Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HUKUM DI KELUARGA

(kekerasan dalam rumah tangga)


Disusun oleh:
Nama: Derit prasetyo
Dyah ayu fatmawati
Pradita fatma adelia
Recmond imam P
Satya aulya
KELUARGA SEBAGAI RUANG LINGKUP KDRT
Keluarga atau rumah tangga adalah unit sosial terkecil
dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiapanggota keluarga.
Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu
kepala rumah tanggasebagai tokoh penting yang
memimpin keluarga disamping beberapa anggota
keluarga lainnya.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RITahun 1945.
Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah
tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun
keutuhan rumah tangga.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalamrumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabatkemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secarafisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untukmelakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalamlingkup rumah tangga.
Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa
lingkup rumahtangga dalam Undang-Undang ini
meliputi
(a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan
Lembaga Penegak Hukum di Indonesia Menurut
Undang-Undang

Selain frasa “penegak hukum” seperti dalam UU


Advokat, terdapat pula istilah lain yang masih memiliki
hubungan dengan istilah “penegak hukum”. Lembaga
penegak hukum dan tugasnya dapat ditemui, antara lain
dalam peraturan-peraturan berikut.

Pasal 2 UU 2/2002 menyatakan bahwa fungsi kepolisian


adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 101 ayat (6) UU 8/1995 menerangkan bahwa dalam


rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan, Bapepam
(Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan
aparat penegak hukum Terkait hal ini, yang dimaksud
dengan “aparat penegak hukum lain”, antara lain
aparat penegak hukum dari Kepolisian, Direktorat
Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan
Kejaksaan Agung.[2]
Pasal 49 ayat (3) huruf i UU OJK menerangkan bahwa
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Otoritas
Jasa Keuangan berwenang meminta bantuan aparat
penegak hukum Kemudian, yang dimaksud dengan
"penegak hukum lain” yakni kejaksaan, kepolisian, dan
pengadilan.[3]
Pasal 2 UU Mahkamah Konstitusi menerangkan bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 1 angka 2 PP 16/2018 menerangkan bahwa Polisi


Pamong Praja (Pol PP) adalah anggota Satpol PP
sebagai aparat Pemerintah Daerah yang diduduki oleh
pegawai negeri sipil dan diberi tugas, tanggung jawab,
dan wewenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman serta perlindungan
masyarakat.
- Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
N o . 1 tahun 2007 tentang ForumKoordinasi Penyel
enggaraan Kerjasama Pencegahan dan Penanganan
KDRT- Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1tahun 2010
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Layanan Terpadu BagiPerempuan dan Anak Korban
Kekerasan- Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak N o . 6 Tahun2011
tentang Pencegahan dan pencegahan kekerasan
terhadap anak di lingkungankeluarga, masyarakat dan
sekolah.
2. Internasionala. Convention on the Elimination of All
Forms of Discriminations Against Women
(CEDAW)yang diratifikasi dengan Undang Undang No.
7 tahun 1984 b. Komite PBB tentang Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan tahun
1989(Rekomendasi Umum 12 Bidang ke-8)c.
Rekomendasi Umum No. 19 Sidang II tahun 1992
tentang Penghapusan Segala BentukDiskrimina i
terhadap Perempuand. Konferensi Dunia tentang Hak
Asasi Manusia tahun 1993, yang dirapatkan oleh
SidangUmum PBB dengan Resolusi No. 45/155,
Desember 1990e. Resolusi Mejelis Umum PBBNP 48/104
Th. 1993 yang mengutuk setiap bentuk
kekerasanterhadap perempuan baik dalam keluarga
maupun masyarakat atau oleh Negara.
F. DASAR HUKUM DAN SANKSI KDRT
Berikut ini adalah
“Dasar Hukum”
untuk KDRT :
1. Nasional
- Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 Pasal 27- Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.b c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun
1984tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan segala bentuk DeskriminasiTerhadap
Wanita (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29, Tambahan
Lembaran Negara3277)- UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No
165,Tambahan Lembaran Negara No. 3886)- UU Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak f. UU Nomor
23 tahun 2004tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga g. UU Nomor 32 tahun 2004tentang
Pemerintahan Daerah h. UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksidan Korban i. UU Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan j. Peraturan Pemerintah
N o .4 tahun 2 0 0 6 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasandalam Rumah
Tangga- Peraturan Pemerintah No . 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan PemerintahanAntara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Kota- Keputusan
Presiden RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasanterhadap Perempuan
- Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)
- Instruksi Pres iden R I N o . 9 tahun 2000 tentang
Pengarus utama Gend Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT
Sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004
tentang PKDRT diatur dalamBab VIII mulai dari pasal
44 s/d pasal 53.
Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap


orang untuk melakukankekerasan baik kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
penelantaran rumahtangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya (lihat
Pasal 5 UU KDRT
). Kekerasanfisik yang dimaksud pasal tersebut adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit,atau luka berat (lihat
Pasal 6 UU KDRT
) sehingga termasukpula perbuatan
menampar,menendang dan menyulut dengan rokok
adalah dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT
menentukan bahwa yang dapat melaporkan
secaralangsung adanya KDRT kepada polisi adalah
korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidakdapat
melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT
kecuali telah mendapat kuasa darikorban (lihat
Pasal 26 ayat [2] UU KDRT
).Meski demikian, pihak keluarga masih dapat
melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya
kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat
untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur
dalam
Pasal 15 UU KDRT
yang berbunyi sebagai berikut: Kesimpulan
Setiap keluarga pada awalnya selalu mendambakan
kehidupan rumah tangga yang aman,nyaman, dan
membahagiakan. Secara fitrah perbedaan individual
dan lingkungan sosial budaya berpotensi untuk
menimbulkan konflik. Bila konflik sekecil apapun tidak
segera dapat diatasi,sangatlah mungkin berkembang
menjadi KDRT. Kejadian KDRT dapat terwujud dalam
bentukyang ringan sampai berat, bahkan dapat
menimbulkan korban kematian, sesuatu yang
seharusnyadihindari. Untuk dapat menyikapi KDRT
secara efektif, perlu sekali setiap anggota
keluargamemiliki kemampuan dan keterampilan
mengatasi KDRT, sehingga tidak menimbulkan
pengorbanan yang fatal. Tentu saja hal ini hanya bisa
dilakukan bagi anggota keluarga yangsudah memiliki
usia kematangan tertentu dan memiliki keberanian
untuk bersikap dan bertindak.Sebaliknya jika anggota
keluarga tidak memiliki daya dan kemampuan untuk
menghadapiKDRT, secara proaktif masyarakat, para
ahli, dan pemerintah perlu mengambil inisiatif
untukikut serta dalam penanganan korban KDRT,
sehingga dapat segera menyelamatkan
danmenghindarkan anggota keluarga dari kejadian
yang tidak diinginkan. Dan Agama Kristensebagai
pedoman umat percaya memiliki peran untuk mencegah
terjadinya KDRT melalui pengajaran tentang kasih
B.

Saran
Dari simpulan yang disebutkan di atas, penulis dapat
memberikan beberapa saran antaralain:1. Dalam
sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus
sama-sama menjaga agar tidak terjadikonflik yang bisa
menimbulkan kekerasan.2. Sebelum kita melihat
kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri
kita sendiri.3. Maka antara suami dan istri harus
memiliki keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik,
adanyakomunikasi yang baik antara suami dan istri,
serta memiliki rasa saling percaya, pengertian, dansaling
menghargai.4. pemerintah dan masyarakat lebih
berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati
untuktidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih
ditingkatkan pengawasannya.

Anda mungkin juga menyukai