjid Agung Cipta Rasa di sebelah barat Alun-Alun Keraton
Pangkuwato, dan menjadi pelopor pendirian Pesantren sebagai tempat untuk mengajar
dan menyebarkan agama Islam bersama Pangeran Cakrabumi.
Kegiatan politik pertama yang diambil oleh Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin
di Cirebon adalah mengulang dan memperbaiki hubungan dengan Kesultanan Demak
serta melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran dengan cara
memberhentikan pembayaran upeti tahunan yang berupa garam dan terasi. Hal ini
membuat Raja Pajajaran marah dan menyuruh Tumenggung Jagabaya dan 60 pasukannya
untuk menyerang dan mendesak Cirebon agar membayar upeti tahunannya kepada
Kerajaan Sunda Pajajaran. Tetapi, Tumenggung Jagabaya dan pasukannya membolot
kepada kerajaan dan kemudian menetap di Cirebon serta mulai memeluk agama Islam.
Dengan berhentinya pengiriman upeti ke Kerajaan Sunda Pajajaran hal ini berarti
Cirebon sudah memiliki kekuasan yang penuh dan absolut terhadap daerahnya dan
kemudian mereka merdeka dengan mendirikan Kesultanan Cirebon tanpa campur tangan
dari puhak luar manapun.
2.2 Kehidupan dan Masa Keemasan Kesultanan Cirebon

3
Kesultanan Cirebon didirikan oleh Syarif Hidayatullah pada tahun 1479 M. Syarif
Hidayatullah berkuasa dengan menyandang gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Muhammad Syarif Abdullah. Kehadirannya lantas disambut hangat oleh para
wali tanah Jawa dengan memberi gelar “Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda atau
Inkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah
Kutubid zaman Khalifatur Rasulullah”.

Sambutan yang baik dari para Wali di Tanah Jawa ternyata sudah menimbulkan
kesan yang istimewa bagi kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau biasa disebut dnegan
Sunan Gunung Jati. Pada masa inilah Kesultanan Cirebon mencapai masa keemasannya,
ketika pemimpinnya adalah seorang Raja besar sekaligus seorang Wali. Fakta inilah yang
lantas mengiringi masuknya agama Islam di Tanah Cirebon.

Sunan Gunung Jati adalah seorang Raja yang memiliki darah bangsawan dari
kedua orang tuanya, memiliki akhlak luhur, dan pemahaman agama yang mumpuni. Hal
inilah yang membuatnya disegani oleh para rakyatnya. Selain mampu membebaskan
Cirebon dari kekuasaan Sunda, Sunan Gunung Jati mampu melahirkan segudang prestasi
dalam masa pemerintahannya, yaitu antara lain :

a) Melakukan ekspansi wilayah hingga menguasai separuh wilayah dari Jawa Barat dan
Banten dengan jumlah rakyat mencapai jumlah 600.000 jiwa, sekaligus sebagai proses
Islamisasi penduduk.

Pada tahun 1525- 1526, telah dilancarkan misi penyebaran Islam ke Banten
dengan cara menempatkan putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana
Hasanuddin sebagai penguasa. Maulana Hasanuddin mampu menumbangkan
kekuasaan Pucuk Umum yang masih berstatus sebagai bagian dari Kerajaan Sunda.
Segeralah ia membangun pemerintahan bercorak Islami disana. Penyebaran Islam
juga meluas ke wilayah Priangan Timur pada tahun 1528-1530. Proses Islamisasi ini
sekaligus digunakan sebagai misi ekspansi wilayah kekuasaan Cirebon.

b) Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di berbagai bidang, seperti melakukan


pembangunan keraton, mendirikan masjid di seluruh wilayah kekuasaan, serta
memperlancar mobilitas dengan pembuatan jalan.

