Beberapa waktu lalu media dikejutkan oleh pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum
dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahwa LGBT adalah kodrat, dan tidak bisa dilarang.
Beliau menjelaskan bahwa yang dilarang kan perilakunya. Orang LGBT itu diciptakan oleh Tuhan.
Oleh sebab itu tidak boleh dilarang. Tuhan yang menyebabkan dia hidupnya menjadi homo, lesbi,
tetapi perilakunya yang diperuntukkan kepada orang itulah yang tidak boleh (Rakernas KAHMI di
Puncak Bogor, 20/5).
Pernyataan tersebut kembali diluruskan oleh Mahfud MD dalam kegiatan Seminar Nasional
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (23/5) bahwa pernyataan itu berdasarkan Undang-Undang yang
tertera pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, yang tidak memuat larangan
terhadap LGBT. Hal ini dikarenakan DPR menganggap bahwa LGBT itu adalah kodrat sehingga
mereka tidak mau memasukkannya. Mahfud MD juga mengatakan pemerintah tidak bisa melarang
karena KUHP baru yang akan berlaku pada 2026 tidak memuat larangan LGBT.
Sementara Euis Sunarti, seorang guru besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan
Keluarga dengan tegas menolak LGBT sebagai kodrat. Penyebab LGBT yang paling mempengaruhi
adalah lingkungan individu dan gerakan politik. Berbagai riset pun banyak menyebutkan bahwa
LGBT bukan faktor genetis. Ia berharap para pelaku LGBT dapat dipidana dan pemerintah dapat
membuat aturan yang jelas yang melarang perilaku penyimpangan seksual apalagi berkampanye dan
berupaya melegalkan LGBT. Sangat disayangkan saat ini aparat pemerintah hanya bisa membubarkan
aktivitas kelompok tersebut tanpa bisa memidananya. Euis Juga mengaku bahwa ia telah melakukan
Judicial Review KUHP ke MK tahun 2016-2017 dan meminta aturan yang eksplisit larangan cabul
sesama jenis baik kepada anak, antar anak, antar orang dewasa, suka sama suka apalagi (disertai)
kekerasan dan paksaan. (Republika, 23/5).
Dari fakta yang diungkapkan di atas, ada beberapa poin penting yang harus menjadi sorotan
yakni:
1. Eksistensi LGBT yang diklaim sebagai kodrat.
Penelitian yang dilakukan berikaitan dengan perilaku LGBT telah banyak dilakukan oleh para
ahli. Setidaknya, mereka yang mengklaim bahwa perilaku LGBT adalah kodrat (genetis) didasarkan
pada genetik molekuler, pengaruh hormon, struktur otak dan studi kembar. Namun sampai saat ini
tidak ada satupun bukti empiris benar-benar valid yang dapat membuktikan bahwa LGBT merupakan
faktor genetik atau biologis atau bawaan lahir (Haryani dkk, 2017).2 Faktor yang memiliki andil
1
Konselor/Psikoterapis, Penulis, Konsultan Parentig, Trainer/Motivator, Dosen
2
Haryadi dkk. 2017. Bimbingan dan Konseling Populasi Khusus di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish
dalam terjadinya penyimpangan seksual (LGBT) adalah riwayat kekerasan seksual, pesan subliminal,
kurangnya fondasi agama, dan lingkungan sosial. Inilah beberapa variabel yang terbukti empiris yang
menyebabkan seseorang melakukan penyimpangan seksual. Bahkan Mapiarre (2006) menyebutkan
homoseksualitas merujuk pada pilihan dan kecenderungan orientasi atau kesukaan aktivitas seksual
dengan sesama jenis kelamin.3
2. Undang-Undang dan Perumusnya Anti Pancasila dan Anti Islam
Seperti yang telah disampaikan oleh Mahfud MD dalam klarifikasinya terkait ucapan bahwa
LGBT adalah kodrat merupakan rancangan UU KHUP yang akan disahkan oleh para DPR di 2026
mendatang. Ini justru menunjukkan banyak fakta yang mengejutkan kepada masyarakat. Fakta ini
dapat mengindikasikan beberapa dugaan tertentu yakni:
a. UU KUHP berkaitan dengan LGBT adalah kodrat sebagai hasil dari perumusan para DPR,
dapat mengindikasikan bahwa para DPR yang merumuskannya adalah bagian dari LGBT.
