Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH

KESULTANAN CIREBON

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah Islam Indonesia Masa Kesultanan

Dosen Pengampu :
Dra. Himatul Ittihadiyah, M. Hum.

Tim Penyusun :
1. Septian Nurrohman (19101020002)
2. Anifa Nurhayati (19101020017)
3. Azwaril Kholidin (19101020007)

PRODI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Sejarah Islam Indonesia Masa Kesultanan yang berjudul Sejarah Kesultanan
Cirebon dengan baik. Semoga dengan makalah yang kami buat ini, para pembaca
khususnya mahasiswa dapat mengetahui, memahami serta mengambil pelajaran
dalam sejarah Kesultanan Cirebon.

Dalam kesempatan ini pula, kami menyampaikan rasa bahagia dan ucapan
terimakasih kepada Ibu Dosen, Dra. Himatul Ittihadiyah, M. Hum. yang telah
membimbing kami serta rekan-rekan yang turut membantu dan memberi dukungan
dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan penyusunan makalah yang akan datang.

Yogyakarta, 8 April 2020

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I PENDAHULUAN 4

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 4

BAB II PEMBAHASAN 5

A. Letak Geografis 5

B. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon 5

C. Kehidupan Masyarakat Kesultanan Cirebon 7

D. Peninggalan Kesultanan Cirebon

BAB III PENUTUP 16

A. Kesimpulan 16

B. Saran 16

Daftar Pustaka 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cirebon atau yang kemudian dikenal pula dengan julukan "Kota Udang" merupakan
satu di antara beberapa daerah di Indonesia yang menyimpan begitu banyak peristiwa
bersejarah dan peninggalan sejarah. Hal ini dapat terlihat dari adanya peninggalan
berupa: kompleks kraton dan kompleks makam/kuburan bercorak Islam dari keluarga
sultan-sultan Cirebon. Selain itu, juga terdapat karya tulis berupa naskah (babad) dan
tradisi lisan yang menjadi sumber penulisan tentang sejarah Cirebon.

Peninggalan kraton, menjadi acuan bahwa di Cirebon pernah berdiri sebuah kerajaan.
Sedangkan terdapatnya kompleks makam sultan dan keluarganya yang bercorak Islam,
menunjukkan bahwa kerajaan yang pernah ada tersebut dipengaruhi oleh agama Islam.
Dari berbagai peninggalan tersebut, tergambar bahwa Cirebon menyimpan kisah yang
panjang, melintasi kurun waktu beberapa abad lamanya. Untuk itu, wajib bagi kita untuk
menggali kembali sejarah tersebut demi menemukan bukti-bukti sejarah yang semakin
relevan kedepannya.

B. Rumusan Masalah

1. Dimanakah letak geografis Kesultanan Cirebon ?


2. Bagaimana sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon ?
3. Bagaimana kondisi masyarakat Kesultanan Cirebon ?
4. Apa saja peninggalan Kesultanan Cirebon ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Letak Geografis
Kerajaan Cirebon yang saat ini merupakan bagian dari wilayah administratif
Provinsi Jawa Barat terletak di ujung timur pantai utara Jawa Barat dan berbatasan
dengan wilayah Administratif Provinsi Jawa Tengah. Pada saat ini yang disebut
daerah Cirebon adalah wilayah bekas Karesidenan Cirebon terdiri atas Kabupaten
Cirebon, Kotamadya Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan
Kabupaten Indramayu. Luas kelima daerah ini adalah 5.642,569 km2. Batas-batas
wilayahnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Brebes, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka.
Ibukotanya adalah Cirebon.

B. Sejarah Berdirinya

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan
scbuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya
menempatkan seorang juru labuhan di sana, benama Pangeran Walangsungsang.
Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang (1430 – 1479) merupakan
keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri
Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang (pangeran Cakra Buana) meiliki dua
orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran.
Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai
putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki
dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).
Ini dikarenakan pada saat itu ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah
Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Pangeran
Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir,

5
mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi), membuat Dalem
Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon sebelum adanya
kesultanan cirebon. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon
menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang dikenal dengan gelar Sunan
Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang. Dialah
pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.

Sebagai keponakan dari Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati juga


mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, raja Sunda yang
berkedudukan di Pakuan Pajajaran, yang menikah dengan Nyai Subang Larang pada
tahun 1422. Dari perkawinannya itu, lahirlah tiga orang putra, yaitu Raden
Walangsungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Kian Santang. Sunan Gunung Jati
merupakan putra dari Nyai Rara Santang dari perkawinannya dengan Maulana Sultan
Mahmud alias Syarif Abdullah dari Bani Hasyim, ketika Nyai itu naik haji.