Pada tahun 1483, dilakukan perluasan dan pelengkapan bangunan pada


keraton lama Dalem Pakungwati yang dulu dibangun oleh Cakrabuwana. Sunan

4
Gunung Jati juga menambah tembok setinggi 2 meter di sekeliling kota untuk
memperkuat keamanan. Pembangunan juga dilakukan pada pangkalan perahu yang
terletak di sebelah tenggara keraton di tepi Sungai Kriyan, dengan menambah gapura
Lawang Sanga, bengkel perahu, istal kuda kerajaan, dan pos penjagaan. Pembangunan
pelabuhan Muara Jati juga terlihat dengan adanya mercusuar dan bengkel perahu,
yang juga dibantu pembangunannya oleh keturunan Cina.

Pembangunan sarana transportasi juga telah dilaksanakan sebagai upaya untuk


mempercepat pertumbuhan ekonomi. Maka dibangunlah saluran transportasi melalui
sungai dan jalan darat. Pembangunan jalan darat dimulai dari alunalun keraton
Pakungwati ke pelabuhan Muara Jati, dengan tujuan supaya para pedagang asing dan
utusan kerajaan lain dapat mudah bertemu dengan Sunan Gunung Jati.

Pada bidang keamanan, dibentuk Pasukan khusus bernama Jagabaya, yang


ditempatkan di daerah pemerintahan pusat dan di setiap daerah kekuasaan Kesultanan
Cirebon.

Maka dari itu, lewat berbagai langkah itulah Kesultanan Cirebon akhirnya dapat
mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, sekaligus tumbuh menjadi negara
yang kuat. Bahkan, Kesultanan Cirebon berdiri sebagai Negara berwibawa yang disegani
oleh negara-negara lainnya. Setelah Gunan Gunung Jati wafat, Kesultanan Cirebon
mengalami kemunduran secara perlahan, namun kebesaran nama Rajanya masih dikenang
hingga sekarang.

2.3 Akhir Kesultanan Cirebon

Ketika kolonialisasai mulai masuk ke Nusantara, politik Kesultanan Cirebon


mulai dicampuri oleh pihak kolonial asing yaitu VOC. Hal ini disebabkan oleh perjanjian
dengan VOC antara lain perjanjian pada 7 Junuari 1681, selain mencampuri urusan
politik Kesultanan Cirebon VOC juga memonopoli ekonomi dan perdagangan di
Kesultanan Cirebon (Poesponegoro, 2009: 60). Mulai tahun 1697, Kesultanan Cirebon
terbagi menjadi dua atas Kacirebonan dan Kaprabonan, pada tahun ini pula Kesultanan
Cirebon mulai mengalami kemerosotan akibat adanya kolonialisme (Poesponegoro,
2009).

Selain karena adanya kolonialisme, pecahnya Kesultanan Cirebon diakibatkan


oleh campur tangan Kesultanan Mataram dan Kesultanan Banten. Latar belakang kedua

5
kesultanan ini ingin menguasai Kesultanan Cirebon sebab berada di lokasi perdagangan
yang strategis. Sehingga mereka berebut pengaruhnya di Kesultanan Cirebon. Dalam
upaya untuk menanamkan pengaruh di Kesultanan Cirebon, Mataram pada pemerintahan
Sultan Amangkurat I dengan pemerintahannya yang diktator menyandera Panembahan
Ratu II hingga wafat dan dimakamkan di Yogyakarta, Sultan Amangkurat I juga
menyandera kedua putra dari Panembahan Ratu II yaitu Pangeran Kartawijaya dan
Pangeran Martawijaya. Akibatnya Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan kekuasaan
dan kemudian Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Sultan. Dengan bantuan
Trunojoyo dari Banten yang dulunya merupakan daerah kekuasaan Cirebon yang
melepaskan diri kemudian berhasil mengeluarkan kedua pangeran yang disandera oleh
Sultan Amangkurat II di Kesultanan Mataram.