Apakah mereka pelaku, pendukung, atau pihak yang diuntungkan? Sebab bagaimana mungkin
DPR bersepakat untuk menjadikan ini sebagai kodrat yang tidak perlu dilarang jika mereka
bukan bagian dari itu?
b. UU KUHP berkaitan dengan LGBT adalah kodrat sebagai bukti nyata dari perwujudan bahwa
DPR memutuskan perkara tidak berdasarkan nilai-nilai Pancasila terlebih lagi nilai-nilai
Islam. Mereka tidak menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pijakan dalam melahirkan undang-
undang untuk mengatur tatanan bermasyarakat. Itu menujukkan UU dalam sistem demokrasi
ini sebenarnya anti Pancasila dan anti Islam.
c. UU KUHP berkaitan dengan LGBT adalah kodrat sebagai bukti nyata kebobrokan sistem
demokrasi yang menjunjung suara terbanyak atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan
jumlah yang banyak, maka mereka bisa menghasilkan suatu produk hukum yang didasarkan
pada suara terbanyak, tidak dilihat suara atau pendapat tersebut benar atau salah, haram atau
halal.
Sebenarnya jika dilihat dari fenomena seperti ini, apa yang diinginkan oleh para kaum
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Queer, dan Questioning (LGBTIQ+)? Dalam setiap
kampanye, tujuan terbesar mereka adalah diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang lumrah.
Mereka ingin hidup seperti masyarakat pada umumnya, diterima oleh masyarakat pada umumnya,
dan tentu menjalankan aktivitas penyimpangan seksualnya secara terang-terangan. Upaya mereka
untuk mencapai tujuan tersebut bukan upaya yang dapat dianggap sepele. Propaganda dan kampanye
yang mereka lakukan sangat masif, dimulai dari industri hiburan sampai kepada rancangan undang-
3
Mappiare, A. 2006. Kamus Istilah Konseling dan Terapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
undang. Kiprah mereka pun semakin tampak dengan menonjolkan kisah-kisah para pelaku LGBTIQ+
yang dianggap ‘sukses’, hidup baik dan berdampingan, serta suka menolong, dan dibungkus dengan
drama sedih, lucu, serta yang mengiba agar masyarakat yang menonton menganggap mereka adalah
tidak salah dan tidak menjadi masalah, layak dibantu, dan akhirnya diterima. Belum lagi dari aspek
sosial, organisasi-organisasi LGBTIQ+ marak bermunculan dengan berbagai kegiatan sosial seperti
mengangkat tema-tema Kesehatan Reproduksi, Peduli HIV/AIDS, Hak Asasi Manusia (HAM), atau
Keluarga Berencana (KB). Komunitas dan organisasi tersebut merupakan jaringan terhubung dengan
organisasi LGBTIQ+ internasional dan tak jarang mendapatkan suntikan dana besar dari Gerakan
internasional.
Maka dapat dipahami bahwa LGBTIQ+ adalah perkara yang bahaya dan membahayakan,
bahkan kategori ancaman bagi negara dan khususnya keluarga. Di satuan keluarga sekalipun, para
orang tua saat ini tidak bisa merasa aman dari ancaman ini. Para orang tua takut dan khawatir ketika
mereka memasukkan anak-anak mereka dalam sekolah-sekolah asrama, pesantren, dan kegiatan-
kegiatan lainnya. Ini semua dikarenakan populasi LGBTIQ+ telah tersebar di seluruh bidang dan sulit
diidentifikasi layaknya fenomena gunung es.
Andaipun orang tua beranggapan bahwa anak mereka tidak bagian menjadi LGBTIQ+ saat
ini, tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang menjadi bagian dari LGBTIQ+. Hal ini
dikarenakan populasi mereka yang banyak, berkembang dan telah berbaur dengan masyarakat. Selain
itu, mereka juga tampil dengan kemasan yang friendly agar diterima oleh masyarakat. Dengan begitu,
setuju atau tidak, sejatinya anak-anak mereka sangat rentan terpapar segala hal yang bersifat
LGBTIQ+. Bagaimana jika para orang tua yakin bisa menjaga anak-anak mereka dari LGBTIQ+
dengan melarang anak-anak mereka bergaul di luar rumah? Tetap saja, paparan LGBTIQ+ tidak
hanya ada di lingkungan sosial melainkan dari media-media yang saat ini telah banyak mendukung
mereka yang dapat diakses dari telepon genggam anak-anak, tontonan mereka, musik yang mereka
perdengarkan, atau bahkan pakaian/aksesoris yang mereka gunakan. Tidak menjamin bebas dari
propaganda LGBTIQ+. Andaipun bisa dilarang ke luar rumah, bisa ditahan untuk tidak memiliki
telepon genggam, apakah anak itu tidak akan berinteraksi selama-lamanya dengan dunia luar? Tentu
tidak. Untuk itu, LGBTIQ+ ini pun adalah ancaman bagi keluarga, dan para orang tua dapat melawan
dan menyelamatkan anak-anaknya dari propaganda LGBTIQ+ sendirian. Sebab propaganda dan
kampanye LGBTIQ+ ini adalah kekuatan politik internasional yang tidak bisa diselesaikan oleh
bidang pendidikan, kesehatan mental, peran keluarga atau organisasi kemasyarakatan.