Disebutkan Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M, dan wafat pada 1568 M
dalam usia 120 tahun. Karena kedudukannya scbagai salah seorang Wali Songo, la
mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran
yang masih belum menganut Islam itu.

Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di


Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan
Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum Muslimin di Banten
diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M ketika ia kembali ke
Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang
menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten tersebut, akhirnya kerajaan
Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda
Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh Falatehan dengan
bantuan tentara Demak.

6
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia diganti oleh cicitnya yang terkenal dengan
gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650,
dan digantikan oleh puteranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan
Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pangeran Girilaya itu. Panembahan
Girilaya wafat pada tahun 1666, untuk sementara Pangeran Wangsakerta diangkat
sebagai Susuhunan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati. Tahun 1677 Cirebon
terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja
Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan
Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan Sultan
Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan Sultan
Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh.

Hingga sekarang ini di Cirebon dikenal terdapat tiga sultan yaitu Sultan Sepuh,
Sultan Anom, dan Sultan Cirebon. Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan
adanya keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton
Kacirebonan. Di luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu keraton yang terlepas
dari perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang. Kesultanan Kanoman
dipimpin oleh Badrudin Kartawijaya, Kesultanan Sepuh dipimpin oleh Samsudin
Mertawijaya, dan Kesultanan Kacerbonan dipimpin oleh Pangeran Wangsakarta.
Terbaginya Kerajaan Cirebon ini menyebabkan wilayahnya terbagi pula menjadi
beberapa wilayah, sesuai dengan kesultanan masing-masing. Selain perubahan
wilayah, juga terjadi perubahan yang drastis dalam struktur pemerintahan.

C. Kehidupan Masyarakat
1. Ekonomi

Kehidupan ekonomi kerajaan tidak berwujud kemakmuran tanpa adanya lapisan


non elite yang harus membanting tulang untuk menghasilkan keuntungan. Para
nelayan misalnya memainkan peran yang mempunyai andil yang besar bagi
kehidupan perekonomian di pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota pantai, di tempat
mereka menjual hasil tangkapannya. Hal ini terutama sekali kepada orang-orang
lapisan atas yang memerlukan bahan makanan yang lebih sempurna dari lapisan di
bawahnya. Tidak kurang pentingnya adalah golongan pekerja tukang-tukang (pandai)

7
seperti tukang kayu, pandai besi, pandai emas, dan sebagainya. Para tukang ini
melayani kebutuhan golongan atas untuk memenuhi perlengkapan hidupnya.
Misalnya untuk membuat rumah dan perabot rumah seperti lemari, kursi, dipan, dan
lain-lain. Pandai besi membuat alat-alat seperti pisau, wajan, senjata untuk prajurit
kerajaan, dan sebagainya.

Satu di antara beberapa tempat yang merupakan tempat bertemu dan berinteraksi
penduduk Cirebon adalah pasar. Pasar selain sebagai pusat perputaran ekonomi
penduduk, juga sebagai sarana pertukaran budaya dan informasi. Karena fungsi pasar
yang penting ini, sehingga biasanya pasar dibangun di dekat alun-alun kraton.

2. Sosial

Masyarakat di Kerajaan Cirebon awalnya tersusun secara hirarki vertical karena


masih terpengaruh adanya sistem kasta dalam agama Hindu. Pelapisan sosial
berdasarkan kedudukan peran seseorang atau sekelompok orang di dalam
masyarakat, sehingga kehidupan masyarakatnya bertingkat-tingkat dan terkotak-
kotak. Bila dilihat dari segi ini, masyarakat di Kerajaan Cirebon dapat
dikelompokkan ke dalam 4 lapisan sosial, yaitu:

a) Golongan Raja; terdiri atas raja beserta keluarganya.

Sebelum masuknya pengaruh Islam dikenal hanya gelar raja, tetapi kemudian
berubah menjadi sultan begitu pengaruh Islam masuk dan tertanam dalam kehidupan
masyarakatnya. Selain gelar sultan, terdapat gelar lainnya pada golongan ini, yaitu
mangkubumi, adipati, senapati, pangeran, susuhunan dan panembahan. Gelar-gelar ini
umumnya diberikan kepada keluarga dekat sultan. Setelah Susuhunan Jati (Sunan
Gunung Jati) tidak memimpin Kerajaan Cirebon lagi, gelar susuhunan, sunan, atau
tumenggung, tidak digunakan lagi. Penghentian penggunaan gelar-gelar ini dimaksudkan
untuk memberi penghormatan khusus kepada Sunan Gunung Jati yang mendapat hidayah
dari Allah untuk menjadi wali dan penyebar ajaran Islam di Pulau Jawa. Dengan
demikian kewaliannya tidak dapat diteruskan apalagi diwarisi oleh pengganti-
penggantinya.