Sekembalinya Pangeran martawijaya ke Cirebon kemudian menduduki keraton


yang sudah ada dan mendirikan kembali Keraton Kasepuhan dengan gelar Sultan Sepuh I.
Pada 1697, Sultan Sepuh I wafat dan sebelumnya belum dipilih penerus bagi Keraton
Kasepuhan. Namun karena Sultan Sepuh I memiliki dua orang putra maka terjadi
perselisihan antara keduanya tentang hak waris. Pada akhirnya VOC ikut terlibat dalam
meredakan perseteruan ini dengan mengadakan perjanjian pada 4 Agustus 1699, di
Batavia. Inti dari perjanjian ini mengenai pembagian hak waris, pada akhirnya kedua
putra dari Sultan Sepuh bersama sama menjalankan pemerintahan di Keraton.

Kemudian Dipati Anom sebagi kakak tertua membagi keraton menjadi dua yaitu
Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Dipati Anom dengan gelar Sultan Sepuh
II dan Kacirebonan dipimpin oleh Pangeran Aria Adiwijaya dengan gelar Pangeran Aria
Cirebon. Selain menjadi Sultan Kacirebonan, Pangeran Aria Cirebon juga diangkat
menjadi overseer atau pengawas bupati di Priangan oleh VOC pada tahun 1706.
Pengangkatan ini merupakan dalih VOC untuk menguasai Cirebon secara seutuhnya.
Karena Pangeran Aria yang banyak melanggar peraturan VOC maka ia dibuang dan
diasingkan oleh VOC sehingga Kacirebonan dihapuskan dan digantikan menjadi
Keanoman. Pada akhirnya di Cirebon terdapat dua kesultanan yaitu Kasepuhan dan
Keanoma.

Keraton Keanoman dibangun oleh Sultan Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom
I. Hingga pada akhirnya terdapat konflik diantara para sultan akan kekuasaan atas
Cirebon. Hal ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruhnya dalam

6
keluarga keraton. VOC berlagak sebagai penegah dan melakukan banyak perjanjian yang
menguntungkan VOC dan para sultan harus menyetujuinya. Pada akhirnya akibat
banyaknya campur tangan VOC dalam lingkup kesultanan di Cirebon membuat
kesultanan menjadi terpuruk. Sultan tak memiliki kuasa atas keraton dan hanya menjadi
simbol dan sepenuhnya menjadi boneka bagi pemerintahan VOC sebab apapun keputusan
yang akan diambil sultan harus atas persetujuan dan izin VOC.

2.4 Peninggalan dari Kesultanan Cirebon

Cirebon merupakan pusat bagi keagamaan yang tujan penyebaranya berada di


berbagai tempat. Banyaknya peninggalan-peninggalan tarekat keagamaan dan sumber
keagamaan di Cirebon seperti Tasawuf, Kubrawiyah, Qadariyah, Shattariyah, dan
Tijaniyah cukup berkembang di Cirebon bila dilihat Cirebon sebagai pusat keagamaan
bagi agama islam. Selain peninggalan tarekat-tarekat agama islam, Cirebon juga
mempunyai peninggalan yang berupa naskah-naskah kuno layaknya kerajaaan atau
kesultanan lain di Nusantara, naskah-naskah kuno tersebut antara lain seperti Babad
Tjerbon, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, dan Perpakem Tjerbon (Poesponegoro,
2009).