Tidak hanya berfokus pada sanksi, Islam juga memiliki aturan dalam mencegah
penyimpangan ini terjadi. Dari sisi media, Islam mengatur media-media informasi yang ditayangkan
kepada masyarakat. Media informasi dan hiburan berkaitan dengan penyimpangan seksual disaring
seketat mungkin, jika ditemukan berpotensi terhadap penyimpangan seksual, maka media tersebut
diblokir dan pemiliknya diberi sanksi tegas.
Dalam bidang pendidikan, pendidikan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan generasi
yang bertakwa. Pendidikan akan berfokus pada peningkatan ketakwaan individu dan masyarakat
untuk membentuk mereka berkepribadian Islam. Sehingga segala hal-hal yang berbau LGBTIQ+
akan dijauhkan dari sistem pendidikannya.
Dalam bidang sosial ekonomi, Islam menganjurkan kepada para wanita dan para wali untuk
tidak mempersulit urusan (mahar) pernikahan ketika seorang bertakwa melamar gadis-gadis mereka.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, Islam pun turut memberikan bantuan langsung tunai kepada
mereka untuk menikah dan menyediakan lapangan pekerjaan sehingga mereka tidak lagi takut dengan
tuntutan ekonomi pra dan pasca pernikahan. Tidak berhenti sampai di situ saja, Islam pun mengatur
urusan perbelanjaan masyarakat. Islam akan berupaya agar harga-harga pokok terjangkau oleh
masyarakat. Kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan menjadi
mudah diperoleh dan dijamin oleh Islam.
Masih dari sisi ekonomi, Islam pun tidak menjadikan asas manfaat sebagai ujung tombak
pembangunan ekonomi rakyat. Islam menyandarkan ekonomi rakyat pada perkara halal atau haram.
Jika halal, boleh dikerjakan. Jika haram, wajib ditinggalkan meski seberapa besar pun manfaat yang
diperolehnya. Sehingga meski dari sisi ekonomi, propaganda LGBTIQ+ ini terlihat menguntungkan
tetapi tetap tidak boleh dijadikan sumber pendapatan negara terlebih mendukungnya.
Dari aspek politik. Islam akan menghasilkan produk hukum (undang-undang) yang
bertentangan dengan praktik LGBTIQ+. Islam dengan tegas memerangi praktik LGBTIQ+ ini. Islam
akan menetapkan aturan yang tegas dan jelas terkait LGBTIQ+ ini sebagai bentuk pidana dalam
negara dan harus mendapatkan sanksi yang tegas. Tidak hanya itu, segala praktik propaganda dan
kampanye LGBTIQ+ dari dalam dan luar negeri pun akan senantiasa dihadang, dilawan, dihukum,
dan diperangi oleh Islam baik secara kebijakan maupun secara militer.
Meski hukuman dan sanksi bagi pelaku LGBTIQ+ ini sangat keras, namun jauh sebelum itu
Islam menempuh jalan pencegahan sebelum pengobatan. Artinya jalan hukuman dan sanksi ditempuh
jika pencegahan tidak bisa lagi menjadi alternatif solusi dalam pencegahan dan penyelesaian
penyimpangan seksual. Di sisi lain, Islam pun menerima taubat mereka jika mereka mau berhenti dari
penyimpangan seksual tersebut dan mau meninggalkannya. Taubat mereka bisa berupa taubat yang
sebenar-benarnya atau menyerahkan diri untuk menerima hukuman negara.
Namun perlu diingat bahwa semua yang Islam solusikan dalam mencegah dan menyelesaikan
penyimpangan seksual ini tidak dapat dilaksanakan oleh orang tua. Praktik ini hanya bisa
dilaksanakan oleh sebuah institusi negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi negara (Khilafah).
Khilafah sebagai sebuah institusi negara yang berideologi Islam dan menerapkan syariatnya akan
memiliki kekuatan untuk mencegah dan memberantas penyimpangan seksual ini sampai akar-
akarnya. Para orang tua tak akan mampu menjaga dan melindungi anak-anaknya dan generasinya dari
bahaya LGBTIQ+ tanpa adanya peran negara Islam (Khilafah). Untuk itulah, para orang tua harus
berjuang, menyatukan tekad, bergabung dalam kelompok dakwah yang memperjuangkan penerapan
syariat Islam dalam bingkai negara Khilafah untuk menjaga keluarga dan generasi mereka dari bahaya
LGBTIQ+. Tidak hanya sampai di situ, para orang tua hendaklah aktif terlibat dan mendorong anak-
anak mereka agar menjadi pengemban dakwah (hamlu ad-dakwah) tergabung, terlibat, dan aktif
dalam gerakan jamaah dakwah. Sebab salah satu upaya membentengi mereka dari penyimpangan
seksual adalah dengan menjadikan mereka seorang pengemban dakwah dan pejuang Islam. Allahu
a’lam.