8
Kehadiran raja di muka umum biasanya dilakukan pada upacara-upacara kenegaraan
seperti penobatan raja, upacara perkawinan raja atau putra-putri raja. Kehadiran para
bangsawan, pejabat-pejabat di keraton Cirebon, maupun pejabat-pejabat di daerah,
biasanya membawa hadiah-hadiah atau upeti yang dipersembahkan kepada raja. Dari
berbagai hal yang diuraikan tersebut, terlihat bahwa hubungan antara bangsawan, para
pejabat kerajaan dan rakyat dengan raja atau sultan sangat dibatasi.

b) Golongan elit

Golongan elite merupakan kelompok orang-orang yang mempunyai kedudukan


di lapisan atas. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah bangsawan, priyayi,
tentara, golongan keagamaan (Islam) dan pedagang kaya. Di antara golongan ini patih
dan syahbandar menduduki tempat yang penting.

Golongan keagamaan yang terdiri dari para ulama menempati posisi yang cukup
terpandang pada masyarakat Cirebon. Mereka pada umumnya berperan sebagai
penasehat raja. Tidak sedikit pula dari para ulama ini memainkan peran di bidang politik
dan budaya. Peran ini diambil karena adanya akses yang luas bagi para ulama untuk
dekat dengan kehidupan istana. Begitu kuatnya pengaruh ulama dalam kehidupan politik
intern, sehingga sering titah raja disampaikan melalui para ulama. Raja sendiri, seperti
pada masa kekuasaan Panembahan Ratu (Sunan Gunung Jati) memerintah Cirebon,
disebutkan pada catatan kraton Kasepuhan Cirebon bahwa beliau lebih banyak bertindak
dan berperilaku sebagai ulama dari pada sebagai raja. Jadi urusan pengembangan agama
lebih diprioritaskan dari pada urusan ekonomi, politik, maupun militer.

c) Golongan non-elit

Golongan lapisan bawah (Non elite). Golongan ini meliputi jumlah yang sangat
banyak, tetapi dari segi kehidupan sehari-hari termasuk kedalam lapisan masyarakat
kecil. Pada umumnya mereka bermata-pencaharian dari pertanian, pedagang, nelayan,
tukang, tentara bawahan, buruh, dan pekerja lain yang masuk ke lapisan masyarakat
bawah.

Golongan lain dalam lapisan ini adalah prajurit atau tentara kerajaan. Mereka
sangat berperan pada saat terjadi peperangan. Dalam situasi damai mereka hanya
bertugas sebagai penjaga keamanan kota atau sebagai pengawal raja saja. Maju dan

9
mundumya kerajaan sangat ditentukan oleh kekuatan tentaranya. Karena itulah pada
saat- saat tertentu, semua warga kerajaan yang sudah dewasa diwajibkan "bela negara"
untuk mempertahankan kerajaan dari serangan musuh.

d) Golongan budak

Golongan budak, mereka ini adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik -
menjual tenaga dan pekerja kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki tetapi juga kaum
wanita dan bahkan anak- anak di bawah umur. Perbudakan ini terjadi karena sebab-sebab
tertentu. Misalnya seseorang tidak dapat membayar utang sehingga anak atau salah
seorang anggota keluarganya diserahkan sebagai pengganti pembayaran utang. Ada pula
yang menjadi budak karena merupakan tawanan perang atau karena akibat dari
perdagangan budak. Golongan ini mengerjakan pekerjaan yang berat-berat seperti
pembuatan jalan, mengolah tanah pertanian dan lain-lain. Mereka wajib taat pada
peraturan-peraturan yang dibuat majikannya, dan bila majikan tidak menyukainya lagi, ia
dapat saja dijual ke orang lain. Mereka tidak diperkenankan bercakap-cakap dengan
orang lain apalagi kepada majikannya. Nasib mereka memang sangat menyedihkan.

Setelah ajaran Islam masuk dan tersebar di tengah-tengah masyarakat, susunan


masyarakat berdasarkan kasta ini terkikis perlahan-lahan dan dimulailah suatu kehidupan
masyarakat baru tanpa penindasan atas hak asasi manusia yang dilatari oleh perbedaan
kasta tersebut.

3. Budaya

Ciri pertama yang menonjol adalah penduduknya yang beraneka ragam. Nama-nama
dari kampung mereka diberikan sesuai dengan ciri kehidupan sosial penduduknya. Ada
kampung Arab, Kampung Pecinan, Pekojan, dan sebagainya. Kampung-kampung pada
masa itu kerap juga dinamai sesuai jabatan/kedudukan penghuninya. Sebagai contoh ada
daerah yang bernama Ksatriaan, Kauman, atau Kademangan. Ksatriaan adalah
perkampungan yang dihuni oleh para prajurit kerajaan. Sedangkan kauman dan
kademangan adalah nama tempat para ulama dan para demang kraton Cirebon. Asal-usul
nama perkampungan dapat juga ditekuni dari jenis pekerjaan penduduknya. Sebagai
contoh sampai sekarang di Cirebon ada kampung yang bernama pazjunan. Dahulu

10
kampung panjunan dikenal sebagai kampung pembuatan gerabah, seperti periuk,
belanga, dan lain-lain.