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Daerah Cirebon merupakan daerah kekuasaan dari Kerajaan Demak, dan Cirebon
merupakan komoditi ekspor beras, gula, garam, dan bahan makanan lainnya. Islam sendiri
di Cirebon telah berkembang sejak 1470 M oleh Syarif Hidatullah dan pada 1479 M
Syarif Hidatullah menggantikan mertuanya dan menjadi Penguasa di Cirebon dengan
gelar Susuhunan Jati atau Gunung Jati. Semenjak kepemimpinan Sunan Gunung Jati ini
agama Islam terus berkembang Kegiatan politik pertama yang diambil oleh Sunan
Gunung Jati sebagai pemimpin di Cirebon adalah mengulang dan memperbaiki hubungan
dengan Kesultanan Demak serta melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda
Pajajaran dengan cara memberhentikan pembayaran upeti tahunan yang berupa garam
dan terasi. Karena dianggap sebagai sebuah penghinaan dan upeti ditolak maka
pemberian upeti dihentikan.Dengan berhentinya pengiriman upeti ke Kerajaan Sunda
Pajajaran hal ini berarti Cirebon sudah memiliki kekuasan yang penuh dan absolut
terhadap daerahnya dan kemudian mereka merdeka dengan mendirikan Kesultanan
Cirebon tanpa campur tangan dari puhak luar manapun.

Selain mampu membebaskan Cirebon dari kekuasaan Sunda, Sunan Gunung Jati
mampu melahirkan segudang prestasi dalam masa pemerintahannya, yaitu antara lain :

a. Melakukan ekspansi wilayah hingga menguasai separuh wilayah dari Jawa Barat dan
Banten dengan jumlah rakyat mencapai jumlah 600.000 jiwa, sekaligus sebagai proses
Islamisasi penduduk.
b. Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di berbagai bidang, seperti melakukan
pembangunan keraton, mendirikan masjid di seluruh wilayah kekuasaan, serta
memperlancar mobilitas dengan pembuatan jalan.

Maka dari itu, lewat berbagai langkah itulah Kesultanan Cirebon akhirnya dapat
mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, sekaligus tumbuh menjadi negara
yang kuat.

Ketika kolonialisasai mulai masuk ke Nusantara, politik Kesultanan Cirebon


mulai dicampuri oleh pihak kolonial asing yaitu VOC. Selain karena adanya
kolonialisme, pecahnya Kesultanan Cirebon diakibatkan oleh campur tangan Kesultanan

8
Mataram dan Kesultanan Banten. Pada akhirnya akibat banyaknya campur tangan VOC
dalam lingkup kesultanan di Cirebon membuat kesultanan menjadi terpuruk. Sultan tak
memiliki kuasa atas keraton dan hanya menjadi simbol dan sepenuhnya menjadi boneka
bagi pemerintahan VOC sebab apapun keputusan yang akan diambil sultan harus atas
persetujuan dan izin VOC.

Cirebon juga mempunyai peninggalan yang berupa naskah-naskah kuno layaknya


kerajaaan atau kesultanan lain di Nusantara, naskah-naskah kuno tersebut antara lain
seperti Babad Tjerbon, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, dan Perpakem Tjerbon
(Poesponegoro, 2009).

3.2 Kritik dan Saran

Kesultanan Cirebon yang merupakan salah satu kerajaan islam besar di Nusantara
memiliki banyak sisi yang menarik untuk dipelajari. Namun, selama pengerjaan ini kami
memiliki kendala mengenai sumber yang kredibel sehingga apabila dalam penulisan
sejarah terdapat hal yang kurang lengkap mohon dikoreksi.

Dalam pengerjaan makalah ini kami mengaharapkan kritik dan saran dari
pembaca terhadap makalah kami. Selama pengerjaan apabila terdapat kekurangan mohon
dimaafkan dan apabila terdapat penulisan kata yang tidak sesuai mohon dijadikan
maklum dan dapat menjadi koreksi bagi kami kedepannya. Terima Kasih.

9
DAFTAR PUSTAKA

Erwantoro, H. (2012). Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. Patanjala Vol. 4, No. 1, Mei 2012:
170-183 .

Poesponegoro, M. D. (2009). Sejarah Nasional Indonesia III / Marwati Djoened


Poesponegoro; Nugroho,-cet 3 –Edisi Pemuktahiran-. Jakarta : Balai Pustaka.

Rosita, H. (2015). Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat


Cirebon Tahun 1677-1752. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

iv

Anda mungkin juga menyukai