Orang Cirebon sering menyebut dirinya sebagai wong Jawa yang membedakannya
dengan orang Sunda yang disebutnya wong gunung. Dilihat dari sudut budaya orang
Cirebon merupakan pendukung budaya hasil pertemuan kehidupan Sunda dan Jawa. Hal
ini dapat dilihat pada bahasanya yang dominan Jawa. Bahasa Cirebon sering disebut
dengan nama bahasa Jawa Cirebon atau digolongkan sebagai dialek Jawa-Cirebon
sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa. Untuk lebih mudahnya orang kadang-kadang
menyebutnya bahasa Cirebon.

Kekhasan lain dari budaya Cirebon adalah terpadunya unsur budaya Hindu, Cina dan
Islam. Budaya dari pengaruh Islam cenderung lebih dominan pengaruhnya. Perpaduan
budaya ini tercermin dari arsitektur bangunan, ragam hias, seni tari, dan upacara-upacara.
Pengaruh budaya Cina tampak jelas dalam unsur-unsur budaya lama seperti pada
ornamen-ornamen dalam kraton, mesjid, motif hiasan Panji, wadas, motif mega pada
batik, lambang naga pada kereta pusakan dan sebagainya.

Masyarakat Cirebon merupakan salah satu masyarakat yang cukup kuat


mempertahankan kebudayaannya dari berbagai pengaruh luar, sebaliknya malahan
mereka memberi pengaruh kepada daerah-daerah sekitarnya sesuai dengan peranannya
sebagai pusat penyebaran budaya Islam sejak berabad-abad sebelumnya. Tersebar dan
bertahannya budaya Cirebon ini terlihat dalam hal kesenian dan upacara-upacara.
Sebagai contoh kesenian topeng. Kesenian ini pada mulanya merupakan sarana untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Kesenian ini bersifat sakral, tetapi kemudian menjadi
kesenian rakyat biasa, bahkan sarana untuk mengamen. Kesenian ini pun melebarkan
sayapnya ke luar daerah Cirebon sehingga dikenal adanya kesenian topeng Tambun,
kesenian topeng Betawi. Sampai sekarang ini kesenian topeng di desa cikal bakalnya
yaitu desa Silangit, masih terus tumbuh.

D. Peninggalan Kesultanan Cirebon

1) Keraton Kasepuhan Cirebon

11
2) Keraton Kanoman

3) Keraton Kacirebon

4) Keraton Keprabon

5) Kareta Singa Barong Kasepuhan

12
6) Masjid Sang Cipta Rasa

7) Makam Sunan Gunung Jati

8) Patung Macan Putih

9) Alun-alun Sangkala Buana atau Saptonan

13
10) Bangunan Mande pengiring

11) Bangunan Mande Karesmen

12) Regol Pengada

14
13) Tajuq Agung dan Beduq Samogiri

14) Kutagara Wadasan dan Kuncung

15) Mangkok Kayu Berukir

Bab III

Penutup

1. Kesimpulan

15
Dari pemaparan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan. Pertama,
kesultanan Cirebon didirikan oleh Ulama sekaligus keturunan raja Pajajaran yaitu Sunan
Gunung Jati atau Syekh syarif Hidayatullah. Ia cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari
nyai Subang larang. Kedua, Cirebon merupakan kerajaan Islam Pertama di Jawa Barat.
Ketiga, Falatehan atau Fatahillah bukanlah Syarif Hidayatullah, melainkan menantunya.

Point-point yang kami simpulkan diatas hanya beberapa kesimpulan dari


banyaknya kesimpulan yang ada di makalah ini.

2. Saran

Kami sadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, alangkah
baiknya pembaca mencari informasi lebih dan data-data lain. Agar pembaca tidak hanya
merasa puas atas pengetahuan dan informasi yang ada dalam makalah ini.

Daftar Pustaka

Bochari, M.Sanggupi dkk. 2001. Sejarah Tradisional Cirebon. Jakarta : CV Sukorejo


bersinar

16
Daftar Laman

https://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-keraton/

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/01/28/kerajaan-islam-di-jawa-kerajaan-
cirebon

Sumber gambar

https://www.google.com/amp/s/sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/peninggalan-
kerajaan-cirebon/amp

17

Anda mungkin juga menyukai